IMPLIKASI PEMBERIAN NAMA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM
DALAM MENDIDIK KESALEHAN ANAK
A. Latar Belakang Masalah
Nama sebagai identitas diri yang paling hakiki yang melekat dari jasad
sampai ruh atau nyawa, sehingga penting bagi orang tua untuk mengetahui ajaran
Islam tentang pemberian nama. Nama merupakan bukti kongkrit kecintaan orang tua
terhadap anaknya, dan sekaligus sebagai bukti tanggung jawab orang tua dalam
menjalankan pendidikan anak menuju anak yang saleh.
Dalam ajaran Islam, anak adalah perhiasan Allah yang diberikan kepada
manusia. Hadirnya anak akan membuat bahagia ketika memandangnya, hati akan
terasa tentram dan suka cita setiap bercanda dengan mereka, dialah bunga
kehidupan di dunia sebagaimana ditegaskan dalam ayat-ayat al-Qur'an.
Artinya :
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia
kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta
yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan
sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran 14)[1]
Bagi orang tua, anak merupakan amanah Allah dan sekaligus menjadi
tanggungjawabnya kepada Allah untuk mendidiknya, anak dilahirkan ke dunia
mempunyai dua potensi yaitu bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk,
potensi fitrah adalah suci dan baik. Jika kemudian anak berperilaku buruk bukan
karena potensi fitrah, tetapi karena pengaruh lingkungan yang buruk, jadi baik
buruknya anak sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang diberikan oleh kedua
orang tua.
Nabi Muhammad SAW bersabda :
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلّى
الله عليه وسلّم : ما من مولود إلاّ يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أوينصّرانه أو
يمجسانه ( رواه
البخارى )
Artinya
:
Dari
Abu Hurairah r.a berkata bahwasannya Rasulullah Saw bersabda, “Tidaklah
seseorang yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah suci dari kesalahan dan
dosa maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”. (HR.
al-Bukhari)[2]
Mencermati hadis tersebut berarti anak yang terlahir ibarat kertas putih
bersih tanpa noda, dan orang tualah yang berkewajiban mengukur nilai-nilai
luhur dalam jiwanya atau bahkan membiarkannya tanpa diukir sesuatu hingga
menjadi kertas yang lusuh.
Anak saleh memang menjadi dambaan setiap keluarganya, tetapi dalam
meraihnya, tidak segampang yang diharapkan harus melalui proses panjang,
dibutuhkan ketekunan dan kejelian dalam mendidik, dan kesiapan orang tua dalam
mengatarkannya menjadi insan saleh. Kesiapan artinya orang tua harus memiliki
pengetahuan cukup tentang cara mendidik anak serta mengetahui masa
perkembagannya hingga dalam mengukir nilai moral dalam jiwanya bisa sesuai lagi
tepat dari kebutuhannya.[3]
Salah satu pengetahuan yang harus dimiliki orang tua muslim dalam rangka
mendidik kesalehan anak adalah tuntunan Islam tentang pemberian nama. Agama
Islam sebagai agama yang kaffah memberi berbagai petunjuk tentang
kehidupan termasuk petunjuk tentang serangkaian kegiatan dalam menyambut
kehadiran si buah hati, di antaranya adalah memberi nama yang baik pada anak,
sesuai dengan aturan Islam yang merupakan kewajiban orang tua.
Sebagaimana hadits Nabi SAW:
عن الحارث
بن النعام قال : سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال : أكرموا أولادكم
وأحسنوا أسمائهم ( رواه إبن ماجه )
Artinya
:
Dari
Kharis bin Nu’am ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Muliakanlah anak-anak kalian dan berilah mereka namanama yang baik”. (H.R.
Ibnu Maajah)[4]
Nama berfungsi sebagai pembeda antara orang yang satu dengan yang lain
dan memudahkan sesama manusia dalam berkomunikasi, nama juga membedakan
masing-masing orang di hadapan Allah pada hari kiamat. Namun pada era globalisasi
ini, nama seringkali tidak lagi disangkut-pautkan dengan identitas agama,
marga, ataupun suku, pemberian nama lebih cenderung bertujuan asal ngetrend
saja. Karena itu tidak heran jika tingkat relativitas nama dalam menunjukkan identitas
kesukuan bangsa atau marga atau bahkan agama yang dianutpun semakin tinggi. Hal
ini bisa jadi karena kurangnya perhatian dan pemahaman orang tua terhadap
aturan agama tentang pemberian nama mereka mungkin cenderung terpengaruh
pendapat Shakespeare yang menyatakan “apalah arti sebuah nama”.
Berdasarkan tuntunan Islam, redaksi nama harus dirumuskan secara tepat,
di antaranya dengan merangkai kata abdun dengan salah satu dari al-Asma
al-Husna, atau dengan mengambil nama para Nabi dan Rasul atau tokoh muslim
lainnya. Selain perumusan redaksi yang tepat dalam prosesi pemberian nama,
Islam juga menganjurkan pembacaan doa khusus, demi kebaikan kehidupan anak.
Dalam memberikan nama, orang tua muslim hendaknya bertujuan secara jelas
dan benar. Selain memenuhi kewajiban alami, karena dengan nama itulah maka anak
akan lengkap unsure kemanusiaanya. Tujuan yang terpenting adalah sebagai bentuk
ketaatan orang tua terhadap perintah agama dalam mendidik amanah Allah menjadi
hamba Allah yang taat terhadap aturan agama Allah.
Para psikolog modern belakangan menyadari pentingnya nama dalam
pembentukan konsep diri, secara tak sadar, orang akan didorong untuk memenuhi
citra (image, gambaran) yang terkandung di dalam nama tersebut.[5] Pengaruh
konsep diri akan terasa bila anak menyadari bagaimana anak itu mempengaruhi
orang yang berarti dalam hidupnya.
Reaksi mereka terhadap anak-anak mempunyai bobot emosional karena reaksi
ini memantulkan bagaimana perasaan orang lain terhadap nama itu.[6] Dari
sini akan terlihat bahwa nama yang diberikan orang tua kepada anak akan
mempengaruhi kepribadian anak dan akan menjalar pada kesalehan anak.
Mengingat hal itu, maka menjadi sangat penting untuk mempelajari
bagaimana tuntutan Islam tentang pemberian nama dan implikasinya dalam mendidik
kesalehan anak. Sehingga diharapkan umat Islam atau orang tua muslim akan faham
tentang pentingnya nama yang diberikan pada anaknya dan dari sini diharapkan
orang tua muslim faham pula tentang tuntutan Islam tentang pemberian nama dan
lebih lanjut bersedia mempraktekkannya demi kesalehan anak-anak mereka.
Dari uraian di atas, perlu adanya kajian yang mendalam tentang pemberian
nama, di mana agama Islam yang kaffah telah memberikan tutunan yang
jelas dan apabila hal ini dilaksanakan oleh orang tua muslim maka nama tersebut
akan dapat berpengaruh dalam pendidikan kesalehan anak. Kajian tersebut akan
dijabarkan dalam judul, Pemberian Nama dalam Perspektif Islam dan
Implikasinya dalam Mendidik Kesalehan Anak.
B. Arti Pemberian Nama
Nasikh Ulwan dalam prolognya tentang penamaan anak dan hukumnya. Ia
mengatakan bahwa:
Artinya : “Di antara tradisi masyarakat yang berlaku ialah ketika
seorang anak dilahirkan, dipilihlah untuknya nama oleh orang tuanya. Sehingga
ia bisa dikenal oleh orang lain disekelilingnya”.[8]
Islam adalah agama yang sempurna, seluruh aktivitas muslim, baik yang
berhubungan dengan urusan pribadi, keluarga maupun masyarakat dan negara diatur
oleh Islam. Salah satunya adalah Rasulullah SAW membimbing umatnya dalam
menyambut kehadiran seorang bayi. Islam memandang kelahiran sang bayi bukanlah
hanya sebuah proses alamiah belaka.
Sebagaimana terjadi pada mahluk hidup lainnya, melainkan sebuah kejadian
yang akan mempengaruhi sistem kehidupan di muka bumi ini di masa yang akan
datang. Hal ini disebabkan oleh kehadiran seorang manusia bisa membawa dua
kemungkinan, kemungkinan ia sebagai perusak atau sebagai reformis yang membawa
kebaikan dunia. Maka dari itu, Islam memberikan tuntutan dalam penyambutan
kehadiran seorang bayi di muka bumi ini. Hal ini dimaksudkan agar kehadirannya
tidak lain akan memberikan dampak positif bagi diri, keluarga, masyarakat,
bangsa negara dan agamanya.
Nama merupakan identitas atau tanda pengenal yang mempermudah dalam
mengingat dan menganalisis sesuatu. Tanpa adanya
nama, manusia merasa kesulitan dalam mengenali sesuatu hal. Oleh sebab itu
Allah SWT mengajarkan kepada bapak kita, nabi Adam AS. Nama-nama benda yang ada
di alam dunia ini.[9]
Dalam beberapa sumber yang
pernah dibaca penulis sebagian besar ulama maupun pakar pendidikan anak
menggandengkan pemberian nama ini dengan bagian dari prosesi aqiqah
(penyembelihan hewan pada saat kelahiran bayi).
C. Tujuan
Pemberian Nama
Nipan Abdul Halim menyebut
beberapa tujuan yang seharusnya menjadi pijakan orang tua muslim tentunya tidak
lepas dari tiga hal secara bersamaan, yakni memenuhi kewajiban alami, mentaati
perintah agama dan mendidik kesalehan anak.[10]
- Memenuhi kewajiban alami.
Semua yang ada di alam ini tak akan teridentifikasikan secara pasti tanpa nama-nama yang melekat padanya terlebih
lagi isi alam yang menjadi mahluk paling mulia berupa manusia. untuk
mengidentifikasikannya, manusia secara mutlak memerlukan sebuah nama yang secara
otomatis menjadi sebuah kewajiban alami.
Manusia yang pertama kali diciptakan oleh Allah pun tidak lepas dari
kewajiban alami. Allah SWT memberinya nama Adam, dan benda-benda yang berkenaan
atau mengelilingi kehidupan beliaupun oleh Allah SWT diberikan nama sendiri
yang kemudian diberitahukan kepada beliau.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT secara jelas dalam surat
al-Baqarah: 31.
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
Artinya : “Dan dia (Allah SWT)
mengajarkan kepada Adam nama-nama semua (benda) yang kemudian disebutkannya
terhadap para malaikat……”. (Q.S. Al-Baqarah : 31).[11]
Dengan demikian, ketika menamai anak para orang tua muslim tidak
terlepas dari tujuan untuk memenuhi kewajiban alami yang satu ini. Karena tanpa
sebuah nama, nyaris anak-anak yang terlahirkannya itu tidak terbilang sebagai
manusia. Dengan nama yang diberikan itulah, maka anak terlengkapi unsur
kemanusiaannya.
Dalam rangka menempatkan tujuan untuk memenuhi kewajiban alami tersebut,
maka nama yang hendak diberikan mesti disesuaikan dengan jati dirinya anak itu
sendiri. Sebagai mahluk termulia di alam raya ini. Tidak disamakan dengan nama
binatang dan juga tidak disamakan dengan nama malaikat, apalagi nama kekuasaan
dan keagungann Allah SWT.
- Mentaati Perintah Agama.
Selain untuk memenuhi kewajiban alami, menamai anak hendaklah bertujuan
pula untuk memenuhi perintah agama, sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
عن الحارث بن النّعام قال : سمعت رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم قال : أكرموا أولادكم وأحسنوا أسمائهم (رواه إبن ماجه ) [12]
Artinya : Dari Kharis bin Nu’am ia berkata, saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian dan berilah mereka nama-nama yang
baik”. (H.R. Ibnu Maajah)
Dengan menetapkan tujuan menamai anak untuk mentaati perintah agama,
niscaya harapan yang dicanangkan di dalam nama yang diberikan kepada anakpun
akan berupa harapan yang baik dan benar menurut kaca mata agama. Sebuah harapan
mulia agar anaknya kelak tumbuh dewasa menjadi insan muslim yang taat
menjalankan ajaran agamanya, mampu menghambakan diri kepada Allah SWT secara
baik dan benar, serta mampu pula berhubungan baik dengan sesama makhluk
ciptan-Nya.
Selain memiliki harapan yang jelas dan benar dengan menetapkan tujuan
menami anak untuk mentaati perintah agama maka apa yang akan dilakukannya itu
sudah barang tentu akan mendapatkan imbalan dari sisi Allah SWT.[13]
- Mendidik kesalehan anak
Selain kewajiban memberikan nama yang baik kepada anak, salah satu
kewajiban berat lainnya bagi orang tua terhadap anak tercintanya ialah mendidik
dan mengarahkan menuju terbentuknya anak yang saleh, yang pandai menghambakan
diri kepada Allah SWT secara baik dan benar, sekaligus pandai berhubungan
sesama makhluk. Sehingga anak tersebut bisa terselamatkan dari sengatan api
neraka.
Kewajiban tersebut merupakan instruksi langsung dari Sang Pencipta yang
harus ditaati oleh setiap hamba-Nya yang beriman. Perintah ini secara tegas
disampaikan dalam firman-Nya.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR ) التحريم ( 6 :
Artinya “Wahai orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga (anak,
istri) kaliandari siksa api neraka…”.(Q.S. al-Tahrim: 6).[14]
Menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka tidak lain harus
dilakukan dengan cara mendidik diri dan keluarga menuju terbentuknya
insan-insan yang saleh. Dan insan yang saleh itu sendiri tiada lain adalah
insan yang pandai menghambakan diri kepada Allah SWT dan pandai berhubungan
baik dengan sesama. Insan saleh yang demikian
nantinya akan terjauh dari kehinaan dan siksaan api neraka.[15]
D. Waktu
Pemberian Nama
- Pemberian nama pada hari kelahiran anak
Anak yang baru lahir ke dunia
disunnahkan diberi nama sesegera mungkin pada hari kelahirannya. Adapun dalil
yang mensunnahkan pemberian nama anak pada hari kelahirannya terlihat pada
kitab Matan al-Bukhari:
عن سهل قال : أتى بالمنذر بن أسيد إلى النّبي صلّى
الله عليه وسلّم حين ولد فوضعه على فخذه وأبو أسيد جالس فلها النّبي صلّى الله عليه وسلّم بشيئٍ بين يديه
فأمرأبو أسيد بإبنه فاحتمل من النّبي صلّى الله عليه وسلّم فا ستفاق النّبي صلّى الله عليه وسلّم فقال : أين
الصّبي فقال : أبو أسيد قلبنه يا رسول الله, قال : ما إسمه ؟ قال : فلان, قال :
ولكن إسمه المنذر فسمّاه يومئذ المنذر ( رواه البخارى )[16]
Artinya : Dari Sahal ia berkata, Mundzir Ibnu Abu Usaid dibawa kepada
nabi Muhammad SAW pada hari kelahirannya, maka Nabi SAW meletakkannya di atas
pahanya, sedangkan Abu Usaid (ayah bayi) duduk. Nabi SAW disibukkan oleh
sesuatu dihadapannya. Lalu beliau memerintahkan Abu Usaid (untuk mengambil
anaknya). Kemudian bayi itu diangkat dari paha Nabi SAW, lalu beliau
memulangkannya. Ketika Nabi SAW selesai dari kesibukannya, beliau bertanya,
“kemanakah bayi tadi ?” Abu Usaid menjawab, “kami telah memulangkannya kembali,
wahai Rasulullah SAW, Nabi SAW bertanya, “Siapakah nama bayi itu ?” Abu Usaid
menjawab, “Fulan”, Nabi SAW bersabda (jangan) dan tetapi namailah dia
al-Mundzir”, sejak saat itu nama bayi tersebut adalah al-Mundzir”. (HR.
al-Bukhari)
Dari hadis di atas nampaklah bahwa Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk
memberi nama pada anak yang lahir sesaat setelah kelahirannya. Bahkan hal ini diperjelas ketika anak Abu Usaid
yang baru lahir dan belum diberi nama oleh ayahnya. Saat itu nabi langsung
memberinya nama al-Mundzir. Dan sebagaimana terusan dari hadis tersebut bahwa
penamaan bayi tersebut dengan al-Mundzir sebagai ganti “fulan”, atau kata ganti
nama seseorang, sehingga diharapkan dengan penetapan nama sejak dini akan lebh
melekatkan nama dan makna nama tersebut pada bayi, tanpa terlebih dahulu
diawali dengan kata ganti yang tidak jelas (fulan), sehingga pembiasaan ini
akan membawa dampak yang lebih baik yaitu lebih menyatunya nama dengan sang
anak, dan sosialisasi anak dengan nama terhadap orang-orang disekitanya pun
akan lebih cepat terlaksana.
