Perang
Kedongdong dan Ki Bagus Rangin yang Terlupakan
Selama ini,
sejarah bangsa Indonesia mencatat perjuangan gigih Pangeran Diponegoro dalam melawan
penjajah Belanda. Perang yang berlangsung pada 1825 – 1830 itupun, menjadi
bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa dalam mengusir penjajah.
Namun ternyata, di Cirebon, ada perang melawan penjajah Belanda yang telah
berlangsung sebelum Perang Diponegoro. Perang itu dikenal masyarakat setempat
dengan nama ‘Perang Ke dongdong’. Perang tersebut berlangsung pada 1802 – 1818,
dengan tokoh pejuangnya yang bernama Ki Bagus Rangin.
Kala itu, Ki Bagus Rangin melakukan pemberontakan terhadap penjajah Belanda
yang membuat sengsara rakyat di Wilayah Cirebon. Ki Bagus Rangin mengobarkan
peperangan di sejumlah daerah di Wilayah Cirebon, termasuk Ciebon, Indramayu, Majalengka
dan Kuningan. Bahkan, meluas hingga ke Sumedang dan Subang.
"Perang itu merupakan pemberontakan besar pertama di Pulau Jawa (dalam
melawan penjajah Belanda), sebelum Perang Diponegoro," ujar Sultan Sepuh
XIV, PRA Arief Natadiningrat, kepada Republika, Senin (1/9). Perlawanan
yang dilancarkan Ki Bagus Rangin sempat membuat pasukan kompeni kewalahan.
Apalagi, perjuangan Ki Bagus Rangin mendapat dukungan dari masyarakat luas.
Namun, seperti halnya Pangeran Di ponegoro, perjuangan Ki Bagus Rangin juga
berakhir dengan ditangkapnya Ki Bagus Rangin oleh penjajah Belanda pada 1812.
Namun, perjuangan Ki Bagus Rangin diteruskan oleh sejumlah kerabatnya hingga
akhirnya berhasil dipadamkan pada 1818.
Sultan Sepuh mengatakankan, ketokohan Ki Bagus Rangin dan Perang Kedongdong itu
akan ditampilkan dalam rangkaian acara ‘Haul Sunan Gunung Jat’i pada 7 8
Oktober 2014. Kegiatan itu akan dilaksanakan di Keraton Kasepuhan, bersama pula
dengan seminar film Sunan Gunung Jati.
"'(Melalui film Kedongdong) masyarakat jadi tahu bahwa di Jabar ada perang
yang lebih awal dari perang Di ponegoro," tutur Sultan Sepuh. Sultan Sepuh
menambahkan, meski Ki Bagus Rangin menggelorakan perlawanan melawan penjajah di
Wilayah Cirebon, namun hanya ada satu jalan yang mengabadikan namanya. Jalan
itu adalah Jalan Ki Bagus Rangin di Kota Bandung.
Sultan Sepuh menyatakan, akan memberikan penghargaan kepada walikota Bandung
dan masyarakat Bandung secara umum karena telah mengabadikan nama Ki Bagus
Rangin menjadi namajalan. Penghargaan itu juga dimaksudkan untuk mempertahankan
nama jalan tersebut karena kemungkinan wali kota Bandung pun tidak mengetahui
asal-usul nama jalan tersebut. "Supaya nama Jalan Ki Bagus Rangin tidak di
ganti," tegas Sultan Sepuh.
Selain menggelar Haul Sunan Gunung Jati, Cirebon juga akan menjadi tuan rumah
sejumlah agenda yang menyangkut seni budaya. Diharapkan, ke giatan-kegiatan
tersebut mampu mendongkrak dunia pariwisata di Cirebon.
Sultan Sepuh menyebutkan, sejumlah agenda kegiatan itu, di antaranya ada lah
Gotrasawala pada 22 25 Okto ber 2014. Dalam kegiatan itu, akan di adakan
seminar tentang seni, sejarah dan budaya maupun berbagai pagelaran seni budaya
di keraton-keraton yang ada di Cirebon.
Selain itu, pada awal Oktober 2014, akan ada Festival Pesisiran dengan peserta
dari Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim. Acara itu merupakan hasil
kerja sama dengan Kementerian Pariwisata. "Cirebon memiliki potensi yang
besar dalam bidang pariwisata," ujar Sultan.
