KH. HUSNI HIDAYAT Lc Saat berbicara dengan Ketua MUI Kec. Kertajati
REFORMULASI KONSEP TEOLOGI
Oleh: M. Husni Hidayat, Lc
Thoriqoh Dusukiyah Muhammadiyah Kabupaten Jepara
Membicang tentang eksistensi Tuhan berarti mencoba menerobos segudang
permasalahan. Usaha membedah keberadaan-Nya memerlukan penalaran panjang
yang menjemukan. Coba anda bayangkan, pada era post modern yang serba
instant, kita masih dituntut untuk merunut kepelikan tersebut. Dan ironinya
perangkat yang kita gunakan adalah pisau analisis klasik, yang terkadang
kurang menyentuh neutral point (Nuqthah muhayidah). Artinya: memang pintu
kebebasan individu untuk mendeskripsikan-Nya terbuka, namun
mengkontaminasi, mengingkari dan menafikan-Nya merupakan akibat fatal yang
akan merugikan diri kita sendiri.
Keberadaan-Nya yang maha abstrak (Ghaib muthlaq) susah untuk didekati,
hanya dorongan keimanan sajalah yang mungkin dengan mudah dan otomatis
mampu mengantarkan seseorang untuk mempercayai-Nya. Ungkapan inilah yang
sebenarnya sering kita lantunkan "Allahu Akbar" bukan berarti Allah maha
besar dari segala sesuatu "Allahu akbar min kulli syai’" secara ukuran
(hajman), tapi Allah maha besar untuk diketahui "Allahu akbar min an
yu'raf". Namun perasaan yang menyentak seseorang untuk memaksakan diri
membayangkan-Nya kadang menimbulkan problematika tersendiri. Sehingga
bentuk Tuhan-pun harus dipaksakan keberadaannya, sebagaimana pendapat
golongan Islam puritan yang menyatakan bahwa Tuhan memiliki tangan, tapi
tangan tersebut tidak seperti tangan manusia. Ironinya menanyakan
keberadaan tangan tersebut diklaim sebagai bid'ah sayyi'ah. Sebuah
penalaran teologis yang tidak memuaskan. Padahal kepemilikan tersebut
merupakan "Nisbah milkiyyah" (penisbatan kepemilikan) yang bisa dinisbatkan
kepada Tuhan. Bukan "Nisbah juz'iyyah" (penisbatan bahwa Allah tersusun
dari pelbagai unsur) yang tentu saja menodai kesucian-Nya.
Di sisi lain, nama Tuhan sering tidak diketahui secara tepat. "Allah",
begitulah sebagai seorang muslim kita menyebutnya. Namun perlu diingat,
nama tersebut bukanlah nama zat Tuhan (Ism al-dzat), melainkan nama sifat
ketuhanan (Ism sifat al-uluhiyyah).
Sifat-sifat yang melekat kepada-Nya dalam asma' al-husna dapat
dikategorikan menjadi dua; Jalal (maha perkasa) dan Jamal (maha indah dan
lembut). Hal ini dapat kita telisik dalam seluruh asma' al-husna,
terkecuali al-Rahman dan Allah. Al-Muzil misalnya, dikategorikan sebagai
jalal dan al-Mu’iz dikategorikan sebagai jamal. Kesatuan antara sifat jalal
dan jamal adalah Kamal; yang melekat pada al-Rahman dan Allah; yang menjadi
ra’is seluruh sifat-sifat tersebut. Mengkaji perbedaan antara sifat dan
dzat tersebutlah yang mendorong seseorang untuk mendapatkan definisi yang
tepat dan elegan seputar tauhid. Bukan hanya jargon tauhid yang terbatas
dalam uluhiah dan rububiah saja.
Shahib al-Samahah (Maulana Syekh Mukhtar ra.) mendefinisikan tauhid secara
komprehensif : "Tanzih al-Ahad an al-adad wa Tanzih al-Wahid an
al-ta'addud" (membersihkan keesaan dzat dari bilangan, dan membersihkan
sifat yang tunggal dari keterbilangan). Artinya : Ahadiyyah (keesaan) yang
ada pada Tuhan tidak serupa dengan makhluk-Nya dan Wahidiyyah (sifat
tunggal)-Nya pun demikian. Dengan kata lain, setiap manusia memiliki
ahadiah yang berupa sidik jari pada dirinya, tapi ahadiah tersebut tidak
seperti ahadiah Allah yang mutlak. Seluruh sifat yang melekat kepada-Nya
pun boleh dilekatkan pada manusia, terkecuali Allah dan al-Rahman, namun
sifat-sifat Tuhan bersifat absolut dan tunggal.
Mungkin terbersit dalam benak kita, benarkah demikian? Shahib al-Samahah
menggagas konsep Muqtadlayat al-Uluhiyah (Kriteria Tuhan) yang akan
menjernihkan pikiran kita dalam membedakan antara Tuhan dan makhluk-Nya.
Kriteria tersebut adalah : al-Sabq (dahulu dan tidak ada yang mendahului;
bebas ruang dan waktu), al-Ithlaq (mutlak), al-Dzatiyyah (Esa dzat-Nya;
tidak ada yang mengajari-Nya), dan al-Sarmadiyyah (kekal). Keempat kategori
tersebutlah yang membedakan antara Tuhan dengan selain-Nya.