- Pemberian nama pada sebelum hari ke tujuh dari kelahiran anak atau sesudahnya.
Mengenai pendapat tentang
pemberian nama pada bayi pada sebelum hari ketujuh kelahiran sang bayi atau
sesudahnya didasarkan pada kitab Fath al-Qarib al-Mujib yang menerangkan
bahwa :
Artinya : “Dan diperbolehkan memberi nama pada anak pada sebelum hari ke
tujuh dan atau sesudahnya”.
Pendapat Ibnu Qasim tentang diperbolehkannya (jawaz) memberi nama
pada sebelum atau sesudah hari ketujuh oleh Imam Nawawi diperkuat dengan alasan
hal ini dilakukan bila tidak mungkin dilaksanakan aqiqah (penyembelihan hewan
pada kelahiran bayi).
Menurut hemat penulis ini merupakan keluwesan syari’at Islam yang
memberi batasan bahwa jika ada kemungkinan dilaksanakannya aqiqah walaupun
setelah hari ketujuh maka diperbolehkan pemberian nama pada hari aqiqah
tersebut (setelah hari ketujuh kelahiran bayi).
Namun hal ini sekirannya jangan sampai terlalu lama (berhari-hari),
karena hal ini menyangkut menyatunya nama terhadap pribadi sang bayi juga
sosialisasi nama bayi terhadap orang-orang dilingkungnnya. Apabila bayi terlalu
lama dipanggil dengan kata ganti (misalnya: “fulan” (Bahasa Arab), atau “anak,
anak kecil, bayi” (Bahasa Indonesia) dan bila panggilan tersebut terlanjur
menyatu dengan pribadi bayi, maka semakin lama hal ini akan sulit dihilangkan,
atau diganti dengan nama bayi (yang disahkan).
Kemudian apabila tidak mungkin dilaksanakan aqiqah maka menurut Imam
Nawawi, sang bayi hendaknya diberi nama sesegera mungkin setelah kelahirannya.
Berikut kutipan Imam Nawawi dalam kitab “Tausikh ala Ibnu Qasim”. :
ويجوز تسميّته قبل السّابع من الوِلادة أوبعده, وإذا
لم يرد أن يعتق عنه لا تؤخّر تسميّته إلى السابع بل يسمّ عداة ولادته[18]
- Pemberian nama pada hari ke tujuh kelahiran bayi.
Hukum sunnah memberikan nama
pada hari ke tujuh berlandasakan pada hadis yang diriwayatkan di dalam kitab
Imam Turmudzi:
عن عمرو بن
شعيب, عن أبيه, عن جدّه قال : أنّ النّبيّ صلّى الله عليه وسلّم أمر بتسميّته
المولود يوم سابعه ووضع الأذى عنه والعتق ( رواه التّرمذى ) [19]
Artinya : Dari Umar bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, ia berkata,
“Nabi SAW memerintahkan untuk memberi nama bayi yang baru lahir pada hari ke
tujuh, begitu pula melenyapkan kotoran dan mengaqiqahinya”. (HR. at-Turmudzi)
Hal ini dijadikan pedoman dalam menentukan kesunahan pemberian nama pada
hari ke tujuh kelahiran, kemudian dihilangkan kotorannya dan diaqiqahi.
Pendapat ini seirama dengan pendapat Imam Nawawi yang menyebutkan :
Artinya : “Disunnahkan memberi nama pada anak yang baru lahir pada hari
ke tujuh kelahirannya walaupun bayi itu dalam keadaan gugur”.
Kemudian mengenai kandungan yang gugur ( سقطاً ) bagi orang tua tetap dituntut untuk
memberi nama. Disunnahkan meberinm sesuai dengan jenis kelaminnya, namun
apabila jenis kelaminnya belum teridentifikasi maka disunnahkan memberi nama
dengan nama yang dapat dipakai untuk laki-laki dan perempuan seperti Asma’,
Hindun, Hunaidah, Kharijah, Thalhah, Umairah, Zur’ah dan nama lain yang dapat
dipakai oleh dua jenis kelamin.
E. Kategori Baik Buruknya Nama
Berdasarkan makna yang dikandungnya nama-nama itu dapat diklasifikasikan
kepada; nama wajib, nama sunnah, nama mubah, nama makruh dan nama haram.
Masing-masing dapat dijelaskan berikut ini:
- Nama wajib (nama yang maknanya terbaik)
Istilah “wajib” dalam hal ini
tidak lain disesuaikan dengan nama-nama yang paling disukai oleh Allah SWT. Dan
kita yakin bahwa apa yang disukai Allah SWT itu harus kita lakukan sebagai
hambanya yang paling mulia.
Adapun nama wajib yang paling
disukai Allah SWT adalah nama-nama yang maknanya menunjukkan penghambaan diri
kepada Allah SWT. Rasulullah SAW menegaskan dalam salah satu
hadisnya:
عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم
: أحبّ الأسماء إلى الله تعالى عبد الله,
و عبد الرّحمن (رواه ابو داود )[21]
Artinya : Dari ibn Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya nama kamu sekalian yang paling disukai oleh Allah SWT ialah
Abdullah dan Abdurrahman”. (HR. Abu Dawud)
Ibnu Hadjar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bari Bisyarh al-Sahih
al-Bukhoari, Juz X menerangkan, disukainya kedua nama tersebut oleh Allah
SWT disebabkan karena beberapa faktor, yaitu :
Nama
tersebut mengandung sifat wajib bagi Allah (untuk disembah) dan sifat wajib
bagi manusia untuk menyembah, dan itu kewajiban utama seorang hamba kepada
Tuhannya.
Idhafah (rangkaian) kata abdun (penghambaan diri)
dengan kata Allah atau kata ar-Rahman merupakan idhafah hakiki yang
mengandung arti kemuliaan dan keutamaan di hadapan Allah SWT.
Idhafah nama tersebut sesuai dengan firman Allah
SWT, seperti:
ß$t7Ïãur Ç`»uH÷q§9$# úïÏ%©!$# tbqà±ôJt n?tã ÇÚöF{$# $ZRöqyd
Artinya: “Dan hamba Allah SWT yang maha pengasih…”.
(Q.S. al-Furqon :63)[25]
Menurut al-Qurtubhi, nama lain
yang sederajat dengan nama tersebut adalah: Abdurrahim, Abdul Muluk dan Abdus
Shamad (Fath al-Bari, Juz X hlm. 570). Dengan kata lain, nama-nama yang
berupa idhafah (rangkaian) kata abdun (penghambaan diri) dengan
asma Allah yang terbaik atau Asma al-Husna masih termasuk dalam kategori nama
yang terbaik yang disukai Allah SWT.
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa nama-nama yang termasuk dalam kategori nama wajib (nama yang
paling disukai Allah) ialah nama-nama yang:
a.
Langsung menggunakan lafal Abdullah dan Abdurrahman
b.
Menggunakan rangkaian kata Abdun dengan salah satu
diantaranya nama-nama Allah SWT yang termasuk dalam Asma al Husna (99
nama terbaik bagi Allah SWT). [26]
- Nama sunnah (nama yang maknanya baik)
Dasar untuk pengkategorian
nama sunnah sama dengan nama wajib. Keduanya berdasarkan hadis-hadis yang telah
disabdakan oleh Rasulullah SAW. hanya saja, kalau nama yang wajib itu nama-nama
yang disukai oleh Allah SWT, sedangkan nama yang sunnah itu nama-nama yang
disukai oleh Rasulullah SAW atau yang diperintahkannya.
Di antara sabda Rasulullah SAW
yang berkenaan dengan pengkategorian nama sunnah yaitu terdapat dalam hadis
Nabi.
عن أبى هريرة قال : قال النّبي صلّى الله عليه وسلّم
: سمّوا بإسمى ..... (متفق عليه )[27]
Artinya : Dari Abu Hurairah, ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Namailah (diri dan anak kalian) dengan namaku….”. (HR. Mutafaq alaih)
Dalam hadis ini, Rasulullah SAW memerintahkan agar kita menamai anak
kita atau diri sendiri dengan nama beliau yakni “Muhammad”.
Selain nama Rasulullah SAW, nama-nama para nabi dan rasul lain juga
termasuk dalam kategori nama yang baik dan diperintahkan oleh Rasulullah SAW,
sebagaimana dalam sebuah hadis Nabi.
عن أبى وهب الجشمى قال : قال رسول الله صلّى الله
عليه وسلّم : تسمّوا بأسماء الأنبياء.... (رواه أبو داود)
Artinya ; Dari Abu Wahab al-Jasmy ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Namailah (diri dan anak kalian) dengan nama-nama para nabi dan rasul…” (HR.
Abu Dawud)[28]
Termasuk dalam kategori nama sunnah pula ialah nama-nama yang maknanya
mengandung kebaikan secara positif menurut padangan Islam. Seperti Sahal
(mudah), Hamzah (pemberani) dan sejenisnya. Jadi yang termasuk dalam ketegori
nama sunnah misalnya:
a.
Nama-nama yang menggunakan nama Rasulullah
b. Nama-nama yang mengunakan nama para Nabi dan Rasul
c. Nama-nama yang memiliki makna kebaikan positif
dalam Islam seklipun tidak berbahasa Arab.
- Nama Mubah (nama yang tidak bermakna)
Jika nama yang maknanya
terbaik, kita kategorikan ke dalam nama wajib. Dan nama yang maknanya baik kita
kategorikan ke dalam nama sunnah, maka nama yang tidak bermakna atau maknanya
tidak baik, kita kategorikan ke dalam nama mubah, dan masing-masing yang tidak
baik itu sebaiknyalah diganti dengan nama yang lebih baik.
Banyak kita dapati di tengah
masyarakat, orang tua memberikan nama kepada anaknya sekedar sebagai satu tanda
tetapi kehilangan makna do’a dan dorongan agar anak itu menjadi baik.
Sekalipun nama-nama yang nota
benenya tidak bermakna itu pada dasarnya tidak tergolong buruk, tetapi jelas
tidak bisa dikatakan baik, apalagi jika kata yang dijadikan nama itu artinya
bermakna buruk. Padahal Rasulullah SAW jelas-jelas memerintahkan agar membuat
nama yang baik. Yakni nama yang mengandung arti dan makna yang baik menurut
pandangan Islam.
Oleh karena itu sebaiknya
nama-nama yang arti dan maknanya tidak baik atau bahkan tidak bermaka itu
diganti atau dirubah menjadi nama yang baik. Sehingga sesuai dengan apa yang
diperintahkan Rasulullah SAW dan insya’allah dapat membawa kebaikan bagi si
empunya nama.
- Nama Makruh (nama yang maknanya buruk)
Kategori nama makruh adalah
nama-nama yang arti katanya, maknanya atau konotasinya “buruk”, tidak sesuai
dengan dan misi Islam. Visi Islam identik dengan kebaikan yang bersifat
manusiawi dan penghambaan diri kepada Allah SWT, Sang Pencipta. Maka misinyapun
mengajak kepada umat manusia agar mengakui derajat kemanusiaannya yang serba
terbatas, menghambakan diri secara benar kepada Allah SWT Yang Maha Segala Maha.
Pada masa hidupnya, bila
Rasulullah SAW mendengar nama tidak indah, beliau akan menggantinya dengan nama
yang baik, misalnya hadis riwayat Abu Dawud:
عن سعيد بن
المسيّب عن أبيه عن جدّه أنّ النّبي صلّى الله عليه وسلّم قال له : ما إسمك؟ قال:
حزن, قال : أنت سهل, قال : لا, السّهل يوطأ ويمتهن. قال سعيد, فظننت أنّه سيصيبنا
بعده حزونة: قال ابو داود : وغير النّبي صلّى الله عليه وسلّم اسم العاص وعزيز
وعتله وشيطان والحكم وغراب وحباب و شهاب فسمّاه هشاما وسمّى هربا سلما, وسمّى
المضطجع المبعث وارضا تسمّى عقرة سماّها خضرة وشعب الضّلالة سمّاه شعب الهدى وبنو
الزّينة سمّاهم بني الرّشدة, وسمّى ببني مغويّة بني رشدة. قال أبو داود, تركت
أسانيدها للإختصار ( رواه أبو داود )[29]
Artinya : Dari Sa’id bin Musayyab dari Bapaknya dari Kakeknya,
sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bertanya kepadanya, “siapa namamu?”. Ia
menjawab, “Khazan”. Nabi bersabda, “kamu Sahal”. Ia berkata, “tidak, Sahal itu
rendah dan hina”. Sa’id berkata, “saya mengira perbuatan itu akan mendatangkan
kesusahan di kemudian hari”. Abu Dawud berkata, “Nabi SAW merubah nama
al-‘Ashi, Uzair, ‘Utlah, Syaithan, al-Hakam, Ghurab, Habab, dan Syihab menjadi
Hasyim. Nama Harb menjadi as-Salam, al-Mudltaji’ menjadi al-Munba’its, ‘Aqirah
menjadi Khadlirah, Syi’budlalalah menjadi Sya’bul Huda, Banu Zinnah menjdai
Banu Rusydah, Bani Mughawiyah menjadi Bani Risydah. Abu Dawud berkata, “aku
tidak menyebutkan hadis ini semua demi ringkasnya periwayatan”.(HR. Abu Dawud)”
Bakr bin Abdullah Abu Zaid dalam bukunya Tasmiyatul Maulud menuturkan
point-point penting dalam pemberian nama, di antaranya nama yang makruh adalah
sebagai berikut:
a.) Nama yang tidak dicocoki oleh hati karena maknanya,
lafadznya atau karena menyebabkan menjadi bahan olok-olokan, dan hal-hal lain
yang menyusahkan si pemiliknya, seperti Harb, Murrah dan Fadhil.
b.) Nama yang bermakna menjurus kepada syahwat, seperti
Abiir (parfum), Nurhaad (montok payudaranya) Sya’diyah (penyanyi) dan Fatin
(penggoda). Pada umunya nama-nama yang rendah ini adalah nama-nama wanita.
c.) Memberi nama dengan nama-nama orang fasik yang
sudah hilang rasa malunya, seperti nama para artis atau aktor, penari ular atau
figuran.
d.) Memberi nama dengan nama-nama yang mengandung makna
dosa, kemaksiatan seperti dzalim, Sarriq (pencuri) dan Khaain (pengkhianat).
e.) Memberi nama dengan nama-nama diktator atau
penguasa tirani seperti Fir’aun dan Qarun.
f.) Memberi nama dengan nama-nama hewan yang terkenal
sifat-sifat buruknya seperti Hanasy (lalat), Kalbun (anjing), Kulaib (anjing
kecil), Himar (keledai) dan lain-lain.[30]
- Nama haram (wajib diganti)
Dalam Islam nama bukanlah sekedar
nama. Karena selain ada nama yang paling disukai oleh Allah SWT Sang Pencipta,
juga ada nama yang paling dibenci oleh-Nya. Inilah nama yang diharamkan dan
wajib diganti.
