SOSIALISASI PENDIDIKAN SEKS BAGI REMAJA MENURUT PANDANGAN ISLAM




 PANDANGAN AGAMA ISLAM 
TERHADAP PENDIDIKAN SEKS
BAB IV
SOSIALISASI PENDIDIKAN SEKS BAGI REMAJA

MENURUT PANDANGAN ISLAM



A.    Dasar dan Tujuan Pendidikan Seks Menurut Islam

Perkembangan dan pertumbuhan anak di dalam pembentukan kepribadiannya, anak-anak memerlukan teman bermain. Itu adalah kebutuhan psikologis. Dalam bermain dengan teman, anak-anak mengembangkan dirinya, misalnya mengembangkan rasa kemsayaraktan (sosialisasi), berlatih menjadi pemimpin. Dalam bermain, anak dapat menemukan jati dirinya. Dengan berteman, terbentuk rasa solidaritas, pengetahuan tentang lingkungan bertambah, dan lain-lain. Dalam hal berteman, memiliki positif dan negatif. Pengaruh tersebut tergantung kepada si anak itu sendiri di dalam menilainya. Dengan demikian, yang menjadi standar dilihatnya tentang keserasian dan kesamaannya. Seorang remaja akan menilai teman-teman sepergaulannya apakah terdapat keserasian atau kesamaan dengan standar yang dimilikinya. Disinilah berperan sekali citra diri. “aku” dan aspirasi. Semakin besar atau banyak keserasian dan kesamaan yang mereka miliki, maka semakin erat pula persahabatan diantara mereka, (Andi Mappiare, 1982: 162)

Seorang tumbuh dan berkembang dengan baik manakala ia memperoleh pendidikan yang komprehensif, agar ia kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara dan agama. Anak yang demikian ini adalah anak yang sehat dalam arti luas; yaitu sehat fisik, mental, emosional, mental intelektual, mental sosial, dan mental spritual. Pendidikan itu sendiri sudah harus dilakukan sedini mungkin di rumah maupun di luar rumah, formal di institusi pedidikan, dan non formal di masyarakat.

Pendidikan seksual yang harus mendapatkan perhatian secara khusus dari para pendidik, dilaksanakan berdasar fase-fase berikut ini:

1.      Fase pertama usia 7 -10 tahun, disebut masa tamyiz (masa pra pubertas). Pada masa ini, anak diberi pelajaran tentang etika meminta izin dan memandang sesuatu;

2.      Fase kedua 10-14 tahun, disebut masa murahaqah (masa peralihan atau pubertas). Pada masa ini anak dijauhkan dari berbagai rangsangan seksuak;

3.      Fase ketiga uais 14-16 tahun, disebut masa bulugh (masa adolesen). Jika anak sudah siap untuk menikah, maka pada masa ini anak diberi pelajaran tentang etika (adap) mengadakan hubungan seksual;

4.      Fase keempat, setelah masa adolesen, disebut masa pemuda. Pad masa ini anak diberi pelajaran tentang adab (etika) melakukan istifat (bersuci), jika memang ia belum mampu melangsungkan pernikahan, (Abdurahman An-Nahlawi, 1993: 572).



Dari keempat fase di atas, maka seks atau seksual menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah yang berkenaan dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan, yang berkenaan dengan perkara pencampuran antara laki-laki dengan perempuan (W.J.S. Poerwadarminta, 1984: 1154).

Lebih lanjut Yusuf Madan (2004: 17) memaparkan, bahwa pendidikan seks sangat penting disampaikan kepada anak-anak untuk menjamin kebahagiaan hidup mereka setelah menikah. Pendidikan seks juga penting demi kestabilan situasi psikis saat mereka menjelang baligh. Umumnya para remaja membutuhkan penjelasan seks yang Islami sebelum mereka menikah, serta pembekalan tentang kaidah-kaidah seks yang mereka pengalaman saat itu memperlihatkan kesiapan mereka untuk menerima pandangan Islam tentang akhlak dan keilmuan.

Namun pada kenyataan, dalam pola dan cara pergaulan anak dan remaja dalam proses pendidikan, terutama pendidikan di sekolah mengenah pada umumnya, perkembangan yang nampak pada akhir-akhir ini faktor ekstern pengaruh negatif dari transformasi budaya secara tidak langsung berimbas kepada sendi-sendi perilaku yang lainnya yang tidak jarang berakibat negatif yang tidak semestinya dilakukan oleh pelajar.

Oleh karena itu, maka dengan pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiaan sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang diasampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna, (Abidin Ibn Rusn, 1998: 56).

Namun demikian melihat fenomena yang ada pada dekade terakhir sekarang ini, pola dan cara pergaulan nak dan remaja dalam proses pendidikan, terutama pendidikan di sekolah berkecenderungan tidak dimanfaatkannya waktu luang secara tepat. Hal ini dimungkinkan, secara tradisonal masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kinerja. Dan disamping itu juga, remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapatlah dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan dan perilaku lebih besar dari pada pengaruh keluarga, (Elizabeth B. Hurlock, 1999: 212-213).

Untuk mengatisipasi perilaku menyimpang, yang dalam hal perilaku kebebasan seks di kalangan anak dan remaja, maja dibutuhkan pengethuan mengenai masalah seks. Yang dimaksud dengan pendidikan seksualitas adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan seksual kepada anak-anak, sejak ia mengerti masalah-masalah dengan seks, nalusi dan perkawinan. Sehingga, jika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda, dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan. Bahkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak, kebiasaan, dan tidak akan mengikuti syahwat dan cara-cara hedonisme, (Abdullah Nasij Ulwan, 1981: 572).



