Allah berfirman :
“Karena itu, berzikirlah kepada-Ku,
niscaya Aku berzikir kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu ingkar!”
QS Al-Baqarah [2] ayat:152)
“Karena itu, berzikirlah kepada-Ku,
niscaya Aku berzikir kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu ingkar!”
QS Al-Baqarah [2] ayat:152)
“Berzikirlah kepada-Ku niscaya Aku berzikir kepadamu”. Pernyataan ini bukan
pernyataan menurut waktu linear, bukan masalah jika-maka , ketika manusia mengingat Tuhan, sebenarnya ini
adalah tindakan Tuhan. Akhirnya seseorang dapat menyatu dalam Kehadiran Tuhan
seperti cahaya gemintang yang lenyap seolah tertelan cahaya mentari. 59].
Setelah
pejalan ruhani melalui berbagai tahapan dan pendakian ruhani sampailah ia pada
tahap peniadaan diri (fana’), terserap ke dalam Keindahan (Jamal) dan Kesempurnaan-Nya (Jalal). Sang hamba hampir tidak lagi
memperhatikan dirinya dan siapa pun. Di mana pun, kemana pun, ia senantiasa
memandang Allah, Sang Kekasih. Sang hamba tidak lagi melihat kecuali Dia. Ia
“hidup” di dalam Nafas-Nya dan menetap dalam Keabadian-Nya.
Seorang
arif terkemuka, Syaikh Abdul Karim
al-Jilli menulis di dalam Kitabnya yang masyhur, Insan al-Kamil bahwa dia pernah
dikuasai oleh kondisi seperti ini sehingga ia merasa seolah-olah telah bersatu
dengan segala sesuatu
yang ada dan bisa melihat segala
sesuatu. 60]
Seseorang
yang semakin bertambah kedekatannya (al-qurb)
kepada Allah maka ia pun semakin fana (meniadakan dirinya) di dalam Allah. 61]
Sang
hamba yang telah “menyatu” dengan-Nya adalah ia yang tiada lagi memiliki
keinginan-keinginan pribadi. Ia berjalan, berlari, tertawa dan menangis hanya
di dalam ruang Kehendak-Nya.
Orang
yang seperti inilah yang disebut telah mencapai Maqam Ikhlash, suatu maqam yang
mana Iblis dan syetan tidak lagi sanggup menggoda dan menyesatkannya. Iblis
berkata kepada Allah,”Demi Kekuasaan dan Keagungan-Mu, akan aku sesatkan mereka
semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash di antara mereka” (QS 38 :
82-83).
Semua
itu dapat kita peroleh dengan berzikir dan berzikir kepada-Nya sampai kita pun
seolah lenyap di dalam zikir kita sendiri dan zikir kita pun lenyap di dalam
Zikir-Nya. Kini yang tinggal hanya Dia Yang berzikir di dalam Keesaan-Nya.
Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi mengatakan, “Manusia tidak dapat mencapai sesuatupun
dalam hidupnya selain pengetahuan akan Tuhan, berakhlaq dengan nama-nama-Nya,
tetap berpegang kepada keberhambaan-Nya,
dan memenuhi ketaatan kepada perintah Sang Penguasa sesuai dengan kehendak-Nya”
62]
Imam
Khomeini mengatakan, “Saudaraku, apa pun penderitaan dan kesulitan yang kamu
alami di Jalan Zikir dan ingat akan Yang Tercinta, agar insya Allah hati itu
sendiri membentuk ZIKIR, sehingga kalimat Laa
ilaha illa Allah menjadi bentuk akhir dan kesempurnaan diri”, 63]
ZIKIRNYA MENDAHULUI ZIKIRKU
Bayazid Al-Busthami berkata : “Pada mulanya, aku salah kaprah dalam empat hal. Aku memohon untuk berzikir kepada Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan untuk mencari-Nya. Saat aku telah mendekati akhir, aku melihat bahwa Dia telah berzikir kepadaku sebelum aku berzikir kepada-Nya, dan pengenalan-Nya terhadapku mendahului pengenalanku tentang-Nya dan cinta-Nya kepadaku telah ada sebelum cintaku kepada-Nya, dan Dia telah mencariku sebelum aku mencari-Nya” 64]
Bayazid Al-Busthami berkata : “Pada mulanya, aku salah kaprah dalam empat hal. Aku memohon untuk berzikir kepada Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan untuk mencari-Nya. Saat aku telah mendekati akhir, aku melihat bahwa Dia telah berzikir kepadaku sebelum aku berzikir kepada-Nya, dan pengenalan-Nya terhadapku mendahului pengenalanku tentang-Nya dan cinta-Nya kepadaku telah ada sebelum cintaku kepada-Nya, dan Dia telah mencariku sebelum aku mencari-Nya” 64]
SYARI’AT, THARIQAT, HAQIQAT DAN MA’RIFAT
PADA hakikatnya, “Zikir Allah pada hamba-Nya” ini adalah sebuah maqam Dzikrullah tertinggi. Di sinilah kesadaran Ilahiyyah telah dicapai melalui berbagai disiplin dan rintangan yang tidak sedikit. Pada tataran ini seseorang telah mencapai apa yang disebut Ma’rifatullah.
