APAKAH BERDZIKIR ITU PERLU KITA LAKUAN?



Allah berfirman :
“Karena itu, berzikirlah kepada-Ku,
niscaya Aku berzikir kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku dan jangan kamu ingkar!”

QS Al-Baqarah [2] ayat:152)
“Berzikirlah kepada-Ku niscaya Aku berzikir kepadamu”. Pernyataan ini bukan pernyataan menurut waktu linear, bukan masalah jika-maka , ketika manusia mengingat Tuhan, sebenarnya ini adalah tindakan Tuhan. Akhirnya seseorang dapat menyatu dalam Kehadiran Tuhan seperti cahaya gemintang yang lenyap seolah tertelan cahaya mentari. 59].
Setelah pejalan ruhani melalui berbagai tahapan dan pendakian ruhani sampailah ia pada tahap peniadaan diri (fana’), terserap ke dalam Keindahan (Jamal) dan Kesempurnaan-Nya (Jalal). Sang hamba hampir tidak lagi memperhatikan dirinya dan siapa pun. Di mana pun, kemana pun, ia senantiasa memandang Allah, Sang Kekasih. Sang hamba tidak lagi melihat kecuali Dia. Ia “hidup” di dalam Nafas-Nya dan menetap dalam Keabadian-Nya.
Seorang arif terkemuka, Syaikh Abdul Karim al-Jilli menulis di dalam Kitabnya yang masyhur, Insan al-Kamil bahwa dia pernah dikuasai oleh kondisi seperti ini sehingga ia merasa seolah-olah telah bersatu dengan segala sesuatu yang ada dan bisa melihat segala sesuatu. 60]
Seseorang yang semakin bertambah kedekatannya (al-qurb) kepada Allah maka ia pun semakin fana (meniadakan dirinya) di dalam Allah. 61]
Sang hamba yang telah “menyatu” dengan-Nya adalah ia yang tiada lagi memiliki keinginan-keinginan pribadi. Ia berjalan, berlari, tertawa dan menangis hanya di dalam ruang Kehendak-Nya.
Orang yang seperti inilah yang disebut telah mencapai Maqam Ikhlash, suatu maqam yang mana Iblis dan syetan tidak lagi sanggup menggoda dan menyesatkannya. Iblis berkata kepada Allah,”Demi Kekuasaan dan Keagungan-Mu, akan aku sesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash di antara mereka” (QS 38 : 82-83).
Semua itu dapat kita peroleh dengan berzikir dan berzikir kepada-Nya sampai kita pun seolah lenyap di dalam zikir kita sendiri dan zikir kita pun lenyap di dalam Zikir-Nya. Kini yang tinggal hanya Dia Yang berzikir di dalam Keesaan-Nya. Syekh al-Akbar Ibn ‘Arabi mengatakan, “Manusia tidak dapat mencapai sesuatupun dalam hidupnya selain pengetahuan akan Tuhan, berakhlaq dengan nama-nama-Nya, tetap berpegang kepada keberhambaan-Nya, dan memenuhi ketaatan kepada perintah Sang Penguasa sesuai dengan kehendak-Nya” 62]
Imam Khomeini mengatakan, “Saudaraku, apa pun penderitaan dan kesulitan yang kamu alami di Jalan Zikir dan ingat akan Yang Tercinta, agar insya Allah hati itu sendiri membentuk ZIKIR, sehingga kalimat Laa ilaha illa Allah menjadi bentuk akhir dan kesempurnaan diri”, 63]
ZIKIRNYA MENDAHULUI ZIKIRKU
Bayazid Al-Busthami berkata : “Pada mulanya, aku salah kaprah dalam empat hal. Aku memohon untuk berzikir kepada Tuhan, untuk mengenal-Nya, untuk mencintai-Nya dan untuk mencari-Nya. Saat aku telah mendekati akhir, aku melihat bahwa Dia telah berzikir kepadaku sebelum aku berzikir kepada-Nya, dan pengenalan-Nya terhadapku mendahului pengenalanku tentang-Nya dan cinta-Nya kepadaku telah ada sebelum cintaku kepada-Nya, dan Dia telah mencariku sebelum aku mencari-Nya” 64]
SYARI’AT, THARIQAT, HAQIQAT DAN MA’RIFAT
PADA hakikatnya, “Zikir Allah pada hamba-Nya” ini adalah sebuah maqam Dzikrullah tertinggi. Di sinilah kesadaran Ilahiyyah telah dicapai melalui berbagai disiplin dan rintangan yang tidak sedikit. Pada tataran ini seseorang telah mencapai apa yang disebut Ma’rifatullah.