B.     Materi Pendidikan Seks Menurut Islam

Berbicara masalah pendidikan seks, tidak hanya kuat tetapi juga amanat manis dan menyenangkan, yang bila diberi kebebasan akan lebih membahayakan. Begitu juga kehancuran kebudayaan dan peradaban yang secara rinci total untuk menindas nalusi manusia ini, karena mereka bagaikan melakukan perang yang sia-sia melawan alam. Sikap yang demikian ini adalah negatip dan sikap ini juga merupakan penindasan atas watak manusia. Sehingga penindasan terhadap dorongan nafsu seksual itu sama artinya dengan penindasan terhadap kemampuan fisik dan intelektual manusia itu sendiri. Hal demikian akan mengalahkan dan menghancurleburkan seluruh kecakapan manusia, tanpa meninggalkan harapan bagi alih generasi (keturunan) mereka karena kekuatan pokok yang mendorong manusia adalah kekuatan seks dan kecakapannya itu (Fazlur Rahman, 1992: 321-323).

Adalah menjadi tugas dan kewajiban utama bagi setiap masyarakat untuk membelokan naluri manusia ini yang bersifat ekstrim, terlalu mementingkan kenikmatan pribadi dan terlalu menjauhinya, kepada suatu keadaan keseimbangan dan mengatur dengan batas-batas yang wajar, sejalan dengan tujuan-tujuan yang akan dicapai dalam pendidikan seks ini.

Menurut Abdullah Syarwani yang dikutip oleh Sarlito Wirawan, (1981: 22) pendidikan seks bertujuan:

1.      Memntuk pengertian tentang perbedaan seks antara pria dan wanita dalam keluarga, pekerjaan dan seluruh kehidupan yang selalu berubah dan berbeda dalam tiap masyarakat dan kebudayaan;

2.      Memberikan pengertian tentang peranan seks di dalam kehidupan keluarga dan manusia, hubungan antara seks dan cinta, peranan seks dalam perkawinan dan sebagainya;

3.      Mengembangkan pengertian diri sendiri sehubungan dengan fungsi dan kebutuhan seks;

4.      Membantu anak didik untuk mengembangkan kepribadiannya sehingga mampu mengambil keputusan yang bertanggung jawab, misalnya memilih jodoh, hidup berkeluarga atau tidak, kesusilaan dalam seks dan lain-lain.



Pada international Confrence of Sex Education and Family Planing tahun 1962 juga telah dicapai sebuah kesepakatan bahwa tujuan dari pendidikan seks adalah “untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan msyarakat dan lingkungannya serta bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap orang lain”. Sehingga penyesuaian diri dengan masyarakat ini sinonim dengan suatu perkawinan yang bahagia. Apabila tujuan-tujuan itu dapat dicapai maka orang akan dapat menghargai perasaan yang didapatkan dari hubungans seks yang berdasarkan dan perhatian terhadap orang lain, dan bukannya semata-mata pemuasan nafsu seks belaka. Dalam suasana yang demikian dapat dibina  keluarga yang utuh serta penuh dengan cinta kasih dan penghargaan, dimana dapat dididik anak-anak yang sehat dan bahagia. Juga dapat dibentuk pengertain tentang perbedaan seks antara pria dan wanita dalam keluarga. Pada akhirnya dapat diharapkan manusia menjadi “sadar sepenuhnya atas kesuciaan hubungan seksual dalam Islam dan dosa besar menodai kesuciaan yang demikian baik menurut hukum islam atau jauh lebih utama dalam pandangan Allah, (Hasan Hathout, 1994: 93).

Dalam buku “Anak dan Masalah Seks” Lester A. Kirkendall berpendapat bahwa tujuan pendidikan seks adalah sebagi berikut:

1.       Membantu anak-anak untuk merasakan bahwa seluruh anggota jasmaninya dan tahap-tahap pertumbuhan adalah sesuatu yang disukai dan mempunyai tujuan tertentu kendatipun anak-anak tidak harus memikirkan salah satu anggota tubuhnya atau fungsi tertentu yang dilaksanakannya, namun ia hendaknya dapat berbicara tentang hal itu seperti halnya dengan anggota tubuh lainnya secara terbuka dan tidak malu;

2.       Menjadikan si anak mengerti dengan jelas tentang proses berketurunan, karena ia seharusnya tahu bahwa setiap gambaran kehidupan timbul dari kehidupan yang serupa dan berketurunan terjadi dalam macam-macam bentuk;

3.       Mempersiapkan anak untuk menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi akibat pertumbuhannya, maka laki-laki harus mengetahui tentang air mani apabila pertama kali keluar dan bagi perempuan terhadap kepentingan orang lain;

4.       Membantu remaja untuk mengethui bahwa perbuatan seks harus berdasarkan atas penghargaan yang tulus terhadap kepentingan orang lain;

5.       Menjadikan anak harus bangga dengan jenis kelamin di dalam kelompoknya, disamping ia memandang lawan jenis dengan penghargaan terhadap kelebihan dan keistimewaan

6.       Menciptakan kesadaran bahwa masalah adalah satu sisi positif konstruktif dan terhormat dalam kehidupan manusia.



Sedangkan menurut Abdullah Nasikh Ulwan (1993: 572) mengatakan bahwa memberikan batasan pendidikan seksual adalah upaya pengaharan, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak, sejak ia mengerti tentang masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan.

Dari beberapa pendapat tentang tujuan pendidikan seks dapat disimpulkan bahwa ini tujuan pendidikan seks adalh agar peserta didik mengetahui persoalan tentang seks sebagi bagian dari kehidupan mereka, juga untuk mencapai tujuan hidup bahagia di dalam membentuk rumah tangga yang akan memberikan sakinah atau ketenangan, mawaddah atau cinta birahi, rahmah atau kasih sayang serta dapat melahirkan suatu keturunan muslim yang tat kepada Allah dan selalu mendoakan kedua orang tuanya.

Berkaitan dengan masalah pendidikan seks, yang menjadi pemikiran dan kesadaran kita sekarang ini yakni sebagai seorang muslim adalah apakah kebebasan akibat modernisasi yang terjadi di Barat sesuai dengan etika seksual dalam Islam? Dalam al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 223 Allah berfirman yang artinya: “Isteri-isterinu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datanglah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu kehendaki”, (Hasbi Assiddiqie, dkk, 2003: 54).

