Bagi para pecinta Sejarah Aulia di sekitar Kita pada kesempatan ini http://nurussyahid.blogspot.com akan mengajak para pembaca untuk mendalami tentang sejarah perjalanan Pergerakan Ki Bagusrangin di wilayah Indramayu Jawa Barat, mari kita simak penuturan Bapak Nurhata, M.Hum dalam tulisanya tentang perjalanan Ki Bagusrangin di Indramayu. Sebelumnya saya mohon maaf dan izin kepada penulis Babad ini yang terhormat Bapak Nurhata, M.Hum tulisan ini sangat penting untuk di muat ulang dengan alasan suapaya dapat di baca oleh para pecinta Perjalanan Aulia sosok Ki Bagusrangin dan Kawan –kawannya semoga dapat menjadi tambahan insfirasi generasi muda untuk reference sejarah. Terima kasih Pak Nur.
Abstract
This writings is about Bagus Rangin rebellion in Indramayu, in the beginning of 19 th century, based on Babad Darmayu manuscript. Intern conflict in Bupati's family, which involves the Dutch Indies, becomes a starting point for Batavia to intervene. At the same time, there were some rebellions in some places in Indramayu caused by land selling done by local dwellers to Chinese. The existence of the Dutch Indies, apparently couldn’t solve the rebellions. They make them bigger, indeed. Bagus Rangin is the name of one characters who lead one of rebellions in Indramayu. As a leader, he has an important role. The troops of Dalem Raden Semangun Singalodraka couldn’t beat Bagus Rangin troops. Bagus Rangin rebellion could be stopped when the Dutch Indies, troops Dalem Indramayu, and Chinese worked together to finish it.
Keyword: Naskah, Babad Darmayu, Bagus Rangin, dan Indramayu.
Pendahuluan
Babad adalah bagian terpenting dalam sastra Jawa. Babad atau kronik adalah buah karya masyarakat pribumi yang tidak terinspirasi dari Islam atau pun tradisi Jawa Kuno. Beberapa hal yang diangkat dalam babad biasanya meliputi keberadaan para raja, pahlawan, peperangan, dan kisah romantis. Karya sastra semacam ini adalah sumber sejarah yang paling kaya meskipun tidak semuanya (Ricklefs, 2007: 83). Sebuah naskah babad yang penting untuk dikaji adalah Babad Darmayu: catatan penting perihal pemberontakan Bagus Rangin dkk.
Sedikitnya, naskah Babad Darmayu berjumlah 13, keberadaannya tersebar di desa-desa di Indramayu, antara lain koleksi pribadi dalang wayang golek cepak Pak Ahmadi. Menurut pengakuan pemiliknya, dahulu naskah itu kerap digunakan sebagai “naskah” seni pertunjukan wayang, yang dengannya isi cerita menjadi populer di masyarakat, namun karena keterbatasan penglihatan pemilik, naskah itu tidak lagi dibaca.
Secara umum, isi naskah Babad Darmayu terdiri atas dua bagian: tentang cerita asal-usul pendiri Indramayu, Raden Wiralodra, hingga berdirinya pedukuhan Cimanuk yang kelak menjadi Darmayu atau Indramayu; dan Indramayu dibawah kekuasaan kolonial Belanda pada awal abad ke-19. Pada bagian kedua, dipaparkan ihwal relasi pemberontak (brandal) dengan penguasa pribumi (bupati), orang Cina, dan pemerintah Hindia Belanda. Para pemberontak kerap kali berbuat kasar, terutama terhadap orang-orang Cina.
Pemberontakan itu terjadi selama lebih dari dua dekade yang dilatarbelakangi oleh adanya sistem pajak dari orang Cina serta kebijakan tanam paksa oleh pemerintah Belanda. Pada saat yang bersamaan, di dalam tubuh keluarga bupati Indramayu juga sedang dilanda konflik intern. Intrik politik sesama keluarga terendus hingga ke masyarakat bawah.
Di dalam banyak sumber, sejak beberapa abad silam, Kali Cimanuk (kota Indramayu) disebut-sebut sebagai salah satu pelabuhan paling strategis; inkulturasi dan akulturasi berproses di jalur perdagangan itu. Dari dataran tinggi, sejumlah jung berukuran kecil yang berasal dari daerah pasundan kerap bermuara di jalur itu untuk berbagai kepentingan terutama ekonomi. Sejumlah kapal kemudian menyambutnya, membawa berbagai komoditi untuk diperdagangkan ke manca negara. Selama tiga periode, dari abad ke-16 sampai abad ke-18, sungai itu menjadi batas administratif bagi tiga kekuatan besar.
Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati, sekitar tahun 1513, Kali Cimanuk masuk ke dalam wilayah kekuasaan Cirebon, berbatasan dengan kerajaan Sunda (Atja dan Ayatrohaedi, 1984: 27; 30). Abad ke-17 Cimanuk menjadi batas wilayah kekuasaan VOC di bagian timur yang kedudukannya mulai mapan sejak tahun 1619 (Djuliati, 2003: 242). Baru pada tahun 1705―1706, VOC berhasil menguasai Cirebon dan wilayah timur Priangan, lalu di tahun 1743 menguasai semua wilayah pesisir utara, seluruh pelabuhan kecil dari Cirebon ke Semarang, Jepara, Rembang, dan Surabaya. Kendati demikian, tekanan Eropa di Jawa mulai tampak menguat pada awal abad 19 melalui politik radikal Daendels dan Raffles, sehingga jaringan-jaringan Asia lebih awal dibandingkan tempat lain (Lombard, 2000: 79; 105). Jaringan itu berpengaruh pula bagi Indramayu, yang tengah memicu pemberontakan di sejumlah desa di bawah kendali Bagus Rangin dkk. Tragedi paling bersejarah bagi Kota Mangga itu diabadikan dalam naskah Babad Darmayu.
Menempatkan naskah Babad Darmayu sebagai sumber pokok dalam kajian sejarah Indramayu pada masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels dan Raffles adalah suatu keharusan karena disinilah catatan penting itu berada meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, apalagi penelitian yang memanfaatkan sumber lokal masih sangat terbatas. Dengan menggunakan naskah tersebut, saya mencoba menguraikan manuver pemberontakan Bagus Rangin dkk. dengan harapan dapat melengkapi sejarah Nusantara.
Perkiraan Waktu Penulisan
Dari 13 naskah Babad Darmayu yang sudah saya himpun berasal dari berbagai tempat (kebanyakan berasal dari Indramayu): Cikedung Lor 2 naskah; Pekandangan 2 naskah; Mundakjaya 4 naskah; Arjawinangun Cirebon 1 naskah (digunakan sebagai sumber penulisan “Sejarah Indramayu” oleh Dasuki, dkk.); Kedawung Cirebon 1 naskah; Kertasmaya 1 naskah; Museum Sri Baduga 1 naskah; dan Pabean Udik 1 naskah (selanjutnya, penyebutan semua naskah Babad Darmayu akan disingkat berdasarkan lokasi penyimpanan). Naskah Pabean yang dipakai sebagai sumber penulisan ini berukuran 22 x 17.5 cm; ukuran blok teks 15 x 17 cm; jumlah halaman 26; dan jumlah baris tiap halaman rata-rata 12 baris. Naskah beraksara Jawa/Carakan; bahasa Jawa. Kertas eropa yang digunakan sebagai alas kondisinya lapuk, dan tidak memiliki halaman awal dan akhir.
Naskah Sri Baduga bernomor registrasi 1.368, yang dikenal dengan naskah Babad Cerbon II (Babad Darmayu) sebagai naskah tertua. Naskah yang tidak memiliki keterangan nama penyalin atau penulis ini ditulis pada tahun 1900. Jika merujuk pada penanggalan, naskah tersebut adalah induk dari naskah Kedawung, namun tidak secara langsung melainkan melalui dua naskah sebelumnya yang keberadaannya tidak diketahui lagi. Hal demikian diperkuat dengan adanya kesamaan bentuk, yakni tembang (dangding), seperti dangdanggula, sinom, pangkur, dst., sebagai penanda pergantian bab.
Pada bagian awal sebelum teks tercatat bahwa, naskah Kedawung disalin oleh Syarif Taimah Asikin Tirtawidjaya pada tahun 1977; sebelumnya pernah disalin pada tahun 1957. Sebagaimana tercatat pada manggala, naskah ini bersumber dari Babad Darmayu yang ditulis pada tahun bulan Juni tahun1913. Demikian pula dengan naskah Kertasmaya, serta tiga naskah Mundakjaya, menginduk pada naskah Sri Baduga.
