KI BAGUSANGIN DI MATA MASYARAKAT DERMAYU PADA ABAD 19 BAGIAN KE 2 (DUA)



Perspektif Hindia Belanda 

Bagi para pecinta Sejarah Aulia di sekitar Kita terutama di wilayah Kecamatan Kertajati Kabupaten majalengka pada kesempatan ini http://nurussyahid.blogspot.com akan mengajak para pembaca untuk mendalami tentang sejarah perjalanan Pergerakan  Ki Bagusrangin di wilayah Indramayu mari kita simak penuturan Bapak Nurhata, M.Hum dalam tulisanya  tentang perjalanan Ki Bagusrangin di Indramayu. Sebelumnya saya mohon maaf dan izin kepada penulis Babad ini yang terhormat Bapak Nurhata, M.Hum tulisan ini sangat penting untuk di muat ulang dengan alasan suapaya dapat di baca oleh para pecinta Perjalanan Aulia sosok Ki Bagusrangin dan Kawan –kawannya semoga dapat menjadi tambahan insfirasi generasi muda untuk reference sejarah. Terima kasih Pak Nur.   
Perspektif Hindia Belanda 
Seperti diuraikan di atas, naskah Pabean dan naskah Sri Baduga (tahun 1900), ditulis pada waktu yang berdekatan. Dalam proses penyusunan itu, peran pemerintah Hindia Belanda yang kedudukannya sudah mapan tidak boleh disisihkan karena di dalamnya terdapat suatu pandangan atas mereka yang dianggap sebagai pemberontak. 
Digambarkan dalam naskah, para pemberontak itu menakutkan, berandal, selalu membelot, memberontak, pemerkosa, tidak patuh pada aturan pemerintah, dan pelbagai macam tindakan destruktif lainnya. Stereotip yang dilekatkan pada para kebagusan tersebut terus diinternalisir oleh masyarakat Indramayu (khususnya), melalui tradisi penyalinan dan tradisi lisan (cerita tutur). Selama setengah abad lebih naskah-naskah itu diproduksi hingga menghasilkan 13 naskah yang kebanyakan di antaranya memuat citra buruk para kebagusan. Bahkan, dalam seni pertunjukan Sandiwara, seorang pemimpin pemberontakan, Bagus Rangin, menjelma menjadi sosok buta menyeramkan. Sebaliknya, pihak Hindia Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jendral Daendels disebut Gusti Kanjeng Raja Kumpeni, bijaksana, suka menolong, tegas, dan gagah berani. 
Jika memang dikotomi ini benar adanya, penumpasan atas kelompok Bagus Rangin semestinya didukung oleh masyarakat sekitar. Kenyataannya, dimana pun gerombolan kebagusan berada selalu mendapatkan dukungan dari masyarakat. Mereka yang melakukan penumpasan adalah tentara Hindia Belanda, orang Cina, dan pasukan dalem Indramayu, alih-alih penduduk pribumi. Bahkan, dengan mudahnya para kebagusan merekrut anggota baru setiap kali mereka masuk ke pedesaan. Dari sini kita mafhum, betapa kuatnya campur tangan pemerintah Belanda dalam mempengaruhi kesusastraan pribumi, hal yang sangat mungkin terjadi bagi karya sastra lainnya. 
Situasi Cirebon 
Sulit rasanya memisahkan Cirebon dari Indramayu, baik secara historis maupun secara kebudayaan. Hingga menjelang kemerdekaan dua daerah tersebut masih dalam satu atap, Karesidenan Cirebon. Pemenggalan wilayah administratif seperti sekarang baru dilakukan pasca kemerdekaan Indonesia. Dalam persoalan kesusastraan pun demikian, hampir semua genre naskah Indramayu bersumber dari naskah Cirebon. Munculnya pemberontakan di Indramayu juga dilatarbelakangi oleh persoalan yang timbul di Keraton Cirebon. 