Dari ayat di atas dapat diambil satu petunjuk, Islam seakan-akan memberikan kebebasan secara mutlak “bagaimana saja kamu kehendaki” dalam melakukan persetubuhan dengan isteri. Dalam ayat lain dalam surat Al-Baqoroh ayat 187 Allah berfirman yang artinya: “Isteri-isteri adalah pakaian bagimu dan kami adalah pakaian bagi mereka ...”, (Hasbi Assiddiqie, dkk, 2003: 54).

Ayat  di atas dapat diambil stu pelajaran bahwasannya isteri adalah milik suami dan suami milik isteri, dari mulai ujung kaki sampai ujung rambut, sehingga keduanya sama-sama bebas memaafkan yang lain namun dari segi moral manusia tidak bebas seratus persen mempergunakan apa yang telah terjadi miliknya tanpa melihat waktu, tempat dan mungkin jga cara-cara yang dipakai dalam mempergunakan apa yang telah menjadi hak miliknya.

Oleh Islam, sebagai muslim dilarang berbuat sawenag-wenang sekalipun yang dipergunakan hak miliknya sendiri. Jadi soal kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang diberi batas-batas tertentu, bukan kebebasan yang tanpa batas. Ini dapat ditujukan dengan adanya sopan santun seksual, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadits. Dengan adanya etika moral sosial dalam islam ini berarti manusia tidak boleh menganut paham free sex dalam melakukan persetubuhan, seperti halnya yang terjadi di Barat, (Humaidi Tata Pangarsa, t.t.: 64-65).

Islam menetapkan ketentuan dan peraturan yang menganjurkan laki-laki mempergauli isterinya dengan cara yang baik dan mulia seperti yang tersirat dalam surat Al-Baqoroh ayat 223 yang sudah disebutkan di atas. Arti yang bergaul yang baik dan mulia ini adalah agar dalam menunaikan kewajiban melakukan hubungan seks, seorang laki-laki memandang isterinya bukan sekedar pemuas nafsu syahwat belaka. Seorang isteri tidak boleh hanya dipandang sebagai pelampiasan nafsu yang menekan dan hanya sebagai ajang seks.

Jika memang demikian sikap yang diambil maka kebahagiaan seks tidak akan didapatkan. Islam juga telah menetapkan peraturan bahwa jika suami melakukan persetubuhan dengan isteri boleh dengan sesuka hati dan berpose dengan berbagai cara, baik dari muka maupun dari belakang. Namun jangan sekali-kali bersenggama dengan melalui dubur, sebab hal itu tidak wajar. Dubur bukanlah ladang (fajri) dan bukan disediakan untuk bersenggama, melainkan untuk mengeluarkan kotoran. Jelas bersenggama melalui dubur sangat dilarang (haram hukumnya). Rasulullah saw.,bersabda yang artinya: “janganlah kamu datangi isterimu lewat dubur”, (H.R. Ahmad, Tarmidzi dan Ibn Majah).

Juga mengenai hubungan seksual isteri ini dilarang untuk diceritakan dimuka umum kecuali berceritakan dengan seorang dokter untuk keperluan pengobatan. Dalam perkawinan yang sah menurut Islam, walaupun hubungan seks telah di halalkan melaksanakanya namun dalam pelaksanaan masih perlu diperhatikan beberapa petunjuk agam Islam yang merupakan akhlak atau etika seksualitas yang diajarkan Islam kepada segenap pemeluknya. Etika seksual yang Islami ini menurut hasan Basri ada 8 langkah yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

1.      Diawali dengan persiapan yang indah, dengan kata-kata yang indah dan merayu serta tindakan-tindakan yang merangsang dan menimbulkan kemesraan serta hasrat seksual bagi pasangannya;

2.      Memulai dengan basmalah dan do’a;

3.      Tidak melakukan ‘azl tanpa izin sang isteri. ‘azl atau coitus intereptus adalah kegiatan suami sewaktu bersetubuh yang menarik alat kelaminnya dari liang vagina pada saat sebelum terjadi pemancaran sperma (ejakulasi), dan menumpahkannya di luar vagina;

4.      Jangan tergesa-gesa meninggalkan isteri. Suami jangan cepat-cepat menarik atau mengeluarkan penisnya sebab sangat besar kemungkinan isteri belum mencapai dan sedang berusaha mencapainya;

5.      Bersyukur dan berterima kasih, bila keperluan dilaksanakan dan alhamdulillah telah mencapai tujuannya maka sangatlah pantas jika kita bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada suami atau isterinya.

6.      Jangan mendekati isteri selagi haid;

7.      Mandi wajib sesudah berhubungan kelamin;

8.      Menjaga rahasia suami isteri.



Agama Islam dan adat istiadat memberikan tuntunan dalam kehidupan seks dimana segala aktivitas seksual adalah resmi dan bertanggungjawab serta menjungjung tinggi nili keperawanan. Masyarakat Indonesia masih memiliki kontrol sosial yang kuat terutama di desa-desa karena mereka masih hidup dalam satu kelurga. Saling ingat mengingatkan dan tolong menoong. Sehingga tidak mudaj bagi sepasang muda-mudi untuk berbuat aktivitas seksual tanpa kawin. Nilai moral dan juga agama memberikan konstribusi yang besar dalam pembentukan moral seks masyarakat Indonesia yang erat dengan pandangan bangsa yaitu Pancasila.

Mungkin keadaan masyarakat sekarang juga akan mengalami perubahan ke arah pola hidup bebas seks bila tidak ada usaha untuk mencegah pengaruh buruk yang datang dari luar. Apalagi dewasa ini dunia bertambah kecil akibat akibat kemajuan teknologi dalam komunikasi dan transformasi. Masyarakat kota-kota besar sebagai pintu masuk turis dan pengaruh luar negeri memang sudah memperlihatkan perubahan pemikiran. Sehingga sudah ada yang menganjurkan bahwa wanita diberi hak untuk melakukan aborsi bukan karena alasan medis tetapi karena alasan sosial seperti; karena hamil di luar nikah. Dikota-kota besar kesempatan untuk mendapatkan hubungan seks alternatif lebih besar yaitu dengan tersedianya tempat pelacuran yang cukupbesar.