Sementara itu, yang menjadi induk dari naskah Cikedung adalah naskah Pabean. Hal ini dapat diidentifikasi dari penggunaan kata sigeg dan jejer, permulaan bab dalam suatu cerita. Wibisono (2001: 333) mengartikan jejer sebagai aspek ruang pada seni pedalangan atau disebut dengan adegan. Naskah Pabean ditengarai menginduk pada naskah Sri Baduga, yang dalam proses penyalinannya sengaja disesuaikan untuk kebutuhan seni pertunjukan, sehingga menjadi versi tersendiri. Kedelapan naskah tersebut (Sri Baduga, Kedawung, Kertasmaya, tiga naskah Mundakjaya, Pabean, dan Cikedung) sama-sama menceritakan awal mula berdirinya Indramayu hingga era kolonial Belanda awal abad ke-19, sedangkan lima naskah lainnya hanya sampai pada cerita asal-usul.
Untuk memperkirakan waktu penulisan nasakh Pabean sesungguhnya dapat dilakukan melalui empat cara: bukti dari dalam (interne evidensi) dan bukti dari luar (externe evidensi); berdasarkan ejaan; merujuk sumber lain (buku/naskah); dan melihat cap kertas (watermark), jika ada (Dipodjojo, 1996: 9—24).
Pada cara interne evidensi, yaitu menyandingkan konteks peristiwa yang diceritakan dalam naskah: tentang peperangan pasukan Bagus Rangin melawan Belanda, orang Cina, dan penguasa pribumi. Berdasarkan catatan kolonial, sebagaimana diuraikan oleh Marihandono dan Van Der Kemp, peristiwa pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon terjadi sejak akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19, terutama masa Daendels dan Raffles. Jadi, perkiraan waktu penulisannya setelah tahun 1818. Namun demikian, jika mendasarkan pada Babad Darmayu koleksi Sri Baduga berangka tahun 1900, kesimpulannya akan sedikit berbeda. Dengan kalimat lain, naskah Sri Baduga adalah induk dari naskah Pabean yang diadaptasi setelah tahun 1900, paling tidak penulisan dan penyalinannya pada rentang waktu yang berdekatan.
Terjemahan Singkat Naskah Babad Darmayu
Wiralodra adalah putra ketiga dari Raden Gagak Singalodraka. Ia memiliki dua kakak, Raden Tanuwangsa dan Raden Tanuyuda; dan dua adik, Raden Tanujaya dan Raden Tanujiwa.
Suatu hari Wiralodra tertidur di dekat pohon kiara tepat di tepi sungai karena kelelahan mengejar kijang. Di dalam tidurnya ia bermimpi bahwa, tepi sungai tempat ia tertidur bernama Sungai Cimanuk, wilayah yang sudah lama dicarinya. Bersama Ki Tinggil tempat itu dibangun hingga menjadi Dukuh Cimanuk. Pada masa pembangunan, Nyi Endang Darma Ayu bersama 40 pengawalnya ikut membantu. Perempuan itu cantik jelita sekaligus sakti mandraguna. Dikabarkan bahwa kesaktiannya mampu mengalahkan Pangeran Guru, putra Syekh Tarja, cucu Aryadillah. Pangeran Guru berasal dari Palembang. Sumber lain menyebut ia dari Mesir, nama lainnya adalah Bahrul Samsudi.
Darma Ayu menolak ketika akan diperistri oleh Wiralodra. Sang putri hanya berpesan kepada Wiralodra untuk mengganti dukuh Cimanuk menjadi namanya, Darma Ayu, atau Darmayu (sekarang Indramayu). Dalam waktu singkat Darmayu didatangi banyak orang dari berbagai wilayah, sehingga menjadi ramai. Wiralodra memiliki empat anak: Sutamerta, Ayu Inten, Wirapati, dan Drayantaka.