Adapun nama-nama yang
diharamkan itu tidak lain adalah nama yang maknanya menyamai kekuasaan Allah
SWT dalam hadis riwayat Muslim dan Bukhori:
عن أبي هريرة قال : عن النّبي صلّى الله عليه وسلّم
قال:إن أخنع اسم عند الله تعالى رجل تسمّى مالك الأملاك (رواه البخار و مسلم)[31]
Artinya : Dari Abi Hurairah ia berkata, dari Nabi Muhammad SAW, beliau
bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling dianggap khianat di sisi Allah SWT
Yang Maha Luhur ialah seorang yang bernama malakul amlak (raja diraja atau
maharaja)”. (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
Manusia wajib mengakui sifat kemanusiaannya yang serba terbatas, dan
mustahil bisa menyamai sifat maha segala maha-Nya Sang Pencipta. Nama yang
agung dalam Asmaul Husna hanya berhak disandang oleh-Nya, bukan oleh selain Ia.
Maka nama-nama yang maknanya menyerupai keagungan-Nya dengan menggunakan sighat
muntahal jumu’. (merangkum segala makna yang terkandung di dalamnya) yang
secara pasti di luar kemampuannya sebagai manusia yang serba terbatas berarti
berusaha menyamakan diri dengan kemahakuasaan Allah (musyrik) yang jelas-jelas
diharamkan.
Keharaman nama yang demikian itu secara tegas dilarang oleh Rasulullah
SAW dalam hadis:
عن سمرة بن جندب قال : قال رسول الله صلّى الله عليه
وسلّم : لا تسمين غلامك يساراً ولا رباحا ولا أفلح فإنّك تقول : أثمّ هو فلا يكون. فيقول : لا (رواه
مسلم) [32]
Artinya : Dari Samroh bin Jundub ia berkata, Rasul SAW bersabda, “Jangan
sekalikali menamai anakmu dengan Yassar (Maha Mudah atau Maha Kaya), jangan
nama Rabbah (Maha Beruntung), dengan Najihan (Maha Sukses), dan jangan pula
dengan Aflah (paling beruntung) karena sekiranya kamu tanya, “benarkah demikan
? maka sangatlah mustahil dan pasti akan kujawab, tidak…”. (HR. Imam Muslim)
Betapa seriusnya larangan
dalam hadis tersebut. Selain menggunakan “la nahi” dan “nun
taukid” yang sudah menunjukkan larangan yang amat sangat, masih juga
disertakan “la nahi” pada setiap nama yang terlarang. Ini tentunya
menunjukan sebuah keharaman yang tidak boleh tidak harus dihindarkan oleh
setiap muslim dalam menamai anaknya ataupun menamani dirinya sendiri.
Larangan pemakaian nama ini kurang dipahami oleh orang tua muslim
sehingga masih banyak orang tua muslim yang menggunakan kata-kata yang termasuk
dalam Asma’ al-Husna sebagai nama bagi anaknya. Misalnya: Latifah,
Muhaimin, Rahman, dan Aziz, tanpa adanya rangkaian kata Abdun, Abdul, Nur, dan
Nurul. Sedangkan penggunaan kata-kata tersebut boleh bahkan menjadi wajib
ketika dirangkai menjadi Abdurrahman, Nurul Latifah, Abdul Aziz, dan
Abdummuhaimin.
Demikian halnya menggunakan nama rasul juga merupakan hal yang
diperintahkan dan termasuk dalam kategori nama yang baik, tetapi menggunakan
nama gelar beliau (seperti Abdul Qasim), adalah hal yang dilarang. Dalam sebuah
hadis Nabi SAW ditegaskan:
عن ابى هريرة قال : قال النّبي صلّى الله عليه وسلّم
: سمّوا بإسمى ولاتكتنوا بكنيتى (رواه البخارى ومسلم)[33]
Artinya : Dari Abu Hurairah ia berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Namailah (diri dan anak kalian) dengan namaku tetapi jangan namai dengan
gelarku”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Kemudian mengenai nama-nama yang haram, Bakr bin Abdullah bin Zaid lebih
lanjut menjelaskan bahwa nama-nama yang haram adalah sebagai berikut:
a.) Setiap nama yang mengandng pemahaman kepada selain
Allah SWT seperti Abdul Rasul dan Abdul Husain
b.) Termasuk kesalahan adalah memberi nama yang
disangka merupakan nama Allah SWT padahal bukan seperti Abdul Maqsud dan
Abdussattar.
c.)
Bernama dengan nama-nama Allah SWT seperti
ar-Rahman dan al-Barri.
d.)
Nama-nama bukan Bahasa Arab dan nama tersebut
digunakan oleh orang kafir seperti: Petrus, George, Diana dan Suzan.
e.)
Memberi nama yang tidak menggunakan Bahasa Arab dan
tidak bisa diterima oleh Bahasa Arab seperti: Nariman, Sirihan, Syirin dan
Jihan.
f.)
Bernama seperti nama Malakul Amlak, Sultanus
Salatin (keduanya berarti raja diraja), Sayyidun Nas (pemimpin manusia) dan
Sittunnisa’ (nama wanita).
Menyadari hal itu, maka peran
orang tua muslim hendaknya berhati-hati dalam menamai anaknya. Sekiranya tidak
mengetahui atau kurang memahaminya. Lebih baik bertanya kepada para ulama’ Kyai
orang yang mumpuni dalam hal menamai anak, baik yang mengunakan Bahasa Arab
atau bahasa lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT :
فَاسْألُوا
أهل الذِّكر إن كنتم لا تعلمون ( النّمل :
43 )
Artinya : “Maka bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian
tidak mengetahuinya”. (QS: an-Naml: 43) [35]
Perlu diingat sekiranya terlanjur menamai anak kita dengan nama yang
diharamkan atau terlarang dan kemudian hari tidak ada yang merubahnya hingga si
anak meninggal, maka akan berakibat fatal serta mencelainya di akhirat kelak.[36]
F. Cara Merumuskan Nama Yang Baik
Beranjak pada tiga tujuan yang
baik dalam menamai anak, maka sebelum menetapkan pilihan nama bagi anak tercinta,
alangkah baiknya bila nama itu dirumuskan terlebih dahulu secara baik dan benar
sesuai dengan apa yang digariskan oleh ajaran agama. Hal-hal
yang harus dilakukan sebagai berikut:
1. Menjauhi kebiasaan yang kurang tepat
Beberapa kebiasaan merumuskan nama yang dianggap kurang tepat itu antara
lain.
a. Membuat akronim yang tidak jelas maknanya.[37]
Rumusan nama sering diambil dari beberapa nama tertentu yang kemudian
dirangkaikan dalam sebuah akronim, sehingga akronim yang dijadikan sebagai nama
anak itu sering tidak jelas kandungan maknanya. Misalnya: Akronim di nama
tahun, bulan, tanggal atau hari kelahiran anak, seperti: Dalboing, karena lahir
pada tahun dal (jawa), hari rabu (Rebo) Pahing
b. Merumuskan nama yang “asal ngetrend”.[38]
Sebagai muslim yang baik tentunya pantang bertindak “sembrono” dengan
mengambil istilah atau nama yang asal “ngetrend” saja sebagai nama anaknya.
2. Menetapkan harapan yang paling diinginkan.
Harapan para orang tua muslim yang benar tentu tidak hanya berharap agar
berparas tampan dan cantik, hidup kaya raya dan berpangat setinggi langit.
Tetapi lebih dari itu, yakni berharap agar anaknya kelak tumbuh dewasa menjadi
insan muslim yang saleh. Karena dengan kesalehan yang dimilikinya, niscaya ia
akan menjadi insan yang lebih tampan, lebih cantik, lebih kaya dan lebih tinggi
pangkatnya di mata Allah serta akan terwujud kelak semua harapan dalam
kehidupan yang serba abadi sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عن ابى
هريرة قال : قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم ليس الغنى عن كثرة العرض, ولكن
الغنى غنى النّفس ( رواه البخارى و مسلم )
Artinya : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulallah SAW bersabda,
“Kekayaan itu bukanlah dari banyaknya harta, tetapi kekayaan itu terlihat dari
banyaknya hati (perasaan)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)[39]
3. Memilih rumusan kata yang
paling tepat
Beberapa cara untuk memilih rumusan kata untuk nama adalah sebagai
berikut:
a. Mengidhafahkan kata “abdun” dengan salah satu dari
al-Asmaul al-Husna.
Nama yang dirumuskan dari idhafah (rangkaian) kata abdun yang
berarti penghambaan diri dengan slah satu asma dari Asmaul Husna adalah nama
yang masuk dalam kategori terbaik, paling disukai oleh Allah SWT Yang Maha
Pengasih. Karena rumusan yang demikian hendaknya dijadikan sebagai pertimbangan
utama dalam memiliki ungkapan yang paling tepat sesuai dengan harapan yang
paling diinginkan pihak orang tua.
Lebih jelas, cara merumuskan nama tersebut dapat kita lihat dalam
beberapa contoh berikut :jika hrapan yang paling diinginkan ialah agar anak
memiliki kelebihan atau sifat yang menonjol dalam hal mengasihi semua orang
atau semua mahluk maka kata abdun bisa diidhafahkan dengan asma Allah
“ar-Rahman’ yang berarti Dzat yang maha mengasihi semua mahluk tanpa padang
bulu, baik yang mukmin maupun yang kafir.
Dengan begitu maka nama pilihannya menjadi Abdurrahman artinya penghamba
Allah Dzat yang mengasihi semua mahluk-Nya tanpa pandang bulu.
b. Mengambil nama para Nabi dan Rasul.
Menamai anak dengan mengambil nama dari para nabi dan rasul juga
diperintahkan oleh Rasulullah SAW. karena nama yang demikian jelas termasuk
dalam kategori nama yang baik dan mesti dipertimbangkan dalam merumuskan nama
anak, terutama apabila dari alternatif pertama (mengidhafahkan kata “abdun”
dengan Asmaul Husna) dan alternatif kedua (mengambil nama Rasulullah SAW)
ternyata tidak ada yang cocok dalam hati.
Adapun cara menyesuaikan dengan harapan yang paling diinginakan, bisa
dilakukan dengan memilih sifat atau karakter yang paling menonjol yang dimiliki
oleh masing-masing nabi atau rasul yang berjumlah 25 orang misalnya :Jika
harapan yang paling diinginkan ialah agar anak memiliki kelebihan di bidang
suaranya yang amat merdu, maka bisa memilih nama nabi Dawud as. Yang dikenal
memiliki suara yang amat merdu.
c.
Memilih rumusan kata yang baik.
Apabila dari dua alternatif di atas ternyata belum menemukan nama yang
dirasa paling tepat untuk mengungkapkan harapan yang paling diinginkan maka
sang orang tua bisa memilih alternatif ketiga, yakni memilih kata atau
rangakian kata yang baik dan maknanya sesuai dengan apa yang diharapkan.
Kata atau rangkaian kata dimaksud tidak harus berasal dari Bahasa Arab,
boleh dari bahasa lain atau rangkaian kata dari Bahasa Arab dan bahasa lainnya.
Sebagai contoh misalnya: Jika harapan yang paling diinginkan ialah agar anak
menonjol dalam hal kecerdasannya, maka bisa mengambil kata atau rangakaian
kata: “Labib, Nabil, Dzaki, Labibah, Nabibah, Dzakiah (wanita yang cerdas),
Lantip, Wasis Pujangga, Labib Utami, Nabil Utama, Wasis dan Rifa’i.
d. Mengambil nama tokoh muslim
Alternatif kedua dan ketiga untuk mengambil nama Rasulullah SAW dan nama
para nabi, memberi peluang kepada kita untuk mengambil nama tokoh-tokoh muslim
yang dikenal di bidangnya masing-masing sesuai dengan harapan yang diinginkan
para orang tua muslim atas anaknya. Nama tersebut misalnya :Jika harapannya
agar memiliki kelebihan di bidang ilmu pengetahuan, maka bisa mengambil nama
tokoh, seperti : Abu Huirairah, ‘Aisyah, Syafi’i, Nawawi, Maryam dan Jamilah.
Bakr bin Abdullah Abu Zaid, dalam bukunya Tasmiyatul Maulid menuturkan
syarat-syarat pemberian nama yang senada dengan kriteria yang disampaikan oleh
Muhammad Nur Abdul Aziz Suwaid, syarat-syarat tersebut antara lain:
1) Nama berbahasa Arab atau bukan Bahasa Arab yang
tidak menunjuk nama khas yang beragama lain)
2) Lafadz dan maknanya bagus dari aspek bahasa maupun
syari’at
3) Diusahakan sedikit mungkin jumlah hurufnya
4) Memilih kata yang mudah diucapkan lidah.[40]
- Melakukan shalat istikharah
Merumuskan sebuah nama termasuk perbuatan memilih. Di antara berbagai
pilihan, yang meskipun di rasa tepat menurut pertimbangan akal, belum tentu
tepat menurut pertimbangan Allah SWT., sehingga apa yang dirumuskan melalui
berbagai pertimbangan lahiriyah, kadang-kadang di rasa tidak tepat atau kurang
“sreg” dalam hati.
Oleh karena itu, sebagai muslim yang baik, semestinya kita kembali
kepada ajaran Rasulullah SAW. dalam hal ini selain merumuskan nama dengan akal
sehat, juga dibarengi dengan memohon dipilihkan yang terbaik (istikharah)
kepada Allah SWT. yakni melakukan shalat istikharah.
Sehingga selain nama yang kita berikan kepada anak adalah nama yang
benar–benar terbaik menurut pilihan Allah SWT, kita juga akan mendapatkan
tambahan pahala dari pelaksaaan shalatnya. Karena shalat istikharah sendiri
merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis:
عن جابر بن
عبد الله رضى الله عنهما قال : كان رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال : إذا هم
احد كم بالأمر فليركع ركعتين ثمّ
ليقل....(رواه البخارى) [41]
Artinya : Dari Jabir Bin Abdullah r.a ia berkata, Rasulallah SAW
bersabda, “Jika diantara kalian menghadapi perkara (pilihan) yang penting, maka
shalatlah dua rakaat, kemudian bacalah do’a….” (HR al-Bukhori)
Shalat istikharah salah satu bukti totalitas penghambaan diri manusia
kepada Allah SWT. sementara itu, penetapan nama bagi anakpun terkandung tujuan
dan harapan agar anak kelak tumbuh dewasa menjadi insan yang benar.