C.     Metode Pendidikan Seks Menurut Islam

Terlepas dari sifat-sifat tingkah laku yang diturunkan hanyalah bersifat reproduksi yaitu memunculkan kembali apa yang sudah ada pada hasil perpaduan benih, penurunan sifat hanya berlangsung dengan melalui sel benih dan bukan sel badan. Dengan demikian tingkah laku atau kecakapan orang tua yang diperoleh melalui hasil pengalaman atau belajar tidak akan diturunkan, yang diturunkan adalah sifat-sifat struktural, karenanya kecakapan orang tua bukan ukuran untuk kecakpan anaknya, (Abu Khaer, 1993: 29).

Selanjutnya pandangan pro dan kontra tentang pendidikan seks ini pada hakikatnya tergantung sekali pada bagaimana kita mendefinisikan pendidikan seks itu sendiri. Jika pendidikan seks diartikan sebagai pemberi informasi mengenai seluk beluk anatomi dan proses fatal dari refroduksi manusia semata ditambah dengan teknik-teknik pencegahnnya (alat kontrasepsi), maka kecemasan yang disebutkan di atas memang beralasan.

Akan tetapi, bahwa pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks, sebagaimana pendidikan lain pada umumnya mengandung pengalihan nilai-nilai dari pendidik ke subjek didik. Dengan demikian informasi tentang seks tidak diberikan “telanjang”, melainkan diberikan secara “kontekstual”, yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakt: apa yang terlarang, apa yang lazim dan bagaimana cara melakukannya tanpa melanggar aturan.

Pendidikan seks yang kontekstual itu jadinya mempunyai ruang lingkup yang luas. Tidak terbatas pada perilaku hubungan seks semata tetapi menyangkut pula hal-hal lain seperti peran pria dan wanita dalam masyarakat, hubungan pria dan wanita dalam pergaulan, peran ayah, ibu,  dan anak-anak dalam keluarga dan sebagainya.

Tujuan mempelajari seksualitas manusia adalah agar anak mengetahui lebih banyak tentang seks dan tujuan pendidikan seks. Cara lain mengekspresikan, untuk mengatakan bahwa pendidikan seks harus mendidik dan pendidikan adalah aktivitas yang sarat dengan nilai. Jika kita berpendapat bahwa pendidikan sebagai pengenalan anak (initiation) ke dalam suatu program aktivitas yang bernilai, maka sesui dengan yang kita lihat, nilai memberikan kriteria yang dapat kita gunakan untuk menilai sesuatu menjadi bernilai. Jika kita menganggap pendidikan secara mendasar berkaitan dengan perkembangan yang seimbang bagi semua orang, maka jelas pilihan yang dibuat seseorang dalam kaitannya dengan perilaku dan gaya hidup dibentuk oleh nilai. Jika ini adalah kebenaran pendidikan, pendidikan menerapkan semua lebih banyak kependidikan seks, untuk tujuan, isi, metode dan kesuksesan pendidikan seks ditentukan semua oleh nilai. Pendidikan seks tidak pernah menjadi seperti sebagai kebutuhan yang penting (disinterested enquiry), kita semua mempunyai kepentingan konstan dalam seks, (Kuni Khairun Nisak, 2004: 11)

Pandangan pendidikan seks antara lain diajukan oleh Zelnik yang dikutip Sarlito Wirawan Sarwono (2002: 189) mengatakan bahwa remaja yang telah mendapat pendidikan seks tidak cederung lebih melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapat pendidikan seks cenderung lebih banyak mengalami kehamilan yang tidak dikehendaki. Maka, diperlukan adanya proses kesadaran seks sesuai dengan usia dan kemampuan mengambil kesimpulan serta kebutuhan terhadap pengetahuan seks merupakan masalh yang harus diperhatikan, (Marwah Ibrahim Al-Qaisiy, 2004: 90).

Jaring-jaring cinta di luar perkawinan telah menina bobokan seseorang dalam tali asmara. Asmara yang bergejolak menuntut kiintiman  dan kesahduan. Untuk itu, dalam menghadapi semua ini; hendaklah pergaulan itu dilandasi oleh sikap saling menghormati antara pria dan wanita. Dengan senantiasa berpedoman pada batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama.

Menurut Abdurahman Al-Mukaffi (1992: 64-94) beberapa metode terhadap masalah seks dalam pandangan Islam memiliki batas-batas antara lain:

1.      Menjaga pandangan mata

Memelihara cukuplah dengan menundukan sebagai pandangan mata bila berhadapan dengan wanita atau pria yang bukan muhrimnya. Janganlah membidikkan kedua biji mata kita kepada mereka, dan janganlah memandangnya berilang-ulang. Hal ini telah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya agar kita dapat mengendalikan pandangan dan memelihara faraj, karena pada keduanya ada hubungan anatomis (kematangan fungsi tubuh) fisiologis (usia baligh; mimpi basah/haid pertama), serta psikologis (insting kecenderungan kepada lawan jenis) yang dapat memancing mata sebagai panca indra yang sangat peka terhadap seks. Hal ii sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 30 yang artinya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya...” (Hasbi Asshiddiqie, dkk., 2003: 548)

Senada dengan ayat di atas, sebagimana sabda Rasulullah saw dalam haditsnya: yang artinya: “Pandangan itu adalah anak panah beracun dari anak-anak panah iblis, siap saja yang menghindarkannya karena takut kepada allah, ia akan dikaruniai oleh Allah keimanan yang terasa manis di dalam hatinya”, (H.R. Hakim).