PADA hakikatnya, “Zikir Allah pada hamba-Nya” ini adalah sebuah maqam Dzikrullah tertinggi. Di sinilah kesadaran Ilahiyyah telah dicapai melalui berbagai disiplin dan rintangan yang tidak sedikit. Pada tataran ini seseorang telah mencapai apa yang disebut Ma’rifatullah.
Di
dalam ajaran Islam, ada empat tahapan (maqam) untuk mencapai Kesadaran
Ilahiyyah, yaitu : Syari’ah, Thariqah,
Haqiqah dan Ma’rifat.
Tahapan
Pertama Syari’ah adalah
tahapan yang terdiri dari ajaran-ajaran fiqih,
moralitas dan etika. Syari’ah
memberikan bimbingan kepada kita untuk hidup sebagaimana mestinya di dunia ini.
Seseorang tidak dibenarkan meninggalkan syari’ah sampai akhir hayatnya.
Membangun kesadaran diri, kesadaran ‘ubudiyyah
dan kesadaran Ilahiyyah tanpa
syari’ah adalah seperti membangun rumah dengan fondasi pasir.
Tahapan
Kedua Thariqah adalah tahapan
disiplin Irfan. Thariqah
secara literal berarti jalan tanpa rambu di padang pasir, yang ditempuh kaum
Badui dari oasis ke oasis. Jalan ini tidak ditandai secara jelas sebagaimana
halnya jalan raya besar. Bahkan ia bukan suatu jalan yang terlihat.
Agar
dapat menemukan jalan Anda di padang pasir yang tidak dapat disusuri, Anda
mesti benar-benar mengetahui tujuan tersebut dan akrab dengan kawasan setempat.
Sebagaimana halnya syari’ah menrujuk kepada dimensi lahiriyah agama (fiqih),
sementara thariqah adalah praktek-praktek ruhani Sufisme. Pembimbing yang Anda
perlukan untuk menemukan jalan Anda adalah sang Guru Sufi.
Syari’ah membuat
kehidupan lahiriah keseharian bersih mempesona. Thariqah dirancang untuk membuat kehidupan batin bersih
dan suci. Masing-masing tahap ini medukung yang lain.
Tahapan
Ketiga adalah Haqiqah, adalah
tahapan seseorang pesuluk mengalami langsung suatu kondisi mistis Sufisme,
pengalaman langsung akan kehadiran Tuhan di dalam dirinya. Pencapaian Haqiqah memperkuat kedua tahap
sebelumnya. Tahapan ini adalah pemahaman batin yang mendalam yang diperoleh
dari pengalaman mistis.
Tahapan
Keempat adalah Ma’rifah,
adalah kebijaksanan unggul atau pengetahuan tentang kebenaran spiritual. Ini
merupakan pengetahuan yang sangat dalam, lebih dari sekedar pengalaman
spiritual sesaat. Ma’rifat merujuk kepada kondisi kedamaian bersama Tuhan dan
Kebenaran yang tengah berlangsung. Ini adalah pengetahuan tentang Realitas.
Inilah maqam para Rasul, para Imam Suci, dan para Wali Allah (Awliya’).
