KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM UMMUL KITAB




NILAI-NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM

SURAT AL-FATIHAH


A.    Latar Belakang

Memahami makna pendidikan Islam di dalam al-Qur’an berarti harus menganalisis secara pedagogis suatu aspek utama dari al-Qur’an tersebut yang diturunkan kepada umat Islam melalui Kanjeng Nabi Muhammad s.a.w. 14 abad yang lalu. Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat Islam mengandung implikasi kependidikan yang mampu membimbing dan mengarahkan manusia menjadi seorang mukmin, muslim, muhsin, dan muttakin melalui proses tahap demi tahap.[1]

Al-Qur’an banyak mengandung sistem nilai di mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten untuk mencapai suatu tujuan. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir pedagogis muslim maka sistem nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan Islam yang fleksibel menurut kebutuhan dan kemajuan masyarakat dari waktu ke waktu.

Keadaan demikian dapat dilihat di negara-negara di mana Islam dikembangkan melalui berbagai kelembagaan pendidikan formal atau nonformal. Kecenderungan itu sesuai dengan sifat dan watak kelenturan nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri yang dinyatakan dalam suatu ungkapan al-Islam shalih li kuli zaman wa al-makan (Islam adalah agama yang sesuai untuk semua konteks zaman dan tempat).[2]

Sebagai sumber pedoman bagi umat Islam, al-Qur’an mengandung dan membawakan nilai-nilai yang membudayakan manusia. Hampir dua pertiga ayat-ayat al-Qur’an mengandung motivasi kependidikan bagi umat manusia. Bila dicermati secara mendalam bagaimana Tuhan mendidik alam ini, akan tampak bahwa Allah sebagai Yang Maha Pendidik (al-murabbi ala’dham) dengan kodrat dan iradat-Nya telah mempolakan suatu suprasistem apa pun. Sebagai Maha Pendidik menghadapi segala sesuatu yang menyangkut kehidupan di alam ini berjalan dalam suatu sistem, suatu proses kehidupan yang terjadi selama alami. Hal dem ikian menjadi contoh bagi makhluk-Nya yang berusaha mengembangkan kehidupan secara manusiawi dan alami sesuai denagn garis yang telah diletakkan Allah.[3]

Sekadar contoh, mengapa Allah Yang Maha Kuasa itu secara langsung menjadikan makhluk-Nya baik atau jahat, pandai atau bodoh, bahagia atau celaka, sehat atau sakit (jasmaniah atau rohaniah), tumbuh dan berkembang atau lemah dan punah sama sekali. Melainkan Allah menjadikannya melalui sistem berbagai macam proses yang pada dasarnya terletak pada suatu mekanisme sebab akibat. Seperti berbuat baik mengakibatkan Tuhan memberi pahala. Karena berbuah jahat, Tuhan membalas dengan siksaan. Karena beriman dan beramal shaleh, Tuhan memberi pahala yang tidak putus-putus dan karena bersyukur terhadap nikmat Allah maka Allah akan menambah nikmat-Nya.

Di samping Maha Pencipa dan Mahakuasa atas segala-galanya Allah juga berperan sebagai Maha Pendidik terhadap hamba-hamba-Nya. Dia adalah Pendidik atas sekalian alam. Para malaikat, rasul, nabi-nabi, serta para waliwali sampai kepada para ulama yang bertugas sebagai penyambung kalam Ilahi dan sekaligus sebagai pembantu Allah dalam proses mendidik manusia agar menjadi hamba yang beriman, bertakwa, dan taat kepada printah-Nya.[4]

Mengapa Allah perlu menciptakan planet-planet dalam suatu system tata surya yang berjalan di atas khittah yang teratur dan konstan dalam pola keseimbangan dan keserasian. Mengapa Allah menciptakan wadah dunia sebagai suatu sistem institusi di mana umat manusia dididik untuk mampu mengembangkan dirinya serta mampu berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Itu semua membuktikan betapa Tuhan ingin menunjukkan segala sesuatu yang hidup di alam ini tidak terjadi secara insidental, akan tetapi harus melalui proses dalam suatu sistem yang bekerja secara mekanis yang dapat dicontoh dan ditiru oleh hamba-hamba-Nya, khususnya manusia.[5] Apabila manusia mengikuti dan berjalan menurut sistem tersebut, maka segala ikhtiar manusia akan berakhir pada tujuan yang dicita-citakan. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah sebagai berikut:


žcÎ) Artinya “ Sesungguhnya di dalam kejadian langit dan bumi terdapat tandatanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal. (Q.S. Ali Imran: 190).[6]



Jika di atas telah disinggung bahwa dua pertiga dari keseluruhan ayat al-Qur’an mengandung motivasi pendidikan, maka surat al-Fatihah sebagai surat yang paling populer dan sebagai pembuka dari al-Qur’an (umm al-kitab), juga mengandung makna pendidikan. Hal ini bisa dilihat misalnya dari kandungan makna lafaz:



Artinya ; “ Yang menguasai hari pembalasan. (Q.S. al-Fatihah: 4).[7]

Tafsir lafadz maliki berarti mengatur perilaku orang-orang yang berakal dengan cara memberikan perintah, larangan dan balasan.[8] Begitu pula lafaz-lafadz yang lain yang secara umum mengandung pokok-pokok ajaran tentang keimanan, pokok-pokok ibadah, pokok-pokok ajaran tentang hukum agama atau syari’ah, pokok-pokok ajaran tentang kisah sebagaimana diwakili oleh ayat: shirat al-ladzina an’amta ‘alaihim ghair almaghdlubi ‘alaihim wala al-dlallin. Ayat tersebut menginformasikan tentang kisah orang yang mendapatkan kenikmatan yaitu para Nabi, para shadiqqin, para salihin, di samping orang-orang yang mendapatkan kemurkaan dan kesesatan.

Pokok-pokok kandungan surat al-Fatihah tersebut dapat dikerucutkan bahwa pokok utamanya adalah keimanan dan ketakwaan. Ini selaras dengan tujuan pendidikan Islam yang menurut Jalaluddin identik dengan tujuan Islam itu sendiri, yaitu sesuai dengan hakikat penciptaan manusia agar manusia menjadi pengabdi Allah yang patuh dan setia dengan iman dan takwa.[9] Begitu juga yang dikatakan oleh Ahamd Ludjito bahwa predikat takwa merupakan tujuan akhir dari proses pendidikan, termasuk tujuan pendidikan nasional.[10]

Atas dasar itulah kajian terhadap kandungan makna pendidikan dalam surat al-Fatihah tersebut dalam judul “Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Surat Al-Fatihah” sangat penting untuk diangkat dan dipelajari. Sebab, penulis berasumsi bahwa pokok-pokok kandungan dalam surat al-Fatihah itulah yang merupakan muatan dari pendidikan Islam.

B.  Pengertian Pendidikan Islam

Secara etimologi, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “paedagogie”, yang terdiri atas dua kata “pais” yang artinya anak, dan kata “again” yang artinya membimbing.[11] Jadi, artinya bimbingan yang diberikan kepada anak. Dapat pula diartikan sebagai proses atau aktivitas yang secara langsung untuk membentuk dan merubah perkembangan manusia ke arah yang lebih baik.[12]

Sedangkan secara terminologi, telah banyak para pakar yang mengemukakan definisi pendidikan. Misalnya; John Dewey sebagaimana dikutip oleh Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati menyatakan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesame manusia. Begitu juga S.A. Bratanata yang mendefinisikan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha yang sengaja diadakan baik langsung maupun dengan cara yang tidak langsung untuk membantu anak dalam perkembangannya mencapai kedewasaannya. Sedangkan Rousseau mendefinisikan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah memberi perbekalan yang tidak ada pada masa anak-anak, akan tetapi dibutuhkannya pada waktu dewasa.[13]

Apabila pendidikan dikaitkan dengan Islam, maka penyusunan rumusannya setidak-tidaknya harus dapat menggambarkan unsur makna kata tersebut. Menafikan kenyataan ini akan menjadikan arti pendidikan Islam kurang lengkap.