Sifat al-Khaliq misalnya, bisa kita lekatkan pada diri Saidina Isa as.
sebagaimana al-Qur'an meyebut "Inni akhluqu lakum min al-thin", hanya saja
sifat khaliq yang melekat pada Saidina Isa tentu tidak memenuhi kategori di
atas. Sebab penciptaan yang melekat pada diri Saidina Isa terbatas
(muqayyad) dan tidak muthlaq, telah didahului (masbuq) tidak sabiq, tidak
tunggal (dzatiy); bukan murni dari dirinya sendiri, tapi ada yang
mengajarinya (muktasab). Dan tidak langgeng atau tidak memenuhi kategori
sarmadiyyah.
Apabila keempat kategori tersebut dipahami secara tepat, niscaya kita pun
terbebas dari kontaminasi bertauhid (awhal al-Tauhid); yang meliputi
al-Hulul, al-Ittihad, al-Tasybih dan al-Ta'thil. Hulul berarti meyakini
Tuhan bertempat pada makhluk-Nya. Ittihad berarti meyakini adanya kesatuan
antara hamba dan Tuhan (Pantheisme). Tasybih berarti menyerupakan Allah
dengan yang lain. Dan Ta'thil berarti menafikan fungsi asma’-Nya. Keempat
hal tersebut acapkali menjadi jaring-jaring orientalis untuk menghalau dan
membelokkan konsep cinta Ilahi versi para kekasih-Nya (Wali Allah). Seperti
Syekh Ibnu Arabi ra. dan Syekh al-Hallaj ra. yang tersohor dengan
Wihdatul-wujud, Wihdatul-adyan dan ungkapan Ana al-haq yang sebenarnya
terbebas dari keempat awhal al-tauhid. Wihdatul-wujud bukanlah pantheisme,
melainkan terma yang menyatakan bahwa nur Saidina Muhammad saw. adalah
makhluk yang pertama kali diciptakan dan dari Nur tersebutlah semua makhluk
diciptakan. Wihdatul-adyan bukan pluralisme agama; melainkan bertemunya
agama-agama samawi dalam satu titik, yaitu ''Innaddina indaallahil-Islam".
Pernyataan yang bukan mengklaim sebuah kebenaran, melainkan usaha untuk
meyakini sebuah kebenaran, tanpa harus menafikan pihak lain. Justru yang
menawarkan pluralisme agama seolah-olah menawarkan agama baru yang identik
dengan konsep Robert N Bellah tentang Civil Religion. Sedangkan Ana al-haq
dapat anda korelasikan dengan muqtadlayat al-uluhiyah sebagai standar tepat
atau tidaknya pernyataan tersebut secara obyektif.
Memang, keyakinan seseorang terhadap Rasul, Nabi dan Wali terkadang tidak
komprehensif. Artinya kita sering menganggap ketiganya sebagai Ghairullah
(selain Allah), tapi tidak juga kebablasan menganggapnya sebagai Tuhan
(Ainullah). Sebab hubungan Allah terhadap ketiganya adalah "Laisa ainuhu wa
laisa ghairuhu"; mereka bukan Allah namun bukan pula selain Allah. Dengan
kata lain ketiganya merupakan wakil-Nya. Sebagaimana wali nikah yang bukan
pengantin putri dan bukan pula selainnya.
Dari sinilah pertikaian lama seputar kemakhlukan al-Qur'an, dan tidaknya
terjawab. Sebab memang al-Qur'an adalah kalam Allah yang qadim (terbebas
dari ruang dan waktu) dan qaul Rasul yang hadits yang berupa bahasa seorang
manusia. Sebuah tawaran proporsional yang dapat dianalogikan dengan seorang
presiden yang mengirim salam kepada hadirin pada sebuah pertemuan. Walaupun
ia tidak datang, namun melalui menteri salam tersebut disampaikan. Ditinjau
dari segi kalam, salam tersebut adalah kalam Presiden. Sedangkan ditinjau
dari segi qaul, salam tersebut adalah qaul sang Menteri. Sebuah analogi
yang mencoba mendekatkan esensi pernyataan tersebut.
Para Rasul, Nabi dan Wali adalah manusia shalih yang diberikan barakah oleh
Allah swt. agar kita mau memungutnya. Syirik atau kufurkah meminta kepada
mereka? Apabila anda tidak takut untuk menodong uang kepada orang tua,
kenapa harus takut mengais barakah dari para Rasul, Nabi dan Wali. Bukankah
Al-Khairu kulluhu biyadillah yadla'uhu haitsu yasya' wa alaina an
nathlubahu wa na’khudzahu haitsu wadla'ahu? Apabila anda ingin madu,
ambilah dari lebah..! Bukan sebuah paksaan atau instruksi yang arogan,
melainkan anjuran dan pernyataan yang masih layak untuk dikritisi dan
didiskusikan.
Posted by Husni Hidayat at 1:57 PM
0 Response to "KONSEP TEOLOGI DALAM THORIQOH DUSUQIYAH MUHAMMADIYAH"
Post a Comment