Menurut Ekadjati dkk. (1990: 98—101), terjadinya pelbagai pemberontakan di wilayah Cirebon disebabkan oleh pihak Belanda mengangkat Pangeran Surantaka sebagai raja yang tidak disukai masyarakat. Seharusnya, yang berhak menggantikan Sultan Anom (wafat 1798) adalah Pangeran Suryanegara. Gejolak pemberontakan semakin besar ketika Raja Kanoman diasingkan ke Ambon (1802) oleh Belanda, sehingga pada tahun 1805 rakyat menuntutnya untuk dibebaskan. Peristiwa ini menjadi titik awal intervensi langsung Hindia Belanda atas Cirebon. 
Pada tanggal 1 Juli 1806, Albertus Henricus Wiese mengirim surat pemberitahuan kepada Nicolas Engelhard yang berisi informasi kian memburuknya situasi Cirebon. Wiese memerintahkannya agar satu kompi pasukan Madura dikirimkan untuk menangani huru-hara. Bersama Pangeraan Sicodiningrat, putra sulung Panembahan Madura, Engelhard berangkat ke Cirebon dengan membawa satu bataliyon militer. Sampai di sana, tak seorang pun bisa dimanfaatkan oleh Engelhard untuk mengakhiri pemberontakan, sebagaimana disampaikan mantan Residen Cirebon yang tidak mampu menghentikan kerusuhan, Walbeck. Pada saat yang sama penyakit epidemi mewabah. Pemberontakan baru mereda setelah Engelhard menyetujui surat dari Bagus Sidong dan kedua putranya, Bagus Arisim dan Bagus Suwasam, pada 13 Juli 1806. Adapun isi surat tersebut adalah: mengembalikan Raja Kanoman, Raja Laut, dan Raja Kabupaten; menyingkirkan orang Cina; dan menjauhkan tentara Batavia, pasukan dalem Indramayu, Sukasari, dan Tomono (Marihandono, 2003: 12―14). 
Tuntutan mengembalikan Raja Kanoman hingga hak-haknya dipulihkan baru terpenuhi ketika Daendels menduduki Jawa. Kendati demikian, ia menolak bekerja sama, oleh karenanya Raja Kanoman kembali dibuang pada tahun 1810. Kemudian Daendels membagi Cirebon menjadi dua, dan keduanya harus patuh kepada kekuasaan residen-residen Belanda. Di sepanjang pemerintahan Daendels ini pemberontakan bersenjata tidak pernah berhenti. Akibatnya, gubernur jendral itu menghapus dua kesultanan yang baru dipecahnya untuk selamanya (Lombard, 2000: 80). Akan tetapi, pada tanggal 13 Maret 1809 Daendels kembali memecah Cirebon menjadi tiga daerah, dan kedudukan sultan sama dengan bupati. Indramayu adalah salah satu wilayah administratif Karesidenan Cirebon bagian utara, yang pada tahun 18091815 dikepalai oleh Sultan Panembahan Kacirebonan (Hardjasaputra dan Haris, 2011: 131134). Menginjak masa Raffles, para pemegang jabatan kesultanan yang sah hanya diberi uang pensiun. Posisi para pejabat itu tergantikan oleh bupati-bupati (Lombard, 2000: 80). 
Situasi Cirebon belum juga membaik setelah Inggris menggantikan Belanda (waktu itu dibawah Prancis). Raffles (1812—1816) mengeluarkan kebijkan berupa pungutan pajak tanah pusaka dalam bentuk sewa tanah setelah Daendels menghilangkan pemilikan tanah sultan pada tahun 1808. Mereka yang memiliki tanah pusaka mendapat ganti rugi. Kebijakan ini ternyata tidak memberikan kepuasanbagi anggota kerabat dan pejabat-pejabat sultan, karena dalam praktiknya sering kali dikorupsi oleh pegawai pemerintah (Kartodirjo, 1984: 61). 
Pemberontakan kembali meletus di beberapa desa, antara lain Kedondong Cirebon, yang dikenal dengan Perang Kedondong. Di desa itu pasukan Bagus Rangin dihadang oleh tentara Cirebon dan tentara Belanda bersenjata api. Dua pasukan gabungan tersebut berhasil memukul mundur pemberontak. Dengan tetap semangat, gerombolan pemberontak berlarian ke Desa Kaliwedi, Arjawinangun, Cirebon mengajak penduduk setempat untuk melakukan perlawanan. Akan tetapi, mereka kembali diserang sehingga banyak pemberontak yang tewas. 