Menghambakan diri secara total kepada-Nya. Maka sangatkah baik apabila dalam
merumuskan nama tidak hanya mengandalkan kemampuan akal sehat kita yang secara
terbatas, melainkan menyerahkan pilihannya kepada Allah SWT Yang Maha Baik Lagi
Maha Sempurna pilihan-Nya.
G. Prosesi
Menetapkan Nama Terpilih
Selamatan dan upacara yang berkaitan dengan kelahiran hendaknya
diselenggarakan dengan tepat. Islam tidak melarang secara mutlak segala jenis
perayaan. Kita dapat mengundang sanak dan kerabat agar ikut serta dalam
perjamuan makan yang diselenggarakan pada saat bahagia seperti selamatan
kelahiran. Tetapi tidak boleh terlalu mabuk dengan kegembiraan sehingga
melanggar batas-batas yang telah ditentukan Allah SWT. Seharusnya untuk tidak
memboroskan uang ataupun melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran
agama Islam. Kita harus bersyukur kepada Yang Maha Pengasih, dan bersujud
dengan merendahklan hati di hadapan-Nya, menyatakan rasa syukur yang dalam,
jangan lupa terhadap pemberi kebahagiaan dan hamba-hamba-Nya yang menderita
yang memerlukan uluran tangan kita.[42]
Nama yang telah dirumuskan dan dimantapkan melalui berbagai tahapan,
selanjutnya ditetapkan atau diberikan kepada anak. Adapun waktu menetapkannya
yaitu pada hari ketujuh dari kelahiran bayi, dan akan lebih baik jika
dibarengkan dengan aqiqah serta mencukur rambut kepala sang bayi. Binatang
aqiqah sebaiknya disembelih pada pagi hari bersamaan dengan terbitnya mentari
pagi.
Penyembelihan binatang aqiqah harus dengan menyebut nama bayi yang
diaqiqahi. Karena itu sebelum dilaksanakan penyembelihan, jika si jabang bayi
terlebih dahulu sudah dinamai dengan jalan memegangi kepalanya (ubun-ubunnya)
seraya mengucapkan kalimat :
Artinya : “Kunamai engkau sebagaimana Allah menamaimu dengan nama……………”.
Dengan demikian, maka penyebutan nama sang bayi ketika menyembelih
binatang aqiqah telah dianggap syah dan bisa juga nama bayi disebut ketika
hendak mencukur rambut kepalanya.
Proses penetapan nama itu sendiri cukup dipimpin oleh seorang yang
dianggap paling mumpuni (kyai). Adapun urutan prosesinya adalah sebagai
berikut:
1. Meresmikan nama anak
Sebagaimana ketika menamai bayi pada saat sebelum menyembelih binatang
aqiqah, pemimpin tasyakuran mengucapkan kalimat penetapan nama sang bayi seraya
memegangi kepala bayi. Hal ini bila dilaksanakan ibadah aqiqah. Bila tidak,
cukup dengan cara pemimpin tasyakuran mengucapkan kalimat penetapan nama bayi
seraya memegangi kepala bayi.
2. Membaca do’a khusus bagi kebaikan bayi.
Setelah melakukan penetapan nama bayi, maka sangat baik prosesi tersebut
diakhiri dengan pembacaan do’a khusus bagi kebaikan si jabang bayi. Tentunya
cukup dibacakan oleh pemimpin walimah dengan diamini oleh segenap peserta
walimah.
Demikianlah prosesi khusus penetapan nama, sedangkan prosesi keseluruhan
walimah aqiqah tentunya sangat baik jika diawali dengan pembacaan ayat-ayat
suci al-Qur'an, shalawat nabi atau pembacaan al-Barzanji, ditambah dengan
pangjian yang menguraikan hikmah pemberian nama bayi dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan penamaan bayi.
Sehingga, kesan islaminya benar-benar nyata sesuai dengan tujuan menamai
anak untuk mentaati jaran agama dan mendidik kesalehan anak.
H. Kewajiban
Orang Tua Mendidik Kesalehan Anak
Jalaluddin menyatakan
bahwa pengertian anak saleh pada dasarnya adalah anak yang beriman kepada Allah
SWT dan hari akhir, taat menjalankan ibadah, menyenangi perbuatan yang baik dan
bermanfaat serta mampu mencegah diri sendiri dari berbuat yang mungkar.[44] Kemudian secara ringkas M Nipan Abdul Halim
mengungkapkan bahwa anak saleh atau salehah yakni anak yang menjalin hubungan
baik dengan Allah SWT dan dengan sesama mahluknya, terutama dengan sesama
manusia.[45] Jadi berdasarkan kedua definisi di atas
sepatutunya bahwa anak saleh adalah anak yang berhubungan baik dengan Allah SWT
(hablum minallah), dan dengan manusia (hablum minannas) dan
dengan yang lainnya. Dan pihak yang memikul tanggung jawab yang besar dan mulia
ini adalah orang tua yakni ayah dan ibu.
Melahirkan keturunan yang
berkualitas, saleh dan salehah adalah tujuan hidup berkeluarga bagi seorang
muslim tatkala kemudian dianugrahkan seorang anak. Untuk mewujudkan keinginan
tersebut anak harus dididik dengan baik dan benar. Anak yang saleh serta sehat
secara fisik maupun psikis merupakan dambaan setiap orang dan kebanggaan serta
kebahagiaan bagi orang tua dan keluarga.
Allah menegaskan bahwa
manusia merupakan makhluk yang paling baik sebagaimana tercantum dalam surat
al-Tin: “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. Yang dimaksud dengan sebaik-baik bentuk adalah manusia diberi
kelebihan oleh Allah SWT berupa akal yang membedakan dari mahluk Allah yang
lain. Manusia juga diberi potensi untuk menerima ilmu pengetahuan agar dapat
menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah dengan sebaik-baiknya. Manusia
sebagai mahluk yang dibebani tugas kekhalifahan di bumi memiliki unsur-unsur
material (jasmani) dan immaterial (akal dan jiwa). Pembinaan akalnya bisa
menghasilkan kesucian dan etika, sedangkan pembinaan jasmaninya akan
menghasilkan ketrampilan.[46]
Hasbi ash-Shidieqy
mengungkapkan, mendidik anak, keluarga dan orang-orang yang dalam pengawasan
kita ialah memberikan pelajaran-pelajaran dan pengajaran kepada mereka serta
memimpin dan mengasuh mereka untuk menjadi orang yang utama dan memelihara
mereka dari kesengsaraan hidup di dunia dan akhirat, supaya mereka menjadi
orang yang berbakti dan berharga.[47]
Kemudian pendidikan oleh
Sir Godfrey Thompson didefinisikan sebagai berikut:
“By
education I mean the influence of environment upon the individual to produce of
permanent change in his habits of behaviour, of thought, and of attitude”.
“Yang
saya maksud dengan pendidikan adalah pengaruh lingkungan kepada individu untuk
menghasilkan suatu perubahan yang tetap di dalam kebiasaannya bertitik tolak,
berfikir dan bersikap”.[48]
Kehadiran anak oleh orang tua memberikan konsekuensi berupa kewajiban
dan tangungjawab orang tuanya untuk mendidik kesalehannya.
Oleh karena itu, pertumbuhan dan perkembangan anak baik secara jasmaniah
dan rohaniah harus mendapat perhatian penuh dari orang tuanya. Perhatian ini
berupa bimbingan dan pembinaan. Dalam hal ini harus berupa pendidikan kesalehan
anak demi terbentuknya anak seperti yang diharapkan oleh agama Islam.[49]
Mendidik kesalehan anak merupakan tanggungjawab yang harus dipikul orang
tuanya. Orang tua tidaklah cukup hanya menyediakan dan memenuhi
kebutuhan–kebutuhan yang bersifat material saja. Akan tetapi iapun berkewajiban
untuk memenuhi kebutuhan rohani anak, salah satunya adalah pendidikan.6
Sebagaimana firman Allah SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur )التحريم ( 6 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman jagakah diri kalian berserta
keluarga kalian dari ancaman api neraka…”. (QS. Al-Tahrim) : 6)[50]
Ayat ini, secara tegas merupakan perintah dari Allah SWT kepada para
orang tua untuk menjaga diri dan keluarganya dari segala sesuatu yang
menghantarkan kepada kemurkaan Allah SWT, karena larangan-Nya yang telah
dilanggar, sehingga membawanya kepada neraka yang sangat panas dengan api dan
kayu bakar dari manusia.
Chabib Thoha menjabarkan maksud dari menjaga diri dengan setiap orang
beriman harus dapat melakukan self education dan melakukan pendidikan
terhadap anggota keluarganya untuk mentaati Allah SWT dan Rasulullah SAW-Nya.[51]
Semantara itu Dewan Ulama’ Al-Azhar mengartikan perlindungan dalam hal ini
sebagai berbuat baik dan berkelakuan wajar dengan mematuhi perintah Tuhan dan
menjauhi larangan-Nya.[52]
Mendidik anak kita juga sekaligus dianggap sebagai kewajiban dan ibadah
yang akan menimbulkan pahala dikemudian kelak. Jika pendidikan kita berhasil
dan anak-anak kita menjadi anak yang saleh maka itu akan menjadi mata air yang
mengalir dari padanya pahala yang tiada putusnya. Sebuah Hadis Nabi dari Abi
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عن ابى هريرة قال : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا مات الإنسان إنقطع عمله إلا من ثلاثة صدقة جارية أوعلم ينتفع به أوولد صالح يدعوله (رواه مسلم ) [53]
Artinya : Dari Abi Hurairah ia berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda, “Jika seseorang mati maka terputuslah seluruh anaknya kecuali tiga
perkara, yaitu shodakoh jariyah yang pahalanya terus mengalir, ilmu yag bisa
dimanfaatkan dan anak saleh yang mendo’akan orang tuanya”. (H.R. Muslim)
Hadis ini adalah dalil pokok yang mendorong orang tua agar berusaha
dengan sungguh-sungguh dan komprehensif untuk mendidik anak dan menumbuhkannya
dengan pertumbuhan yang sesuai dengan ajaran Islam yang hanif, karena balasan
anak saleh akan selalu mengalir dalam bentuk pahala kepada orang tua sejak
hidup sampai matinya, bahkan di akhirat kelak pada saat dibagunkan untuk
dimintai pertanggungjawaban amalnya di dunia.
Pemberian yang paling mulia dari orang tua adalah pendidikan, pendidikan
seorang ayah atau ibu yang akan menjadikan anak tahu akan baik atau buruknya
sesuatu dan tahu akan jalan Tuhan yang diridloi, dan pengetahuan yang lain yang
tidak tergantikan oleh harta benda yang berlimpah.
I. Pokok-pokok
Pendidikan Kesalehan Anak
Pendidikan berdasarkan
pada kebutuhan manusia terdiri atas dua bagian, yaitu: pendidikan duniawi dan
pendidikan ukhrowi. Pendidikan yang berdasarkan ke duniawian semata, bertujuan
mencerdasklan akal, adapun pendidikan yang berdasarkan keduniaan dan
keakhiratan, titik beratnya, ialah tubuh, akal dan jiwa.
Manusia dijadikan dari dua
unsur yang kasar dan kekuatan-kekuatan jiwa, mengingat hal ini perlulah
seseorang anak diberikan kepadanya : Pertama, Tarbiyah jismiyah,
yaitu: segala rupa pendidikan yang wujudnya menyuburkan, menyehatkan tubuh dan
menegakkanya, supaya dapatlah tubuh itu menghadapi kesukaran-kesukaran dalam
perjalanannya menuju kesempurnaan.[54]Kedua,
Tarbiyah ruhaniyah (tarbiyah adabiyah) yaitu ; segala rupa pendidikan
baik yang bersifat praktek maupun yang berupa teori wujudnya mencerminkan budi
dan meninggikan akhlak.[55]
Dalam rangka membentuk anak yang saleh atau shalihah, yaitu anak yang
menjalin hubungan baik dengan Allah SWT dengan sesama mahluknya, terutama
sesama manusia, maka pokok-pokok pendidikan yang harus diberikan, tiada lain
adalah ajaran Islam itu sendiri.
Menurut para ulama ajaran Islam secara garis besar dapat dikelompokkan
menjadi 3 yakni akidah, ibadah dan akhlak. Maka pokok-pokok pendidikan yang
harus diberikan anakpun sedikitnya meliputi pendidikan akidah, pendidikan
ibadah dan pendidikan akhlak.[56]
Kemudian pendidikan ekonomi dan kesehatan sebagai suplemen menuju kesempurnaan
kesalehan anak.
- Pendidikan akidah
Akidah (ketauhidan) adalah keyakinan tentang satu (esanya) Tuhan yang
tidak boleh dicampuri oleh keragu-raguan dan syakwasangka dalam hati.[57]
Dalam pendidikan, kini telah dicetuskan disiplin ilmu yang mempelajari
tentang bagaimana cara mentauhidkan (mengesakan Allah SWT) dengan dalil-dalil
yang menyakinkan, disiplin ilmu tersebut dinamakan ilmu tauhid.
Pendidikan akidah merupakan pendidikan yang paling mendasar bagi anak,
karena dengan pendidikan akidah anak dipelajari untuk mengesakan mengenali
siapa tuhannya, bagaimana cara bersikap terhadap Tuhan-nya dan apa saja yang
mesti mereka perbuat dalam hidup ini.
Rukun Islam yang pertama adalah sebagai bukti dari dasarnya pendidikan
dalam Islam, yaitu pendidikan akidah yang dirumuskan dalam bentuk “dua kalimah
syahadat”. Di mana kedua kalimah syahadat tersebut yang menjadi ciri khas utama
seorang muslim yang membedakannya dengan yang lain. Siapa saja yang
mengikrarkan “dua kalimah syahadat” dan mempedomaninya dalam kehidupan
sehari-hari, maka dialah yang pantas menyandang predikat sebagai seorang
muslim. Dan sebaliknya, siapa saja yang tidak mengikrarkannya, dialah orang non
Islam.
Pendidikan akidah atau pendidikan keimanan berarti membangkitkan
kekuatan dan kesediaan spiritual yang bersifat naluri yang ada pada setiap anak
melalui bimbingan agama, karena itu pendidikan ini harus mendapatkan perhatian
serius dari pihak keluarga, terutama kedua orang tua.
Misi diutusnya nabi Muhammad sebagai rasul adalah agar manusia itu
bersedia mengikrarkan dua kalimah syahadat, sebagaimana disabdakan:
عن عبدالله ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أمرت أن أقاتل الناس حتى يشهدوا أن لا إله إلا الله و أن محمدا رسول الله ( رواه البخارى ) [58]
Artinya : Dari Abdullah bin Umar, ia berkata Rasulullah SAW bersabda,
“Aku (Muhammad) diutus untuk memerangai umat manusia sampai mereka bersaksi
bahwa tiada sesuatupun yang wajib diperlukan selain Allah dan bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan Allah”. (HR. al-Bukhari).