Berita berdirinya Dukuh Darmayu dilaporkan ke Sultan (diduga sultan itu bernama Syarif Hidayatullah) oleh Patih Waru Angkara dan Patih Anggasura (dari Kuningan), setelah mereka berdua kalah berkelahi dengan Wiralodra. Sampai di Puser Bumi (Cirebon), mereka melapor kepada Sultan, dan menceritakan keburukkan Wiralodra. Tanpa diketahui, ternyata Wiralodra mengikutinya dari belakang, dan menyampaikan berita sebenarnya kepada Sultan. Wiralodra pun diizinkan. Persoalan itu tidak diketahui oleh Ki Tinggil, karena ia sedang bersama Bayantaka, Jayantaka, Surantaka, Wanasara, Jagasara, Puspahidah, Puspajaya, dan Ki Pulaha. Setelah Wiralodra wafat, yang menggantikan Dalem Darmayu (Bupati Indramayu) adalah putranya yang ketiga, Wirapati.
Suatu hari Wirapati kedatangan tamu bernama Werdinata, dari Pulo Mas, hendak melamar kakaknya, Nyi Ayu Inten. Oleh karena tidak direstui, terjadilah peperangan, dan Darmayu kalah. Konsekuensinya, keluarga dalem harus menyerahkan Ayu Inten untuk diperistri, dengan syarat akan terus membantu anak keturunannya setiap ada peperangan. Werdinata menyanggupi persyaratannya. Akhirnya, mereka menikah, dan memperoleh keturunan bernama Bagus Waringin Anom. Kemudian mereka pulang ke Pulau Mas bersama anak dan istrinya.
***
Di Sumedang, seorang mantri melaporkan kepada Dalem Ardikusuma, bahwa wilayahnya akan dipaksa tunduk kepada Dalem Ciamis, Dipasanah, yang memiliki pasukan dedemit. Dalem Sumedang adalah musuh dari Dalem Kuningan, Ki Gadiksura, yang mengandalkan kekuatan wadyabala. Peperangan dua kekuatan itu berhasil dimenangkan oleh Kuningan.
Di Sumedang, seorang mantri melaporkan kepada Dalem Ardikusuma, bahwa wilayahnya akan dipaksa tunduk kepada Dalem Ciamis, Dipasanah, yang memiliki pasukan dedemit. Dalem Sumedang adalah musuh dari Dalem Kuningan, Ki Gadiksura, yang mengandalkan kekuatan wadyabala. Peperangan dua kekuatan itu berhasil dimenangkan oleh Kuningan.
Ardikusuma mengutus delegasi, meminta bantuan Darmayu. Bagus Wirapati yang saat itu sedang berbincang bersama saudara-saudaranya, menyatakan siap membantu. Wirapati segera memanggil pasukan dari Pulo Mas. Akhirnya, terjadilah peperangan besar antara pasukan dedemit Ciamis dengan pasukan lelembut asal Pulo Mas, sedangkan pasukan gabungan Ciamis-Kuningan berhadapan dengan pasukan gabungan Sumedang-Darmayu. Pasukan Ciamis beserta para dedemitnya, juga Kuningan, dapat dikalahkan. Sebagai imbalannya, kepala Negara Pulo Mas, Bagus Waringin Anom, diberi seorang putri oleh Ardikusuma, sementara Bagus Wirapati diberi hadiah dua desa: Sokawanah dan Legok. Setelah itu, mereka pulang ke negaranya masing-masing.
Bagus Wirapati beristri empat, dan memiliki sebelas anak: Raden Kohi, Raden Timur, Raden Wirantaka, Raden Wira Atmaja, Raden Wirantanu, Raden Astrasuta, Raksa Diwangsa, Raden Nayawangsa, Raden Nayasastra, Raden Puspataruna, dan Sastranaya. Setelah Wirapati wafat, kedudukan dalem beralih ke putra sulungnya, Raden Kohi. Dalem baru ini memiliki empat putra: Raden Benggala Wiralodra, Raden Benggali Singalodra, Raden Singawijaya, dan Raden Istriwinata.
Selanjutnya, Raden Kohi melimpahkan kekuasaannya kepada Raden Benggala Wiralodra, tetapi Raden Benggali Singalodra tidak menghendakinya, ingin merebut jabatan dalem, sehingga terjadi pertikaian. Perseteruan baru berhenti setelah Tuan Selutdriyan di Batavia memutuskan bahwa mereka berdua dapat menduduki jabatan dalem masing-masing tiga tahun. Keputusan itu disampaikan melalui utusannya, kakak beradik pun menyetujuinya.