Hingga tahun 1816 pemberontakan terus bergejolak. Bagus Rangin dan putranya, Bagus Kandar, berperan besar dalam pemberontakan itu. Dengan mudah mereka mengajak sejumlah kepala desa untuk memberontak, dan hasilnya tidak sia-sia, banyak yang turut bergabung. Bahkan, salah seorang pemimpin pemberontakan, Bagus Serit, berhasil merekrut 50 kader bersenjata lengkap di Desa Babadan dalam waktu singkat. Ia juga pernah menyampaikan surat anjuran menghasut dan memberontak kepada tiga sultan Cirebon (Kacirebonan, Kanoman, dan Kaprabonan) yang berisi ajakan bergabung untuk membebaskan Cirebon dari tangan kolonial. Akan tetapi, oleh Sultan Sepuh surat itu justu diberikannya kepada Residen Servatius (Van der Kemp, 1979: 15; 44—45). 
Pemberontakan di Indramayu pada Awal Abad ke-19 
Sesungguhnya pemberontakan penduduk Indramayu yang dipimpin oleh para kebagusan adalah wujud ekspresi antipemerintah pribumi (Indramayu dan Cirebon), Hindia Belanda, dan orang Cina. Pemberontakan itu sedikitnya berlangsung selama tiga generasi, dari Raden Benggala Wiralodra, Raden Benggali Singalodra, hingga Raden Semangun Singalodraka. Kendati pun detail keterangan waktu tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi terdapat beberapa sumber terkait, baik sejarah maupun babad, yang dapat digunakan sebagai penunjang untuk mengidentifikasi kronologi peristiwa. 
1. Sebab Terjadinya Pemberontakan 
Sejak Benggali Singalodra mengirim surat kepada Adriyan Theodor Vermuelen di Batavia, hubungan Indramayu dan Hindia Belanda mulai terjalin. Berdasarkan tradisi yang ada, pengangkatan bupati layaknya raja, harus dilimpahkan kepada putra sulung (kecuali wafat atau perempuan), namun Benggali Singalodra memutus mata rantai tradisi itu dengan melibatkan pihak pemerintah Batavia, saat berebut kekuasaan dengan Benggala Wiralodra. Surat yang dikirim ke Batavia berisi permohonan agar Benggali Singalodra menjadi bupati. Keputusannya, mereka berdua dapat menduduki jabatan bupati masing-masing tiga tahun, diawalai oleh Benggala Wiralodra, walaupun harus ditunda selama lima bulan. Pascakonflik tidak lagi ada bupati kecuali ditunjuk langsung oleh gubernur jendral, dan prosesi pengangkatannya harus diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda. Permasalahan keluarga bupati itu terjadi pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Johannes Siberg (1801—1805). 
Inisiatif Benggali Singalodra mengirim surat ke Adriyan Theodor tentu saja didukung oleh pemerintah Batavia, karena sesungguhnya mereka tidak menghendaki pergantian bupati, juga sultan, secara turun-temurun tetapi dengan cara ditunjuk. Perihal demikian pernah dipraktikan pada Raden Simuk atau Muchamad (1800―1809), pribumi pertama yang diangkat langsung oleh pemerintah Hindia Belanda (Hardjasaputra dan Haris, 2011: 134). 
Sekitar pertengahan masa pemerintahan Benggali Singalodra, gubernur jendral Johannes digantikan oleh Albertus Hendricus Wiese (18051808). Hampir tidak ada permasalahan yang tampak di intern keluarga bupati karena sudah ada kesepakatan sehubungan dengan jabatan bupati yang telah diputuskan oleh Johannes Siberg. Bersama putranya, Kartawijaya, Benggala Wiralodra meninggalkan Indramayu menuju Kejaksan, Cirebon. Meskipun sudah memutuskan keluar dari lingkaran keluarga akan tetapi tidak menjadi oposisi bagi pemerintahan adiknya, juga tidak turut menggalang kekuatan bergabung dengan para pemberontak yang sudah bermunculan di desa-desa. Sebaliknya, mantan bupati itu memilih belajar dan mengaji, menjadi seorang ulama, sementara anaknya menjadi komandan perang, menjaga perbatasan Indramayu atas perintah perintah Sultan Kacirebonan. 