Di dalam ajaran Islam, ada empat tahapan (maqam) untuk mencapai Kesadaran Ilahiyyah, yaitu : Syari’ah, Thariqah, Haqiqah dan Ma’rifat.
Tahapan Pertama Syari’ah adalah tahapan yang terdiri dari ajaran-ajaran fiqih, moralitas dan etika. Syari’ah memberikan bimbingan kepada kita untuk hidup sebagaimana mestinya di dunia ini. Seseorang tidak dibenarkan meninggalkan syari’ah sampai akhir hayatnya. Membangun kesadaran diri, kesadaran ‘ubudiyyah dan kesadaran Ilahiyyah tanpa syari’ah adalah seperti membangun rumah dengan fondasi pasir.
Tahapan Kedua Thariqah adalah tahapan disiplin Irfan. Thariqah secara literal berarti jalan tanpa rambu di padang pasir, yang ditempuh kaum Badui dari oasis ke oasis. Jalan ini tidak ditandai secara jelas sebagaimana halnya jalan raya besar. Bahkan ia bukan suatu jalan yang terlihat.
Agar dapat menemukan jalan Anda di padang pasir yang tidak dapat disusuri, Anda mesti benar-benar mengetahui tujuan tersebut dan akrab dengan kawasan setempat. Sebagaimana halnya syari’ah menrujuk kepada dimensi lahiriyah agama (fiqih), sementara thariqah adalah praktek-praktek ruhani Sufisme. Pembimbing yang Anda perlukan untuk menemukan jalan Anda adalah sang Guru Sufi.
Syari’ah membuat kehidupan lahiriah keseharian bersih mempesona. Thariqah dirancang untuk membuat kehidupan batin bersih dan suci. Masing-masing tahap ini medukung yang lain.
Tahapan Ketiga adalah Haqiqah, adalah tahapan seseorang pesuluk mengalami langsung suatu kondisi mistis Sufisme, pengalaman langsung akan kehadiran Tuhan di dalam dirinya. Pencapaian Haqiqah memperkuat kedua tahap sebelumnya. Tahapan ini adalah pemahaman batin yang mendalam yang diperoleh dari pengalaman mistis.
Tahapan Keempat adalah Ma’rifah, adalah kebijaksanan unggul atau pengetahuan tentang kebenaran spiritual. Ini merupakan pengetahuan yang sangat dalam, lebih dari sekedar pengalaman spiritual sesaat. Ma’rifat merujuk kepada kondisi kedamaian bersama Tuhan dan Kebenaran yang tengah berlangsung. Ini adalah pengetahuan tentang Realitas. Inilah maqam para Rasul, para Imam Suci, dan para Wali Allah (Awliya’).
PENJELASAN DARI SYEKH AL AKBAR IBN ‘ARABI
Wali Sufi Agung, Ibn ‘Arabi memberikan penjelasan sebagai berikut tentang keempat tingkat (maqam) di atas ini sebagai berikut :
Pada tingkat hukum (syari’at) terdapat “Milik Anda dan Milik saya”. Artinya hukum (syari’at) menjamin hak-hak individu dan hubungan-hubungan etis antara anggota-anggota masyarakat.
Pada tingkat Thariqah, jalan Sufi, “Milik saya adalah milik Anda dan milik Anda adalah milik saya”. Kaum sufi diharapkan memperlakukan satu dengan yang lain sebagai saudara-saudara laki-laki dan perempuan – saling membuka pintu hati mereka, hati mereka dan dompet mereka bagi satu sama lain.
Pada tingkat Haqiqah, “Tidak ada milik saya dan milik Anda”. Seorang Sufi yang sudah mencapai tingkat kesadaran pada tahap ini sadar bahwa segala sesuatu dari Tuhan, mereka sebenarnya hanyalah pengawal dan mereka tidak punya apa-apa. Orang-orang yang menyadari Kebenaran telah terlampaui dari keterikatan kepada kepemilikan dan keterikatan kepada segala yang lahiriyyah secara umum, termasuk popularitas dan status sosial.
Pada tingkat Ma’rifat, “Tidak ada aku dan Anda”. Pada tingkat terakhir ini, seseorang akan memiliki kesadaran bahwa segala sesuatu adalah Tuhan, tak sesuatu pun dan tak seorang pun terpisah dari Tuhan. 65]
ZIKIRNYA LEBIH MULIA DARI ZIKIRMU
Imam Ja’far ash-Shadiq as berkata :
“Dia (Allah) berzikir kepadamu, tetapi Dia tidak membutuh­kanmu.
