Kejujuran modal dalam menuju segala kebaikan
HAKEKAT CINTA
الله أكبر ما تزينت السما # والأرض
فوق جبينها الأفراح
Langit
dan bumi bersenandung gembira. Begitulah tatkala angin cinta merasuk
relung-relung kalbu manusia. Cinta yang menuntun manusia beragama dan
bersanding damai dengan sesama.
Sejauh mana
peran cinta dalam agama? Mulai dari Saidina Adam As. hingga Baginda Rasul Saw.
jawab Syekh Sofwat al-Qadhi, seorang pakar cinta yang menjadi alim karena
belajar dari Guru Spiritualnya; Sidi Syekh Mukhtar Ali Muhammad al-Dusuqi Ra.
Syekh Tarekat Dusuqiyah Muhammadiyah. Cinta akan terus bersemi hingga hari
kiamat kelak, garis start agama dimulai dari cinta. Sebagai contoh: Saidina
Musa As. dengan sebuah jargon ayat yang berbunyi "Wa alqaitu alaika
mahabbatan minni wa litushna'a ala aini". Dengan ayat ini sebagian kaum
Saidina Musa As. mulai menancapkan rasa cinta dan simpati kepadanya, sehingga
mereka layak mendapat gelar "umat"; "Wamin qaumi Musa ummatun
yahduna bil-haq". Melalui pemahaman secara konprehensif, seseorang yang
mulai membuka pintu hatinya untuk mendeklarasikan keimanan sebenarnya ia
memulai dari gerakan hati melalui cinta. Maka di dalam al-Qur'an anda akan
menjumpai kata Sharafa ila (menuju) sebagaimana ayat "Waidz sharafna
ilaika nafaran minal-jin", dan Sharafa ‘an (berpaling) sebagaimana ayat
"Sa'ashrifu an ayati". Dari sini hak preogratif mutlak di tangan
Allah. Sebab Allah-lah yang menggerakkan menuju petunjuk dan menjauhkan dari
petunjuk. Nah, sebuah nikmat yang tak terhingga ketika seseorang mau mencintai
dan mempercayai seseorang yang diutusnya. Mulai Baginda Rasul Saw., para
pendahulu dan para penerusnya (ulama’) yang mendapatkan anugrah seperti para
nabi. Merekalah yang berhak menjadi pewarisnya "al-Ulama'
waratsatul-anbiya'". Dengan ayat lain, kita tahu bahwa mencintai Allah
harus ditopang dengan cinta dan mengikuti Rasul, "Qul in kuntum
tuhibbunallah fattabi'uni yuhbibkumullah". Tanpa mengikuti Baginda Rasul
cinta kita kepada Allah tidaklah sempurna. Jadi cinta dalam terminology agama
sangat berhubungan dengan ibadah. Nah, dari sini kecintaan tersebut harus
didasari dengan ilmu, sehingga cinta tersebut tidak akan surut, tapi akan
selalu bertambah; "Lilladzina ahsanul-husna waziyadah". Cinta yang
didasari dengan ilmu akan mengantarkan kita kepada cinta sejati.
Sebenarnya
kalau kita jeli dan teliti, kita dapat merasakan, mengetahui dan mendalami arti
cinta. Coba anda lihat kalimat al-Hub dalam bahasa arab, kedua huruf tersebut,
ha’ dan ba’ merupakan huruf yang terlepas dari tekanan suara, ia bebas lepas
dari kepentingan-kepentingan lidah yang biasa bersilat, keluar begitu saja.
Begitulah cinta, tidak bisa dibuktikan dengan kata-kata, suara atau rayuan.
Melainkan diekspresikan dengan tindakan kongkrit. Yah, mungkin kita memang bisa
dan boleh mengungkapkannya, tapi kata-kata terbatas dan acap kali menipu
pendengarnya. Sedangkan suara hati lebih jernih mengungkapkan dan menangkap
saripati cinta. Sebab undang-undang cinta berada di tangan-Nya, bukan di tangan
si pecinta dan orang yang dicintai. Oleh karena itu, kita tidak dapat memilih
dan memilah cinta, tapi cintalah yang menghampiri dengan menjemput kita.