Tiga tahun sudah pemerintahan Benggali Singalodra, jabatan bupati berikutnya dilimpahkan kepada putra kelimanya, Raden Semangun Singalodraka, sesuai dengan yang diharapkan pemerintah Hindia Belanda. Penobatan Raden Semangun sebagai bupati itu atas perintah gubernur jendral, bertepatan dengan masa pemerintahan Daendels. Pada masa inilah pemberontakan besar bermunculan di berbagai tempat, yang dikepalai oleh para kebagusan sebagaimana yang dilaporkan Patih Astrasuta dan Patih Purwadarnata kepada dalem. Pada saat yang sama, beberapa desa yang kini masuk dalam kecamatan Karangampel, Juntinyuat, dan Krangkeng, wabah epidemi meluas, penduduk terjangkit penyakit kusta. Pemerintahan Raden Semangun tampaknya berlangsung singkat juga, kurang lebih 2—3 tahun, lalu segera digantikan oleh Sultan Panembahan Kacirebonan pada tahun 18091815
Di tangan Daendels, pengangkatan semua demang harus diketahui residen. Sedikitnya ada 5 demang yang ada di Indramayu: Kertahuda Demang Lohbener; Wiraksana Demang Lohbener; Mangundira Demang Bangodua; Marngali/ Wirakusuma Demang Paseban; Subrata Demang Wulungmalang (pupuh kasmaran, naskah Sri Baduga); dan Wangsanaya Demang Indramayu. Artinya, kontrol Daendels tidak berhenti di pemerintahan dalem, melainkan sampai ke para demang. Kedudukan para demang tersebut bergantung pada pemerintah Hindia Belanda, seperti disebutkan dalam pasal 6 dan pasal 26: demang diangkat oleh sultan atas pengetahuan reseden, dan tidak ada pemecatan kecuali diketahui residen. Pasal tersebut adalah salah satu hasil kesepakatan antara Kesultanan Kanoman dan Kasepuhan dengan Hindia Belanda (Marihandono, 2003: 15—16). 
Penjualan tanah kepada orang Cina beberapa tahun sebelumnya, juga menjadi masalah tersendiri sekaligus menjadi bom waktu yang berakibat buruk bagi keadaan Indramayu. Cina di daerah ini berasal dari Batavia, sebagai akibat dari peperangan Jawa selama 17 tahun pada abad ke-18. Mereka berlari mengikuti daerah pesisir pantai utara dari Batavia ke arah timur (lihat Ricklefs, 2007: 139). 
Secara umum, tanah-tanah partikelir tersebut mulai muncul sejak tahun 1602— 1799, berlanjut ke masa Daendels, Raffles, John Fendall, hingga Van der Capellen (1820). Pemilik tanah berhak memberlakukan berbagai macam pajak, yang tentunya merugikan penduduk pribumi. Bahkan, praktik penjualan tanah tidak hanya meliputi tanah dan berbagai jenis tanaman, melainkan dengan petaninya juga (Pusponegoro dan Notosusanto, 2008: 400). Distrik Eretan Kulon, Kandanghaur, Cikedung, Pasekan, dan Lohbener adalah tanah partikelir yang sudah lama dijual kepada orang Cina: Cina Celeng dan Cina baru. Tidak heran jika di Kandanghaur dan Lohbener, Cina Celeng menjadi sasaran pemberontakan sejak tahun 1802 (Ekadjati dkk., 1990: 99). Demikian pula penduduk Desa Pamayahan, Bantarjati, Celeng, dan Cikedung, mereka ikut memberontak. Di Cikedung, pemberontakan itu berlangsung dari tahun 1806 hingga tahun 1812. 
Perihal serupa juga dialami penduduk Cirebon. Marihandono (2003: 14) menjelaskan, orang-orang Cina di Cirebon seringkali memeras dengan meminta uang dan tanah penduduk. Di samping itu, penduduk juga dikenakan pajak kepala, pajak tanah, pajak jembatan, dan lain-lain. Faktor inilah yang menyebabkan keraton Cirebon pada akhir abad ke-18 semakin melemah, selain karena kebijakan yang terkait dengan perkebunan kopi. 