Islam sendiri, secara derifatif memuat berbagai makna. Secara etimologi, kata Islam berasal dari bahasa Arab salima-yaslimu-salamatan, Islaman, yang artinya tunduk, patuh, beragama Islam.[14] Arti lainnya ialah sullam yang makna asalnya adalah tangga. Di dalam konteks pendidikan, makna ini setara dengan makna “peningkatan kualitas” sumber daya insani (layaknya tangga, meningkat naik). Selain itu, Islam juga ditengarai sebagai bentukan dari kata istislam (penyarahan diri sepenuhnya kepada ketentuan Allah), salam (keselamatan), dan salima (kesejahteraan). Secara harfiah Islam juga dapat diartikan menyerahkan diri, selamat, atau kesejahteraan.[15] Maksudnya, orang yang mengikuti Islam akan memperoleh keselamatan dan kesejahteraan dunia akhirat.

Menurut Mahmud Syaltut, Islam adalah agama Allah yang dasardasar dan syari’atnya diturunkan kepada Muhammad S.A.W. dan dibebankan kepadanya untuk menyampaikan dan mengajak mengikuti kepada seluruh umat manusia.[16] Dengan demikian, secara terminologis pengertian Islam tidak dapat dilepaskan dari makna kata asal yang dimaksud.

Berdasarkan pandangan di atas, maka pendidikan Islam dapat dirumuskan sebagaimana yang dikemukakan oleh Jalaluddin, yaitu sebagai usaha pembinaan dan pengembangan potensi manusia secara optimal sesuai dengan statusnya, dengan berpedoman kepada syari’at Islam yang disampaikan oleh Rasul Allah yang setia dengan segala aktivitasnya guna tercipta suatu kondisi kehidupan Islam yang ideal, selamat, aman, sejahtera dan berkualitas serta memperoleh jaminan (kesejahteraan) hidup di dunia dan jaminan bagi kehidupan yang baik di akhirat.[17]

Menurut Abdurahman al-Nahlawi bahwa pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat.[18] Sejalan dengan itu, M. Arifin merumuskan bahwa yang dimaksud pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin kehidupannya sesuai dengan cita-cita dan nilai-nilai Islam yang telah menjiwai dan mewarnai corak kepribadiannya.[19] Dengan kata lain, manusia yang mendapatkan pendidikan Islam harus mampu hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan sebagaimana diharapkan oleh cita-cita Islam.

Menurut Achmadi, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya sesuai denagn moral Islam.[20]

Pendidikan Islam sangat luas jangkauannya, karenanya yang harus digarap oleh pendidikan Islam di antaranya harus tetap terbuka terhadap tuntutan kesejahteraan umat manusia baik tuntutan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maupun tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup ruhaniah. Kebutuhan itu semakin meluas sejalan dengan meluasnya tuntutan hidup manusia itu sendiri. Karenanya, pendidikan Islam berwatak akomodatif terhadap tuntutan kemajuan zaman sesuai acuan norma-norma kehidupan Islam.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan Islam ialah suatu sistem kependidikan yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh manusia sebagai hamba Allah, sebagaimana Islam telah menjadi pendoman bagi seluruh aspek kehidupan manusia, baik untuk kehidupan di dunia maupun untuk kehidupan di akhirat.



C.  Dasar-dasar Pendidikan Islam

Dasar yang menjadi acuan pendidikan Islam sebagai sumber kebenaran dan kekuatan yang dapat mengantarkan pada aktivitas yang dicita-citakan Islam itu sendiri. Karenanya, dasar yang dimaksud ialah nilai-nilai tertingi yang dijadikan pandangan hidup suatu masyarakat di mana pendidikan itu berlaku.

Dasar pendidikan Islam identik dengan dasar tujuan Islam sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu al-Qur’an dan hadits dan kalau pendidikan diibaratkan bangunan, maka isi al-Qur’an dan hadits-lah yang menjadi pundamennya.[21] Pandangan seperti ini banyak dianut oleh para pemikir pendidikan Islam. Atas dasar pemikiran tersebut, maka para ahli pendidikan muslim mengembangkan pemikiran mengenai pendidikan Islam dengan merujuk sumber utama ini, dengan bantuan berbagai metode dan pendekatan seperti qiyas, ijma’, ijtihad, dan tafsir. Berangkat dari sini kemudian diperoleh suatu rumusan pemahaman yang komprehensif tentang alam semesta, manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan dan akhlak.

Secara detail, kemudian dasar-dasar pendidikan Islam dirumuskan oleh para ahli. Misalnya yang dirumuskan oleh Said Ismail Ali, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin dan Abdul Mujib bahwa dasar ideal pendidikan Islam adalah mencakup.

1.     Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber nilai yang absolut yang eksistensinya tidak mengalami perubahan walaupun interpretasinya dimungkinkan mengalami perubahan yang sesuai dengan konteks zaman, ruang dan waktu. Al-Qur’an dapat menjadi dasar pendidikan Islam karenan di dalamnya memuat beberapa aspek yang dapat dijadikan sebagai sejarah pendidikan Islam. Ini bisa dilihat bagaimana al-Qur’an mengisahkan beberapa kisah Nabi, misalnya Nabi Adam sebagai manusia pertama sekaligus sebagai Rasul pertama. Ia merintis budaya awal di bidang tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Baqarah ayat 31:


 “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!". (Q.S. al-Baqarah [2]: 31).[22]



Di samping itu, al-Qur’an juga sebagai pedoman normatif, teoritis dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Dari al-Qur’an lah digali rumusanrumusan pendidikan Islam agar sesuai dengan cita-cita Islam.[23]

2.     Sunnah (Hadits)

Sunnah memang berkedudukan sebagai penjelas al-Qur’an. Namun pengamalan kekuatan kepada Allah sesuai dengan ajaran al-Qur’an sering kali sulit terlaksana tanpa penjelasan dari sunnah atau hadits. Karenanya, Allah memerintahkan kepada manusia untuk mentaati Rasul dalam kerangka ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya para ulama memandang bahwa sunnah merupakan sumber hukum Islam/ajaran Islam yang kedua setelah al-Qur’an.[24]

3.     Teladan Sahabat Nabi

Upaya sahabat Nabi dalam bidang pendidikan Islam sangat menentukan perkembangan dewasa ini. Upaya yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah membukukan al-Qur’an yang digunakan sebagai sumber pendidikan Islam, kemudian diteruskan oleh Umar bin Khattab yang banyak melakukan reaktualisasi ajaran Islam. Tindakan Umar ini sebagai salah satu model dalam membangun strategi kependidikan, terutama dalam pembaharuan pendidikan Islam. Kemudian tindakan tersebut diteruskan oleh Utsman bin Affan, misalnya dengan upaya melakukan sistematisasi terhadap al-Qur’an berupa kodifikasi al-Qur’an. Kemudian disusul oleh Ali bin Abi Thalib yang banyak merumuskan konsep-konsep ketarbiyahan, misalnya merumuskan etika anak didik kepada pendidiknya, atau sebaliknya.[25]



4.     Kemaslahatan Umat

Maksudnya, ketentuan pendidikan yang bersifat operasional, dapat disusun dan dikelola menurut kondisi dan kebutuhan masyarakat.[26] Atau dapat pula dikatakan sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat.

5.     Nilai dan Adat Istiadat Masyarakat

Nilai-nilai tradisi setiap masyarakat merupakan realitas yang kompleks dan dialektis. Nilai-nilai tersebut tercermin kekhasan masyarakat, sekaligus sebagai pengejawantahan tradisi masyarakat dapat dijadikan dasar ideal pendidikan Islam.[27] Tentu saja ada seleksi terlebih dahulu terhadap tradisi tersebut, mana yang sesuai diambil, dan yang bertentangan ditinggalkan.

6.     Hasil Pemikiran (Ijtihad)

Hasil pemikiran atau ijtihad para mujtahid dapat dijadikan dasar pendidikan Islam. Apalagi ijtihad tersebut telah menjadi konsensus umum (ijma’) sehingga eksistensinya semakin kuat.[28] Tentu saja konsensus di sini adalah konsensus para pakar pendidikan yang menurut Zakiah Daradjat harus tetap bersumber pada al-Qur’an dan sunnah yang diolah oleh akal yang sehat oleh para pakar pendidikan Islam. Ijtihad tersebut juga harus dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu dan teori-teori pendidikan baru hasil ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran Islam dan kebutuhan hidup.[29]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang menjadi dasar ideal pendidikan Islam adalah al-Qur’an dan sunnah, sebagaimana rujukan Islam. Kemudian ada yang menambahkan teladan sahabat Nabi, kemaslahatan umat, nilai atau adat istiadat yang berkembang di masyarakat, dan hasil pemikiran (ijtihad) para tokoh pendidikan Islam.