Keseriusan perhatian Islam terhadap pendidikan ini juga tampak dari
lamanya Rasulullah SAW berdakwah dalam rangka mengajak manusia untuk
mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sebelas tahun lamanya beliau berdakwah
tentang hal ini. Baru pada tahun kesebelas beliau di utus oleh Allah SWT agar
mengajak umatnya melakukan shalat lima waktu sehari semalam.[59]
Dasar-dasar akidah harus terus menerus di tanam pada diri anak agar
setiap perkembangan dan pertumbuhannya senantiasa dilandasi oleh akidah yang
benar. Aktivitas berfikir, berkuasa dan perasaanya terus menerus dilandasi dan
sekaligus menuju pada pentauhidan Allah SWT yang sebenar-benarnya, dan cinta
kepada rasulnya, ia mencintai atau memberi sesuatu karena Allah SWT dan
rasulnya : baginda Rasulullah SAW bersabda:
عن أنس بن مالك رضى الله عنه قال : عن النبى صلى الله عليه وسلم قال :ثلاث من كن فيه وجدحلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا الله وأن يكره أن يعود فىالكفربعد أنقده الله منه كما يكره أن يلقي فى النار ( رواه البخارى ) [60]
Artinya : Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata, dari Nabi Muhammad SAW,
ia bersabda, “Tiga hal yang barang siapa memiliki ketiganya, dia akan menemukan
lezatnya iman, yakni : 1) Allah SWT dan rasul-Nya lebih dicintai daripada yang
lain, 2). Mencintai seseorang hanya karena Allah dan 3). Berpantang tidak akan
kembali kafir sebagaimana ia berpantang enggan dilemparkan ke dalam api
neraka”. (HR. al-Bukhari)
Menurut teori Jhon Locke, anak
lahir seperti “tabula rasa”, belum ada coretan apapun.[61] Setiap anak dilahirkan atas fitrah islamiyah.
Ia telah dibekali oleh benih ketauhidan dari sisi Allah SWT. Maka menjadi
kewajiban orang tua untuk menjaga, merawat dan menumbuhkembangkan benih
tersebut. Sehingga diharapkan tumbuh subur bagaikan sebatang pohon rindang dan
tampak demikian keindahannya. Yang akan membuahkan amal peribadatan yang tinggi
dan akhlak mulia.
Pendidikan akidah tidak hanya
mencakup ajaran ajaran Allah dalam al-Qur'an, tetapi ia juga merambah kepada
sunnah rasul, ijma’ dan qiyas sebagai sumber hukum dalam Islam. ia
pengetahuannya tidak sepenggal-sepenggal tetapi komprehensif. Pendidikan yang
perlu disampaikan kepada anak, tentulah tidak hanya terpaku pada teori atau
penguasaan pengetahuan belaka, namun segi pengalaman tetap menjadi wawasan yang
ketat dari orang tua. Karena dalam Islam tidak ada istilah ilmu hanya untuk
ilmu (science for science) melainkan untuk diamalkan.
- Pendidikan ibadah.
Pendidikan ibadah telah terangkum dalam disiplin ilmu fiqh atau fiqh
Islam, yang mencakup seluruh tata pelaksanaan dalam mentaati perintah Allah SWT
dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagaimana firman Allah:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ( الذاريات : 56 )
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku”. (QS: adz-Dzariyat: 56)[62]
Pendidikan ini hendaknya dikenalkan secara materi melalui lembaga
pendidikan secara optimal agar menjadi dasar pengetahuan yang kokoh sehingga
kelak peribadatan yang diamalkannya tidak semrawut.
Ibadah sebagai salah satu realitas dari akidah islamiah harus tetap
terpancar dan teramalkan dengan sebaik-baiknya oleh setiap anak. Shalat adalah
salah satu sendi-sendi (rukun) Islam. Maka barang siapa yang menegakkanya maka
ia akan menegakkan agama. Selain shalat pengetahuan tentang sendi-sendi Islam
yang lain juga harus diajarkan, seperti puas, zakat, haji sebagai kelengkapan
rukun Islam.
- Pendidikan akhlak
Pendidikan ini telah diperintahkan oleh Rasulullah SAW dalam berbagai
ayat-ayat al-Qur'an seperti :
(#rßç6ôã$#ur ©!$# wur (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur Ï 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& 3 ( النسأ : 36 )
Artinya : “Sembahlah Allah SWT dan jangan kalian menyekutukannya dengan
sesuatupun, berbuat baiklah kepada ibu bapak, kepada kerabat, anak yatim, orang
miskin, tetangga dekat, tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan kepada
hamba sahayamu (sekaliapun) !. (Q.S.: An-Nisa’ : 36) [63]
Dalam rangka mendidik akhlak anak, keteladanan orang tua sangat
menentukan, pepatah lama mengatakan “belajar di waktu kecil bagaikan mengukir
di atas batu, sedangkan belajar sesudah dewasa bagaikan mengukir di atas air”.
Maka tidak mengherankan jika anak akan meniru tabiat orang tua yang
mendampinginya dalam lima tahun pertama umurnya.[64]
Ibnu Maskawih dalam mendidik anak dan remaja menyebutkan “jiwa
kanak-kanak itu sederhana belum ditulis sesuatu, belum punya pendapat dan
keputusan dari sesuatu kepada yang lain”, jika diukir suatu gambaran dan
diterimanya, maka ia akan membawanya sampai besar dan menjadi kebiasaan
baginya”.[65]
Ibnu Jauzi menulis dalam bukunya at-Thib ar-Ruhani bahwa : “pembentukan
yang utama ialah waktu kecil, maka apabila seorang anak dibiarkan melakukan
sesuatu yang kurang baik kemudian telah menjadi kebiasaannya, maka sukarlah
untuk meluruskannya”. Artinya bahwa pendidikan budi pekerti wajib dimulai dari
rumah dalam keluarga sejak kecil, dan juga jangan dibiarkan anak-anak tanpa
pendidikan. Jika anak dibiarkan saja tanpa diperhatikan dan tidak dibimbing, ia
akan melakukan kebiasaan yang kurang baik, dan kelak akan sukar baginya untuk
meninggalkan kebiasaan buruk itu.[66]
Sebagaimana halnya masalah ibadah, maka masalah akhlakpun harus
diberikan dan dibiasakan semenjak kecil kepada anak. Teori keilmuan yang
beraneka ragam tidak menjamin seseorang dapat mengamalkan peribadatan dan
akhlak dengan baik dan benar tanpa dibarengi dengan pengamalan berupa pembiasan
dalam kehidupan sehari hari,
maka dengan usaha pembiasaan pada diri anak sendiri, lebih bisa diharapkan
akhlakul karimah dan benar-benar mempribadi pada diri anak.[67]
Selain itu, pendidikan ekonomi dan kesehatan juga merupakan pokok–pokok
pendidikan yang sangat penting. Islam memberikan titik berat pada masalah
tersebut sebagai sarana kehidupan yang baik di dunia dan sebagai bekal di
kehidupan akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabda, “kefakiran nyaris menyebabkan
kekufuran”. Himpitan ekonomi membutakan mata seseorang, maka tepatlah jika
Allah SWT mengingatkan agar kita jangan sampai melupakan kehidupan duniawi.
Bekal kebahagiaan di akhirat tidak hanya dari kekhusyuan dalam beribadah
(mahdah) belaka, melainkan juga dengan kerja keras membanting tulang
demi terpenuhinya segala sarana hidup sekaligus sebagai sarana peribadatan.
Amal yang paling afdhal (utama) adalah mencari harta yang halal,
maka pengetahuan tentang pentingnya bekerja keras demi terpenuhinya kebutuhan
hidup dunia pun harus ditanamkan sedini mungkin pada anak.
Mereka tidak hanya dibiasakan untuk berlatih bekerja keras belaka,
melainkan petunjuk-petunjuk agama yang berkaitan dengan pentingnya bekerja
keraspun harus diberikan, sehingga kelak mereka mempedomani petunjuk tersebut
dan mengaktualisasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, kesehatan adalah pendukung utama bagi terlaksananya
peribadatan yang sempurna, karena dengan kesehatan kita akan mampu melaksanakan
berbagai macam ibadah. Karena itu Rasulullah SAW memerintahkan kepada orang tua
untuk mengajari anaknya olah raga. “Ajarilah anak-anak kalian dengan berenang
dan memanah… “. (HR ad-Dailami), karena dengan olah raga akan dicapai kesehatan
berfikir.
Sehubungan dengan kesehatan, Islam menekankan pentingnya kebersihan atau
kesucian dalam setiap peribadatan, tayamum, wudlu dan mandi merupakan wujud
konkritnya. Selain itu makanan dan minuman yang halal dan thayib juga diajarkan
oleh Islam. Karena itu olah raga, kebersihan dan seleksi makanan hendaknya
dibiasakan semenjak sebelum lahir pada diri anak sampai dewasa secara memadai.
Sehingga diharapkan kelak mereka akan tumbuh dewasa menjadi insan-insan yang
terbiasa hidup sehat jasmani maupun rohani.
Dengan diberikannya pokok-pokok pendidikan tersebut diharapkan anak akan
tumbuh dewasa menjadi insan mukmin yang benar-benar saleh, yang kuat akidahnya,
mantap ibadahnya, mulia akhlaknya, kuat ekonominya serta sehat jasmani dan
rohaninya. Sehingga kepribadian mereka benar-benar terbentuk menjadi pribadi
muslim yang baik dalam berhubungan dengan Allah SWT dan baik pula dalam
berhubungan dengan sesama makhluknya, terutama manusia.
Al-Ghazali membagi aspek-aspek pendidikan dalam lima aspek yaitu
pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, pendidikan akliah, pendidikan sosial
dan pendidikan jasmaniah.[68] Al-Ghazali
mengikutkan pendidikan akliah dengan alasan bahwa: “ilmu lebih mulia daripada
ibadah, tetapi ibadah merupakan buah dari ilmu. Ilmu tidak berfaedah jika tidak
menghasilkan ibadah. Sedangkan pendidikan sosial serupa dengan pendidikan
muamalah (kesehatan dan ekonomi) namun lebih difokuskan dalam kehidupan
bermasyarakat.
J. Tahap-tahap Pendidikan
Kesalehan Anak
Mendidik kesalehan anak merupakan proses yang panjang dan komprehensif.
Hal ini tidak hanya berlangsung dalam ukuran hari atau bahkan jam, melainkan ia
harus terus menerus dilaksanakan oleh orang tua mulai dari awal kehidupan
berrumah tangga, masa penyemaian benih, hingga masa kelahiran anak bahkan masa
kehidupan anak.
1. Pendidikan sebelum anak lahir
Pendidikan sebelum lahir disebut dengan pendidikan prenatal, Wahjoetomo
mendefinisikan sebagai pendidikan yang dilakukan oleh calon ayah dan calon ibu
pada saat anak masih berada dalam kandungan.[69]
Awal mula pendidikan anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan perintah
Islam yaitu melaksanakan sunnah Rasul, lahirnya keturunan yang dapat meneruskan
risalahnya. Pernikahan yang baik dilandasi keinginan untuk memelihara
keturunan, tempat menyemaikan bibit iman, melahirkan keluarga sehat serta
memenuhi dorongan rasa aman, sejahtera dan sakinah, penuh mawaddah dan
rahmah. Oleh karena itu pemilihan pasangan sebelum nikahpun menjadi
kepedulian utama dalam merancang pendidikan anak.[70]
Berkaitan dengan kriteria dan lahan yang baik, Rasulullah SAW
menunjukkan dalam hadisnya:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: عن النبى صلى الله عليه وسلم قال: تنكح المرأة لأ ربع لمالها ولحسانها ولجمالها ولدينها فاظفر بذات الدين تربت يدك (رواه البخاري و مسلم) [71]
Artinya ; Dari Abi Hurairah r.a. ia berkata, dari Nabi Muhammad SAW
beliau bersabda, “Wanita itu dinikahi karena empat perkara, yaitu karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya,
pilihlah wanita yang beragama! niscaya engkau akan beruntung”. (H.R al-Bukhari
dan Muslim)
Wanita yang kuat agamanya akan mampu menempatkan diri sebagai figur
teladan dalam mengasuh dan mendidik anak. Wanita yang taat agamanya telah
memiliki kemampuan yang luar biasa dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya,
sebab di dalam dirinya telah terukir akidah yang murni, akhlak yang luhur,
serta kiat yang tepat.[72]
Selain itu Rasulullah SAW menganjurkan untuk memilih calon ibu bagi
anak-anaknya. Seorang wanita yang jauh hubungan darahnya, maksudnya adalah
wanita yang secara kekeluargaan menurut hukum Islam tidak ada ikatan keluarga
sama sekali.[73]
Kemudian lebih lanjut Rasulullah SAW memberikan dorongan agar menikah dengan
perawan, karena perawan mempunyai kelebihan dalam membentuk suasana senda gurau
yang meriah, yang tidak dapat dilakukan oleh seorang janda terhadap suaminya.[74]
Satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa pilihan lahan yang baik akan
menghasilkan tanaman yang baik, demikian pula kebalikanya, lahan yang jelek
(tandus) akan memberikan hasil yang tidak memuaskan. Artinya wanita yang
bermoral tinggi, insyaallah akan mampu melahirkan seorang anak yang
berakhlak mulia hasil dari asuhan dan pengarahan wanita tersebut.
Dari penjelasan di atas tampaklah bahwa Islam dengan kesempurnaanya
menghendaki pernikahan sebagai proses awal pendidikan anak. Kemudian setelah
resmi menikah, pendidikan dilanjutkan ketika sepasang suami istri bersetubuh.
Ketika berjima’, pasangan suami istri (terutama suami) dianjurkan
berdo’a kepada Allah SWT agar dijauhkan dari godaan syetan. Do’a ayah semacam
ini sudah merupakan langkah awal yang membawanya kepada usaha mendidik anak.
Kesalehan yang dicerrminkan ayah bundanya dalam berdo’a ketika
bersebadan mempunyai pengaruh gaib terhadap ruh anak yang akan dilahirkan. Do’a
tersebut dimaksudkan untuk komitmen dengan wirid dan dzikir kepada Allah
walaupun dalam keadaan penuh kesenangan gairah nafsu (jima’) dengan harapan
mendapatkan berkah dan lindungan Allah SWT dari pengaruh syetan, sehingga anak
yang dihasilkan akan menjadi anak yang taat terhadap ajaran Allah SWT.
Setelah pasangan suami istri melakukan jima’, akan terjadi
pembuahan dan hamilpun dialami oleh sang istri. Pendidikan pun terus berjalan,
pendidikan di dalam kandungan atau (pendidikan prenatal) sangat penting
artinya, karena merupakan awal kehidupan. Proses prenatal dilaksanakan secara
tidak langsung (indirecty) dalam waktu kurang lebih 9 bulan masa kehamilan,
antara lain sebagai berikut:
a.) Seorang ibu yang telah hamil mendo’akan anaknya.
b.) Ibu harus saling menjaga dirinya agar tetap memakan
makanan dan minuman yang halal.
c.) Orang tua ikhlas mendidik
anak.
d.) Suami memenuhi kebutuhan
istri (kasih sayang, makanan ekstra, ngidam, perawatan dan sebagainya). Orang
tua selalu mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.
e.) Orang tua berakhlak mulia.[75]
Islam memandang penting terhadap perhatian dan pemeliharaan anak di masa
dalam kandungan ini, bahkan Islam mengusahakan agar perhatian itu terwujudkan
secara terkendali, sesuai dengan ajaran yang tinggi dan prakteknya yang lurus.[76] Bukti
kongkrit perhatian Islam juga nampak pada dispensasi (rukhshah) yang
diberikan oleh syari’at Islam bagi kaum ibu yang tengah mengandung hingga
menyusui.