Zikir-Nya kepadamu adalah lebih mulia, lebih patut didambakan,
lebih bernilai, lebih sempurna dan lebih dulu daripada zikirmu kepada-Nya.
Ilmu yang kamu peroleh melalui zikir-Nya kepadamu menanamkan
dalam dirimu kerenda­han hati, kesederhanaan
dan kesedihan akibat rasa berdosa, yang pada gilirannya akan menjadi
sebab kesaksianmu akan kemuliaan Allah dan karunia-Nya yang berlimpah.
Yang terpenting daripada itu bahwa akhirnya akan mengecilkan arti ketaa­tanmu
di matamu sendiri, betapapun banyak ketaatanmu.
Itu semua karena perkenanan-Nya jua,
sehingga engkau akan berbak­ti kepada-Nya dengan tulus.
Tetapi kesadaran dan penilaian akan zikirmu sendiri kepada-Nya
akan menyeretmu kepada kesombongan, kecongkakan, kebodohan
dan kekasaran sifatmu. Sebab hal yang demikian itu memberikan
makna yang besar pada ketaatanmu, sementara engkau melupakan kasih sayang
dan kemurahan-Nya yang melimpah. Hal ini akan membuatmu
jadi semakin jauh daripada-Nya dan yang akan kau dapatkan sejalan
dengan berlalunya waktu hanyalah rasa terasing”
(Bihar al-Anwar 93 : 158, Mizan al-Hikmah 3 : 427, Lentera Ilahi, hal. 59)
Ini adalah sebuah penjelasan yang terindah tentang Hakikat Zikir. Imam al-Shadiq as mengingatkan kepada kita bahwa pada hakikatnya zikir kita itu adalah berasal dari Allah SWT atau dengan kata lain zikir kita itu merupakan karunia-Nya kepada kita. Karena hal inilah kita tidak perlu merasa bangga atau pun sombong atas amal-amal shalih yang kita lakukan termasuk zikir kita tersebut.
Karena kesombongan adalah perasaan mandiri atau perasaan tidak terikat dan tidak bergantung kepada-Nya. Padahal ketergantungan kita sangatlah nyata dan tidak dapat dipungkiri.
DIRIKU UNTUK YANG MENCINTAIKU
Allah mewahyukan kepada Nabi Dawud as : “Wahai Dawud, ketahuilah bahwa zikir-Ku Kuperuntukkan para pezikir, Surga-Ku untuk orang-orang yang taat, Cinta-Ku untuk orang yang merindukan-Ku, Sedangkan diri-Ku sendiri Kuistimewakan untuk mereka yang mencintai-Ku” 66]
ANUGERAH ALLAH YANG DIKHUSUSKAN
KEPADA UMAT MUHAMMAD SAWW

Di dalam kitab Risalah al-Qusyairi, disebutkan sebuah hadits yang mengatakan bahwa Jibrail as mengatakan kepada Rasulullah saww bahwa Allah SWT telah berfirman: “Aku telah memberikan umatmu sesuatu yang belum pernah kuber­ikan kepada umat yang lain” Nabi bertanya kepada Jibrail: “Apakah pemberian itu?” Jibrail menjawab: “Pemberian itu adalah firman-Nya (di dalam al-Qur’an): “Berzikirlah kepada-Ku niscaya Aku berzikir kepadamu”, Dia belum pernah memfir­mankan itu kepada umat lain yang manapun juga”.67]
AKU MENJAWAB SERATUS KALI
Seorang lelaki suatu malam berseru, “Ya Tuhan” sampai bibirnya manis dengan menyebut nama-Nya.
“Mengapa sekarang, pembual!” goda Setan, “mana jawabannya?”
“Sedang aku di sini untuk semua seruan “Ya Tuhan”mu itu.
Tak satu jawaban pun datang dari singgasana. Berapa lama lagi engkau terus berseru dan memohon kepada-Nya sia-sia?”,kata Setan.