2. Pemberontakan Bagus Rangin di Indramayu 
Tidak banyak sumber yang mengungkap sosok Bagus Rangin. Menurut Ekadjati dkk. (1990: 103), Bagus Rangin adalah penerus perlawanan Pangeran Suryawijaya (Raja Kanoman). Ia berasal dari Demak, Blandong, Raja Galuh, Majalengka. Putra Sentayem itu dilahirkan pada tahun 1761. Ia adalah cucu dari Buyut Waridah; keturunan Embah Buyut Sambeng. Kakaknya bernama Buyut Rangin; adiknya bernama Buyut Salimar dan Ki Bagus Serit. Ayah Bagus Rangin adalah seorang kiai besar yang memiliki banyak santri, antara lain Bagus Rangin. 
Bagus Rangin adalah sosok pemberani dan siap berperang sehingga mudah sekali mendapatkan pengikut. Jumlah pengikut Bagus Rangin membentang dari ujung timur Semarang hingga Sumedang, Raja Galuh, dan berbagai wilayah lainnya, 
termasuk Indramayu. Ia menolak berunding dengan pemerintah. Alasan Bagus Rangin dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah karena membantu penduduk dalam mengatasi wajib kerja untuk pemerintah Hindia Belanda di Bantarjati. Bagus Manuh berpendapat, kepentingan Bagus Rangin sebetulnya hanya mengumpulkan rakyat dan menunjuk seseorang menjadi pemimpin, ia sendiri tidak menginginkan apa-apa (Marihandono, 2003: 17). 
Berbeda dari naskah Sri Baduga yang menyatakan bahwa motif perlawanan Bagus Rangin yaitu hendak merebut kekuasaan dalem Indramayu, seperti tersebut dalam pupuh Dangdanggula. Niatan Bagus Rangin mendapatkan respon baik dari masyarakat sekitarnya. Dimana pun Bagus Rangin berada selalu mendapat dukungan dari penduduk setempat, sehingga sulit ditangkap. Ia terus melakukan mobilisasi massa, melancarkan gerakan sporadis, dan menyalakan api semangat perlawanan. Orang-orang yang memegang peranan penting dalam gerakan pemberontakan selain Bagus Rangin adalah Bagus Surapersanda, Bagus Seling, Bagus Sena, Bagus Jabin, Bagus Prasana, Bagus Layung, Kiai Serit, Bagus Leja, Bagus Kandar, Bagus Jari, dan Ciliwidara. Mereka berasal dari wilayah yang berbeda, ada yang dari Bantarjati, Biyawak, Jatitujuh, Kulinyar, Pasiripis, Pamayahan, dan ada pula yang dari Banten. Kepada para pengikut, mereka tidak hanya memberikan persenjataan dan ilmu kanuragan, tetapi juga mengatur strategi perang. Bantarjati Jatitujuh adalah sarang mereka di daerah Majalengka, sedangkan di Indramayu sarangnya di Desa Pamayahan Lohbener. 
Mengenai jumlah pemberontak, ada beberapa catatan yang perlu saya kemukakan. Berdasarkan laporan Nyi Resik, seperti disampaikan kepada Raden Semangun, di Bantarjati terdapat 1000 pemberontak yang dipimpin oleh Bagus Rangin. Naskah Cikedung menyebutkan jumlah pemberontak 600 orang, sedangkan naskah Kedawung dan naskah Sri Baduga masing-masing mencatat 700 orang. Arsip kolonial mencatat lebih besar lagi, jumlahnya 3545 ribu, 3000 diantaranya pernah dibawa Bagus Rangin untuk menyerang markas pasukan dalem Indramayu. 
Dalam penyerangan menuju pusat administrasi dalem Indramayu, pasukan Bagus Rangin dihadang oleh Cina Celeng, Lohbener, yang megakibatkan peperangan besar, kelompok pemberontak banyak yang melarikan diri. Kala itu, jumlah orang Cina hanya 20 orang tetapi mereka sangat kuat dan tidak takut mati melawan para pengikut kebagusan, pemimpinnya adalah Kwe Beng, Eng San, Eng Jin, Eng Lie, dan Tiang Lie. Seorang pemimpin pemberontak, Surapersanda atau yang dikenal Bagus Urang, diingatkan oleh Kwe Beng supaya tidak memberontak karena mereka memiliki hubungan baik. Karena tidak menghiraukan, akibatnya Bagus Urang tewas, jenazahnya dikebumikan di Desa Pamayahan. 