Dari ayat dan hadits nabi tersebut di atas, terlepas dari sikap pro dan kontra mengenai pandangan mata, khususnya bagi laki-laki kepada kaum wanita ditegaskan dalam kita al-Ghayah wat-Taqrib yang dikarang oleh Syeikh Syihabud Dunya wad Dien dan ahmad bin Husein bin Ahmad (Abdurrahman al-Mukaffi, 1992: 75) ada tujuh macam yaitu:

1)      Tidak boleh (haram), yaitu memandang kepada yang bukan muhrimnya;

2)      Boleh, yaitu memandang isterinya dan hamba sahayanya, tetapi dikecualikan memndang kemaluannya;

3)      Boleh memandang seluruh tubuhnya, kecali anggota yang terletak antar pusar dan lutut, yaitu memandang muhrimnya;

4)      Boleh sekedar muka dan telapak tangan, yaitu melihat wanita yang hendaknya dikawini;

5)      Boleh, sekedar tempat yang sakit, yaitu dokter dalam mengobati pasiennya;

6)      Boleh hanya muka, yaitu melihat wanita ketika dijadikan saksi dalam suatu perkara atau melihat untuk mu’amalah; dan

7)      Boleh sekedar yang perlu dilihat, yaitu ketika akan membeli budak.



Dari ketujuh aturan di atas, di dalam Islam wanita sangat terhormat dan sangat dihormati, tidak boleh dimain-mainkan oleh orang-orang yang mata kerangjang. Oleh karena itu, seorang wanita  tidak boleh mengobral tubuhnya, dadanya, betisnya, pahanya dihadapan umum, demi untuk menjaga kehormatan wanita itu sendiri dan Islam telah membentenginya.

2.      Menjauhi pergaulan bebas

Menjauhi pergaulan bebas yang akibatnya sudah pasti dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Ini semua telah dilukiskan oleh semua manusia di belahan dunia Barat, yang dulu mengagung-agungkan kebebasan dalam segala hal, termasuk kebebasan seks. Akibatnya, sekrang bisa diperhatikan bahwa steatment tersebut keliru, hal ini terbukti dengan semakin banyaknya masyarakat Barat terkena wabah HIV/AIDS yang menebarkan kengerian dan ketakutan.

Berpijak dari penomena yang terjadi di negeri Barat, Maryam Jamilah dan Abdul A’la Al-Maududi, menyimpulkan bahwa budaya Barat dan budaya Islam tak mungkin tersatukan atau terkompromikan. Karena keduanya sangat bertolak belakang, Barat mengagungkan kejayaan materi guna pemuasan nafsunya, sedangkan Islam mengagungkan ketinggian dan kesuciaan ruh. (Abdurrahman al-Mukaffi, 1992: 77)

Dari kedua hal tersebut di atas, selanjutnya Abu Al-Ghifari (2003: 167-169) menjelaskan bahwa mengenai metode terhadap pentingnya pendidikan seks bagi anak-anak atau remaja di keluarga menurut Islam, antara lain adalah:

1)      Memisahkan tempat tidur anak, Islam memerintahkan orang tua memisahkan tempat tidur anak-anaknya manakala mereka telah mencapai usia tujuh tahun juga memerintahklan shlat pada usi aitu;

2)      Meminta izin ketika memasuki kamar orang tua, orang tua juga harus mengajarkan kepada anak-anaknya yang belum baligh agar membiasakan meminta izin ketika akan memasuki kmar orang tuanya pada saat-saat tertentu;

3)      Mengajarkan adab memandang lawan jenis, diantara masalah penting yang wajib diajarkan kepada anak-anak sudah membiasakan adab memandang sejak anak masih berada pada masa tamyiz (dewasa), agar anak mengetahui masalah-masalah yang dihalalkan dan diharamkan;

4)      Larangan menyebarkan rahasia suami-isteri, hubungan seksual merupakan hubungan yang snagat khsusu dintara suami-isteri. Karena itu, kerahasiaannya pantas dijaga. Mereka tidak boleh menceritakan kekurangan pasangannya kepada orang lain apalagi terhadap anggota keluarga terutama anak-anaknya.



Selanjutnya, menurut Yusuf Madan (2004: 17), walaupun dianatar manfaat pernikahan adalah menurunkan ketegangan jiwa. Hanya saja banyak pasangan suami isteri yang belum melaksnakan kewajibannya yang paling mendasar, dan belum merealisasikan nilai-nilai yang dapat membangun keharmonisan diantara mereka. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengetahuan tentang ketidakharmonisan dalam kehidupan suami isterim, atau paling sedikit, tidakj ada kepuasan diantar keduanya.

Sedangkan menurut Abdurahman an-Nahlawi (1993: 572) yang dimaksud dengan pendidikan seksual adalah upaya pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-msalh seksual yang diberikan kepada anak, sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan. Sehingga jika anak telah tumbuh menjadi seorang pemuda, dan dapat memahami urusan-urusan kehidupan, ia telah mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan. Bahkan mampu menerapkan tingkah laku Islami sebagai akhlak, kebiasaan, dan tidak akan mengikuti syahwat dan cara-cara hedonisme.

Masalah utaam memudarnya masyarakat tradisional adalah penyangkalan terhadap “karakter manusia” dan “determinisme sosial”. Perspektif pokok memudarnya masyarakat tradisional dalah prilaku dalam konteks perubahan sosial. Memudarnya masyarakat tradisional akan tampak jelas apabila dilihat dari tiga dimensi perubahan sosial, yaitu: dimensi struktural, dimensi kultural dan dimensi interaksional. Melihat tiga dimensi perubahan sosial ini tidak berarti mengabaikan dimensi perubahan lain, seperti: “dinamika normal dari kehidupan sosial (karakter pribadi), peristiwa dan perubahan sosial, perubahan dalam bentuk kualitatif dan kuantitatif, serta perubahan yang direncanakan dan yang diprogramkan. Kesemua dimensi perubahan tersebut nampak ada dalam peristiwa memudarnya masyarakat tradisional.