PENJELASAN DARI SYEKH AL AKBAR IBN ‘ARABI
Wali Sufi Agung, Ibn ‘Arabi memberikan penjelasan sebagai berikut tentang keempat tingkat (maqam) di atas ini sebagai berikut :
Wali Sufi Agung, Ibn ‘Arabi memberikan penjelasan sebagai berikut tentang keempat tingkat (maqam) di atas ini sebagai berikut :
Pada
tingkat hukum (syari’at) terdapat “Milik Anda dan Milik saya”. Artinya hukum
(syari’at) menjamin hak-hak individu dan hubungan-hubungan etis antara
anggota-anggota masyarakat.
Pada
tingkat Thariqah, jalan Sufi,
“Milik saya adalah milik Anda dan milik Anda adalah milik saya”. Kaum sufi
diharapkan memperlakukan satu dengan yang lain sebagai saudara-saudara
laki-laki dan perempuan – saling membuka pintu hati mereka, hati mereka dan
dompet mereka bagi satu sama lain.
Pada
tingkat Haqiqah, “Tidak ada
milik saya dan milik Anda”. Seorang Sufi yang sudah mencapai tingkat kesadaran
pada tahap ini sadar bahwa segala sesuatu dari Tuhan, mereka sebenarnya
hanyalah pengawal dan mereka tidak punya apa-apa. Orang-orang yang menyadari
Kebenaran telah terlampaui dari keterikatan kepada kepemilikan dan keterikatan
kepada segala yang lahiriyyah secara umum, termasuk popularitas dan status
sosial.
Pada
tingkat Ma’rifat, “Tidak ada
aku dan Anda”. Pada tingkat terakhir ini, seseorang akan memiliki kesadaran
bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, tak sesuatu pun dan tak seorang pun terpisah
dari Tuhan. 65]
ZIKIRNYA LEBIH MULIA DARI ZIKIRMU
Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata :
“Dia (Allah) berzikir kepadamu, tetapi Dia tidak membutuhkanmu.
Zikir-Nya kepadamu adalah lebih mulia, lebih patut didambakan,
lebih bernilai, lebih sempurna dan lebih dulu daripada zikirmu kepada-Nya.
Ilmu yang kamu peroleh melalui zikir-Nya kepadamu menanamkan
dalam dirimu kerendahan hati, kesederhanaan
dan kesedihan akibat rasa berdosa, yang pada gilirannya akan menjadi
sebab kesaksianmu akan kemuliaan Allah dan karunia-Nya yang berlimpah.
Yang terpenting daripada itu bahwa akhirnya akan mengecilkan arti ketaatanmu
di matamu sendiri, betapapun banyak ketaatanmu.
Itu semua karena perkenanan-Nya jua,
sehingga engkau akan berbakti kepada-Nya dengan tulus.
Tetapi kesadaran dan penilaian akan zikirmu sendiri kepada-Nya
akan menyeretmu kepada kesombongan, kecongkakan, kebodohan
dan kekasaran sifatmu. Sebab hal yang demikian itu memberikan
makna yang besar pada ketaatanmu, sementara engkau melupakan kasih sayang
dan kemurahan-Nya yang melimpah. Hal ini akan membuatmu
jadi semakin jauh daripada-Nya dan yang akan kau dapatkan sejalan
dengan berlalunya waktu hanyalah rasa terasing”
(Bihar al-Anwar 93 : 158, Mizan al-Hikmah 3 : 427, Lentera Ilahi, hal. 59)
“Dia (Allah) berzikir kepadamu, tetapi Dia tidak membutuhkanmu.
Zikir-Nya kepadamu adalah lebih mulia, lebih patut didambakan,
lebih bernilai, lebih sempurna dan lebih dulu daripada zikirmu kepada-Nya.
Ilmu yang kamu peroleh melalui zikir-Nya kepadamu menanamkan
dalam dirimu kerendahan hati, kesederhanaan
dan kesedihan akibat rasa berdosa, yang pada gilirannya akan menjadi
sebab kesaksianmu akan kemuliaan Allah dan karunia-Nya yang berlimpah.
Yang terpenting daripada itu bahwa akhirnya akan mengecilkan arti ketaatanmu
di matamu sendiri, betapapun banyak ketaatanmu.
Itu semua karena perkenanan-Nya jua,
sehingga engkau akan berbakti kepada-Nya dengan tulus.