D.  Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan pendidikan Islam dirumuskan dari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar pendidikannya, maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Karenanya, tujuan pendidikan Islam sangat luas dan dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup manusia baik sebagai makhluk individual maupun makhluk sosial yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Secara umum, tujuan pendidikan Islam ialah untuk menumbuhkan kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak dan penalaran, perasaan dan indera. Tujuan pendidikan sendiri menurut Achmadi ialah perubahan yang diharapkan pada subjek didik setelah mengalami proses pendidikan baik pada tingkah-laku individu dan kehidupan pribadinya maupun kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya di mana individu itu hidup.[30] Karenanya, pendidikan harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahasanya (secara personal maupun kolektif). Pendidikan tersebut harus mendorong semua aspek ke arah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup. Tujuan akhir dari pendidikan Islam itu terletak dalam realisasi sikap penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, baik secara personal, kolektif, maupun sebagai umat manusia secara keseluruhan.

Secara ringkas Umar Muhammad al-Tammy al-Syaibani menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah perubahan yang diingini, yang diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidik untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajan sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat. Sedangkan tujuan pendidikan Islam sendiri adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai tingkat akhlak al-karimah.[31]

Tujuan tersebut sama dan sebangun dengan tujuan yang akan dicapai oleh misi kerasulan yaitu “membimbing manusia agar berakhlak mulai”. Kemudian akhlak mulai dimaksud diharapkan tercermin dari sikap dan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan Allah, diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk Allah, serta lingkungannya. Sebagaimana pernah dikemukakan oleh al-Ghazali dan dikutip oleh Zainuddin, bahwa akhlak merupakan aspek yang paling fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu negara.[32] Karenanya, tujuan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada aspek ini. Menurut al-Ghazali, pendidikan Islam juga menonjol dengan karakteristik reiligius moralisnya, yang tampak secara jelas dalam tujuan-tujuan dan metode-metodenya.[33]

Menurut M. Arifin, bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan takwa dan akhak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam.[34]  Tujuan ini ditetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa pendidikan Islam merupakan bimbingan terhadap pertumbuhan ruhani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.

Sejalan dengan itu, M. Chabib Thoha merumuskan bahwa tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk mencapai tujuan hidup muslim, yakni menumbuhkan kesadaran manusia sebagai makhluk Allah S.W.T. agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang berakhlak mulia dan beribadah kepada-Nya.[35]

Menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan umum dan pengajaran dalam Islam ialah menjadikan manusia sebagai abdi atau hamba Allah S.W.T. Tujuan ini mungkin membuahkan tujuan-tujuan khusus. Mengingat bahwa Islam adalah risalah samawi yang diturunkan kepada seluruh manusia, maka sudah seharusnya bila sasaran tujuan umum pendidikan Islam adalah seluruh manusia pula.[36]

Karenanya, apabila rumusan-rumusan tersebut dikaitkan dengan ajaran Islam, maka tujuan pendidikan Islam adalah:

1.     Menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah S.W.T.

2.     Menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah S.W.T.

3.     Membina dan memupuk akhlak al-karimah.

4.     Menciptakan pemimpin-pemimpin bangsa yang selalu amar ma’ruf nahi munkar.

5.     Menumbuhkan kesadaran ilmiah, melalui kegiatan penelitian, baik terhadap kehidupan manusia, alam maupun kehidupan makhluk lain.[37]

Menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis, tujuan pendidikan bisa dibedakan beberapa tujuan; pertama, tujuan individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dengan tujuan mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kedua, tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diiginikan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya. Ketiga, tujuan profesional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni, dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.[38]

Di dalam proses pendidikan, tujuan tersebut dicapai secara integral, tidak terpisah, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti dikehendaki oleh Islam. Tipe inilah yang biasanya disebut sebagai insane kamil.

Karena tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan cita-cita mewujudkan nilai-nilai maka filsafat pendidikanlah yang memberi dasar dan corak serta arah tujuan pendidikan itu sendiri. Rangkaian proses penyampaiannya, filsafat pendidikan berfungsi sebagai korektor terhadap kesalahan atau penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, sehingga memungkinkan proses tersebut dapat berfungsi kembali dalam jalur tujuannya.

Untuk melaksanakan tujuan tersebut, dapat dibedakan dalam dua macam tujuan, yaitu; pertama tujuan operasional. Tujuan operasional yaitu suatu tujuan yang dicapai menurut program yang telah ditentukan atau ditetapkan dalam kurikulum. Produk pendidikan belum siap dipakai di lapangan karena masih memerlukan latihan ketrampilan tentang bidang keahlian yang hendak diterjuni. Kedua, tujuan fungsional. Tujuan fungsional yaitu tujuan yang hendak dicapai menurut kegunaannya baik dari aspek teoritis maupun aspek praktis. Produk kependidikan telah mencapai keahlian teoritis ilmiah dan juga kemampuan/ketrampilan yang sesuai dengan bidangnya, bilamana dapat menghasilkan anak didik yang memiliki kemampuan praktis atau teknis operasional. Artinya anak didik telah siap dipakai dalam bidang keahlian yang dituntut oleh dunia kerja dan lingkungannya.[39]

Demikian juga dalam pendidikan Islam, bahwa penetapan tujuan itu mutlak diperlukan dalam rangka mengarahkan segala proses, sejak dari perencanaan program sampai dengan pelaksanaan, agar tetap konsisten dan tidak mengalami deviasi (penyimpangan). Adapun tujuan akhir dari pendidikan Islam pada hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan di akhirat.[40]

Dari uraian di atas dapat ditegaskan lagi bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk menumbuhkan kepribadian manusia melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak dan penalaran, perasaan dan indera. Pendidikan harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah. Tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah realisasi dari cita-cita ajaran itu sendiri yang membawa misi bagi kesejahteraan manusia di dunia, dan keselamatan di akhirat.



E.  Nilai-nilai Pendidikan Islam

Sebelum membahas mengenai nilai-nilai pendidikan Islam, perlu terlebih dahulu dijelaskan mengenai nilai-nilai itu sendiri. Menurut Milton Rokeach dan James Bark bahwa nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada di ruang lingkup sistem kepercayaan dalam mana seseorang bertindak atau menghindari suatu tindakan, atau mengenai sesuatu yang pantas atau tidak pantas dikerjakan. Menurut Sidi Gazalba sebagaimana dikutip M. Chabib Thoa menyebutkan bahwa nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, sesuatu yang ideal, bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menutut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.[41]

Nilai merupakan realitas anstrak. Nilai dapat dirasakan dalam diri seseorang yang masing-masing sebagai daya pendorong atau prinsip-prinsip yang menjadi pedoman dalam hidup. Karenanya, nilai menduduki tempat penting dalam kehidupan seseorang sampai pada suatu tingkat, di mana sementara orang lebih siap untuk mengorbankan hidup mereka daripada mengorbankan nilai.

Nilai dapat terwujud keluar dalam pola-pola tingkah laku, sikapsikap dan pola pikir. Nilai-nilai juga ditanamkan pada seorang pribadi dalam suatu proses sosialisasi, melalui sumber-sumber yang berbeda misalnya keluarga, lingkungan, pendidikan, agama. Dengan mengetahui sumber dan sarana-sarana yang menanamkan nilai-nilai, orang dapat memahami kekuatan nilai-nilai tersebut bertahan pada dirinya.