Perubahan struktural masyarakat tradisional merupakan akibat dari derasnya proses modernisasi dengan berbagai nilai atau teknologi yang ditawarkjannya. Ciri utama yang ditampilkan modernisasi adalah semangat rasional dan positivistis. Proses modernisasi mancakup seluruh lapisan masyarakat luas dan lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, sebagaimana juga terjadi pada tiap-tiap individu secara pribadi yang ditulari oleh semangat positivistis. Peranan pikiran-pikiran baru dalam proses modernisasi dalam masyarakar transisi , melahirkan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti: siapa yang berubah? Apa yang berubah? Berapa laju perubahan? Dan efek apa yang dilahirkannya? Dalam menjawab pertanyaandemikian, sering terjadi kesalahan, respon yang diberikan cenderung bersifat filosofis, sehingga tidak menyelesaikan persoalan. Perubahan pada masyarakat transisi terlihat jelas pada makna pribadi yang mengalami transformasi di dalam tatanan dan taat hidup sehari-hari, (M.Munandar Soelaiman, 1985: 93-94).

Namun demikian, perkembangan dan pertumbuhan peradaban manusia yang menuju ke arah modernisasi dalam segala perwujudannya mengalami perkembangan yang mengagumkan, dapat dilihat dari kenyataan yang tampak jelas adalah adanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang perlu diakui ternyata telah menghasilkan beberapa keuntungan yang dinikmati oleh umat manusia. Modernitas juga membawa semangat pencerahan yang mengungkapkan kemampuan nalar dalam mencari kebenaran dan kemampuan manusia untuk melakukan ekplorasi dan kontrol terhadap alam lewat pengembangan ilmu dan rekayasa teknologi, (Syamsu Yusup LN., 2004: 81).

Akibat modernisasi telah mengakibatkan pergeseran nilai yang dilahirkan oleh adanya zaman modern dengan kebudayaannya, sudah barang tentu ini semua tidak berdampak pada sesuatu yang bersifat negatif secara keseluruhan. Akan tetapi banyak sektor dengan adanya zaman modern, peradaban manusia adanya perubahan.

Adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam hal ini merupakan hasil dari adanya zaman modern yang sudah barang tentu diiringi oleh kebudayaan, yang perlu diakui ternyata telah menghasilkan beberapa keuntungan dan kerugian yang dinikmati oleh manusia di seluruh dunia.

Untuk mengantisipasi gejolak perubahan kehidupan masyarakat dan terkontaminasinya budaya ketimuran, maka peran orang tua dalam keluarga memegang peranan penting sekali dalam pendidikan anak-anak sebagai institusi yang mula-mula sekalai berinteraksi dengannya atas segala tingkah lakunya. Oleh sebab itu haruslah keluarga memikul tugas dan tanggung jawab yang berat tentang pendidikan ini, mengajar mereka akhlak yang mulai yang diajarkan Islam seperti kebenaran, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, kasih sayang, cinta kebaikan, pemurah, berani dan lain sebaginya. Dia juga mengajarkan nilai dan faedahnya berpegang teguh pada akhlak di dalam hidup, membiasakan mereka berpegang kepada akhlak semenjak kecil. Sebab manusia itu sesuai dengan sifat asasinya menerima nasihat jika datangnya melalui ras cinta dan kasih sayang, sedang ia menolaknya jika disertai dengan kekasaran dan biadab. Begitu juga fenomena yang berhubungan dengan masalah seks dan seksualitas manusia.

Dengan memperhatikan perkembangan dan perubahan pola pergaulan pada kelompok remaja sekarang ini yang cenderung bebas, diharapkan keluarga dapat berperan dalam mengantisipasi permasalahan yang dialami anak dan remaja itu sendiri. Sebab, relasi antara pendidikan seks dengan keluarga sangat erat dan penting. Di satu sisi, keluarga adalah pemberi pendidikan seks pertama bagi anak remaja serta memberikan pengaruh terkuat (disamping teman sebaya dan media) dalam mengembangkan nilai-nilai seksual dan pemahaman seks anak-anak dan remaja. Dengan kata lain, keluarga adalah bagian yang tak terelakksan dalam pendidikan seks.

Menurut Kuni Khairun Nisak, 2004: 211-213), sesunggunya salah satu tujuan pokok pendidikan seks dalam keluarga adalah untuk mempersiapkan anak-anak memasuki kehidupan keluarga sebagai orang-orang yang dewasa. Pencantuman dimensi moral dalam legalisasi dan perpaduan-perpaduan pendidikan, yang berhubungan dengan keluarga, dijustifikasikan terutama dalam istilah-istilah sosial dan ekonomi, meski pencantuman itu dilakukan agar sesuai dengan agenda kaum agamis yang konservatif. Karena keluarga diyakini dapat memberi kontribusi penting bagi kesejahteraan masyarakat dengan mengambil tanggung jawab untuk melindungi tantangan-tantangan, baik orang jmuda maupun orang tua.

Dari beberapa uraian di atas, maka yang perlu diperhatikan secara seksama bahwa ada dua metode utama yang berkaitan dengan masalah pendidikan seks menurut pandangan Islam yaitu:

1)      Metode klasikyang menyusun pengetahuan yang berdasarkan teman dan materi tanpa analisis. Orang yang berbicara masalah ini hanya menyeleksi teks al-Qur’an dan al-Sunnah saj. Tema ditentukan dan disusun dalam satu bab sehingga pembaca dapat menghimpun bahan pengetahuan yang disimpulkan di berbagai bidang pengethuan kemanusiaan, terutama karena ia masih dominan dalam studi Islam hingga sekarang;

2)      Metode baru, yaitu metode yang bersandar pada aplikasi metode klasik dan ditambahkan ke dalamnya dimensi lain yang bersandar pada pengumpulan teks yang dibutuhkan dan dari berbagai sumber untuk mengkaji tema tertentu. Kemudian, penggunaanya disatukan dalam analisa gejala yang dipelajari. Kajian semacam ini masih dalam bentuk awalnya dan peran besarnya dibutuhkan dalam menghadapi serangan terhadap Islam.]