Tetapi kesadaran dan penilaian akan zikirmu sendiri kepada-Nya
akan menyeretmu kepada kesombongan, kecongkakan, kebodohan
dan kekasaran sifatmu. Sebab hal yang demikian itu memberikan
makna yang besar pada ketaatanmu, sementara engkau melupakan kasih sayang
dan kemurahan-Nya yang melimpah. Hal ini akan membuatmu
jadi semakin jauh daripada-Nya dan yang akan kau dapatkan sejalan
dengan berlalunya waktu hanyalah rasa terasing”
(Bihar al-Anwar 93 : 158, Mizan al-Hikmah 3 : 427, Lentera Ilahi, hal. 59)
Ini
adalah sebuah penjelasan yang terindah tentang Hakikat Zikir. Imam al-Shadiq as
mengingatkan kepada kita bahwa pada hakikatnya zikir kita itu adalah berasal
dari Allah SWT atau dengan kata lain zikir kita itu merupakan karunia-Nya
kepada kita. Karena hal inilah kita tidak perlu merasa bangga atau pun sombong
atas amal-amal shalih yang kita lakukan termasuk zikir kita tersebut.
Karena
kesombongan adalah perasaan mandiri atau perasaan tidak terikat dan tidak
bergantung kepada-Nya. Padahal ketergantungan kita sangatlah nyata dan tidak
dapat dipungkiri.
DIRIKU UNTUK YANG MENCINTAIKU
Allah mewahyukan kepada Nabi Dawud as : “Wahai Dawud, ketahuilah bahwa zikir-Ku Kuperuntukkan para pezikir, Surga-Ku untuk orang-orang yang taat, Cinta-Ku untuk orang yang merindukan-Ku, Sedangkan diri-Ku sendiri Kuistimewakan untuk mereka yang mencintai-Ku” 66]
Allah mewahyukan kepada Nabi Dawud as : “Wahai Dawud, ketahuilah bahwa zikir-Ku Kuperuntukkan para pezikir, Surga-Ku untuk orang-orang yang taat, Cinta-Ku untuk orang yang merindukan-Ku, Sedangkan diri-Ku sendiri Kuistimewakan untuk mereka yang mencintai-Ku” 66]
ANUGERAH ALLAH YANG DIKHUSUSKAN
KEPADA UMAT MUHAMMAD SAWW
Di dalam kitab Risalah al-Qusyairi, disebutkan sebuah hadits yang mengatakan bahwa Jibrail as mengatakan kepada Rasulullah saww bahwa Allah SWT telah berfirman: “Aku telah memberikan umatmu sesuatu yang belum pernah kuberikan kepada umat yang lain” Nabi bertanya kepada Jibrail: “Apakah pemberian itu?” Jibrail menjawab: “Pemberian itu adalah firman-Nya (di dalam al-Qur’an): “Berzikirlah kepada-Ku niscaya Aku berzikir kepadamu”, Dia belum pernah memfirmankan itu kepada umat lain yang manapun juga”.67]
KEPADA UMAT MUHAMMAD SAWW
Di dalam kitab Risalah al-Qusyairi, disebutkan sebuah hadits yang mengatakan bahwa Jibrail as mengatakan kepada Rasulullah saww bahwa Allah SWT telah berfirman: “Aku telah memberikan umatmu sesuatu yang belum pernah kuberikan kepada umat yang lain” Nabi bertanya kepada Jibrail: “Apakah pemberian itu?” Jibrail menjawab: “Pemberian itu adalah firman-Nya (di dalam al-Qur’an): “Berzikirlah kepada-Ku niscaya Aku berzikir kepadamu”, Dia belum pernah memfirmankan itu kepada umat lain yang manapun juga”.67]
AKU MENJAWAB SERATUS KALI
Seorang lelaki suatu malam berseru, “Ya Tuhan” sampai bibirnya manis dengan menyebut nama-Nya.
Seorang lelaki suatu malam berseru, “Ya Tuhan” sampai bibirnya manis dengan menyebut nama-Nya.
“Mengapa
sekarang, pembual!” goda Setan, “mana jawabannya?”
“Sedang
aku di sini untuk semua seruan “Ya Tuhan”mu itu.