Nilai dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang menyababkan terdapat bermacam-macam nilai. Dilihat dari segi kebutuhan hidup manusia, milai dapat dikelompokkan menjadi; nilai biologis, nilai keagamaan, nilai cinta kasih, nilai harga diri dan nilai jati diri. Kesemuanya dapat berkembang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan. Sedangkan dilihat dari sumbernya, maka dapat dikelompokkan menjadi; nilai ilahiyah (ubudiyah dan muamalah), nilai insaniyah. Nilai ilahiyah merupakan nilai yang bersumber dari agama (wahyu Allah). Sedangkan nilai insaniyah merupakan nilai yang diciptakan oleh manusia atas dasar kriteria yang diciptakan oleh manusia pula.[42]

Nilai mempunyai fungsi sebagai standar dan dasar pembentukan konflik dan pembuatan keputusan, motivasi dasar penyesuaian diri dan dasar perwujudkan diri. Pertama, nilai sebagai standar. Nilai merupakan patokan (standar) haluan perilaku dalam berbagai cara seperti; dapat mengarahkan untuk mengambil posisi tertentu dalam masalah sosial, mempersiapkan untuk menghadapi pemikiran dan sikap orang lain, membimbing diri sendiri terhadap orang lain, menilai dan menghargai diri sendiri dan orang lain, mempelajari diri sendiri dan orang lain, mengajak dan mempengaruhi nilai orang lain untuk mengubahnya ke arah yang lebih baik, dan memberikan alasan terhadap tindakan yang dilakukan.

Kedua, nilai sebagai dasar penyelesaian konflik dan pembuatan keputusan. Dengan adanya nilai dalam diri seseorang, maka konflik atau pertentangan yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain, dapat lebih mudah terselasaikan. Di samping itu, pembuatan keputusan dapat dilakukan secara lebih efektif atas dasar nilai yang ada. Ketiga, nilai sebagai motivasi. Nilai yang dianut seseorang akan lebih mendorong seseorang untuk melakukan tindakan yang sesuai nilainya. Dengan demikian pemahaman terhadap nilai akan meningkatkan motivasi dalam melakukan suatu tindakan.

Keempat, nilai sebagai dasar penyesuaian diri. Dengan pemahaman nilai yang baik orang cenderung akan lebih mampu menyesuaikan diri secara lebih baik. Memahami nilai orang lain dan nilai kehidupan penting artinya bagi seseorang untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Kelima, nilai sebagai dasar perwujudan diri. Proses perwujudan diri ini banyak ditentukan dan diarahkan oleh nilai yang ada dalam dirinya.[43]

Menurut Muhammad Surya, nilai yang dianut seseorang akan tercermin dalam tindakan-tindakan yang dipilihnya. Karenanya, nilai pendidikan yang ada pada seseorang akan tercermin pula pada tindakantindakannya.[44]

Selanjutnya, dalam kaitan dengan nilai pada bahasan ini akan ditelaah nilai yang berkaitan dengan apa yang datang dari Tuhan atau agama Islam yang berkaitan langsung dengan pendidikan yang meliputi proses serta iklim keagamaan yang melingkunginya, baik yang terencana maupun yang tidak terencana.

Nilai-nilai pendidikan Islam, tidak akan mungkin tumbuh hanya melalui pemberian materi ajaran agama, tetapi lebih penting adalah melalui penciptaan iklim dan proses yang mendukung tumbuhnya pengaguman dan keimanan atau proses penghayatan untuk sampai kepada makna agama.[45]

Di atas telah disebutkan bahwa tujuan pendidikan Islam identik dengan agama Islam itu sendiri. Menurut H.A.R. Gibb sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin bahwa Islam sendiri tidak dapat dipandang sebagai ajaran agama semata, sebagaimana agama lainnya. Islam bukan hanya sitem teologi, melainkan juga suatu sistem peradaban yang lengkap. Islam bukan hanya agama yang memuat ajaran yang bersifat doktrinal, tetapi Islam merupakan bentuk ajaran agama yang operasional.[46] Maksudnya, ajaran Islam yang bersumber dari wahyu Ilahi itu dapat dibumikan dalam kehidupan dan peradaban manusia.

Sejalan dengan itu, maka filosofis pendidikan Islam bertujuan sesuai dengan hakikat penciptaan manusia yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah yang patuh dan setia, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al- Dzariyat (51) ayat 56:

  

 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. (Q.S. al-Dzariyah [51]: 56).[47]



Tujuan tersebut tidak mungkin dicapai secara utuh dan sekaligus, perlu proses dan pentahapan. Tujuan ini hanya dijadikan dasar dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, hingga secara operasional akan diperoleh tujuan acuan lebih kongret. Dari tujuan utama ini kemudian dibuat penjabarannya.

Pencapaian tujuan pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas, tidak mungkin dilakukan secara serentak. Karenanya, pencapaian tujuan harus dilakukan secara bertahap dan berjenjang. Namun demikian, setiap tahap dan jenjang memiliki hubungan dan keterkaitan sesamanya, karena ada landasan dasar yang sama, serta tujuan yang tunggal. Pencapaian jenjang itu senantiasa didasarkan pada prinsip dasar pandangan terhadap manusia, alam semesta, ilmu pengetahuan, masyarakat dan akhlak seperti yang termuat dalam dasar pendidikan Islam itu sendiri. Sehubungan dengan hal itu, maka tujuan pendidikan Islam mengacu kepata tujuan yang dapat dilihat dari berbagai nilai dan dimensi.

Dari sudut pandang ini, maka nilai-nilai pendidikan Islam memiliki karakteristik yang ada kaitannya dengan sudut pandangan tertentu. Secara garis besarnya, nilai-nilai pendidikan dalam Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama. Setiap dimensi mengacu kepada nilai pokok yang khusus.

Aats dasar pandangan yang demikian, maka nilai pendidikan dalam Islam mencakup ruang lingkup yang luas.

Pertama, dimensi hakikat penciptaan manusia. Berdasarkan dimensi ini, nilai pendidikan Islam arahannya kepada pencapaian target yang berkaitan dengan hakikat penciptaan manusia oleh Allah SWT. Dari nilai ini, maka pendidikan Islam bertujuan untuk membimbing perkembangan peserta didik secara optimal agar menjadi pengabdi kepada Allah SWT yang setia. Megacu kepata tujuan tersebut, pendidikan Islam dipandang sebagai upaya untuk menempatkan manusia pada statusnya sebagai makhluk yang diciptakan dan kehidupannya diarahkan pada untuk menaati pedoman kehidupan yang telah ditetapkan baginya.[48]

Kedua, dimensi tauhid. Mengacu pada dimensi ini, maka nilai pendidikan Islam arahannya kepada upaya pembentukan sikap takwa. Dengan demikian, pendidikan ditujukan kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik secara optimal agar dapat menjadi hamba Allah yang takwa. Di antara ciri mereka yang takwa adalah beriman kepada yang ghaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizki, beriman kepada al-Qur’an serta kitab samawi lainnya, dan keyakinan adanya kehidupan akhirat.[49]

Ketiga, dimensi moral. Dimensi ini posisi manusia dipandang sebagai sosok individu yang memiliki potensi fitrah. Maksudnya, bahwa sejak dilahirkan, pada diri manusia sudah ada sejumlah potensi bawaan yang diperoleh secara fitrah. Menurut M. Quraisy Shihab, potensi ini mengacu kepada tiga kecenderungan utama, yaitu benar, baik dan indah.[50]

Hubungannya dengan dimensi moral ini, maka nilai pendidikan Islam arahannya kepada upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang bermoral. Tujuan pendidikan Islam dititikberatkan pada upaya pengenalan terhadap nilai-nilai yang baik dan kemudian menginternalisasikannya, serta mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam sikap dan perilaku melalui pembiasaan. Sumber utama dari nilai-nilai moral dimaksud adalah ajaran wahyu.[51]

Keempat, dimensi perbedaan individu. Manusia merupakan makhluk ciptaan yang unik. Secara umum manusia memiliki sejumlah persamaan.