Disamping kedua metode di atas, dalam memberikan materi pendidikan seks kepada para remaja, metode mendidik/mengajar melalui latihan anak-anak adalah termasuk sekian banyak yang penting dan sangat penting, (Akhmad Azhar Abu Miqdad, 1997: 122). Dengan menggunakan metode ini, diharapkan dapat menggugah akhlak yang baik pada jiwa remaja sehingga ia tumbuh menjadi yang pribadi yang lebih istiqomah dan bahagia. Adapun metode tersebut adalah:

1)      Remaja dilatih supaya menjaga pandangan mata atau menundukan pandangan terhadap lawan jenis yang bukan muhrim;

2)      Remaja dilatih supaya tidak melakukan ikhtilaf;

3)      Remaj dilatih supaya berpakaian yang Islami, bagi wanita supaya berbusana muslimah;

4)      Remaja dilatih supaya tidak berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya;

5)      Remaja dilatih supaya tidak melakukan khalwat dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya di tempat sepi.



Dengan menggunakan metode melatih diri untuk mengamalkan ini, maka hal-hal yang dulunya sulit dan berat, akan terasa ringan. Sudah barang tentu latihan tersebut merupakan hal yang disengaja dan mempunyai tujuan tertentu, yakni membentuk kebiasaan yang baik menurut syari’at islam, sehingga pengamalannya akan bernilai sebagai suatu ibadah, (Abu Al-Ghifari, 2001: 157).

Dalam kajian di atas, adanya kecenderungan antara pendekatan konvergensi dan analisa dalam memahami norma islam di bidang perilaku seks di luar rumah dan tempat umu. Kendati demikian, ditemukan aturan menundukkan pandangan berkorelasi positif dengan keharmonisan. Kecenderungan yang terus menurus pada teori-teori seks yang haram akan menghalangi individu dari keharmonisan ini.

Dari berbagai metode di atas, akan tetapi peran keluarga tetap menjadi prioritas utama. Sebab, keluarga tetap menjadi kunci utama dalam proses pembentukan kepribadian anak yang sesungguhnya. Dengan demikian, diharapkan keluarga dapat memiliki peranan penting untuk menolong pertumbuhan anak-anak nya dari segi jasmani, baik aspek perkembangan maupun aspek perfungsian. Begitu juga untuk menciptakan kesehatan jasmani yang baik dan kewajaran jasmani yang sesuai konsep-konsep keterampilan-keterampilan, kebiasaan-kebiasaan dan sikap terhadap kesehtaan yang harus dipunyai untuk mencapai kesehatan jasmani yang sesuai dengan umur, menurut kematangan dan pengamatan mereka, (Hasan Langgulung, 1986: 363).

Karena sampai dengan saat ini, dalam kehidupan masyarakat awam menganggap bahwa seks merupakan hal yang tabu bagi orang asia, hal ini tidak selamanya benar. Menurut Naek L. Tobing (2006: 33) bahwa sebuah hasil survei yang sebagian besar pria asia menunjukkan 42 % pria berusia di atas 40 tahun termasuk kelompok yang menganggap seks sebagi bagian  penting dalam hidup. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa prubahan anggapan terhadap seks merupakan titik tolak bagi para pria untuk mengakui bahwa kehidupan seks bagian yang terpenting. Terlebih lagi kaum  profesional yang mengetahui apa dan bagaimana manfaat kehidupan seksual yang sehat dan harmonis dengan pasangannya.



D.    Alat Pendidikan Seks Menurut Islam

Dulu masalah seks merupakan suatu masalah yang sangat tabu dan dioandang sangat suci yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang sudah menikah. Sedangkan kita menyoroti perkembangan seks dikalangan anak muda sekarang terasa bebas, dan kebebasan seks menjalar mirip epidemi.

Hal ini dikarenakan seks memberi kenikmatan, maka banyak anak muda memburu kenikmatan tersebut. Selain itu juga karena maraknya peredaran VCD porno, gambar, majalah, buku, tulisan dan tayangan porno ditelivisi  serta situs-situs porno yang setiap saat bisa diakses di internet, termasuk juga jaringan telepon sex melalui party line yang banyak diiklankan. Begitu juga kondisi masyarakat yang makin sulit dikontrol, dan kesehatan yang meningkat membuat dorongan seks akan semakin tinggi.

Dari uraian di tas dapat disimpulkan bahwa masalah seks tidak lepas dari manusia, lebih-lebih manusia yang masih muda usianya (remaja), karena pada usia ini merupakan masa yang sangat labil, yang mana pada masa ini sering disebut dengan masa pubertas.

Masa remaja adalah masa yang paling banyak mengalami kegoncangan jiwa, karena mulai adanya pertentangan dalam dirinya antara keinginan dan keterbatasan yang dimiliki dan antara idealis serta realitas yang sedang dihadapi. Maka masa remaja merupakan masa yang belum sampai pad titik kematangan jiwa, sehingga dalam mengambil keputusan akan selalu berpedoman pada apa yang ada dalam dorongan hatinya.

Lukas T., dalam bukunya Pendidikan Seks Remaja, (1987: 11) beliau berpendapat bahwa:

Disisi lain beberapa banyak jumlah anak-anak remaja yang secara diam-diam mengeluh di dalam hatinya tentang masalah seks. Pengetahuan seks benar-benar kabur dalam pandangan mereka, karena sudah merupakan hal klasik apabila di dalam hal ini para orang tua kurang dapat menjalankan kewajibannya dalam memberikan pengarahan yang semestinya dalam memberikan pendidikan seks pada putra-putrinya, pada saat-saat mereka membutuhkannya. Dan di sekolah yang diharapkan memberikan bantuannya, di dalam hal ini tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dengan berbagai macam alasannya secara tersendiri.



Dari sinilah kita dapat menyimpulkan bahwa dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia dini, janganlah kita memberi contoh yang enak-enak saja. Karena hal ini akan merangsang anak berbuat sembrono terhadap perilaku ini. Sebaiknya pendidikan seks diberikan dengan makna yang dalam, misalnya dengan menggambarkan bgaimana orang yang arogan terhadap seks.