Tak
satu jawaban pun datang dari singgasana. Berapa lama lagi engkau terus berseru
dan memohon kepada-Nya sia-sia?”,kata Setan.
Lelaki
itu patah hati, tersungkur tidur…
Dalam
mimpinya dia mendengar suara ILAHI :
“Seruan
“Ya Tuhan”mu adalah (sesungguhnya) seruan-Ku, maka Aku di sini. Permohonan-mu
yang sungguh-sungguh adalah pesan-Ku, dan semua usahamu untuk mencapai-Ku tiada
lain adalah tangan-ku di kakimu, yang membebaskan ikatan dan menyeretmu ke
arahku. Cinta dan ketakutanmu adalah jerat untuk menangkap keagungan-Ku. Dan
setiap seruan “Ya Tuhan”mu itu ku menjawab seratus kali “Inilah Aku!” 68]
ALLAH BERZIKIR DI DALAM DIRINYA
Imam ash-Shadiq as berkata : “Allah berfirman di dalam (hadits Qudsi),”Wahai keturunan Adam! Berzikirlah kepada-Ku di dalam diri (nafs)-mu, niscaya Aku akan berzikir kepadamu di dalam diri-Ku, dan berzikirlah kepada-Ku di dalam kesendirian (khalwat), niscaya Aku akan berzikir kepadamu di dalam kesendirian dan berzikirlah kepada-Ku di dalam keramaian, niscaya Aku akan berzikir kepadamu bersama para malaikat-Ku yang terbaik” 69]
Imam ash-Shadiq as berkata : “Allah berfirman di dalam (hadits Qudsi),”Wahai keturunan Adam! Berzikirlah kepada-Ku di dalam diri (nafs)-mu, niscaya Aku akan berzikir kepadamu di dalam diri-Ku, dan berzikirlah kepada-Ku di dalam kesendirian (khalwat), niscaya Aku akan berzikir kepadamu di dalam kesendirian dan berzikirlah kepada-Ku di dalam keramaian, niscaya Aku akan berzikir kepadamu bersama para malaikat-Ku yang terbaik” 69]
DITAKLUKKAN OLEH DZIKRULLAH
Jika zikir telah meliputi wujud lahiriyah maupun batiniyah sang hamba maka Allah SwT ber-tajalli pada diri sang hamba. Hati dan Jiwanya membentuk Zikir kepada Yang Tercinta dan gerak-gerik hati maupun tubuh membentuk Zikir. Tujuh anggota wujud jasadi maupun batini ditaklukkan oleh Dzikrullah dan ditundukkan oleh Zikir kepada Yang Maha Indah. Jika bentuk hati berupa realitas zikir dan alam hati telah ditaklukkan oleh Zikir maka kedaulatannya telah meliputi semua wilayah lainnya.
Jika zikir telah meliputi wujud lahiriyah maupun batiniyah sang hamba maka Allah SwT ber-tajalli pada diri sang hamba. Hati dan Jiwanya membentuk Zikir kepada Yang Tercinta dan gerak-gerik hati maupun tubuh membentuk Zikir. Tujuh anggota wujud jasadi maupun batini ditaklukkan oleh Dzikrullah dan ditundukkan oleh Zikir kepada Yang Maha Indah. Jika bentuk hati berupa realitas zikir dan alam hati telah ditaklukkan oleh Zikir maka kedaulatannya telah meliputi semua wilayah lainnya.
Gerak
dan diamnya mata, lidah, tangan dan kaki serta gerak-gerik anggota-anggota dan
fakultas-fakultas lainnya disertai Zikir kepada Allah sehingga tidak ada
gerakkan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban mereka. Gerak dan diamnya
dimulai dan diakhiri dengan berzikir kepada Allah.