Lelaki itu patah hati, tersungkur tidur…
Dalam mimpinya dia mendengar suara ILAHI :
“Seruan “Ya Tuhan”mu adalah (sesungguhnya) seruan-Ku, maka Aku di sini. Permohonan-mu yang sungguh-sungguh adalah pesan-Ku, dan semua usahamu untuk mencapai-Ku tiada lain adalah tangan-ku di kakimu, yang membebaskan ikatan dan menyeretmu ke arahku. Cinta dan ketakutanmu adalah jerat untuk menangkap keagungan-Ku. Dan setiap seruan “Ya Tuhan”mu itu ku menjawab seratus kali “Inilah Aku!” 68]
ALLAH BERZIKIR DI DALAM DIRINYA
Imam ash-Shadiq as berkata : “Allah berfirman di dalam (hadits Qudsi),”Wahai keturunan Adam! Berzikirlah kepada-Ku di dalam diri (nafs)-mu, niscaya Aku akan berzikir kepadamu di dalam diri-Ku, dan berzikirlah kepada-Ku di dalam kesendirian (khalwat), niscaya Aku akan berzikir kepadamu di dalam kesendirian dan berzikirlah kepada-Ku di dalam keramaian, niscaya Aku akan berzikir kepadamu bersama para malaikat-Ku yang terbaik” 69]
DITAKLUKKAN OLEH DZIKRULLAH
Jika
zikir telah meliputi wujud lahiriyah maupun batiniyah sang hamba maka Allah SwT ber-tajalli pada diri sang hamba. Hati dan Jiwanya membentuk Zikir kepada Yang Tercinta dan gerak-gerik hati maupun tubuh membentuk Zikir. Tujuh anggota wujud jasadi maupun batini ditaklukkan oleh Dzikrullah dan ditundukkan oleh Zikir kepada Yang Maha Indah. Jika bentuk hati berupa realitas zikir dan alam hati telah ditaklukkan oleh Zikir maka kedaulatannya telah meliputi semua wilayah lainnya.
Gerak dan diamnya mata, lidah, tangan dan kaki serta gerak-gerik anggota-anggota dan fakultas-fakultas lainnya disertai Zikir kepada Allah sehingga tidak ada gerakkan yang bertentangan dengan kewajiban-kewajiban mereka. Gerak dan diamnya dimulai dan diakhiri dengan berzikir kepada Allah.
Bismillah (dengan menyebut nama Allah)
di saat berlayar dan berlabuhnya”
(QS 11 : 41)
Pengaruh zikir yang telah menyatu dengan seluruh gerak dan diam seseorang terjadi sebagai hasil dari keselarasan sang hamba dengan realitas Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya. Seluruh dzat di luar maupun di dalamnya telah mampu menyerap Nama Allah Yang Agung (Ismullah al-A’zham) dan memanifestasikannya keseluruh maujud di Alam Lahir maupun Batin. Pada tataran inilah al-Qur’an mengatakan :
“Engkau tidak melempar ketika engkau melempar,
tetapi Allah-lah yang melempar”
(QS 8 : 17)
Dan seperti firman-Nya di dalam Hadits al-Qudsi :
“Tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh salah seorang di antara hamba-hamba-Ku
yang mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku sukai ketimbang
(melaksanakan) kewajiban-kewajiban yang telah Kutetapkan kepadanya.
Dia (sang hamba) mendekatkan dirikepada-Ku dengan ibadah-ibadah nafilah (sunnah) sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintai-Nya,
maka Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar,
menjadi matanya yang dengannya ia melihat
dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang.
Jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku kabulkan
dan seandainya ia meminta kepada-Ku, pasti Aku beri”
(Imam Khomeini, Empat Puluh Hadits Jil 4, hal. 56)
(Ushul Al-Kafi, Jil. 2, Kitab Iman & al Kufr, Bab Man Adza al Muslimun,hadits no. 8)
Taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah akan menghasilkan peleburan total (fana’) dan penyatuan yang sempurna dengan Dzat Yang Mutlak.
Inilah yang merupakan puncak kesempurnaan manusia dan tujuan akhir dari harapan-harapan orang-orang pilihan Allah (Ahl Allah), yaitu Fana fi Allah, lenyap di dalam Allah. Ketika seseorang mencapai tingkatan ini, maka pikiran, ucapan, tindakan, atmosfernya, semua menjadi tindakan sang Ilahi. Ia telah menjadi pencerminan Tuhan dalam setiap aspek.
Bahkan di dalam diam-pun ia mencerminkan-Nya. Ia memanifestasikan seluruh nama dan sifat-sifat-Nya ke atas permukaan bumi dan ke seluruh lapisan langit. Ia menjadi inspirasi kehadiran-Nya di setiap penjuru alam.
Pengembaraan ruhani menuju Allah dimulai dari meninggalkan “rumah jiwa yang gelap” dengan tingkatan-tingkatan yang beragam disertai ujian-ujiannya. Begitu sang hamba mengangkatkan kakinya dari ego dan egoismenya dan mulai menyibakkan berbagai hijab kegelapan dan hijab cahaya, sampai lenyaplah pendengaran, penglihatan, dan seluruh eksistensinya terserap ke dalam al-Haq, Sang Wujud Hakiki.