2. Pendidikan setelah anak lahir
Di dalam al-Qur'an dan Hadis terdapat beberapa perintah dan anjuran yang
dilakukan orang tua terhadap anak setelah lahir. Walaupun perintah tersebut
bukan perintah wajib, akan tetapi di dalamnya terkandung nilai pendidikan yang
luhur dan mulia.[77]
Di antaranya adalah sebagai berikut :
a.) Menyambut gembira kelahiran anak
Setelah kelahiran anak, orang tua harus menyambutnya dengan perasaan
gembira dan penuh syukur karena rizki dan amanah Allah SWT telah datang melalui
benih kasih sayang mereka. Al-Qur'an memaparkan kisah kegembiraan dalam
menyambut kehadiranya yang dialami oleh nabi Ibrahim dalam Q.S. Hud (11) ayat
69.
ôs)s9ur ôNuä!%y` !$uZè=ßâ tLìÏdºtö/Î) 2uô³ç6ø9$$Î/ (#qä9$s% $VJ»n=y ( tA$s% ÖN»n=y ( $yJsù y]Î7s9 br& uä!%y` @@ôfÏèÎ/ 7ÏYym ( هود :
69 )
Artinya : “Dan sesungguhnya telah datang utusan kami kepada Ibrahim
dengan (membawa) kabar gembira sambil mereka berkata “selamat” ia menjawab
“selamat”.[78]
Dan bila anak yang dilahirkan perempuan orang tua hendaknya gembira
jangan bersikap dholim, karena anak yang dilahirkan adalah perempuan, karena
laki-laki atau perempuan bagi Islam adalah sama, mereka adalah anugrah Allah
SWT yang harus di syukuri dan dipelihara dengan baik.
Selain itu peranaan bidan atau dokter juga diperlukan untuk menangani
masalah kesehatan dan kondisi psikis, cara tersebut juga telah ditempuh oleh
Khadijah, istri Rasulullah SAW, dengan selalu berkonsultasi kepada bidan, atau
orang yang ahli dalam hal kesehatan janin maupun dirinya.
b.) Menyusui anak
Seorang ibu hendaklah menyusui anaknya hingga genap 2 tahun sebagaimana
firman Allah dan Q.S. al-Baqarah ayat 233:
ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ ( البقرة : 233 )
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf”. (Q.S.
al-Baqarah : 233)[79]
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan: “ayat ini
memberi petunjuk kepada para ibu agar menyusui anak-anak mereka dengan
sepenuhnya atau dengan sempurna yaitu selama 2 tahun.[80]
Kemudian bayi yang baru lahir itu tidak disusui dan diasuh kecuali oleh
wanita saleh, berpendidikan dan selalu menjaga makanannya dari barang haram,
karena air susu yang dihasilkan dari barang haram tidak mempunyai berkah.[81]
c.) Anjuran adzan dan iqomat terhadap anak yang baru
lahir
Rasulullah telah mengumandangkanadzan ketika Hasan baru lahir.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW :
عن عاصم بن عبد الله بن ابى رافع عن ابيه قال: رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن في أذن الحسن بن علي حين ولدته فاطمة بالصلاة (رواه الترمذي) [82]
Artinya : Dari Ashim bin Ubaidullah bin Abi Rafi, dari bapaknya, ia
berkata, “Aku melihat Rasulullah SAW menyuarakan adzan pada telinga al- Hasan
bin Ali ketika Fatimah melahirkannya, kemudian memberi ucapan selamat”. (HR.
at-Tirmidzi)
Kalimah adzan akan memberikan didikan psikomotorik terhadap pendengaran
sang bayi, agar terbiasa mendengarkan panggilan yang baik beserta pegertian
makna dan pengaruh yang terkandung di dalamnya. Kalimah adzan yang terdiri dari
kalimah takbir dan tauhid, menjadi tetesan air jernih yang
berkilau pertama ke dalam pendengaran sang bayi saat sang bayi belum bisa
merasakan apa-apa, hanya syaraf memori yang mampu merekam bunyi dan nada adzan
yang sedang diperdengarkan kepadanya. Kalimah ini akan mampu mencegah nafsunya
dari kecenderungan melakukan kemusrikan, serta memelihara dirinya dari
kemusrikan itu sendiri.[83]
d.) Tahnik (menggosok tenggorokan)
Menggosok tenggorokan maksudnya adalah memasukkan sesuatu yang manis ke
dalam mulut anak dengan jari atau benda lainnya, kemudian menggerakkanya di
dalam mulut anak ke kanan dan ke kiri sehingga merata ke seluruh rongga mulut
anak.[84]
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
عن ابى موسى قال: ولد لي غلام فأتيت به النبي صلى الله عليه وسلم فسماه ابراهيم وحنكه بتمرة (رواه مسلم) [85]
Artinya : Dari Abu Musa, ia berkata, “Aku telah dikaruniai seorang anak,
kemudian aku membawanya kepada Nabi SAW, lalu beliau menamainya dengan Ibrahim
dan menggosok-gosok langit-langit mulutnya dengan sebuah korma”. (HR. Muslim)
Kelezatan buah kurma yang manis alami tentu lebih mampu merangsang
syaraf mulut sehingga akan menguatkan syaraf-syaraf mulut anak dan lidahnya
sehingga anak siap menyusui tetek ibunya.
Dr Abdul Aziz Syaraf dalam kitab Rissalatun Nabatuth Thayyibah (kajian
tentang tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat) pada halaman 15 mengungkapkan :
“Berdasarkan hasil riset dapat diungkapkan, bahwa al-Ballah (buah kurma yang
hampir masak) dapat merangsang aktifitas gerak kelenjar langit-langit mulut,
dan memberi kekuatan urat–urat kelenjar langit-langit, serta dapat memperlancar
pergerakan urat-uratnya,[86] dan itu
akan merangsang aktivitas gerak otot-otot langit mulut bayi.
e.) Mencukur rambut
Mencukur rambut yaitu membuang seluruh rambut yang ada di kepala anak
yang baru lahir pada hari ketujuh,[87]
sekiranya rambut kepala bayi semenjak lahir telah tumbuh dengan rata dan
dipandang cukup baik, pencukuran cukup dilakukan dengan merapikan bagian ujung
rambut bayi layaknya mencukur rambut orang dewasa.[88]
Kemudian sebagai anjuran, mengeluarkan sedekah dengan emas atau perak
seberat rambut anak itu Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam mencukur
rambut adalah mendidik kesehatan anak karena mencukur rambut anak ini akan
memperkuat tubuh anak, membuka selaput kulit kepala dan mempertajam indra
penglihatan, penciuman dan pendengaran, selain itu dengan bersedekah dengan
perak seberat timbangan rambut berarti suatu bukti nyata adanya tolong menolong
dan segala kasih mengasihi di dalam masyarakat.
f.) Memberi nama yang baik
Di dalam Islam, nama seseorang disamping sebagai panggilan atau
pengenalan terhadap seseorang juga sebagai do’a karena itu sudah sewajarnya
bila Islam mnenganjurkan kepada orang tua untuk memberi nama yang baik kepada
anak.
g.) Aqiqah
Aqiqah yaitu menyembelih kambing atau biri-biri yang tidak bercacat
untuk anak. Jumlah kambing untuk anak laki-laki adalah dua ekor dan untuk anak
perempuan satu ekor. Dan tidak apa-apa bila tidak memungkinkan, satu ekor untuk
laki-laki. Aqiqah ini sangat dianjurkan (sunnah muakad) dan hendaknya
dilaksanakan pada hari ke tujuh kelahiran bayi, akan tetapi andai kata
menyulitkan mereka diperbolehkan pada hari keberapa saja. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW:
عن سمرة قال: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ُ كلَّ غلام رهينة بعقيقته, تذبح عنه يوم سابعه ويخلق ويسمى
( رواه ابوداود ) [89]
Artinya : Dari Samrah ia berkata, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“Setiap anak terikat dengan aqiqahnya, yang disembelih pada hari ke- 7, diberi
nama dan dicukur rambutnya pada saat itu”. (HR. Abu Dawud)
Kemudian binatang yang akan di aqiqahkan hendaknya tidak cacat, berumur
satu tahun atau lebih atau memasuki dua tahun, tidak boleh kooperatif, misalnya
tujuh orang bergabung untuk melaksanakan aqiqah. Daging hewan itu setelah di
masak dibagibagikan kepada orang lain, dan diutamakan dibagi-bagikan kepada
fakir miskin dengan tidak memecahkan tukang belulangnya.
K. Nama yang Sesuai dengan Ajaran Islam Akan
Membentuk Identitas Muslim
Shakespeare menyatakan “apa arti sebuah nama”, itu menurut dia. Namun
menurut ajaran Islam, nama justru memiliki arti tersendiri yang sangat penting
baik dihadapan sesama manusia maupun di hadapan Allah sang Pencipta. Sebagai
identitas diri yang paling hakiki, yang membedakan antara orang satu dengan
yang lain.sehingga memudahkan sesama manusia dalam berkomunikasi, juga sebagai
doa dan harapan orang tua akan kesalehan anak.
Sebuah hadis riwayat Muslim dan Abu Daud telah menjelaskan bahwa pada
hari kiamat kelak Allah akan memanggil setiap hamba berdasarkan nama mereka.
عن عبد الله بن ابى زكريا قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: انكم تدعون يوم القيامة باسمائكم واسماء أبئكم فأحسنوا أسمائكم (رواه ابو دود) [90]
Artinya : Dari Abdullah bin Zakariya ia berkata, Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya kalian kelak pada hari kiamat akan dipanggil
berdasarkan nama-nama kalian beserta nama-nama bapak kalian, maka baguskanlah
nama (diri) dan anak kalian”. (HR. Abu Dawud)
Dengan demikian nama itu tidak hanya melekat pada jasad sewaktu pemilik
nama tersebut masih hidup tetapi nama itu akan tetap melekat sampai jasad itu
rusak, bahkan sampai hari kiamat kelak.
Sebagai identitas diri, nama menunjukkan identitas agama, marga (bani),
suku dan bahkan menunjukkan bangsanya. Setidaknya, nama menunjukkan identitas
agama bagi orang tuaj (pemberi nama) karena nama seseorang diberikan ketika ia
masih bayi dan saat itu ia tak mampu menolak nama yang diberikan.
Orang yang namanya Ahmad, Muhammad, Hasan, Abdullah, Fatimah dan sejenisnya
hampir bisa dipastikan bahwa mereka itu beragama Islam atau setidaknya orang
yang memberi nama tersebut adalah orang Islam.
Namun pada zaman globalisasi
ini budaya dan ciri khas antar daerah sudah semakin membaur, Sehingga namapun
ikut terbaur. Nama sering kali tidak lagi disangkut pautkan dengan keagamaan
seseorang. Pemberian nama cenderung bertujuan asal ngetren, sehingga tingkat
relatifitas nama dalam menunjukkan identitas keagamaan yang dianut semakin
tinggi.
Tingginya relatifitas tersebut
bisa menunjukkan besarnya pengaruh pendapat Shakespeare yang menyatakan apalah
arti sebuah nama. Tetapi sebagai muslim pendapat ini harus ditinggalkan
jauh-jauh, karena bagi seorang muslim nama tetap sebagai identitas diri yang
paling hakiki yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, baik di hadapan
Allah SWT, maupun di kalangan sesama manusia. Sehingga bagi orang muslim nama
tetap akan menjadi identitas keislamannya sepanjang zaman tanpa terpengaruh
globalisasi budaya.
Sebagai orang tua yang
menyayangi anak, tentunya akan mengingat hal yang satu ini, dan akan
menjadikannya sebagai pegangan dalam memberi nama, ketika ia memutuskan satu
redaksi nama, tentunya ia akan memilih nama yang baik, karena nama tersebut
tidak hanya sebagi identitas anak semasa hidup, tetapi akan menjadi kata untuk
memanggil anak besok di hari kiamat, sehingga menjadi identitas diri yang baik,
yang diijinkan oleh Allah atau bahkan disukai oleh Allah. Karena itu orang tua
muslim akan memberi nama yang baik sebagai identitas yang menunjukkan
keislaman, muslim, keluarga muslim serta agama Islam. Seperti nama Nabi
Muhammad atau nama-nama tokoh muslim lain.
L. Nama
Merupakan Doa dan Harapan Akan Kesalehan Anak
Dalam pemberian nama, para
orang tua takkan lepas dari harapanharapan kebanggaan tersendiri terhadap nama
yang diberikan. Nama merupakan harapan agar anak sepadan atau sederajat dengan
manusia pada umumnya. Karena salah satu syarat diakuinya derajat manusia dengan
yang lainnya karena manusia memiliki sebuah nama.[91]
Besarnya harapan orang tua
melalui nama yang diberikan kepada anaknya dipengaruhi oleh besarnya kecintaan
orang tua kepada anak. Orang tua berharap agar anak kelak bisa tumbuh dewasa
sesuai dengan kandungan makna dalam nama tersebut.
Dalam merumuskan sebuah nama,
orang tua memperhatikan harapan yang paling diinginkan.kemudian ia baru mencari
kata atau redaksi yang akan dijadikan nama tersebut. Dalam langkah ini terlihat
bahwa ketika orang tua menetapkan harapan yang paling diinginkan, ia akan
mengutamakan harapan agar anak kelak menjadi anak yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, bukan hanya harapan agar anak menjadi orang yang cantik atau bagus,
kaya, menarik, pandai berbicara dan kemampuan fisik lainnya. Tapi orang tua
pasti mengharapakan agar anak menjadi insan yang takwa, yang taat kepada Allah,
Rasul, berbakti kepada orang tua dan sifat-sifat lain yang menjadikan anak
tergolong dalam anak yang saleh, karena orang tua menginginkan terbentuknya
kesalehan anak sebagai tujuan utama dalam mendidik anak.
Sebagai orang tua muslim yang
taat kepada Allah tentu akan meletakkan harapan yang benar, yakni harapan agar
anaknya kelak tumbuh dewasa menjadi insan saleh. Karena dengan kesalehan yang
dimilikinya niscaya ia akan menjadi insan yang tampan, lebih canti, lebih kaya
dan lebih tinggi pangkatnya di mata Allah SWT serta akan terwujud kelak semua
harapan dalam kehidupan serta abadi. Dan itulah kekayaan yang diinginkan oleh
orang tua dan diridhai oleh Allah SWT. Sebagaimana isyarat Nabi dalam
hadisnya:
عن أبى هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس الغنى عن كثرة العرض, ولكن الغنى غنى النفس (رواه البخارى ومسلم) [92]
Artinya : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Kekayaan itu bukanlah dari banyaknya harta, tetapi kekayaan itu terlihat dari
banyaknya hati (perasaan)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Selain itu nama juga mengandung unsur doa. Bagi telinga kedua orang tua
nama anak seperti suara musik yang sangat merdu.[93] Dengan
sering diucapkan oleh banyak orang.maka doa yang terkandung dalam nama itu
diharapkan akan mensupport si empunya anak untuk berperilaku sebagaimana
kandungan makna dari nama tersebut.[94] Dan
sebagai doa tentunya orang tua akan memilih kata yang mengandung doa akan
kesalehan anak bukan katakata yang mengandung doa yang jelek.yang akan membawa
anak menjadi orang musyrik orang yang benci oleh Allah SWT.