“Bismillah
(dengan menyebut nama Allah)
di saat berlayar dan berlabuhnya”
(QS 11 : 41)
di saat berlayar dan berlabuhnya”
(QS 11 : 41)
Pengaruh
zikir yang telah menyatu dengan seluruh gerak dan diam seseorang terjadi
sebagai hasil dari keselarasan sang hamba dengan realitas Nama-nama dan
Sifat-sifat-Nya. Seluruh dzat di luar maupun di dalamnya telah mampu menyerap
Nama Allah Yang Agung (Ismullah al-A’zham)
dan memanifestasikannya keseluruh maujud di Alam Lahir maupun Batin. Pada
tataran inilah al-Qur’an mengatakan :
“Engkau tidak melempar ketika engkau melempar,
tetapi Allah-lah yang melempar”
(QS 8 : 17)
tetapi Allah-lah yang melempar”
(QS 8 : 17)
Dan seperti firman-Nya di dalam Hadits al-Qudsi :
“Tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh salah seorang di antara hamba-hamba-Ku
yang mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku sukai ketimbang
(melaksanakan) kewajiban-kewajiban yang telah Kutetapkan kepadanya.
Dia (sang hamba) mendekatkan dirikepada-Ku dengan ibadah-ibadah nafilah (sunnah) sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintai-Nya,
maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar,
menjadi matanya yang dengannya ia melihat
dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang.
Jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku kabulkan
dan seandainya ia meminta kepada-Ku, pasti Aku beri”
(Imam Khomeini, Empat Puluh Hadits Jil 4, hal. 56)
(Ushul Al-Kafi, Jil. 2, Kitab Iman & al Kufr, Bab Man Adza al Muslimun,hadits no. 8)
“Tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh salah seorang di antara hamba-hamba-Ku
yang mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku sukai ketimbang
(melaksanakan) kewajiban-kewajiban yang telah Kutetapkan kepadanya.
Dia (sang hamba) mendekatkan dirikepada-Ku dengan ibadah-ibadah nafilah (sunnah) sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintai-Nya,
maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar,
menjadi matanya yang dengannya ia melihat
dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang.
Jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku kabulkan
dan seandainya ia meminta kepada-Ku, pasti Aku beri”
(Imam Khomeini, Empat Puluh Hadits Jil 4, hal. 56)
(Ushul Al-Kafi, Jil. 2, Kitab Iman & al Kufr, Bab Man Adza al Muslimun,hadits no. 8)
Taqarub
(mendekatkan diri) kepada Allah dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah akan
menghasilkan peleburan total (fana’)
dan penyatuan yang sempurna dengan Dzat Yang Mutlak.
Inilah
yang merupakan puncak kesempurnaan manusia dan tujuan akhir dari harapan-harapan
orang-orang pilihan Allah (Ahl Allah),
yaitu Fana fi Allah, lenyap
di dalam Allah. Ketika seseorang mencapai tingkatan ini, maka pikiran, ucapan,
tindakan, atmosfernya, semua menjadi tindakan sang Ilahi. Ia telah menjadi
pencerminan Tuhan dalam setiap aspek.
Bahkan
di dalam diam-pun ia mencerminkan-Nya. Ia memanifestasikan seluruh nama dan
sifat-sifat-Nya ke atas permukaan bumi dan ke seluruh lapisan langit. Ia
menjadi inspirasi kehadiran-Nya di setiap penjuru alam.
Pengembaraan
ruhani menuju Allah dimulai dari meninggalkan “rumah jiwa yang gelap” dengan
tingkatan-tingkatan yang beragam disertai ujian-ujiannya. Begitu sang hamba
mengangkatkan kakinya dari ego dan egoismenya dan mulai menyibakkan berbagai
hijab kegelapan dan hijab cahaya, sampai lenyaplah pendengaran, penglihatan,
dan seluruh eksistensinya terserap ke dalam al-Haq, Sang Wujud Hakiki.
Maqam
ini tidak mungkin dicapai kecuali dengan tarikan Rububiyyah dan kobaran rindu yang dengan itu seseorang taqarrub secara terus menerus dan melalui
tarikan Rububiyyah tersebut
muncullah cinta yang suci kepada-Nya sehingga takkan lagi ia tergelincir di
“lembah kebingungan” dan tidak lagi peduli dengan “petualangan” dan segala hal
yang merupakan “daki egoisme”. Allah menariknya ke tempat yang amat dekat dan
menempatkannya di Alam Qudus. Allah menjadikan pikirannya tenggelam dalam
rahasia-rahasia malakut dan mata batinnya mampu menangkap penampakkan
cahaya-cahaya jabarut.