Sultan pun berharap, semua agenda kegiatan tersebut mampu lebih men dongkrak
pariwisata di Cirebon. Selain itu, dapat lebih mempromosikan kekayaan seni
budaya Cirebon ke dunia luar. rep:lilis sri handayani ed: agus
yulianto
Dalam versi yang lain SEJARAH PERANG KEDONDONG
Syahdan, karena menolak tunduk
terhadap tekanan pemerintah kolonial Belanda, Pangeran Raja Kanoman memilih
melepaskan takhta kesultanan. Haknya sebagai sultan dilepas begitu saja. Putra
mahkota Sultan Kanoman IV itu keluar dari keraton, lalu bergabung dengan rakyat
Cirebon yang menentang Belanda.
Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan
Belanda kian sengit. Di sana-sini terjadi pemberontakan. Belanda kewalahan
menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil,
sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000,00 Gulden. Ribuan prajuritnya pun
tewas.
Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda sampai harus menjalin aliansi militer
strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan
didatangkan.Mereka diangkut dengan menggunakan enam kapal perang besar dan
mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon.
Kedatangan ribuan prajurit tambahan itu, tidak membuat
rakyat Cirebon gentar. Pangeran Raja Kanoman itu justru makin menggencarkan
perlawanan. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang
Kedondong, terjadi si salah satu daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan
Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari
pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.
Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya
naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der
Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952.
Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan
di Negeri Kincir Angin itu.
Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda,
Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di
Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria,
di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh
gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di
Keraton Kanoman.
Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman
yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin.
Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh
belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai
Perang Jawa.
"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena
Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat
Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat
terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena
tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon.
Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang
Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata
Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.
Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski
Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian
menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun
pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di
Kota Cirebon.
Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda
memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para
pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman
dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru
Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas
kesultanan di Keraton Kanoman.
Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran
Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru
dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja
Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln.
By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril
Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.
Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki
keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap
tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari
Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.
Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama
Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon,
Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton
Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan
memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon
selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang
bergelar Pangeran Raja Madenda I.
Budy
Santosa 15.33
PERANG KEDONDONG TAHUN 1802-1818 Di CIREBON
Dilihat dari
lokasinya maka perlawanan petani dibedakan menjadi dua tempat, yaitu di pusat
kerajaan dan di pinggiran. Daerah pinggiran biasanya dijadikan basis
perlawanan. Namun, aliansi dua lokasi terjadi karena keduanya saling tergantung
dalam memimpin dan mengalokasikan kekuatan menghadapi penguasa. Selain itu,
konflik di dalam istana terus berkembang ke luar dan pecah sebagai gerakan
pemberontakan petani di pedesaan. Pemberontakan rakyat Cirebon 1802-1818
merupakan ekspresi ketidakpuasan petani dalam bentuk gerakan pemberontakan yang
meluas dari pusat kerajaan ke pedesaan.
Protes sosial
para petani Cirebon terjadi di daerah pertanian. Para petani merasa dirugikan
oleh orang-orang Cina dan residen. Oleh karena itu, mereka melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah kolonial dan mengadakan pembunuhan terhadap
orang-orang Cina. Permasalahan kehidupan sosial-ekonomi yang lama terpendam dan
buruk ini, Sistem persewaan desa dan penarikan
pajak, memunculkan pemerasan oleh residen dan orang Cina, merupakan salah satu
pemicu timbulnya pemberontakan rakyat Cirebon.
akhirnya
melahirkan kekuatan perlawanan menjadi besar dengan skalanya yang luas.
Tahun 1802-1818 adalah waktu terjadinya rentetan
pemberontakan, yang meletus pertama kali tahun 1802 dan berakhir tahun 1818.
Pemberontakan tidak terjadi setiap tahun, namun ada dua periode pemberontakan
besar yaitu tahun 1802-1812 pemberontakan dipimpin oleh Rangin dan
periode tahun 1816-1818 pemberontakan dipimpin oleh Jabin dan Nairem.