Kemudian Bantarjati Jatitujuh diserang oleh pasukan dalem Indramayu yang dipimpin oleh Raden Semangun dan Patih Astrasuta. Pemberontak sudah mengetahui sebelum penyerangan dilakukan, oleh karenanya mereka membuat jebakan di jembatan. Tidak ada pasukan yang berani melewati jebakan itu kecuali Patih Astrasuta. Akibatnya, patih dan pengawalnya tewas dikeroyok kebagusan. Patih Astrasuta terkena panah Bagus Serit, jenazahnya dimakamkan di Bantarjati. 
Raden Semangun kemudian kembali menyerang Bantarjati dengan membawa pasukan yang lebih besar untuk membalaskan dendam kematian sang patih. Akan tetapi, sebelum diserang, 500 pasukan bersenjata lengkap terlebih dahulu hijrah ke Cikedung karena mereka sudah mengetahui. Waktu itu yang memimpin adalah Bagus Rangin, Bagus Serit, Bagus Kandar, Bagus Jari, dan Bagus Jabin. 
Melalui utusannya, Demang Wangsanaya, Raden Semangun mengirim surat bantuan kepada Gusti Kanjeng Raja Kompeni yang tak lain adalah Daendels (Gusti Kanjeng Raja Kumpeni) di Batavia pada tahun 1808. Bantuan 300 tentara (soldadu) dengan membawa meriam, yang dipimpin oleh dua orang letnan (litnan I dan litnan II) dikerahkan. Meriam diseret dengan dua ekor kerbau. Akhirnya, tiga kekuatan bergabung: tentara Batavia, pasukan dalem Indramayu, dan orang Cina. Para pemberontak berhasil dikalahkan, karena kekuatan tidak sebanding. Bagus Persanda, Bagus Urang, dan Bagus Rangin lari tunggang langgang menuju markas. 
Sampai di Pamayahan, mereka terus berlari ke arah barat, memasuki hutan Sinang, Cikole, Legoksiu, dan Dulangsontak, serta menyeberangi sungai Cilanang, Cibinuwang, Cipedang, Cilege, Cipancu, Ciwidara, Koceyak, Parung Balung, hingga melewati Sungai Cipunagara dan Cigadung. Tempat tinggal mereka selalu berpindah-pindah, hingga melewati perbatasan Pagaden, distrik Pamanukan, Tegalslawi, Subang, Karawang, dan seterusnya. Rencananya, mereka akan menghimpun kekuatan lagi untuk melakukan pemberontakan. 
Akibat penumpasan itu pemerintah Belanda mengalami kerugian sebanyak f. 1.830, jumlah yang fantastis di zamannya, namun kerugian tersebut ditanggung oleh pemerintah Indramayu. Oleh karena bupati Indramayu tidak mampu membayar maka bupati menyerahkan beberapa wilayah kekuasaannya kepada pihak yang telah membantu. 
Seiring dengan perputaran waktu, perlawanan terhadap tentara Belanda tidak hanya dilakukan oleh para kebagusan, melainkan sejumlah elit keraton. Ditengarai mereka adalah kelompok barisan Raja Kanoman yang pernah melakukan perlawanan terhadap Belanda, atau orang-orang yang sudah terpengaruh aksi para kebagusan, seperti perlawanan Raden Kertawijaya dan Raden Welang atas 40 tentara Belanda di Palimanan Cirebon. 
Penutup 
Penjualan tanah penduduk kepada orang Cina, keberpihakan bupati Indramyu terhadap Belanda, serta kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang menindas, tengah meresahkan masyarakat pribumi. Jaringan yang menghubungkan langsung antara dalem Indramayu dan pemerintah Batavia, yang diawali dengan pengiriman surat permohonan bantuan, menjadikan daerah itu secara sistemik-administratif dikuasai sepenuhnya oleh Hindia Belanda. Kompleksitas permasalahan inilah yang melatarbelakangi munculnya pemberontakan dibawah kendali Bagus Rangin. 