Maqam ini tidak mungkin dicapai kecuali dengan tarikan Rububiyyah dan kobaran rindu yang dengan itu seseorang taqarrub secara terus menerus dan melalui tarikan Rububiyyah tersebut muncullah cinta yang suci kepada-Nya sehingga takkan lagi ia tergelincir di “lembah kebingungan” dan tidak lagi peduli dengan “petualangan” dan segala hal yang merupakan “daki egoisme”. Allah menariknya ke tempat yang amat dekat dan menempatkannya di Alam Qudus. Allah menjadikan pikirannya tenggelam dalam rahasia-rahasia malakut dan mata batinnya mampu menangkap penampakkan cahaya-cahaya jabarut.
Sang hamba istiqamah (tetap) berada di maqam yang sangat dekat dan cinta sang hamba kepada Allah telah merasuki darah dan dagingnya hingga ia pun lenyap dari dirinya sendiri dan terakhir, Yang Wujud hanyalah Dia, Al-Haq.
Aku menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar,
menjadi matanya yang dengannya ia melihat
dan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang.
Tidak ada seorang manusia mana pun yang mampu menjebol pintu Khaibar, yang konon empat puluh orang pun tak sanggup menggerakkannya. Namun Ali, Sang Pecinta Tuhan, sanggup menjebolnya. Imam Ali as mengatakan,”Aku tidak menjebol pintu Khaibar dengan kekuatan jasmani, tetapi dengan kekuatan Rabbani!” 70]
Abu Nasr Tahir Khanaqahi, seorang Sufi Persia mengatakan : “Bahwa Allah Yang Maha Suci dan Maha Kuasa telah mengutamakan Zikir kepada-Nya dibandingkan amal ketaatan lainnya dalam empat ayat Qur’an. Allah mengutamakan Zikrullah dengan memerintahkan agar memperbanyak berzikir kepada-Nya. “Wahai orang-orang beriman! Berzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya” (QS 33 : 41).
Di lain tempat disebutkan sebagai sesuatu yang “lebih besar” : “Dan sesungguhnya berzikir kepada Allah itu adalah hal yang lebih besar” (QS 29 : 45) . Sekali lagi, Dia memerintahkan agar berzikir kepada Allah dilakukan secara terus menerus (dalam keadaan apa pun), dengan berfirman, “Maka berzikirlah kepada Allah ketika berdiri dan duduk” (QS 4 : 103)
Selanjutnya Dia menjanjikan bahwa Dia juga akan berzikir kepada orang yang berzikir kepada-Nya, Dia telah berfirman : “Berzikirlah kepada-Ku maka Aku pun akan berzikir kepadamu” (QS 2 : 152) 71]
Sesungguhnya kedekatan seorang hamba kepada Allah, merupakan tarikan kerinduan ilahiyyah dan cintanya kepada Allah Yang Terkasih. Sebuah syair mengatakan :
Jika bukan karena tarikan dari arah Yang Dirindukan,
niscaya penempuh yang malang dan penuh rindu
tidak akan memperoleh keberuntungan
ZIKIR ALLAH DI DALAM HIMPUNAN PARA MALAIKATNYA
Di dalam sebuah Hadits Qudsi, Allah Ta’ala berfirman : “Tidaklah seorang hamba yang berzikir kepada-Ku seorang diri melainkan Aku berzikir kepadanya di dalam himpunan para malaikat-Ku, dan tidaklah ia berzikir kepada-Ku di dalam himpunan melainkan Aku berzikir kepadanya di dalam al-Rafiq al-A’la” 72]
Ada yang berpendapat bahwa barangsiapa yang hidup untuk Allah dengan melaksanakan hakikat zikir, pujian, dan syukur kepada-Nya, pasti Allah akan menundukkan seluruh alam semesta ini untuknya. 73]
Al Qur’an Mulia mengatakan :
“Sungguh! Zikir Allah itulah yang paling besar!”
(QS 29 : 45)
Ketika aku menyebut nama-Nya,
kebajikan menjelma.
Sebutan-Nya adalah Yang Disebut, tanpa dualitas
dan tanpa kesangsian!

(Rumi, Diwan-I Syams : 30700-30701)

0 Response to "APAKAH BERDZIKIR ITU PERLU KITA LAKUAN? "