Bersama para
pengikutnya Bagus Rangin melakukan pemberontakan di Cirebon, bahkan sampai
meluas ke luar karesidenan Cirebon. Dalam perjalanannya selanjutnya, Bagus
Rangin hendak mendirikan negara Panca Tengah dan mengangkat dirinya sebagai
raja dimulai dari tahun 1802
Gerakan pemberontakan
ini menemui kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh
pemerintah kolonial pada tahun 1812.
gerakan pemberontakan rakyat Cirebon ini
sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya, yaitu pemberontakan tahun 1816
di bawah pimpinan Jabin (seorang ketua gerombolan dan pemberontakan tahun
1818 di bawah pimpinan Nairem.
Dan
hal ini serentak dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya hal tersebut maka
hampir seluruh wilayah bergerak bertahap menghimpun kekuatan. Rangin (islam) dan serrit (islam) dari jatitujuh, Wariem (nonislam/kejawen) dan Ujar (islam) dari Biyawak, Sakti dan Kondur (nonislam/kejawen) dan jabin (islam) dari waringin, Rontui (nonmuslim/kejawen) dari Sindanghaji ( Rajagaluh ), Nairem/ narijem (islam) dan Samun (islam) dan ronodwiwongso (nonislam/kejawen) dari Baruang Kulon, Bana (nonislam/kejawen) yang
menjadi Sekretaris Rangin dari Baruang Wetan,Sindung (nonislam/kejawen), cangga (islam) dari Sumber, Arsitem (islam) dari Loyang, Suara (islam) dari Bantarjati, Sanda (nonislam/kejawen) dari Pamayahan, Narim (islam) dari Leles, Jamani (islam) dari Depok, Demang Penangan (islam) dari Kandanghaur, Demang Wargagupita (nonislam/ kejawen) dari Kuningan, Wargamanggale (islam) dari Cikao, Wirasraya (islam) dari Manis, Jurangprawira (islam) dari Linggarjati, Jayasasmita (islam) dari Ciminding, Jangbaya (nonislam/kejawen) dari Luragung, Harmanis (islam) dari Cikao, Anggasraya (non islam) dari Timbang, Demang Jaya prawata (islam) dari Nagarawangi, Demang
Angon Klangon (islam) dari Weru, Ingabei Marta Manggala (islam) dari Pagebangan, Demang Jayapratala (nonislam/kejawen) dari Sukasari.
Peta
persembunyian dan markas perlawanan: Jatitujuh, waringin, Baruang Kulon,
Bantarjati, Pamayahan, Depok,Ciminding, sumber, gegunung, watubelah, Nagarawangi, Pagebangan, Sukasari.
Sindanghaji ,Peta pergerakannya:
Majalengka,sungai
cimanuk,indramayu,karawang,subang,plered,palimanan (di pusat distrik
belanda)dan susukan wilayah desa kedondong,maka disebut perang kedondongTempat
makam para perlawanan:
Di
desa getasan depok makam dawa dan makam gaman (makam gaman2nya para
perlawanan)tempat makan rangin,di pecung tempat makam jabin
Di
sumber watubelah makam keramat buyut sawen tempat makam cangga,makam dawa
kembar tempat makam ingabei dan nairem/narijem,makam ki kertamenggala kuburan
angon klangon dan sindung dan makam gaman balong watubelah (makam gaman2nya
para perlawanan)
"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi,
karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan
rakyat Cirebon yang melibatkan rakyat dengan ketidak puasan monopoli dan paksa
sewa pesawahan dan kebun Serta paksaan pajak yang tinggi, memunculkan pemerasan oleh
residen dan orang Cina, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu
menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik
pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam
sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya
menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati
sejarah Cirebon.
Literatur
Pemberontakan
1818 cetakan idayu
Perlawanan
perang kedondong versi angdidi
CERITA RAKYAT TENTANG BAGUS RANGIN
Diceritakan
oleh informan bahwa ada seorang dalang dari Beber yang bernama Sabdani, yang
mendalang dengan lakon cerita Bagus Rangin. Informan itu mendengar pada saat
mereka menonton wayang ketika waktu kecil di klenteng-klenteng di daerah
Jatiwangi. Tokoh Bagus Rangin muncul dalam cerita wayang Babad Bantar Jati, yang
menceritakan Pangeran Kornel yang membantu ...Belanda dalam memberantas kaum
pemberontak yang dikepalai Bagus Rangin. Bagus Rangin adalah pemberontak yang
memihak kepada rakyat. Bagus Rangin memusatkan strateginya di Jati Tujuh di
Bantar Jati yang sekarang sudah menjadi kecamatan. Desa itu dinamakan Jati
Tujuh karena memang disana ada pohon jati berjumlah tujuh. Karena memihak
rakyat inilah Bagus Rangin dianggap sebagai pemberontak.