Akhirnya, ikhtiar rekonstruksi sejarah harus tetap ada untuk menghasilkan sebuah sintesis, sembari menyadari bahwa kebenaran sejarah mudah difalsifikasi, lalu kembali menjadi tesis baru, dan seterusnya. Oleh karena itu, kajian yang berbasiskan naskah kuno (manuscript) ini diharapkan dapat memunculkan antitesis, dan bergerak secara dialektis, sehingga tercipta jalinan sejarah lokal yang dapat melengkapi sejarah Nusantara. 


Daftar Pustaka 
Asdi, S. Dipodjojo. 1966. Memperkirakan Titimangsa Suatu Naskah: Yogyakarta: Lukman Ofset. 
Atja dan Ayatrohaedi. 1984. Nagarakretabhumi; Karya Kelompok Kerja di Bawah Tanggungjawab Pangeran Wangsakerta Panembahan Cirebon. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). 
Christomy, Tommy dan Nurhata. 2013. Kearifan Lokal dalam Naskah-Naskah Pesisir Indramayu: Pengembangan Budaya Pesisir Melalui Knowledge Management System. Laporan Akhir Hibah Riset Awal Univesitas Indonesia. 
Dasuki (dkk.). 1976. Sejarah Indramayu. Pemda Indramayu. 
Djuliati, Suroyo A.M. 2003. “VOC and Colonial Exploitation in Java: Monopoly Forced Planting, and Forced Buying” dalam Forum Dialog Indonesia- Belanda, Verenigde Oostindische Compagnie (VOC); Dua Sisi dari Perusahaan Multinasional Dunia yang Pertama. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah. 
Ekadjati, Edi. S. (dkk.). 1990. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonial di Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, dan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional. 
Hardjasaputra, Sobana dan Haris, Tawalinuddin (ed.), 2011. Cirebon dalam Lima Zaman (Abad 15 hingga Pertengahan Abad 20). Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat. 
Kartodirdjo, Sartono. 1984. Pemberontakan Petani Banten. Jakarta: Pustaka Jaya KITLV. 1880. Kaart, van het particuliere land Indramajoe. Diunduh pada hari 
Minggu 15 Juni 2014, http://media.kitlv.nl/image.
Lombard, Denys. 2000. 
Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu. 
Bagian II: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia. 
Marihandono, Djoko. “Daendels dalam Naskah dan Cerita Rakyat: Cerita yang Berkaitan dengan Daendels di Pantai Utara Jawa”. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 25 Oktober 2003. 
Pusponegoro, Marwati Djanoed dan Notosusanto, Nugroho. 2008. Sejarah Nasional Indonesia IV. Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 
Rickfels, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 12002004. Jakarta: Serambi. 
Ruhalia. 2003. Babad Darmayu; Suntingan Teks dan Analisis Isi. Jakarta: PNRI. 
Van der Kemp, P.H. 1979. Pemberontakan di Cirebon Tahun 1818. Yayasan Idayu: Jakarta. 
Wibisono, Singgih. 2001. “Wayang Purwa” dalam Sastra Jawa; Satu Tinjauan Umum, Jakarta: Pusat Bahasa, Balai Pustaka. 
Sumber Naskah 
Babad Cirebon II (Babad Darmayu), aksara/bahasa Jawa, nomor registrasi 1.368, koleksi Museum Sri Baduga. 
Babad Darmayu, aksara/bahasa Jawa, koleksi Tarka, Cikedung. 
Babad Darmayu, aksara Latin; bahasa Jawa, koleksi Opan S. Hasyim, Kedawung. 
Babad Darmayu, aksara/bahasa Jawa, koleksi Ahmadi, Pabean. 
Catatan Sejarah Cikedung, aksara/bahasa Latin/Jawa, penulis Kuwu Wirya tahun 1950-an. Koleksi Guru Ki Bagus Danawarsita. 
Indramayu, kode: 134a CS 127, aksara Jawa/latin, bahasa Jawa/Belanda, koleksi Perpustakaan Nasional RI.

0 Response to "KI BAGUSANGIN DI MATA MASYARAKAT DERMAYU PADA ABAD 19 BAGIAN KE 2 (DUA)"