Namun di balik itu sebagai individu, manusia juga memiliki berbagai perbedaan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Dimensi individu dititikberatkan pada bimbingan dan pengembangan potensi fitrah manusia dalam statusnya sebagai insan yang eksploratorif (dapat mengembangkan diri). Dengan demikian, menurut nilai ini usaha pendidikan ditekankan pada pembentukan insan kamil (manusia paripurna), sesuai dengan kadar yang dimiliki masing-masing. Manusia sebagai makhluk individu memiliki potensi fisik, mental dan intelektual. Tujuan pendidikan Islam dalam hal ini diarahkan pada pencapaian target perkembangan maksimal dari ketiga potensi tersebut, dengan memperhatikan kepentingan faktor perbedaan individu.[52]

Kelima, dimensi sosial. Manusia merupakan makhluk sosial, yakni makhluk yang memiliki dorongan untuk hidup berkelompok secara bersamasama. Karenanya, dimensi sosial mengacu kepada kepentingan sebagai makhluk sosial yang didasarkan pada pemahaman bahwa manusia hidup bermasyarakat. Di dalam kehidupan bermasyarakat, manusia mengenal sejumlah lingkungan sosial, dari bentuk satuan yang terkecil hingga yang paling kompleks, yaitu rumah tangga hingga lingkungan yang paling luas seperti negara. Sejalan dengan nilai-nilai ini, maka tujuan pendidikan Islam diarahkan kepada pembentukan manusia yang memiliki kesadaran akan kewajiban, hak dan tanggung jawab sosial, serta sikap toleran, agar keharmonisan hubungan antara sesama manusia dapat berjalan dengan harmonis.[53]

 Keenam, dimensi profesional. Setiap manusia memliki kadar kemampuan yang berbeda-bedan. Berdasarkan pengembangan kemampuan yang dimiliki itu, manusia diharapkan dapat menguasai ketrampilan profesional. Adanya perbedaan dalam bidang kemampuan tersebut, menyebabkan profesi manusia beragam. Hubungannya dengan nilai ini, pendidikan Islam juga mempunyai tujuan tersendiri, yaitu diarahkan kepada upaya untuk membimbing dan mengembangkan potensi peserta didik, sesuai dengan bakatnya masing-masing. Dengan demikian, diharapkan mereka dapat memiliki ketrampilan yang serasi dengan bakat yang dimiliki, hingga ketrampilan itu dapat digunakan untuk mencari nafkah sebagai penopang hidupnya.[54]

Ketujuh, dimensi ruang dan waktu. Tujuan pendidikan Islam juga dapat dirumuskan atas dasar pertimbangan dimensi ruang dan waktu, yaitu di mana dan kapan. Nilai ini sejalan dengan tataran pendidikan Islam yang prosesnya terentang dalam lintasan ruang dan waktu yang cukup panjang.

Dengan demikian, secara garis besarnya tujuan yang harus dicapai pendidikan Islam harus merangkum semua tujuan yang terkait dalam rentang ruang dan waktu tersebut, utamanya sebagai upaya untuk memperoleh kselamatan hidup di dunia dan di akhirat.[55]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa banyak nilai dan dimensi yang termuat dalam pendidikan Islam. Karenanya, tujuan pendidikan Islam arahannya harus mengacu pada nilai-nilai dan dimensi-dimensi tersebut



F.  Gambaran Umum Surat al-Fatihah

Kata al-Fatihah berasal dari kata fataha, yaftahu, fathan yang berarti pembukaan. Kata fataha dapat pula pula diartikan kemengangan.[56]Dinamai pembukaan karena dilihat dari segi posisinya surat al-Fatihah berada pada bagian awal yang mendahului surat-surat lain. Sedangkan fatihah dalam arti kemenangan dapat dijumpai pada nama surat yang ke-48 yang berjudul al-Fath yang berarti kemenangan. Ayat tersebut selengkapnya berbunyi:



Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. (Q.S. al-Fath [48]: 1).[57]



Dilihat dari ajarannya, surat al-Fatihah memuat pokok-pokok ajaran yang terkandung dalam surat-surat lainnya dalam al-Qur’an. Al-Fatihah sering pula disebut sebagai umm al-Qur’an (induknya al-Qur’an), dan umm al-kitab (induknya al-kitab).[58]

Menurut tafsir yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI, bahwa surat al-Fatihah dinamai umm al-Qur’an atau umm al-Kitab, karena sebagai induk, pokok atau basis bagi al-Qur’an seluruhnya. Dengan arti ini, maka surat al-Fatihah ini mengandung seluruh pokok-pokok ajaran al-Qur’an.[59]

Nama lainnya yang diberikan kepada surat al-Fatihah adalah sab’u min al-matsani (tujuh yang diulang). Sebab-sebab dinamai sab’u al-matsani adalah karena ayatnya berjumlah tujuh dan dibaca berulang-ulang dalam sembahyang.[60]

Menurut Ibn Katsir, surat al-Fatihah juga dapat dinamai al-Syifa, al-Raqiyah, Asas al-Qur’an, al-Waqiyah dan al-Kafiyah. Nama al-Syifa’ yang berarti obat ini didasarkan pada hadits marfu’ yang diriwayatkan al-Darimy dari Abi Sa’id yang berunyi; “Fatihah al-Kitab Syifa Min Kulli Samm” (surat al-Fatihah adalah obat dari setiap penyakit). Inilah yang diduga mendasari kaum muslimin menggunakan surat al-Fatihah sebagai doa yang seringkali dibaca untuk mendapatkan perlindungan dari Allah S.W.T.

Selanjutnya, nama al-Raqiyah yang berarti permohonan ini didasarkan pada hadits Abi Sa’id yang terdapat dalam Shahih Bukhari, yang mengatakan bahwa ketika seorang laki-laki mengharapkan keselamatan, Rasulullah S.a.w. mengatakan kepadanya “wa maa yudrika annaha raqiyah” (tidaklah ia dapati bahwa al-Fatihah itu merupakan keselamatan).

Nama al-Fatihah sebagai asas al-Qur’an yang berarti dasar-dasar al-Qur’an didasarkan pada riwayat al-Syiba’i dari Ibn ‘Abbas, bahwa Rasululah S.a.w. menyatakan :“wa asasuha bismillahirrahmanirrahim” (artinya asas al-Fatihah itu adalah bismillahirrahmanirrahim). Sedangkan nama surat al-Fatihah sebagai al-Waqiyah yang berarti pemeliharaan diberikan oleh Sufyan bin Uyainah, dan nama al-kafiyah yang berarti mencakup diberikan oleh Yahya bin Abi Katsir. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa al-Fatihah mencakup surat-surat lainnya dan tidak ada yang dapat mencakup kecuali surat al-Fatihah. [61]

Menurut al-Zamakhsyari dalam kitabnya al-Kasyaf menyebut surat al-Fatihah sebagai surat al-shalat dan al-kanz yang berarti perbendaharaan.[62]

Sedangkan menurut Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Tafsir Sufi al-Fatihah menyebutkan bahwa nama yang disepekati oleh semua mazhab adalah al-Fatihah saja, karena sebenarnya kependekan dari kata Fatihah al-Kitab atau Fatihah al-Qur’an yang artinya pembuka untuk al-Qur’an.[63]

Surat al-Fatihah merupakan surat yang paling populer di antara surat-surat lainnya dalam al-Qur’an. Meskipun belum ada penelitian yang menjelaskan mengapa surat al-Fatihah itu begitu populer dan dikenal luas oleh masyarakat, setidaknya, ada beberapa analisis yang perlu dikemukakan sebagaimana yang dikemukakan oleh Abuddin Nata.

Pertama, karena surat al-Fatihah berada pada urutan pertama dalam susunan al-Qur’an. Dengan demikian, bagi setiap orang yang membaca al-Qur’an sungguhpun tidak sampai tamat, mesti terlebih dahulu membaca surat al-Fatihah. Kesan pertama yang dilihat oleh seseorang yang membuka al-Qur’an tersebut, sudah barang tentu pada surat al-Fatihah ini. Secara psikologis, memang bahwa kesan pertama lebih kuat dibandingkan dengan kesan yang datang kemudian.[64]

Kedua, karena surat al-Fatihah termasuk bacaan wajib dalam shalat. Jika seseorang mengerjakan shalat lima waktu sebanyak tujuh belas rakaat, dan setiap rakaat diwajibkan membaca surat al-Fatihah, berarti ia telah membaca 17 kali surat al-Fatihah setiap harinya. Bacan ini terus dilakukan, sehingga dengan sendirinya mudah diingat dan dihafalkan.[65]

Ketiga, karena surat al-Fatihah mengandung pokok-pokok ajaran al-Qur’an. Berbagai ajaran yang terdapat dalam surat selanjutnya yang ada dalam al-Qur’an sudah disinggung secara singkat di dalam surat al-Fatihah. Atas dasar ini, maka dengan membaca surat al-Fatihah, akan membantu seseorang dalam memahami ajaran yang terdapat dalam surat-surat berikutnya.[66]

Keempat, karena surat al-Fatihah seringkali digunakan sebagai do’a yang dipanjatkan untuk seseorang yang telah meninggal dunia atau dalam keadaan terkena musibah. Hal ini tidak mengherankan, karena di dalam surat al-Fatihah terdapat kalimat yang menunjukkan do’a, seperti kalimat yang berbunyi ihdina al-shirat al-mustaqim (tunjukkan kepada kami jalan yang lurus).[67]

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud surat al-Fatihah ialah surat pembuka dari al-Qur’an. Beraneka ragamnya nama surat al-Fatihah dan maknanya, menunjukkan tentang peran, fungsi, kandungan, hikmah dan kesitimewaan yang dimiliki surat al-Fatihah tersebut.