Tatkala engkau disemprong cinta, berarti timbullah benih-benih cinta dalam
hatimu. Al-Insan ma'dan (manusia adalah logam). Lantas, apakah kita menjadi
emas (yang merasa berharga tinggi), besi (yang bisa tertarik dengan magnet)
atau logam-logam lainnya. Tentu andai kita merasa menjadi emas, kita tidak akan
pernah mencintai, percaya dan mengikuti Baginda Rasul, para pendahulu dan para
penerusnya. Lain halnya jika kita menjadi besi maka kita akan selalu condong
tertarik oleh magnet. Dengan kata lain, andaikan diperintah untuk memilih, maka
magnet akan memilih emas sebagai logam mulia, tapi kenapa besi yang tertarik,
itulah rahasia cinta, Allah-lah yang lebih mengetahui. "Innallaha indal-munkasirati
qulubuhum". Artinya; Allah-lah yang menganugerahi luluh lantaknya hati
bersama dengan cinta. Sedangkan definisi cinta adalah Mayalanul-qalbi
bitthabi'ah li irdha'ilmahbub. Artinya; Kecendrungan hati secara alami untuk
mencari ridho syang dicintai, sebagai gambaran bila anda datang kepada orang
yang anda cintai kemudian dia mengusir anda berkali-kali, pasti anda akan
mendatanginya lagi. Dan ketika keduanya mengalami cinta seperti itu, maka sang
pecinta (muhib) dan yang dicintai (mahbub) tidak lagi berada dalam kawasan hub
tetapi hib (saling mencintai) sebagaimana cinta antara sahabat dan Baginda
Rasul. Lain halnya bila anda tidak mencintai dengan sungguh-sungguh, maka anda
akan mencampakkannya begitu saja. Begitulah ibadah kita kepada-Nya, dengan
cinta kita akan terus mengetuk pintu-Nya, sampai Allah membukakannya. Sebuah
usaha yang kita tempuh tanpa mengetahui hasilnya secara pasti.
Sangat
perlu kita mengetahui apa perbedaan Ibadah, Ittiba' dan Ta'asi. Ibadah adalah
Tha'ah muthlaqah lil-Ma'bud ibtigha'a mardhatih (Ta'at mutlak kepada Allah
dengan mencari ridho-Nya). Ittiba' adalah Tha'ah muthlaqah lil-matbu' ibtigha'a
mardhatillah (Ta'at mutlak kepada Rasul dengan mencari ridho Allah). Ta'asi
adalah Tha'ah Qadral-istitha' ah lil-muta'assa bihi ibtigha'a mardhatillah
warasulih (Ta'at semampunya kepada muta'asa bihi dengan mencari ridho Allah dan
Rasul-Nya). Gambaran dari ketiganya dapat anda lihat dalam awal surat
al-Baqarah; "Alladzina yu'minuna bil-ghaib" berarti ibadah. "Wa
yuqimunasshalah" berarti ittiba'. "Wamimma razaqnahum yunfiqun"
berarti ta'assi. Nah, dari sini al-Ma'bud huwal-maqshudu lidzatihi, artinya
meskipun kita mencintai Rasul, ahlul-bait dan para penerusnya. Berarti hal
tersebut adalah realisasi cinta kita kepada Allah, bukan berarti kita menyembah
Rasul, ahlul-bait dan para penerusnya. Hal inilah yang acap kali tidak
dipahami, sehingga wujud kecintaan yang beraneka ragam diklaim sebagai bid'ah
dan kufur. Padahal wujud kecintaan tersebut pasti berbeda derajatnya, dengan
catatan kita tidak menyembah selain-Nya.
Lantas
siapa yang dapat menunjukkan kepada kita bagaimana menempatkan cinta dengan
benar, tanpa condong kepada ekstrim kanan (ingkar dalam terminologi agama) dan
ekstrim kiri (kufur)? Pertanyaan ini sangat berhubungan dengan ayat
"Innallaha ya'muru bil-adli wal-ihsani wa ita'i dzil-qurba", ayat
"Ma atakumurrasulu fakhudzuh wama nahakum anhu fantahu", dan
"Waman yudhlil falan tajida lahu waliyyan mursyida". Ayat pertama
menjelaskan perbedaan proporsi dalam pemberian. Istilah 'Adl yang berarti
Atha'un bil-istihqaq (pemberian sesuai dengan hak), kedua: Ihsan yang berarti
Atha'un fauqal-istihqaq (pemberian melebihi hak) dan Ita' yang berarti Atha'un
bila ahliyyah wala istihqaq (pemberian cuma-cuma). Sedangkan ayat kedua
menjelaskan bahwa apa yang diperintahkan Rasul melalui Ita' (pemberian) maka
ambillah semampumu, dan apa yang dilarangnya tinggalkanlah seluruhnya. Ayat ini
menjelaskan bahwa perintah Rasul merupakan hadiah cuma-cuma yang berupa Ita'
(bukan 'Adl atau Ihsan). Dan ayat yang ketiga menguatkan bahwa Ita' yang paling
mahal adalah Wali Mursyid (seseorang yang mengantarkan kita kepada petunjuk)
dialah jalan sebagaimana korelasi dengan ayat lain; "Waman yudhlilillahu
falan tajida lahu sabila". Atau dengan ayat lain disebut sebagai penerus
sesudah Baginda Rasul; "Wattabi' sabila man anaba ilayya". Sekali
lagi, jika anda ingin belajar esensi cinta belajarlah darinya. Sebab cinta
berderajat, dalam derajat manakah kita? Hubbul-hub, al-Hub, al-Isyq, al-Gharam,
al-Thams, al-Mahw, al-Fana', al-Jam' atau Jam'ul-jam'. Kesemua kata tersebut
adalah derajat cinta bukan sinonim saja. Jadi anugerah cinta berbeda-beda.