Benggala Wiralodra merasa sangat malu saat posisinya digeser oleh adiknya. Oleh karenanya ia lebih memilih tinggal dari masjid ke masjid, ziarah ke makam para leluhur, dan berkelana ke Cirebon. Dalam perjalanan itu, putra Benggala Singalodra, Raden Kertawijaya, turut mendampingi. Di Cirebon, Benggala diangkat menjadi ulama (kiai syariat) sementara Kartawijaya menjadi Mantri Istana. Tempat tinggal mereka di Panjunan. Kertawijaya menikah dengan putri Panjunan, Nyi Ratu Atma. Tidak lama setelah Kertawijaya pindah ke Kajaksan, ia diberi tugas untuk menjaga perbatasan Darmayu dengan membawa 40 prajurit.
Selanjutnya, yang menjadi Dalem Darmayu adalah Raden Semangun Singalodraka. Pada masa ini banyak sekali pemberontakan, sebagaimana dilaporkan oleh Patih Astrasuta dan Patih Purwadarnata. Pemberontakan yang dipimpin oleh Bagus Urang, Bagus Rangin, dan Bagus Persanda itu dapat dikalahkan oleh pasukan kedua patih tersebut. Markas para pemberontak berada di Pamayahan. Para pemimpin pemberontakan memberi peringatan kepada orang- orang Cina agar tidak ikut campur dalam perseteruan. Orang-orang Cina pun sepakat, selama rumahnya tidak dirusak dan harta bendanya tidak dijarah.
Kepada Demang Wangsanaya, Raden Semangun mengutus untuk membawa surat ke Batavia, memberitahukan bahwa Negara Darmayu sedang dilanda kerusuhan. Selang beberapa waktu, penguasa Batavia (kemungkinan Daendels) mengirim 300 tentara yang dipimpin oleh Tuan Kapten Letnan I dan Letnan II ke Darmayu. Ki Patih Raden Kartawijaya turut membantu melakukan pemberantasan terhadap para pemberontak. Mereka lari tunggang langgang menuju markasnya. Salah seorang pemimpin pemberontakan bernama Nyi Ciliwidara menghilang karena terkena tiwikrama (menjadi raksasa) Kartawijaya. Sebelum pulang ke Cirebon, Kartawijaya melaporkan peristiwa itu ke Dalem Darmayu.
Para pemberontak (berandal) juga diburu oleh orang-orang Cina Celeng dan Cina Baru yang dipimpin oleh Kai Beng dan Lai Seng. Mengetahui bahwa kelompoknya akan diburu, para kebagusan membuat jebakan di jembatan, di sungai Bantarjati. Tidak ada yang berani melewati jembatan itu kecuali Patih Astrasuta. Sampai di titik jebakan, jembatan dihancurkan, sehingga Astrasuta dan para pengiringnya yang membawa payung terjatuh. Mereka dikeroyok, Patih Astrasuta ditusuk oleh Kiai Serit dengan tombak Si Wedang hingga tewas. Tempat dimakamkannya Patih Astrasuta kemudian dinamakan Ki Buyut Rengas Payung.
Seorang utusan pemberontak, Ki Dhulangsere, datang membawa surat tantangan perang yang ditujukan kepada Ki Gedeng Pecung dan Kiai Kreti. Saat itu Kiai Kreti sedang bersama anak-anaknya: Ki Grudug, Ki Gintung, Ki Sindanglaya, Ki Jakapatuwakan (pemilik pusaka Penjalin Wulung), dan Jigjakreti. Pembawa surat lari kencang menuju markas karena diserang, lalu melapor ke para kebagusan. Perihal tantangan itu ternyata diketahui oleh Kanjeng Raja Kumpeni di Batavia (Daendels).
Akhirnya, perang besar pun tak terhindarkan. Dalam peperangan itu, dua mantri pemberontak, Ki Leja dan Ki Sene tertangkap, sementara Bagus Rangin masih terus berkelahi hingga berhasil menumbangkan Ki Grudug dan Ki Jigjakreti. Bagus Rangin baru bisa dikalahkan oleh Ki Wirasetro dengan ajian tiwikrama. Wirasetro dan keempat mantrinya, Surakreti, Jayamegala, Jijakarya, dan Jayakreti adalah orang yang pernah membantu perang Ki Pecung di Pegaden Baru. Semua pemberontak seketika menghilang. Akan tetapi, dua tawanan yang tertangkap berhasil melarikan diri terjun ke Sungai Citarum saat akan dibawa ke Batavia.