Sang
hamba istiqamah (tetap)
berada di maqam yang sangat
dekat dan cinta sang hamba kepada Allah telah merasuki darah dan dagingnya
hingga ia pun lenyap dari dirinya sendiri dan terakhir, Yang Wujud hanyalah
Dia, Al-Haq.
Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar,
menjadi matanya yang dengannya ia melihat
dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang.
menjadi matanya yang dengannya ia melihat
dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang.
Tidak
ada seorang manusia mana pun yang mampu menjebol pintu Khaibar, yang konon
empat puluh orang pun tak sanggup menggerakkannya. Namun Ali, Sang Pecinta
Tuhan, sanggup menjebolnya. Imam Ali as mengatakan,”Aku tidak menjebol pintu Khaibar dengan kekuatan jasmani, tetapi
dengan kekuatan Rabbani!” 70]
Abu Nasr Tahir Khanaqahi,
seorang Sufi Persia mengatakan : “Bahwa Allah Yang Maha Suci dan Maha Kuasa
telah mengutamakan Zikir kepada-Nya dibandingkan amal ketaatan lainnya dalam
empat ayat Qur’an. Allah mengutamakan Zikrullah dengan memerintahkan agar
memperbanyak berzikir kepada-Nya. “Wahai
orang-orang beriman! Berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya”
(QS 33 : 41).
Di
lain tempat disebutkan sebagai sesuatu yang “lebih besar” : “Dan sesungguhnya
berzikir kepada Allah itu adalah hal yang lebih besar” (QS 29 : 45) . Sekali
lagi, Dia memerintahkan agar berzikir kepada Allah dilakukan secara terus
menerus (dalam keadaan apa pun), dengan berfirman, “Maka berzikirlah kepada Allah
ketika berdiri dan duduk” (QS 4 : 103)
Selanjutnya
Dia menjanjikan bahwa Dia juga akan berzikir kepada orang yang berzikir
kepada-Nya, Dia telah berfirman : “Berzikirlah kepada-Ku maka Aku pun akan
berzikir kepadamu” (QS 2 : 152) 71]
Sesungguhnya kedekatan
seorang hamba kepada Allah, merupakan tarikan kerinduan ilahiyyah dan cintanya kepada Allah
Yang Terkasih. Sebuah syair mengatakan :
Jika bukan karena tarikan dari arah Yang
Dirindukan,
niscaya penempuh yang malang dan penuh rindu
tidak akan memperoleh keberuntungan
niscaya penempuh yang malang dan penuh rindu
tidak akan memperoleh keberuntungan
ZIKIR ALLAH DI DALAM HIMPUNAN PARA MALAIKATNYA
Di dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman : “Tidaklah seorang hamba yang berzikir kepada-Ku seorang diri melainkan Aku berzikir kepadanya di dalam himpunan para malaikat-Ku, dan tidaklah ia berzikir kepada-Ku di dalam himpunan melainkan Aku berzikir kepadanya di dalam al-Rafiq al-A’la” 72]
Di dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman : “Tidaklah seorang hamba yang berzikir kepada-Ku seorang diri melainkan Aku berzikir kepadanya di dalam himpunan para malaikat-Ku, dan tidaklah ia berzikir kepada-Ku di dalam himpunan melainkan Aku berzikir kepadanya di dalam al-Rafiq al-A’la” 72]
Ada
yang berpendapat bahwa barangsiapa yang hidup untuk Allah dengan melaksanakan hakikat zikir, pujian, dan syukur
kepada-Nya, pasti Allah akan menundukkan seluruh alam semesta ini untuknya. 73]
Al Qur’an Mulia mengatakan :
“Sungguh! Zikir Allah itulah yang paling besar!”
(QS 29 : 45)
“Sungguh! Zikir Allah itulah yang paling besar!”
(QS 29 : 45)
Ketika aku menyebut nama-Nya,
kebajikan menjelma.
Sebutan-Nya adalah Yang Disebut, tanpa dualitas
dan tanpa kesangsian!
(Rumi, Diwan-I Syams : 30700-30701)
kebajikan menjelma.
Sebutan-Nya adalah Yang Disebut, tanpa dualitas
dan tanpa kesangsian!
(Rumi, Diwan-I Syams : 30700-30701)
0 Response to "APAKAH BERDZIKIR ITU PERLU KITA LAKUAN? "
Post a Comment