Pangeran Kornel memihak kepada Belanda berhadapan dengan Bagus Rangin. Karena terdesak, Bagus Rangin mundur dari Bantar Jati menuju Panongan, Wanasalam, Salawana, Cibogo dan sebagainya. Karena terdesak, ada salah satu pengikut Bagus Rangin yang tertangkap dan dipenggal kepalanya oleh pasukan Pangeran Kornel. Namun, yang terjadi adalah kepala pengikut Bagus Rangin berubah menjadi kepala ikan Odong (ikan gabus). Bagus Rangin terus mundur tetapi tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah. Bagus Rangin selalu mendapat dukungan dari masyarakat yang dilaluinya. Bahkan masyarakat dengan sukarela menyembunyikannya apabila terjadi bahaya. Perlindungan yang diberikan Bagus Rangin bahkan sampai ke Indramayu. Akan tetapi atas perintah dari Belanda, Sultan-Sultan Cirebon beserta Pangeran Kornel mencari dan melawan Bagus Rangin, bahkan sempat dikepung. Namun karena saktinya Bagus Rangin selalu bisa mengelak dan luput dari pengejarannya. Pertempuran besar pernah pula terjadi di daerah Kadongdong, di daerah Indramayu. Alasan Bagus Rangin memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda karena rakyat kelaparan dan pemerintah Hindia Belanda bertindak sewenang-wenang. Rakyat marah dan berontak. Bagus Rangin dianggap pemimpinnya. Jadi sebenarnya yang memberontak bukan Bagus Rangin, tetapi rakyat Cirebonlah yang memberontak. Pada saat timbul paceklik dan tidak ada yang membela rakyat inilah muncul seorang pemimpin yang mendapat dukungan dari rakyat. Dimana pun Bagus Rangin berada selalu mendapat dukungan dari rakyat. Bahkan rakyat pun melindunginya ketika dilakukan pengejaran untuk menangkapnya. Wajarlah bila Bagus Rangin ini tidak dapat ditangkap dan tidak mau menyerah. Menurut dongeng orang-orang Bantar Jati, Bagus Rangin wafat dan dimakamkan di makam di desa Depok di Jatiwangi. ( DAENDELS DALAM NASKAH DAN CERITA RAKYAT : Cerita yang berkaitan dengan Daendels di Pantai Utara Jawa ) Oleh : Djoko Marihandono
Pangeran Kornel memihak kepada Belanda berhadapan dengan Bagus Rangin. Karena terdesak, Bagus Rangin mundur dari Bantar Jati menuju Panongan, Wanasalam, Salawana, Cibogo dan sebagainya. Karena terdesak, ada salah satu pengikut Bagus Rangin yang tertangkap dan dipenggal kepalanya oleh pasukan Pangeran Kornel. Namun, yang terjadi adalah kepala pengikut Bagus Rangin berubah menjadi kepala ikan Odong (ikan gabus). Bagus Rangin terus mundur tetapi tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah. Bagus Rangin selalu mendapat dukungan dari masyarakat yang dilaluinya. Bahkan masyarakat dengan sukarela menyembunyikannya apabila terjadi bahaya. Perlindungan yang diberikan Bagus Rangin bahkan sampai ke Indramayu. Akan tetapi atas perintah dari Belanda, Sultan-Sultan Cirebon beserta Pangeran Kornel mencari dan melawan Bagus Rangin, bahkan sempat dikepung. Namun karena saktinya Bagus Rangin selalu bisa mengelak dan luput dari pengejarannya. Pertempuran besar pernah pula terjadi di daerah Kadongdong, di daerah Indramayu. Alasan Bagus Rangin memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda karena rakyat kelaparan dan pemerintah Hindia Belanda bertindak sewenang-wenang. Rakyat marah dan berontak. Bagus Rangin dianggap pemimpinnya. Jadi sebenarnya