Antara
Baginda Rasul Saw. dan Saidina Abu Bakar Ra. berbeda dalam mendapatkan cinta
itu, memang Baginda Rasul Saw. menyatakan "Hubbiba ilayya tsalatsah;
annisa', watthib, wa ju'ilat qurratu aini fisshalah". Aku dianugerahi
cinta dalam tiga hal; wanita, wewangian dan ketenangan dalam shalat. Sedangkan
Saidina Abu Bakar Ra. menjawab pertanyaan Rasul "Hubbiba ilayya tsalatsah’
annazru ilaik wal-julusu baina yadaik wa infaqu mali ladaik". sedangkan
Saidina Ali Ra. juga berbeda. Artinya kita harus jeli memahami agama. Tatkala
berbeda dengan Rasul, tidak berarti diklaim bid'ah yang menyesatkan. Sebab
ibarat buah jeruk, agama tatkala pada masa Rasul baru berupa pohonnya,
sedangkan pada masa Saidina Abu Bakar tumbuhlah bunga, masa selanjutnya
gugurlah bunga, tumbuhlah buah, buah tersebut mengalami pembaharuan hingga
sekarang. Tak heran bila kita sekarang menikmatinya dalam bentuk sari jeruk
(juice), selai jeruk, pil vitamin C, dll. Sebab walaupun agama telah sempurna,
tapi Allah akan senantiasa mengutus pembaharu pada setiap masa, untuk
melengkapi apa yang kurang pada diri kita, memperbaharui bentuknya bukan
esensinya, Rasul menyatakan "Innallaha
yab'atsu ala ra'si kulli mi’ati sanah man yujaddid lil-ummati amra diniha".
Demikian
usaha kita untuk mencintai Allah dan Rasul-Nya, lantas bagaimana mencintai
sesama? Rasul diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Artinya kecintaan Rasul
tersebutlah yang harus kita contoh, mencintai siapa saja, tanpa terkecuali;
manusia, tumbuhan, hewan dan seluruh jagat raya. Nah, berawal dari cinta kepada
Allah dan Rasul, yang sebenarnya tidak terbatas dengan ruang dan waktu, cinta
yang tanpa titik tanpa koma, berawal dari cinta hingga diri tiada, maka
alangkah indahnya jika kita mau mencintai saudara-saudara kita seiman dengan
penuh kecintaan, begitu juga cinta terhadap alam semesta. Bahkan kita pun harus
mencintai orang yang marah, benci dan memusuhi kita, kenapa harus ragu,
bukankah cinta mendamaikan dunia? dan ketika pecinta dan yang dicinta menderita
penyakit cinta, maka tidak lagi berada dalam kawasan cinta akan tetapi saling
mencinta sebagaimana cinta antara sahabat dan Baginda.
Menyoal
tentang hakekat cinta, merupakan sebuah upaya untuk menggabungkan antara yang
abstrak dengan yang nyata. Realitanya semua manusia, bahkan seluruh jagat raya
berputar menurut jarum cinta. Tanpa cinta, semuanya akan berguguran dan hancur
ditelan ketidakpatuhan dan kebencian. Kenapa demikian? tak lain karena Tuhan
menata tata kosmos alam raya dengan rumus-rumus dan kaidah-kaidah cinta-Nya.
Sehingga walaupun seseorang tak patuh kepada-Nya, namun ia pun masih mendapat
kasih sayang-Nya di dunia. Dan walaupun seseorang patuh kepada-Nya, belum tentu
mendapatkan imbalan setimpal, bila kepatuhannya masih bersifat tendensius.
Artinya, keputusan mutlak dan final berada dalam genggaman-Nya. keputusan yang
arif dan bijak sesuai dengan keagungan (jalal) dan keindahan-Nya (jamal) yang
merupakan manifestasi dari kesempurnaan-Nya (kamal). Keputusan mutlak-Nya-lah
yang sering kita abaikan. Dia tidak butuh dengan ketaatan kita dan tidak rugi
dengan ketidakpatuhan kita. Bagaimanapun kita, Dia tetap Sang Maha Kuasa. Nah,
dari sini kita seharusnya tidak meragukan lagi cinta-Nya. Namun yang perlu kita
gali dan kita cermati adalah sejauh mana kita mencintai-Nya. Semprongan cinta
vertikal yang tentunya akan menyentuh nilai-nilai horizontal. Tanpa
mencintai-Nya kita akan terjebak dengan kecintaan serta percintaan semu dan
sesaat
.
Sumber Dari WWW. Gusmied
0 Response to "MAKNA CINTA YANG SEBENARNYA"
Post a Comment