G.  Asbab al-Nuzul Surat al-Fatihah dan Hubungannya dengan Surat Lain

  1. Asbab al-Nuzul Surat al-Fatihah

Sebagaimana namanya yang berbeda-beda, mengenai turunnya surat al-Fatihah pun banyak riwayat yang menyebutkan. Sebagian menyebutkan bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Makkah, yaitu pada permulaan disyari’atkannya shalat, dan surat inilah yang pertama kali diturunkan secara lengkap tujuh ayat.[68]

Selanjutnya dalam kitab Abab al-Nuzul, Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidy al-Naysaburi mengatakan, bahwa dalam hal turunnya surat al-Fatihah ini terdapat perselisihan, namun menurut sebagian besar  para ahli tafsir bahwa surat al-Fatihah turun di Makkah dan termasuk surat dari al-Qur’an yang pertama kali diturunkan. [69]

Pendapat yang lain menyatakan bahwa surat al-Fatihah turun di Madinah, sebagaimana dikemukakan oleh Mujahid, walaupun pendapat ini menurut al-Husain bin al-Fahili sebagai pendapat yang tergesa-gesa dan janggal. Karenanya, ulama lain kebanyakan menyangkalnya.[70]

Selanjutnya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa surat al-Fatihah diturunkan dua kali, yaitu di Makkah dan di Madinah dengan tujuan untuk memuliakan surat tersebut. Ibn Katsir mengatakan bahwa surat al-Fatihah diturunkan dua kali; sekali di Makkah dan sekali lagi di Madinah. Sementara itu ada pula pendapat seperti Abu Laits al-Samarqandi yang mengatakan bahwa sebagian surat al-Fatihah turun di Makkah, dan sebagiannya lagi turun di Madinah. Namun pendapat yang terakhir ini sangat aneh menurut Ibn Katsir.[71]

Sedangkan mengenai sebab-sebab atau atau peristiwa yang menyertai turunnya surat al-Fatihah itu, serta dalam situasi dan kondisi yang bagaimana surat itu turun, dan tahun berapa tepatnya surat itu turun, belum ada keterangan yang menjelaskannya. Namun dari keterangan bahwa surat al-Fatihah itu turun pada awal disyari’atkannya shalat, maka dapat diperkirakan pada saat Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad S.a.w. pindah (hijrah) ke Madinah, yaitu pada tahun ke-13 dari Kenabian Muhammas S.a.w.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pendapat yang kuat mengenai turunnya surat al-Fatihah, adalah yang menyatakan bahwa surat al-Fatihah diturunkan di Makkah. Sedangkan mengenai asbab alnuzulnya, belum ada riwayat yang menjelaskan.

  1. Hubungan Surat al-Fatihah dengan Surat Lainnya (Munasabah)

Surat al-Fatihah diletakkan pada awal al-Qur’an dan secara organis mempunyai hubungan yang erat dengan surat sesudahnya, yaitu surat al-Baqarah. Hubungan tersebut antara lain bahwa dalam surat al-Fatihah disebutkan tiga kelompok manusia, yaitu: 1) yang dianugerahi nikmat oleh Tuhan, 2) yang dimurkai, dan 3) yang sesat.[72]

Ketiga kelompok tersebut dibicarakan secara panjang lebar dalam surat al-Baqarah. Di samping itu, pada surat al-Fatihah diajari bagaimana manusia memohon hidayah dan dalam awal surat al-Baqarah ditegaskan bahwa al-Qur’an adalah hidayah bagi mereka yang bertakwa.

Menurut Ibrahim Umar al-Biqay (w. 1480 M.) seorang mufasir yang menekuni bidang hubungan antar ayat-ayat dan surat al-Qur’an, sebagaimana dikutip oleh M. Quraisy Shihab menegaskan bahwa keterkaitan antara ayat dan surat al-Qur’an sedemikian eratnya, sehingga dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada akhir dari ayat-ayat al-Qur’an. Al-Qur’an menurut al-Biqay bagaikan suatu rantai yang berkesinambungan sehingga surat al-Nas (Aku berlindung kepada Tuhan, Pemeliharaan manusia) yang diletakkan pada bagian terakhir al-Qur’an masih berhubungan erat dengan surat al-Fatihah yang merupakan awal al-Qur’an. Hubungan tersebut dapat dipahami bila diingat perintah Tuhan agar sebelum membaca awal al-Qur’an, seseorang hendaknya berta’awwudz (membaca a’udzu billah) seperti yang diajarkan oleh surat Qul A’udzu bi Rabi al-Nas itu.[73]

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa surat al-Fatihah memiliki hubungan dengan surat sesudahnya, yaitu surat al-Baqarah. Hubungan ini bisa dilihat bahwa dalam surat al-Fatihah disebutkan tiga kelompok manusia, yaitu: yang dianugerahi nikmat oleh Tuhan, yang dimurkai, dan yang sesat. Selanjutnya, bahasan mengenai ketiga kelompok tersebut dibicarakan secara panjang lebar dalam surat al-Baqarah.

H.  Makna Surat al-Fatihah

Ada perbedaan pendapat mengenai jumlah ayat surat al-Fatihah. Perdebatan muncul seputar apakah lafadz bismillahirrahmanirrahim termasuk bagian dari surat al-Fatiah atau tidak. Perbedaan itu hanyalah masalah khilafiyah, yang masing-masing mengemukakan argumentasi yang sama-sama kuat. Karenanya, perlu dikembangkan sikap toleransi, yaitu mempersilahkan kepada umat untuk mengikuti pendapat mana yang dirasakan paling cocok. Dengan cara demikian, perbedaan pendapat tersebut tidak menimbulkan konflik, melainkan mendatangkan rahmat, karena masing-masing memliki pilihan-pilihan yang secara bebas dapat mengambil pendapat mana yang paling cocok.

Keseluruhan ayat yang terdapat dalam surat al-Fatihah adalah sebagai berikut:

Artinya :

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta Alam; Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; Yang menguasai hari pembalasan; Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukillah kami jalan yang lurus; (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”

(Q.S. al-Fatihah: 1-7).[74]



Adapun tafsir pada setiap lafadz surat al-Fatihah sebagaimana yang dikemukakan oleh para mufasir adalah sebagai berikut.


Pertama, lafadz Kata ism menurut al-Baidhawi adalah lafadz yang menunjukkan pada nama pribadi seseorang seperti Muhamamd dan manusia, atau menunjukkan pada sebuah pengertian abstrak seperti ilmu dan kesopanan. Dengan demikian, pada konteks ini kata ism menunjukkan pada nama Allah, di mana ayat-ayat al-Qur’an banyak memerintahkan agar menyebut nama-Nya.[75]

Selanjutnya lafadz Allah, adalah nama khusus bagi zat yang wajib dipuja dan tidak dapat diberikan sama sekali nama tersebut kepada selain Dia, sebagaimana orang Arab Jahiliyah ketika ditanya siapakah yang menciptakan langit dan bumi; ia menjawab Allah, dan jika ditanya apakah al-Lata dan al-Uzza termasuk sesuatu yang diciptakan? Ia menjawab tidak.[76] Al-Rahman al-Rahim, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir, kedua-duanya diambil dari kata al-rahmah, yang berarti pengertian yang bersemayam dalam hati yang dimunculkan oleh orang yang memiliki dalam bentuk perbuatan baik terhadap orang lain. Lafadz al-rahman menunjukkan pada sifat orang yang melakukan kasih sayang denagn cara memberikan kenikmatan dan kebaikan pada orang lain. Sedangkan al-rahim menunjukkan pada tempat munculnya kasih sayang, karena al-rahim mengacu kepada sifat yang tetap dan mesti berlangsung selama-lamanya. Karenanya, jika Allah S.W.T. diberi sifat al-rahman, maka maksudnya bahwa Allah adalah Zat yang berkuasa memberikan kenikmatan, namun ini tidak dapat dipahami bahwa al-rahmah termasuk sifat yang wajib selamanya pada Allah. Sedangkan jika sesudah itu disifati dengan al-rahim, maka dapat diketahui bahwa pada zat Allah terdapat sifat yang tetap dan terus berlangsung, yaitu al-rahmah yang pengaruhnya terlihat dalam berbuat baik kepada seluruh ciptaan-Nya selama-lamanya.[77]