yang memberontak bukan Bagus Rangin, tetapi rakyat Cirebonlah yang memberontak. Pada saat timbul paceklik dan tidak ada yang membela rakyat inilah muncul seorang pemimpin yang mendapat dukungan dari rakyat. Dimana pun Bagus Rangin berada selalu mendapat dukungan dari rakyat. Bahkan rakyat pun melindunginya ketika dilakukan pengejaran untuk menangkapnya. Wajarlah bila Bagus Rangin ini tidak dapat ditangkap dan tidak mau menyerah. Menurut dongeng orang-orang Bantar Jati, Bagus Rangin wafat dan dimakamkan di makam di desa Depok di Jatiwangi. ( DAENDELS DALAM NASKAH DAN CERITA RAKYAT : Cerita yang berkaitan dengan Daendels di Pantai Utara Jawa ) Oleh : Djoko Marihandono
SELAMA ini, kebanyakan masyarakat Cirebon
hanya mengetahui adanya Perang Diponegoro (1925-1930), Perang Padri (1803-1838)
ataupun perang lainnya yang terjadi di daerah lain. Akan tetapi, jarang orang
tahu bahwa rakyat Cirebon pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Saya pun menelusuri peristiwa bersejarah yang puncaknya terjadi di tahun
1818 itu. Berbekal wawancara dengan beberapa narasumber dan data dari beberapa
buku, inilah sekelumit sejarah Perang Kedongdong.
Perlawanan
rakyat Cirebon terhadap penjajah terjadi karena Belanda menerapkan peraturan
yang sewenang-wenang. Beberapa catatan menyebutkan, pemicu meletusnya perang
tersebut adalah karena penangkapan Pangeran Raja Kanoman dan penerapan sistem landrente
(pajak tanah) yang menyengsarakan rakyat.
Seperti
diketahui, pada tahun 1798, Sultan Anom IV wafat. Terjadilah pergolakan tentang
penggantinya. Kompeni pun turut campur dalam menentukan penggantinya.
Kebanyakan rakyat menghendaki sang putra mahkota, Pangeran Suryanegara
(Pangeran Raja Kanoman) menjadi sultan. Tapi Kompeni lebih memilih adiknya,
Pangeran Surantaka. Peristiwa tersebut telah mengobarkan api dalam sekam. Di
saat VOC dilikuidasi oleh Belanda pada 31 Desember 1799, huru-hara sebagai
bentuk perlawanan rakyat pun terjadi di mana-mana, puncaknya terjadi pada tahun
1802.
Tahun
1805, Pangeran Raja Kanoman pun diundang untuk datang ke Batavia (pusat
kekuasaan Kompeni) untuk berunding. Tetapi, setibanya di Batavia, dia ditangkap
dan diasingkan ke benteng Viktoria, Ambon. Rakyat Cirebon tidak terima.
Sekitar 1.000-an orang melakukan aksi long march dari Cirebon ke Batavia
dengan beberapa tuntutan, salah satunya agar Pangeran Raja Kanoman dibebaskan.
Aksi yang diceritakan dikomandoi para kyai tersebut bisa diredam oleh Belanda
dengan beberapa kesepakatan. Diantaranya mengembalikan Pangeran Raja Kanoman
dan mengangkatnya menjadi sultan. Dengan catatan, dia harus membuat keraton
baru, tidak boleh menempati Keraton Kanoman.
Meskipun
demikian, api perlawanan rakyat Cirebon tidak sepenuhnya padam, bahkan semakin
membara. Setahun kemudian, 1806, menurut laporan Residen Cirebon, Servatius,
terjadi pemberontakan rakyat dengan membakar semua pabrik gula dan tanaman
tebu. Pergolakan dipicu oleh kebijakan persewaan desa yang menyebabkan
penderitaan dan beban berat rakyat. Dalam praktik persewaan desa, para tuan
tanah yang membebankan pajak. Tuan tanah itu adalah mereka para pengusaha
swasta kaya yang diberikan hak menyewa desa. Disebutkan kebanyakan mereka
adalah orang-orang Cina.