Berita kaburnya Mantri Ki Leja dan Ki Sene disampaikan Raden Kartawijaya dan Raden Welang kepada Dalem Darmayu dan komandan Belanda di Palimanan. Namun demikian, kepada komandan Belanda dan pasukannya, mereka berdua berbalik menyerang karena tidak diizinkan meminta minum air sumur. Akibatnya, banyak tentara tewas. Komandan mengirim surat ke Batavia. Beberapa hari setelah surat diterima, jenderal mengirimkan 40 tentara ke Cirebon untuk menangkap dua orang itu. Mereka ditangkap lalu dibawa ke Batavia; Kertawijaya membawa keris Si Klewang, Raden Welang membawa keris Si Dumung. Sampai disana ia diadili, dan akan dihukum tembak. Akan tetapi, sebelum dieksekusi mati mereka mengamuk sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Kertawijaya dan Raden Welang baru dapat dikalahkan setelah dilumpuhkan dengan peluru intan. Tragedi itulah yang mengakibatkan Cirebon diserang oleh tentara Batavia.
Kemudian, tentara Batavia berangkat menuju Cirebon. Di sana mereka disambut dengan serangan Sultan Matangaji, Pangeran Suryakusuma, Pangeran Martakusuma, Pangeran Pekik, Pangeran Logawa, dan Pangeran Penghulu Dulkasim. Tentara Batavia lari ke Mataram meminta bantuan karena kalah berperang. Saat itu Sultan Mataram sedang berbicara dengan teman-temannya: Pangeran Purobaya, Pangeran Natabumi, Pangeran Buminata, Pangeran Pakualaman, dan Pangeran Pakunagara. Tentara Belanda datang menghadap. Sultan Mataram siap membantunya dengan mengeluarkan kebijakan bahwa luas kekuasaan Cirebon dibatasi menjadi 1000 kilometer persegi. Sejak saat itu pula nama ‘dalem’ dihilangkan. Kebijakan itu diterima oleh Raden Semangun. Setelah dalem wafat lalu diganti oleh putranya, Raden Krestal. Raden Krestal memiliki enam putra: Raden Marngali, Ki Wiradibrata, Nyi Empuh, Nyi Pungsi, Nyi Otama, dan Bagus Kalib (Demang Yogya) atau Tambak Emas Bangkir.
Akhirnya, Bagus Serit, Nyi Ayu Sumenep (Putri Bagus Serit), Bagus Rangin, Bagus Kandar, Bagus Leja, dan Bagus Urang, hijrah ke arah ke Barat. Mereka memasuki hutan Sinang, Cikole, Legoksiu, dan Dulangsontak. Dalam perjalanan itu mereka menyeberangi sungai Cilanang, Cibinuwang, Cipedang, Cilege, Cipancu, Ciwidara, Koceyak, Parungbalung, hingga melewati Sungai Cipunagara dan Cigadung.
Sampai di Cigadung, para kebagusan membuat pondok. Di sana mereka memiliki kegemaran berbeda, ada yang senang berburu binatang di hutan, ada pula yang gemar menangkap ikan di Rawateja, seperti Ki Bagus Leja. Tempat biasa Ki Bagus Rangin duduk merenung di bawah pohon jati kelak dikenal dengan nama Jatilima, sedangkan tempat berkumpulnya kebagusan di sungai Cigadung dinamakan sungai Ciagur. Mereka selalu berpindah dari satu tempat ke lain tempat, melewati perbatasan Pagaden, distrik Pamanukan, Tegalslawi, perbatasan Subang, dst.
Selama bermukim dua tahun di daerah Pamanukan, banyak orang datang menjadi murid, mengaji ilmu kesaktian atau kejayaan. Para kebagusan berencana akan menaklukan Ki Gedeng Pecung dan akan mengirimkan surat tantangan perang lagi kepada pihak yang menghalanginya jika sudah menghimpunkekuatan.
0 Response to "KI BAGUSANGIN DI MATA MASYARAKAT DERMAYU PADA ABAD 19 BAGIAN KE 1 (SATU)"
Post a Comment