Kedua, tafsir lafaldz Menurut Ibn Katsir, maksud dari lafadz al-hamdu dari segi bahasa adalah pujian atau sanjungan terhadap perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang melalui uasahnya apakah semula ia mengharap pujian atau tidak. Kata al-hamdu ini selanjutnya menjadi pangkal kalimat pernyataan syukur, sebagaimana Allah tidak bersyukur kepada seorang hamba yang tidak memuji-Nya. Hal yang demikian didasarkan pada alasan karena menyatakan kenikmatan dengan lisan dan pujian terhadap orang yang melakukannya menyebabkan ia terkenal di kalangan sesama manusia, dan menyebabkan pemiliknya memiliki perasaan yang menyenangkan. Adapun bersukur dengan hati termasuk perbuatan yang tidak tampak dan sedikit sekali orang yang mengetahuinya, demikian juga bersyukur dengan perbuatan tidak dapat terlihat tampak jelas di kalangan manusia.[78]

Sedangkan kata rabb menurut al-Maraghi dapat berarti pemilik yang mendidik yaitu orang yang mempengaruhi orang yang dididiknya dan memikirkan keadannya. Sedangkan pendidikan yang dilakukkan Allah terhadap manusia ada dua macam; yaitu pendidikan, pembinaan atau pemeliharaan terhadap kejadian fisiknya yang terlihat pada pengembangan jasa atau fisiknya sehingga mencapai kedewasaan, serta pendidikan terhadap perkembangan potensi kejiwaan dan akal pikirannya, pendidikan keagamaan dan akhlaknya yang terjadi dengan diberikannya potensi-potensi tersebut kepada manusia, sehingga dengan itu semua manusia mencapai kesempurnaan akalnya dan bersih jiwanya. Selanjutnya kata rabb dapat pula digunakan oleh manusia, seperti ungkapan rabb al-dar memiliki rumah dan rabb hadzihi alan’am yang berarti memiliki binatang ternak ini.[79]

Adapun kata al-alamin yang bentuk tunggal alam adalah meliputi seluruh yang tampak ada. Kata alamin ini biasanya tidak digunakan kecuali pada kelompok yang dapat dibedakan jenis dan sifat-sifatnya yang lebih mendekati pada makhluk yang berakal, walaupun bukan manusia, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Katsir. Yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini adalah alam al-insan (alam manusia), alam al-hayawan (alam binatang), dan alam nabat (alam tumbuh-tumbuhan), dan tidak dapat dimasukkan alam al-hajar (alam batu), alam al-turab (alam tanah).

Pengertian ini didasarkan pada adanya kata rabb yang mendahului kata alam tersebut, yang berarti mendidik, membina, mengarahkan dan mengembangkan yang mengharuskan adanya unsur kehidupan seperti makan dan minum serta berkembang biak. Sedangkan batu dan tanah tidak memiliki unsur-unsur yang demikian itu.[80]

Setiap pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karena Dia-lah sumber segala yang ada. Dia-alah yang mengerahkan seluruh alam dan mendidiknya mulai dari awal hingga akhir dan memberikannya nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan. Dengan demikian, puji itu hanya kepada pencipta dan syukur kepada yang memiliki keutamaan.[81]


Ketiga, tafsir makna Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir di atas, bahwa al-rahman adalah yang memberikan kenikmatan yang baik kepada hamba-hamba-Nya tanpa mengenal batas dan akhir. Lafadz ini hanya untuk Allah dan tidak dapat dilekatkan pada yang lain-Nya. Sedangkan al-rahim adalah Zat yang padanya terdapat sifat rahmah (kasih sayang) yang daripadanya dapat dimbul perbuatan yang baik.[82]


Keempat, tafsir makna Kata maliki berarti mengatur perilaku orang-orang yang berakal dengan cara memberikan perintah, larangan dan balasan. Hal ini sejalan dengan ungkapan malik al-naas yang mengatur dan menguasai manusia.[83]

Sedangkan lafadz al-din dari segi bahasa digunakan untuk pengertian al-hisab, yakni penghitungan, dan berarti pula memberikan kecukupan, pembalasan yang setara dengan perbuatan yang dilakukan manusia semasa hidup di dunia.[84]


Kelima, tafsir makna Kata ibadah dalam ayat ini menurut al-Maraghi berarti merendahkan yang disertai perasaan dan getaran hati yang muncul karena menggunakan Zat Yang Disembah (Allah S.W.T.) yang didasarkan pada keyakinan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, karena melampaui batas yang dapat dijangkau oleh pemikiran atau dicapai oleh sejauh kemampuan nalarnya.[85]

Menurut al-Maraghi, inti ayat ini berisi perintah Allah agar seseorang tidak menyembah selain Allah, karena Dialah yang tersendiri denagn kekuasaan-Nya. Selain itu, ayat itu juga melarang seseorang menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain diri-Nya, dan menyuruh agar tidak meminta pertolongan kepada selain Dia atau meminta pertolongan yang dapat menyempurnakan perbuatannya dan menyampaikan kepada hasil yang diharapkan.[86]

Keenam, tafsir lafadz Kata hidayah yang terdapat dalam ayat ini menurut Ibn Katsir mengandung arti petunjuk yang membawa kepada tercapainya sesuatu yang diharapkan.[87] Sedangkan al-shirath menurut Jalaluddin al-Suyuthi berarti jalan, dan mustaqim berarti lurus, lawan dari bengkok. Selanjutnya, hidayah Allah yang diberikan kepada manusia bermacam-macam. (1) hidayah al-ilham, yaitu hidayah yang diberikan keapda bayi sejak kelahirannya, seperti perasaan butuh terhadap makanan dan ia menangis karena mengharapkan makanan tersebut. (2) hidayah al-hawas. Hidayah ini dan hidayah yang pertama keduaduanya diberikan kepada manusia dan binatang, bahkan kedua hidayah tersebut lebih sempurna pada binatang dibandingkan pada manusia, karena hidayah ilham dan hidayah hawas pada manusia pertumbuhannya amat lambat, dan bertahap dibandingkan pada binatang, yang ketika lahir sudah dapat bergerak, makan, berjalan dan sebagainya. (3) hidayah al-aql, yaitu hidayah yang kedudukannya lebih tinggi daripada hidayah yang pertama dan kedua. Hidayah ini hanya untuk manusia, karena manusia diciptakan untuk hidup bersama dengan yang lainnya, sedangkan ilham dan hawasnya tidak cukup untuk mencapai kehidupan bersama itu. Untuk mencapai kehidupan bersama orang lain harus disertai akal yang dapat memperbaiki kesalahan yang diperbuat pancaindera. Pancaindera terkadang melihat tongkat yang sebenarnya lurus menjadi bengkok ketika tongkat itu berada dalam air, dan terkadang lidah merasakan pahit terhadap makanan yang sebenarnya manis, dan sebaginya. (4) hidayah al-adyan wa al-syara, yaitu hidayah yang ditujukan kepada manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsunya, membiarkan dirinya terperdaya oleh kelezatan duniawi dan syahwat menempuh jalan keburukan dan dosa, saling bermusuhan antara sesamanya, saling mengahalkan antara satu dan lainnya yang kesemuanya itu terjadi karena akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu. Keadaan seperti ini dijelaskan batas-batas dan aturan, agar mereka berpegang teguh kepadanya. Batas-batas dan aturan tersebut adalah hidayah al-din yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Karenanya, tafsir ayat tersebut berarti petunjuk jalan yang lurus (shirat), yaitu Islam. [88]