Perlu
diketahui bahwa di tahun-tahun itu, menurut Pramoedya Ananta Toer, di negaranya
sendiri, Belanda sedang menghadapi masalah pelik. Belanda berada di tengah
pusaran perang di tanah Eropa. Pun akhirnya, Belanda telah berada di bawah
kekuasaan Perancis sejak 1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang
semakin besar, maka Napoleon Bonaparte -Sang Penguasa Prancis- mengangkat
adiknya, Louis Bonaparte sebagai penguasa Belanda pada tahun 1806. Dan pada
tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk
menjadi gubernur jendral (1808-1811).
Sejarawan
Inggris, Ricklefs, mengatakan bahwa Daendels datang ke Jawa dengan membawa
semangat pembaharuan dan kediktatoran yang sebenarnya membawa pada sedikit
hasil dan banyak perlawanan. Dia memiliki perasaan tidak suka terhadap gaya
feodal para penguasa Jawa di daerah yang dikuasai Belanda. Baginya, mereka
bukan pemimpin melainkan pegawai administrasi Belanda.
Bulan
Februari 1809, pemberontakan memuncak karena Daendels mengeluarkan peraturan
tentang pengaturan tanah-tanah Cirebon. Dalam peraturan itu juga disebutkan
bahwa sultan ditempatkan sebagai pegawai Belanda. Pelawanan rakyat melawan
kolonial terjadi di Palimanan dan sekitarnya, Kandanghaur, Distrik Blandong,
Kedongdong dan Majalengka. Pemimpin perlawanan tersebut yang dikenal yakni
Bagus Rangin, Bagus Jabin, Nairem dan Bagus Serit.
Pemberontakan
yang dipimpin Bagus Rangin dan pemberontakan lainnya yang dilakukan di
daerah-daerah terhadap penjajah pun berlanjut hingga Daendels (Belanda-Prancis)
mengakhiri jabatannya sebagai gubernur jendral di tahun 1811 dan digantikan oleh
Gubernur Jendral Raffles (Inggris). Pergantian dilakukan beberapa saat setelah
di Eropa, Inggris berhasil mengalahkan Belanda-Prancis. Setahun kemudian, tahun
1812, Bagus Rangin dan pengikutnya diberitakan ditangkap. Tapi banyak juga yang
mengatakan bahwa kabar tersebut tidak benar, Bagus Rangin tidak pernah
tertangkap dan terus melancarkan gerilyanya.
Tahun
1813, sebagaimana disebutkan dalam buku Cirebon dalam Lima Zaman: Abad
ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, Raffles menghapus Kesultanan Cirebon. Dia
beranggapan, perlawanan rakyat Cirebon kepada kolonial karena merosotnya
kedudukan sultan-sultan Cirebon akibat tindakan kolonial. Kebijakan tersebut
malah menjadi faktor tambahan yang mendorong rakyat Cirebon terus melakukan
perlawanan. Tahun 1816, Bagus Jabin memimpin gerakan perlawanan di Indramayu
dengan pusat gerakan di Kandanghaur. Kemudian dia bergerak ke Launmalang Desa
Lagun. Kelompok ini disebut pemerintah kolonial sebagai kelompok Begal Jabin.
Bagus Jabin juga membuat kerusuhan di Distrik Blandong.
Gerakan
perlawanan yang dilakukan rakyat Cirebon tersebut dilakukan secara
terus-menerus dengan strategi gerilya. Strategi tersebut terbukti ampuh dan
memporak-porandakan pemerintahan kolonial di atas bumi Cirebon. Puncaknya, pada
tahun 1818, gerakan perlawanan rakyat Cirebon berada di pusat simpulnya yakni
di Kedongdong Kecamatan Susukan. Perlawanan terjadi di Januari-Februari dan
Juli-Agustus 1818. Dalam buku Bâban Kâna disebutkan bahwa banyak perwira
dari pihak kolonial yang tewas saat perang yang melibatkan para kyai dan santri
tersebut. Di antara mereka yang tewas adalah Letnan van Hooorn, Letnan Wessel
dan Kapten Kalberg. Assisten Residen Cirebon, Heydenreich pun turut menjadi
korban dalam peperangan tersebut.
Demikian
sekelumit sejarah perlawanan rakyat Cirebon melawan penjajah yang berhasil
berhasil dihimpun. Dengan segala keterbatasan, tentunya ini tidak sempurna.