Gambaran seperti hal di atas, akan membuat anak menjadikan takut yang akhirnya akan mempertebal akhlak mereka, sebagai alat untuk menuju suatu kehidupan yang indah. Maka apabila dikaitkan atau dibandingkan dengan anak-anak yang lepas kendali dari orang tua dan dirinya akan cenderung melakukan hal yang negatif yang sering disebut dengan kenakalan remaja. Seperti pendapat H. M. Arifin (1997: 121) mengatakan bahwa:

Bahwa dalam tingkatan perkembangan hidup remaja terutama pada periode pubertas atau adolesen sering dilanda kegoncangan-kegoncangan yang tidak jarang muncul dalam bentuk perbuatan yang sering disebut kenakalan remaja dengan gejala-gejala yang dikhawatirkan terhadap kelangsungan negara dan bangsa, oleh karena itu kenakalan remaja perlu dipandang sebagai problema sosial yang harus diatasi.



Maksud pernyataan di atas disini adalah apabila kita korelasikan dengan keadaan negera kita yang termasuk negara berkembang dan terus mengacu pada pembangunan disegala bidang, baik bidang teknologi, modernisasi, era globalisasi dan informasi yang semakin cepat memang mempunyai pengaruh terhadap meningkatnya kenakalan remaja. Bahkan banyak yang mengakibatkan terdapatnya problema sosial yang rumit dan susah menjadi kenyataan bahwa hasil kemajuan teknologi tidak selalu mempunyai pengaruh positif. Bahkan satu hal ekses dari pembangunan ini adalah terdapatnya pengangguran, kejahatan, kemiskinan dan masalah seksualits atau sering disebut juga dengan kegiatan prostitusi.

Dengan demikian proses modernisasi dan pembangunan mempunyai hubungan dengan masalah seksual, sebab dengan semakin meningkatnya kualitas siaran yang menyerap laju kemajuan teknologi dan terlebih lagi banyak situasi-situasi forno di internet, VCD porno, SMS porno serta iklan-iklan yang beradegan porno ditelivisi sebagai penyedap. Tak ketinggalan pula buku seks yang berisi kepornoan, majalh-majalah forno yang bebas diperjual belikan di pinggir-pinggir jalan yang mudah didapat dan dibaca oleh para pelajar dan masyarakat luas. Hal ini sangat dikhawatirkan pada anak sekolah usia SD.

Sedangkan pemberian pendidikan seks ini sangat perlu diberikan pada anak usia dini, baik di sekolah maupun seminar atau semacamnya. Karena hal ini merupakan tanggung jawab kita generasi sekarang, agar para remaja tidak terjerumus dan lemah sehingga dapat melaksanakan tugas yang akan datang dengan baik.

Sebagaimana yang termaktub dalam firman Allah dalam surat An-nisa ayat 9, yang artinya: “Dan hendaklah orang-orang takut, kalau-kalau dibelakang hari, mereka meninggalkan anak keturunan yang lemah yang merasa mereka cemas, dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang betul” (Hasbi Asshiddiqie, dkk, 2003: 166).

Selanjutnya pendidikan Islam adalah bimbingan yang dilakukan oleh oleh orang dewasa kepada terdidik dalam masa perkembangannya agar ia memiliki kepribadian yang sempurna. Ilmu pendidikan Islam sebagai karya pemikiran manusia tentang pengetahuan pendidikan Islam dicapai melalui jalur pemikiran. Dalam kerangka ilmu, jalan pemikiran tersebut berfikir. Metode berfikir itu antara lain, induktif, deduktif dan komparatif. Metode induktif berhubungan dengan pemikiran kesimpulan dari kasus yang bersifat khusus menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Metode deduktif berhubungan dengan peanrikan kesimpulan yang umum ke hal yang bersifat khusus, sedangkan metode komparatif berhubungan dengan pemikiran kesimpulan dengan cara membandingkan kedua cara tersebt di atas.

Sebagaiman lajimnya ilmu pengetahuan yang lain, pendidikan Islam mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan manusia. Fungsi tersebut antara lain dalam meningkatkan kualitas (produktif), pemeliharaan (persuasif) dari hal-hal yang negatif. Pendidikan Islam menurut Marimba (1989: 46) mempunyai 2 tujuan yaitu tujuan sementara dan tujuan akhir. Tujuan sementara yaitu tercapainya berbagai kemampuan seperti kecakapan jasmani dan rokhani, dan lain sebagainya. Sedangkan tujuan akhir yaitu terwujudnya kepribadian muslim.

Adapun beberapa alat atau media dalam proses pendidikan seks menurut pandangan islam antara lain:

1)      Menjaga kebersihan diri dengan memperkuat unsur ketaqwaan yang dalam banyak kasus menjadi benteng pertahanan yang mencegahnya dari kecenderungan interaksi dengan menjauhi tindakan-tindakan erotisme yang haram;

2)      Mencegah berbagai tindakan erotisme melalui penegakan hukum;

3)      Membantu memaksimalkan pemenuhan kebutuhan seks tiap individu dan melindungi upaya ini dengan tata atauran umu. Yaitu dengan cara melakukan tindakan preventif ke luar lingkungan rumah, termasuk pengaturan hubungan antara laki-laki dan perempuan pada umumnya dengan meletakkan sekumlah norma untuk individu dan masyarakat, baik yang bersifat pereventif dan maupun kuratif, hingga perilaku individual dan sosial di tempat umum tetap terpelihara.

4)      Menjaga aurat, baik laki-laki maupun perempuan.

Dengan melihat tujuan pendidikan Islam, maka proses pendidikan adalah suatu usaha mengembangkan potensi atau kemampuan manuis yang diharapkan melalui proses pendidikan tersebut dapat terwujud generasi yang berkualitas dan mampu meneruskan jejak langkah pendahulunya.

0 Response to "SOSIALISASI PENDIDIKAN SEKS BAGI REMAJA MENURUT PANDANGAN ISLAM"