Sebagai penanggung jawab dan pemeliharaan anak orang tualah yang
menentukan tujuan mendidik anak tersebut karena orang tua adalah pendidik utama
dan pertama bagi anak. Dimana anak
saat itu masih polos, belum mengetahui apa-apa. Sehingga orang tualah yang akan
memberi corak dalam kehidupanya, sebagaimana Hadis dari Abi Hurairah:
عن َابِى هريرَة رضِي اللَّه عنه قَا َل: قَال رسول اللَّهِ صلَّى اللَّه عَليهِ وسلَّم ما منِ
موُلودٍ إِلَّا يوَلد
عَلى الْفِطْرةِ فَأَ بواه يهودانِهِ َأوينصرانِهِ َ أويمجسانِهِ ( رواه البخارى)[95]
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a ia berkata, bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda, “Tidaklah seseorang yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah suci
dari kesalahan dan dosa maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani
dan Majusi”. (HR. al-Bukhari).
Apabila orang tua mengarahkan pada ajaran Islam, maka berdasarkan hadis
di atas insyaallah anak akan berjalan sesuai dengan ajaran Islam.
Demikian juga dengan nama, apabila orang tua meletakan harapan kesalehan
anak, insyaallah dengan sering dilafalkan nama sebagai doa akan membina anak
menjadi anak shaleh. Karena itu orang tua harus menentukan harapan baik yang
terkandung dalam nama tersebut dengan memberinya nama yang baik.
Sebuah hadis riwayat Bukhari sebagai bukti bahwa dalam nama terdapat
unsur doa dan harapan orang tua dimana ketika seorang sahabat Hazn (susah)
menghadap Rasullulah SAW, lalu beliau bertanya: “siapakah namamu?” jawabnya:
namaku Hazn Rasul langsung menggantinya seraya bersabda namamu adalah Sahal.
(HR. Bukhari)
عن ابن المسيب عن ابيه ان اباه جاء الى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ما اسلك قال حزن. قال انت سهل. قال لا اغير اسما سمابيه ابى. قال ابن الميب فما زالت الحزونة فينا بعد ( رواه البخارى )
Artinya : Dari Ibnu Musayyab dari bapaknya, sesungguhnya bapaknya datang
kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian Nabi SAW bersabda, “siapa namamu?”, ia
menjawab: :Hazn”, Nabi bersabda, “Namamu Sahal”, kemudian Hazn menjawab, “saya
tidak akan merubah nama yang telah diberikan bapak saya kepada saya”. Ibn
Musayyab berkata, “kemudian tidak pernah berhenti kesedihan-kesedihan setelah
itu”. (HR. al-Bukhari).[96]
Nama Hazn berarti susah atau sulit itu tentunya tidak baik, maka diganti
menjadi “Sahal” yang berarti “mudah” hadis ini menunjukkan dengan jelas adanya
unsur doa dan harapan yang terdapat pada sebuah nama. Nama Sahal diharapkan
akan menjadikanya sebagai orang yang memiliki kemudahan dalam berbagai hal.
M. Pemberian Nama yang Sesuai dengan Ajaran Islam sebagai Langkah Awal
dalam Mendidik Kesalehan Anak Setelah
Anak Lahir
Ketika seorang suami dan istri telah melakukan jima’, maka atas ijin
Allah mereka akan dikaruniai seorang anak, atas rahmat dan amanat ini, orang
tua muslim akan menyambutnya dengan gembira dan setelah sembilan bulan si istri
mengandung, maka akan lahirlah ke tengah-tengah mereka seorang manusia kecil
yang mungil, polos, dan sangat lucu. Pada saat itulah orang tua harus bertambah
syukur atas nikmat Allah, sebagai amanah anak akan diperlakukan mulia yaitu
dengan menyusui anak, mengadzani dan mengiqomahi pada kedua telinga, mencukur
rambut dan memberi nama yang baik serta mengaqiqahi. Kemudian bila telah tiba
saatnya anak akan dikhitan dan dikhifadz.
Di antara upaya orang tua untuk menyambut gembira kehadiran anak adalah
dengan memberi nama yang baik. Hal ini merupakan langkah awal orang tua untuk
mendidik kesalehan anak ketika anak sudah lahir.
Selain nama merupakan doa dan harapan orang tua, dalam pemberian nama
juga terdapat upaya orang tua mendidik kesalehan anak. Upaya ini berupa salah
satu dari rangkaian upaya yang dilakukan orang tua setelah bayi pada saat
setelah bayi lahir. Jadi upaya ini merupakan awal dari berbagai langkah untuk
mendidik kesalehan anak. Upaya-upaya tersebut adalah:
- Upaya orang tua mendidik akidah Islamiyah anak
Akidah adalah keyakinan tentang satu (esanya) Tuhan yang tidak boleh
dicampuri oleh keraguan-keraguan, syak wasangka dalam hati.
Pendidikan akidah/ keimanan berarti membangkitkan kesadaran/ kesediaan
yang bersifat naluri yang ada pada setiap anak melalui bimbingan agama agar si
anak mempunyai keyakinan terhadap keesaan Allah SWT.[97] Wujud
pendidikan ini adalah penanaman keyakinana terhadap Allah, dimana Allah adalah
dzat yang paling tinggi yang menciptakan manusia, yang berhak atas manusia,
karena itu sebagai ciptannya, manusia sudah selayaknya wajib melakukan ibadah/
menyembah Allah, tidak menyekutukannya sebagaimana hadis:
عن أنس بن مالك رضى الله عنه قال : عن النبى صلى الله عليه وسلم قال :ثلاث من كن فيه وجدحلاوة الإيمان : أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما وأن يحب المرء لا يحبه إلا الله وأن يكره أن يعود فىالكفربعد أنقده الله منه كما يكره أن يلقي فى النار
Artinya : “Dari Anas bin Malik r.a. ia berkata, dari Nabi Muhammad SAW,
ia bersabda, “Tiga hal yang barang siapa memiliki ketiganya, dia akan menemukan
lezatnya iman, yakni : 1) Allah SWT dan rasul-Nya lebih dicintai daripada yang
lain, 2). Mencintai seseorang hanya karena Allah dan 3). Berpantang tidak akan
kembali kafir sebagaimana ia berpantang enggan dilemparkan ke dalam api
neraka”. (HR. al-Bukhari)
Dalam memberi nama, orang tua akan memilih nama yang menunjukkan
penghambaan diri kepada Allah, dengan begitu ia akan mengajak anak pada situasi
yang mengarah pada keyakinan anak terhadap Allah SWT. Dari situ anak akan mulai
ditanamkan keyakinan terhadap keesaan Allah dan pendidikan ini akan mulai
mendapat respon dari anak ketika anak mulai menyadari makna dari nama yang
dikandungnya, saat itu anak akan mengembangkan pikirannya bahwa ternyata orang
tua mempunyai maksud tertentu dalam nama yang diberikan kepadanya, sehingga
timbul semacam keinginan untuk menyesuaikan dengan tingkat laki-laki perbuatan
kesehariannya. Apalagi ketika nama itu sudah menjadi penggilan yang akrab
didengar ditelinga. Ia akan menimbulkan semacam
beban dan tanggungjawab moral untuk mempertahankan makna nama tadi.
Di sisi lain nama yang
menunjukkan penghambaan diri kepada Allah adalah nama yang paling disukai oleh
Allah, sebagaimana hadis Nabi SAW:
عن ابن عمر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أحب الأسماء الى الله تعالى عبدالله, وعبدالرحمن ( رواه ابو دود ) [99]
Artinya : Dari ibn Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya nama kamu sekalian yang paling disukai oleh Allah SWT ialah
Abdullah dan Abdurrahman”. (HR. Abu Dawud)
Sebaliknya orang tua muslim tidak akan memberi nama anak yang mirip
ciptaan Allah dengan nama yang maknanya menyerupai kemahakuasaan Allah SWT.
Karena itu akan menciptakan suasana yang menentang kemahakuasaan Allah,
sehingga lambat laun akan menjadikan anak yang musyrik terhadap Allah SWT.
Contoh nama tersebut adalah malikul amlak (raja diraja)
- Upaya mendidik anak untuk taat beribadah kepada Allah
Ibadah merupakan kewajiban manusia, dan sebagai makhluk yang telah
diciptakan oleh Allah, karena penciptaan manusia itu sendiri hanya untuk
beribadah kepada Allah.
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ( الذاريات : 56 )
Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka menyembah-Ku”. (QS: adz-Dzariyat: 56)[100]
Pengertian yang terkandung dalam ibadah sangat luas. Sesorang dikatakan
beribadah tidak hanya ketika ia melaksanakan shalat lima waktu, puasa, zakat,
dan haji saja, tatapi lebih dari itu segala kegiatan yang bertujuan
menghambakan diri kepada Allah juga termasuk dalam ruang lingkup ibadah.
Muhammad Quthb menyatakan bahwa seluruh kehidupan manusia pada
hakikatnya adalah ibadah. Di samping mekaksanakan ibadah (mahdloh), mereka juga
melaksanakan aktivitas kehidupan yang diridloi Allah. Bahkan sebagian besar
ibadah mereka merupakan realitas amal dalam segala lapangan kehidupan.[101] Salah
satunya dalam memuliakan anak dengan memberi nama yang baik.
Dalam memberi nama yang baik pada anak, orang tua mempuyai tujuan untuk
beribadah kepada Allah, yaitu dengan melaksanakan ajaran Islam dalam memberi
nama pada anak, di antaranya dengan memberikan hak anak dari orang tua dalam
hal in yang dimaksud adalah nama yang baik, yang bermakna baik, karena sebagai
manusia yang baru lahir ke dunia. Anak masih sangat lemah yang sangat
membutuhkan pemeliharaan dan bimbingan dari orang tua, juga anak sebagai amanat
Tuhan bagi orang tua harus diperlakukan denagn mulia, ia harus mendapat nama
yang baik sebagai identitas dan panggilan di dunia dan akhirat, karena itu
sebagai kelengkapan untuk menjadi insan yang terbaik (insan taqwim).
Nama sangatlah tepat jika disebut sebagai kewajiban orang tua. Sebagaimana
perintah Rasul dalam hadisnya:
عن الحارث بن النعام قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : أكرموا أولآدكم وأحسنوا أسمائهم ( رواه ابن ماجه) [102]
Artinya : Dari Kharis bin Nu’am ia berkata, saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian dan berilah mereka nama-nama yang
baik”. (H.R. Ibnu Maajah)
Selain itu, nama juga sebagai hak anak atas orang tua. Sebagaimana hadis
Nabi SAW:
عن ابن عباس قال: ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: حق الولد على الوالده ان يحسن اسمه ادبه (رواه البيهقى) [103]
Artinya : Dari Ibnu Abbas, ia berkata, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW
bersabda, “Hak anak atas ayahnya adalah memberi nama yang baik dan mendidiknya
dengan baik”. (HR. al-Baihaqi)
Hadis tersebut tergolong maudhu’, bahkan al-Qari’ menganggap hadis
tersebut hadis gharib. Namun hadis tersebut dikemukakan oleh as-Suyuti dalam al-Jami’
dan asy-Sya’bu.[104] Namun
terlepas dari itu semua hadis di atas mengandung maksud bahwa hak anak yang
harus dipenuhi oleh orang tuanya adalah nama yang baik dan itu akan menjalar
pada kebaikan adab.
Orang tua muslim tentu akan memberikan hak ini secara sempurna. Ia akan
berusaha maksimal untuk memberi nama baik. Ia akan mencari redaksi nama yang
baik, nama yang sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan kalau ia tidak mampu membuat
sendiri, ia akan meminta orang lain yaitu orang yang lebih alim (bapak kyai)
untuk memberikan nama yang baik pada anaknya yaitu nama yang sesuai dengan
harapannya.
Selain itu bentuk dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan Islam dalam
memberi nama adalah dengan melakukan shalat istikharah ketika orang tua telah
mendapatkan gambaran redaksi nama-nama yang akan dipilih. Orang tua meminta
pertolongan terhadap Allah agar dituntun dalam menentukan pilihannya. Orang tua
yang bersikap demikian telah mendidik anak untuk terbiasa meminta petunjuk
terhadap Allah dalam berbagai hal, sehingga diharapkan anak akan tumbuh dengan
terbiasa melaksanakan shalat dalam berbagai hal dikehidupannya. Sebagaimana
hadis Nabi SAW:
عن جابر بن عبدالله رضى الله عنهما قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: إذا هم احدكم بالأمرفليركع ركعتين ثم ليقل... )رواه البخارى ) [105]
Artinya : Dari Jabir bin Abdullah r.a ia berkata, Rasul SAW bersabda,
“Jika diantara kalian menghadapi perkara (pilihan) yang penting, maka shalatlah
dua rakaat, kemudian bacalah do’a….”. (HR al-Bukhari)
Bentuk lainnya adalah memberi nama pada hari ketujuh dimana sebagaimana
yang diketahui itu adalah sunnah Nabi dengan dibarengi pelaksanaan aqiqah, dan
pada prosesi pemberian nama diakhiri dengan doa untuk kebaikan anak dimana
terlihat bahwa dari prosesinya terdapat rangkaian ibadah yang dilaksanakan
orang tua, dengan maksud mendidik anak agar anak mulai terbiasa denagn kegiatan
ibadah dalam berbagai hal kehiduan semenjak dini. Ketika ia belum mampu
melaksanakannya sendiri, orang tua telah memberi pemandangan ibadah terlebih
dahulu.
Karena sebagaimana diketahui bahwa tahap awal pembelajaran anak adalah
dengan mendengar, melihat, kemudian bertanya praktik.
- Upaya orang tua mendidik akhlak anak
Akhlak adalah segala
tingkah laku dan sikap seseorang yang mempunyai nilai utama dan nilai hina atau
nilai yang tinggi dan nilai yang rendah. Alat ukur akhlak adalah al-Qur’an dan
Hadis dan contoh pribadi yang berakhlak mulia bagi manusia adalah Rasulullah
SAW. Al-Qur’an sendiri menyatakan bahwa beliau adalah seorang yang memiliki
akhlak yang agung yang perlu dicontoh oleh masyarakat dengan ungkapan “uswatun
hasanah” (teladan paling baik) bagi manusia.[106] Sebagaimana firman Allah:
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$# #ZÏVx. ( الاحزاب : 21 )
Artinya : “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu…”. (QS.
Al-Ahzab: 21)[107]
Berdasarkan firman Allah
trersebut jelas bahwa Nabi diposisikan oleh Allah sebagai contoh tersebut,
kemudian menanamkan rasa sayang pada contoh tersebut, kemudian menumbuh
suburkan rasa itu sehingga menajdi rasa cinta dan rasa ingin seperti contoh
tersebut, sebagaiman pepatah mengatakan “Tak kenal maka tak sayang, dan tak
sayang maka tak cinta”.
Begitu juga dalam
menanamkan rasa ingin seperti Rasulullah SAW harus dilakukan dengan tahapan
seprti di atas. Dimana orang tua sebagai pendidik utama dan pertama harus
terlebih dahulu memperkenalkan Rasulullah SAW pada anak dalam memberi nama. Di
mana orang tua pertama kali memperkenalkan nama Rasul, karena pertama kali yang
mudah dikenal dari seseorang adalah nama. Dengan langkah orang tua untuk
memberi nama “Muhammad” pada anak berari orang tua telah melakukan tahap awal
dan kemudian setelah itu orang tua melanjutkan langkahnya dengan memperkenalkan
kisah-kisah teladan Nabi. Langkah ini nampak pada pembacaan berzanji, kitab
tentang kisah Nabi, pada prosesi penetapan nama anak.