Tapi di dalamnya mengandung harapan agar peristiwa heroik yang pernah terjadi
di Cirebon dan sekitarnya bisa diketahui khalayak. Sebagai bentuk penghargaan
kepada para pahlawan dan syuhada, sekaligus upaya menanamkan jiwa kepahlawanan
itu pada setiap manusia Indonesia yang merdeka. ***
Perang Kedongdong Bukti Heroisme Pa
Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah nasional. Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1753-1773), tujuh belas tahun sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan Perang Jawa. |
Kebijakan
pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada
rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat
berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan. Kebijakan ini mendapatkan
tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu
mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.
Pergolakan
melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota
Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda. Ia
memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk
melakukan perlawanan.
Di
bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara sehingga
pemberontakan sengit terjadi di mana-mana. Pasukan Belanda pun semakin
terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan
ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk
mendanai perang tersebut.
Dalam
keadaan putus asa Menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran
Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan, bahkan Belanda pun meminta
bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, untuk membantu mereka
meredam perlawanan rakyat Cirebon.
Kedatangan
enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda, yang di dukung
oleh kekuatan tentara portugis di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut
perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin
menjadi. Pertempuran besar-besaran terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan
Susukan. Dalam pertempuran tersebut ribuan nyawa melayang, baik di pihak rakyat
maupun Belanda.
Setelah
menjalani pertempuran selama dua puluh tahun (1753-1773), akhirnya Belanda
sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal.
Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat. Salah satu
caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang
pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.
Akhirnya
dengan segala tipu dayanya yang licik, Belanda dapat menangkap Pangeran Kanoman
tersebut. Belandapun menahannya di Batavia, kemudian mengasingkannya di Benteng
Victoria Ambon. Bukan itu saja, Belanda juga mencabut gelar dan hak
kebangsawanan Pangeran Kanoman. Setelah ditangkapnya sang pangeran, perlawanan
rakyat semakin melemah. Sedikit demi sedikit pasukan Belanda berhasil menguasai
pertempuran.
Walaupun
luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong ternyata memiliki arti
tersendiri bagi Belanda. Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda,
baik harta maupun nyawa itu, telah ditulis dalam sebuah kisah naratif oleh
seorang prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Tulisan asli Van Der Kamp saat
ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Belanda.
Perlawanan
yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang
Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan
oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien. Karena itu
sudah sepantasnya pertempuran tersebut di catat dalam sejarah sebagai
pertempuran yang bersifat nasional bukan hanya sekedar pertempuran masyarakat
lokal. (ysg)
Ribuan Suhada Gugur Dalam Perang Kedondong
Cirebon, press3g.com- Ketua Pengasuh Pondok Pesantren
Muallimin-Muallimat, Babakan Ciwaringin, Cirebon, KH. Zamzami Amin mengatakan,
Cirebon mempunyai sejarah panjang dalam melawan bangsa penjajah. Dibandingkan
dengan perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830, perang di daerah
Cirebon lebih dari seratus tahun dan dikenal dengan nama perang kedondong di
daerah Babakan Ciwaringin.
“Dalam perang kedongdong itu masyarakat, para santri dan pengurus
ponpes turut berjuang, berperang melawan penjajah. Ribuan para suhada gugur
dalam pertempuran membela sang saka merah putih” jelas Kyai Zamzami kepada
wartawan seusai mengikuti diskusi pelurusan, pengungkapan tentang sejarah
Cirebon yang peteng (gelap). di kantor redaksi media local Fajar Cirebon, belum
lama ini.
Menurutnya, sejarah ini perlu di angkat, peran pondok
pesantren sangat besar dalam turut membangun Cirebon, khususnya Kabupaten
Cirebon dan sekitarnya.
Peteng artinya, belum banyak yang tahu alias terputus dalam
sejarah, yaitu ketika zaman colonial penjajahan bangsa asing seperti, Belanda
dan Inggris ketika datang ke Cirebon.
Hadir dalam diskusi, sejarawan Cirebon, pemerhati, Dosen IAIN
Cirebon, tokoh PB NU, perwakilan Keraton Kacirebonan, perwakilan pondok
pesantren Jagasatru, pesantren Buntet, pesantren Kempek. (RICO DR)
0 Response to "SEJARAH PERANG KEDONGDONG (PERANG RAKYAT CIREBON )DALAM BERBAGAI SUMBER "
Post a Comment