Nama “Muhammad” mengandung
unsur doa dan tafa’ul (pengharapan yang baik) terhadap anak-anak. Dengan nama
tersebut, anak didoakan supaya menjadi orang yang terpuji (akhlaknya) dan
sekaligus sebagai pengharapan agar anak berakhlak seperti Rasulullah, walaupun
tdak sepenuhnya. Setidaknya sebagian kecil dari akhlak Nabi yang agung ditiru
oleh anak. Karena hanya Nabi Muhammad yang mempunyai akhlak paling mulia.
Kemudian mengenai
pembacaan berzanji merupakan langkah orang tua agar pada masa awal pendengaran
bayi berfungsi, maka yang terdengar adalah kisah-kisah teladan dari Nabi
Muhammad dengan akhlaknya yang mulia dan diharapkan akan mendarah dagingdalam
jiwa anak. Karena segala sesuatu yang dikenalkan pada masa-masa awal bayi,
kesemuanya akan tercetak seumur hidupnya di dalam otak bayi tersebut dan tidak
akan dapat hilang untuk seumur hidupnya, karena mengendap di bawah sadarnya.
Kalau nanti ada pengaruh dari luar yang menggodanya, maka insyaallah bawah
sadarnya akan memanggilnya kembali.[108]
Tidak terkecuali, dalam
nama lain juga terdapat upaya orang tua untuk mendidik akhlak, karena dengan
memilih nama tersebut. Orang tua bertujuan agar anak biasa meniru sifat,
kemampuan, dan kelebihankelebihan lain dari orang yang memiliki nama tersebut.
Dan tidak ada orang tua yang menghendaki anaknya seperti orang jahat, buruk
perilakunya kecuali karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran orang tua akan
maksud dari nama yang diambilnya tersebut.
Dari uraian di atas,
nampaklah bahwa nama yang baik akan semakin penting dalam mempersiapkan anak
saleh. Di samping sebagai doa dan harapan, nama akan menjadi dasar kepribadian
sesuai dengan makna yang terkandung di dalamnya. jika maknanya baik maka
menjadi dasar kepribadian yang baik begitu juga sebaliknya jika maknanya jelek
maka akan menjadi jelek dasar kepribadiannya. Nama yang baik itu mempunyai
pengaruh positif atas kepribadian manusia. Begitu juga atas tingkah laku,
cita-cita dan angan-angannya.[109]
Nilai-nilai pendidikan
yang terkandung dalam pemberian nama yang baik kepada anak adalah bahwa nama
tersebut memiliki efek psikologis dan paedagogis kepada anak.[110]
Anak yang diberi nama baik
akan dipanggil dengan nama tersebut, dengan demikian diharapkan ia akan
terbiasa dengan panggilan yang baik. Telinganya akan akrab dengan panggilan
yang baik dan dengan penjelasan dari orang tua tentang makna yang terkandung di
dalamnya. Tentunya anak akan semakin sayang dan senang dengan panggilan
tersebut. Di sisi lain ada semacam keinginan untuk menyesuaikan panggilan
tersebut dengan tingkah laku perbuatan kesehariannya. Ketika anak sudah
mempunyai semangat dan sugesti untuk menyesuaikan tingkah lakunya itu berarti manfaat
dari nama yang bermakna baik sudah mulai terasa. Bagaimanapun ada semacam beban
dan tanggungjawab moral untuk mempertahankan makna nama tersebut akan terasa
malu agaknya, jika ia berbuat menyimpang dari makna yang terkandung di
dalamnya.
Selain itu dalam pemberian
nama juga terdapat unsur-unsur upaya orang tua untuk mendidik anak agar menjadi
anak yang saleh. Karena sebagai pendidik utama dan pertama orang tua akan
dimintai pertanggungjawabannya tentang bagaimana ia mendidik anaknya. Pada hari
akhir nanti karena kertas putih yang polos belum tertulis apapun, maka orang
tualah yang pertama kali memberi lukisan pada kehidupan anak.
Sebagai bentuk
pertanggungjawaban orang tua terhadap anak, orang tua akan berusaha memberikan
pendidikan atau ajaran-ajaran yang sesuai dengan ajaran agama Islam dalam
setiap tindakannya. Hal ini yang akan menjadi pilar-pilar kepribadian
anak.
Anak yang baru lahir yang diperlakukan sesuai dengan Sunnah Rasul
kemudian diberikan motivasi sesuai dengan fitrahnya. Untuk membiasakan diri
mengulangi sunnah itu, baik dalam bentuk yang sama maupun dalam bentuk yang
berlainan. Maka pertumbuhan dan kesadarannnya akan terus meningkat. Sunnah yang
baru saja dialaminya akan terserap dan berakar dalam diri sang bayi, dan
menjadi pemandu dalam watak sosialnya.[111]
Begitu besar tanggungjawab orang tua terhadap anak, maka walaupun nama
yang baik itu hanya merupakan anjuran dari Rasul, bukan merupakan kewajiban
yang mutlak sebagaimana shalat, maka nama yang baik kiranya tidak terlalu
berlebihan jika dipenuhi oleh orang tua, karena dengan manfaat-manfaat makna
yang tersirat di dalamnya sebagaimana penjelasan di atas.
[1] Depag RI, Al-Qur'an dan
Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989), hlm. 77.
[2]
Abu Abdullah Bin Ismail Al-Bukhori, Sahih Al Bukhari, (Beirut:
Dar al Kutub al Ilmiah, tth.), Juz I, hlm. 413
[3]
Aba Firdaus Al Halawani, Melahirkan Anak Saleh, (Yogyakarta:
Mitra Pustaka,2003), hlm. 5
[4]
Abi Abdillah M. Bin Yazid Al-Qazwany, Sunan Ibnu Majah 2,
(Beirut: Dar al Fikr, t.th.), hlm. 1114 (hadits ke 3671)
[5]
Jalaludin Rahmat, Islam Aktual Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan
Muslim,(Bandung: Mizan, 1994), hlm. 183
[6]
Ellizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, edisi keenam, Terj., Dr
Med. Meitasari Tjandrasa, (Jakarta: Erlangga, 1978), hlm. 252
[7]
Abdullah Nasikh Ulwan, Tarbiyat al-Aulad Fi al-Islam, (t.tp,: Dar
as-Salam, 1985) Juz I, hlm. 73.
[8]
Abdullah Nasikh Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam, Edisi
PemeliharaanKesehatan Jiwa Anak, terj. Khalilulah Ahmaf Maskur Hakim (Bandung:
Remaja Rosda Karya: 1999) hlm. 59
[9]
Labib MZ., Namaku Nama Islami, (Surabaya: Cipta Karya, 2003),
hlm. v.
[10]
M. Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm. 64.
[11]
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 14.
[12]
Abi Abdillah M. Bin Yazid Al-Qazwany, Sunan Ibnu Majah 2,
(Beirut: Dar al Fikr,t.th.), hlm. 1114 (hadits ke 3671).
[13]
Nipan Abdul Halim, Op.Cit., hlm. 65.
[14]
Depag RI, Op.Cit., hlm. 951.
[15]
Nipan Abdul Halim, Op.Cit., hlm. 67.
[16]
Abu Abdullah Bin Ismail Al-Bukhori, Matan Al-Bukhori, Juz 4
(Indonesia: Dar Ihya’Al-Kitab Al-Arabiyah, t.th.), hlm. 79-80.
[17]
Imam Ahmad bin al-Husain as-Syuhairi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Semarang:
Pustaka Alawiyah, t.th.) hlm. 63.
[18]
Muhammad Umar Al-Jaawi Nawawi, Tausikh Ala Ibnu Qasim, (Beirut:
Maktabah Muhammad Bin Syarif, t.th.) hlm. 273.
[19]
Abi Isa Muhammad bin Saurah, Sunan Turmudzi Juz IV, Beirut Darul
Fikra, t.t., hlm. 380.
[20]
Muhammad Umar Al-Jaawi Nawawi, Op.Cit., hlm. 272.
[21]
Abi Dawud Sulaiman, Op. Cit., hlm. 289
[22]
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, (Beirut: Dar
al-Fikr, t.th.) Juz X,hlm. 570.
[23]
Loc.Cit.
[24]
Loc.Cit
[30] Yahya Bin
Said Ali Syalwa, Wahai Ayah dan Ibu, Didiklah Anakmu, (Yogyakarta:Menara
Kudus, 2003), hlm. 46-47.
[39]
Muslim Abul Hasan, Op. Cit., hlm. 762.
[40]
Yahya Bin Said Ali Syalwan, Op.Cit., hlm. 45.
[41]
Muhammad Musthafa, Jawahirul Bukhori, (Indonesia: Dar Al-Ikhya Al
Kitab Al-Arabiyah, t.t.), hlm. 146.
[42]
Abdurrahman Shad, Adab Kehidupan Muslim Etika Rumah Tangga Islam,
terj. Eep Sutarman, (Bandung: Gema Risalah Press, 1989), hlm. 13.
[43]
Nipan Abdul Halim, Op. Cit., hlm. 79.
[44]
Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Shaleh; Telaah Pendidikan Terhadap
Sunnah Rasulullah SAW, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2000), hlm.
34.
[45]
M. Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, 2000), hlm. 91.
[46]
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an, (Bandung: Mizan, 1995)
hlm. 173.
[47]
Teungku Hasby Ash-Shiediqy, Al-Islam, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2001),hlm. 310.
[48]
Sir Godfrey Thompson, A Modern Philosophy of Education, (London:
George Allen and Unwin Lcd, 1959), hlm. 19.
[49]
Didi Jubaedi Ismail, Membuka Rumah Tangga Islam dibawah Ridha Allah,
(Bandung:Pustaka Setia, 2000), hlm. 194.
[50]
Depag RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mahkota, 1989),
hlm. 951.
[51]
H.M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,1996) hlm. 194.
[52]
Dewan Ulama Al-Azhar Mesir, Ajaran Islam Tentang Perawatan Anak,
terj. Dra.Alawiyah Abdurrahman, (Bandung: Al Bayan, 1992), hlm. 30
[53]
Muslim Abul Hasan, Op. Cit., hlm. 14.
[54]
Teungku Hasbi As-Shidieqy, Op. Cit., hlm. 312.
[55]
Loc. Cit
[56]
M. Nipan Abdul Halim, Op. Cit., hlm. 91
[57]
Didi Jubeadi Ismail, Op.Cit., hlm. 199.
[58]
Muslim Abu Hasan, Op. Cit., hlm. 30.
[59]
M. Nipan Abdul Halim, Anak Shaleh Dambaan Keluarga, Op.Cit., hlm.
95.
[60]
Muslim Abu Hasan, Op. Cit., hlm. 38.
[61]
Anis Hidayah, Buku Pegangan Anak Shaleh, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994),hlm. v.
[65] Hasan
Langgulung, Manusia Dan Pendidikan: Suatu Analisa Psikologi, (Jakarta:
PT.Al-Husna Dzikra, 1995), hlm. 378.
[66] Azaelly
Ilyas, Mendambakan Anak Shaleh: Prinsip-Prinsip Anak Dalam Islam,(Bandung:
Al-Bayan, 1981) hlm. 74.
[69] Wohjoetomo, Perguruan
Tinggi, Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan,(Jakarta: Gema Insani,
1997), hlm. 27.
[71] Imam
Zaenuddin Ahmad bin Abdullatif az-Zubaidi, Mukhtashor Shohih Bukhari I,(Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Alamiyah, 1994), hlm. 430.
[73]
M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung:
Irsyad Baetus Salam, 1999), hlm. 29.
[75]
Ramayulis, dkk. Op.Cit., hlm. 109-111
[76]
Aba Firdaus Al-Halwani, Op.Cit., hlm. 33.
[77]
Ramayulis, dkk., Op.Cit., hlm. 122
[80]
M. Thallib, Op.Cit., hlm. 63
[81]
Imam Yahya Ibnu Hamzah, Op.Cit., hlm. 84.
[82]
Abi Isa Muhammad bin Saurah, Jami’ as-Sahih, (Beirut: Dar
al-Kitab al-Ilmiah, t.th.),Juz IV, hlm. 82.
[83]
Al-Halwani, Op.Cit., hlm. 52.
[85]
Imam Abu Husain Muslim, Sahih Muslim, Beirut: Dar al-Kitab
al-Ilmiyah, t.th.) Juz II,hlm. 260
[86]
Al-Halwani, Op.Cit., hlm. 42.
[87]
Ramayulis, dkk., Op.Cit., hlm. 114.
[88]
M. Nipan Abdul Halim, Mendidik Kesalehan Anak, Op.Cit., hlm.
25.
[89]
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Kitab
al-Ilmiyah, 1996), Juz II,hlm. 312 .
[90]
Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Jiil, t.th.) Juz IV,
hlm. 289.
[92]
Muslim Abul Hasan, Op. Cit., hlm. 762.
[93]
Dewan Ulama al-Azhar, Child Love in Islam (terj. Dra. Alwiyah
Abdurrahman), (Bandung: al-Bayan, 1992), hlm. 84.
[95] Abu Abdullah
Bin Ismail Al-Bukhori, Sahih Al Bukhari, (Beirut: Dar al Kutub al
Ilmiah, tth.), Juz I, hlm. 413.
[97] Didi Jubaedi
Ismail, Membuka Rumah Tangga Islami di Bawah Ridlo Ilahi, (Bandung:Pustaka
Setia, 2000), hlm. 199.
[98]
Muslim Abu Hasan, Op. Cit., hlm. 38
[99]
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah,1996), hlm. 289.
[100] Depag RI., op.cit., hlm.
862
[101] Djalaluddin, Mempersiapkan
Anak Saleh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),hlm. 74.
[102] Abi Abdillah M. Bin Yazid
Al-Qazwany, Sunan Ibnu Majah 2, (Beirut: Dar al Fikr,t.th.), hlm. 1114
(hadits ke 3671).
[103] M. Nashiruddin al-Albani, Hadis-hadis
Dhaif dan Maudhu’, (Bandung: Risalah, 1986),hlm. 253.
[105] Muhammad Musthafa, Jawahirul
Bukhori, (Indonesia: Dar Al-Ikhya Al Kitab Al-Arabiyah, t.t.), hlm. 146.
[106] Nasiruddin Razak, Dienul
Islam, (Bandung: al-Ma’arif, t.th.), hal. 36.
[107] Depag RI., Op.Cit., hlm.
670.
[108] Su’dan, Al-Qur’an dan Panduan
Kesehatan Masyarakat, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Primayasa, 1997), hlm.
294.
[109] Hasan Langgulung, Manusia dan
Pendidikan, (Jakarta: al-Husna, 1989), hlm. 381.
[110] Ramayulis, dkk., Pendidikan
Islam Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Kalam Mulia, cet.IV., 2001) hlm. 117.
[111] Aba Firdaus al-Halwani, Melahirkan
Anak Saleh, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, cet.IV.,2003), hlm. 56.
0 Response to "HAKEKAT SEBUAH NAMA DALAM ISLAM"
Post a Comment