Ketujuh, tafsir lafadz

Yang dimaksud dengan kata al-ladzina dalam ayat ini menurut Ibn Katsir adalah orang-orang yang mendapatkan kenikmatan Allah, yaitu para Nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang shaleh yang terdiri atas kelompok pemeluk Islam terdahulu.[89]

Sedangkan al-maghdlubi alaihim sebagaimana dikemukakan oleh al-Maraghi adalah orang-orang yang menolak agama yang benar yang disyari’atkan Allah kepadanya. Mereka berpaling dari kebenaran dan tetap mengikuti apa yang diwariskan nenek moyang mereka, dan semua itu menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka jahanam.[90] Lafadz al-dlallin adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak mengetahui sesuatu secara benar, yaitu orang-orang yang kepadanya tidak sampai risalah, atau sampai risalah kepada mereka namun mereka enggan mengikutinya.[91]Dari pendapat para mufasir di atas dapat disimpulkan bahwa kandungan surat al-Fatihah di atas mengandung pokok-pokok kandungan al-Qur’an secara global, yaitu mengenai tahuid, janji dan ancaman, ibadah yang menghidupkan tauhid, penjelasan tentang jalan kebagahiaan dan cara mencapainya di dunia dan di akhirat, dan pemberitaan atau kisah generasi terdahulu. Kelima pokok ajaran terserbut tercermin pada; ajaran tauhid pada ayat kedua dan kelima, janji dan ancaman tersurat pada ayat pertama, ketiga dan ketujuh, ibadah pada ayat kelima dan ketujuh, sedangkan sejarah atau kisah masa lalu diisyaratkan oleh ayat terakhir.



I.   Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Surat al-Fatihah

Jika di atas telah disebutkan kandungan makna surat al-Fatihah secara umum, maka berikut ini akan dikemukakan mengenai nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat al-Fatihah. Nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat al-Fatihan dapat diuraikan sebagai berikut:

1.     Nilai Pendidikan Keimanan

Maksudnya ajaran keimanan kepada secara menyeluruh. Pada surat ini diperkenalkan tentang sifat-sifat Allah yang diwakili oleh lafadz al-Rahman dan al-Rahim (Maha Pengasih dan Maha Penyayang) yang diulang masing-masing dua kali; dan perbuatan Allah yang diwakili oleh lafadz rabb al-‘alamin (Yang menguasai, Memelihara, Membina, Mendidik, Mengarahkan dan membina seluruh alam), terutama alam yang memiliki unsur kehidupan, makan-minum dan bergerak, serta adanya hari akhir yang diwakili oleh lafadz malik yaum al-din (Yang menguasai Hari Pembalasan).

Pokok-pokok ajaran tentang keimanan yang terdapat dalam surat al-Fatihah di atas sama sekali tidak menyinggung masalah zat Tuhan, karena hal ini termasuk masalah yang tidak mungkin dijangkau oleh pancaindera dan akal manusia yang terbatas. Ajaran keimanan dalam surat al-Fatihah menekankan tentang pentingnya mengenal Allah melalui pengamatan secara seksama terhadap sifat dan perbuatan Allah yang tampak di jagat raya ini.

Keimanan yang dapat menghasilkan keikhlasan, kejujuran, tanggung jawab, kreativitas dan motivasi yang termuat dalam surat al- Fatihah harus mendasari seluruh perbuatan baik yang akan dilakukan oleh manusia, sehingga perbuatan tersebut di samping akan bernilai ibadah juga tidak akan disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang dapat merusak dan merugikan umat manusia.

2.     Nilai Pendidikan Ibadah

Pokok ajaran tentang ibadah diwakili oleh ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (Kepada-Mu kamu mengabdi dan kepada-Mu kami memohon pertolongan). Kata ibadah yang pada intinya ketundukkan untuk melaksanakan segala perintah Allah mengandung arti yang luas, yaitu bukan hanya ibadah dalam arti khusus seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, melainkan juga ibadah dalam arti luas, yaitu seluruh aktivitas kebaikan yang dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan tujuan ikhlas karena Allah S.W.T. Menurut Rasyid Ridha bahwa kandungan ibadah dimaksud juga akan menghidupkan tauhid dalam hati dan mematrikannya dalam jiwa.[92]

Ibadah dalam arti yang demikian itulah yang harus dijadikan tujuan dalam pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas. Dengan cara ini, pendidikan akan memiliki kontribusi dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mampu berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Manusia yang mampu beribadah itulah manusia yang akan memberi manfaat pada dirinya dan manfaat bagi orang lain.

3.     Nilai Pendidikan tentang Hukum Agama (Syari’ah)

Pokok ajaran tentang ajaran agama diwakili oleh ayat ihdina alshirat al-mustaqim. Lafadz ini secara harfiah mengandung arti tentang kebutuhan manusia terhadap jalan yang lurus. Jalan lurus ini adalah agama dengan segenap hukum atau syari’ah yang terkandung di dalamnya. Agama yang berasal dari Allah ini berfungsi sebagai rahmat yang diperlukan manusia untuk mengatasi berbagai kekurangan dirinya. Melalui agama ini berbagai masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh akal dan segenap potensi yang dimiliki manusia akan dapat diatasi, seperti masalah kehidupan di akhirat, baik dan buruk dan lain sebagainya.

Pokok-pokok ajaran tentang hukum agama atau syari’ah ini erat kaitannya dengan materi atau kurikulum pendidikan, yaitu selain kurikulum itu memuat materi pelajaran yang bertolak dari hasil penelitian dan pemikiran manusia, juga harus memuat materi pelajaran yang bertolak dari wahyu yang diturunkan Allah S.W.T.

Keberadaan materi ajaran yang bersumber dari wahyu ini penting dalam rangka menilai dan mengukur kebenaran yang dihasilkan penelitian dan pemikiran manusia. Dengan cara dmeikian diharapkan akan terjadi keseimbangan antara materi ajaran yang berasal dari akal dan materi ajaran yang berasal dari naqli (wahyu Allah), yaitu al-Qur’an. Ajaran-ajaran tersebut telah termuat dalam surat al-Fatihah.

4.     Nilai Pendidikan tentang Kisah (Teladan)

Pokok ajaran tentang ksiah diwakili oleh ayat shirat al-ladzina an’amta ‘alaihim ghair al-maghdlubi ‘alaihim wala al-dlallin. Ayat ini menginformasikan tentang kisah orang yang mendapatkan kenikmatan yaitu para Nabi, para shiddiqin, para shalihin dan sebagainya, dan orang yang mendapatkan murka dan kesesatan, yaitu orang-orang yang inkar terhadap kebenaran, berbuat keburukan dan sebagianya seperti yang dilakukan oleh orang-orang kafir. Melalui kisah ini diharapkan dapat mengetuk hati manusia agar menjadi orang yang baik dan tidak menjadi orang yang buruk.

Keberadaan kisah sebagai cara mendidik seseorang diakui memiliki kecenderungan menyukai kisah. Manusia misalnya merasa senang mendegar cerita Nabi Yusuf yang unik itu. Melalui kisah ini seseorang dapat memetik ajaran tentang perlunya memiliki ketampanan lahir dan batin, sebagaimana dimiliki Nabi Yusuf. Adanya materi ajaran tentang kisah (sejarah) tentang akhak ini merupakan jiwa pendidikan Islam.

Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali dan dikutip oleh bahwa karakteristik pendidikan Islam yang menonjol adalah riligius moralisnya, tanpa mengesampingkan yang berkenaan dengan duniawi, akal dan ketrampilan.[93] Teladan akhlak inilah yang telah termuat dalam surat al- Fatihah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa nilai-nilai pendidikan yang termuat dalam surat al-Fatihah adalah nilai keimanan, nilai ibadah, nilai syari’ah, dan nilai teladan atau kisah.



J.   Analisis terhadap Komponen Pendidikan Islam dalam Surat al-Fatihah

Sebagaimana telah diutarakan pada sebelumnya bahwa pendidikan Islam merupakan usaha orang dewasa muslim yang bertakwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. Dari sini, pendidikan secara teoritis mengandung pengertian “memberi makan” (opvoeding) kepada jiwa anak didik sehingga mendapatkan kepuasan rohaniah.

Sedangkan tujuan pendidikan Islam dirumuskan dari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat pendidikan Islam.

Secara umum, tujuan pendidikan ialah untuk menumbuhkan kepribadian manusia yang bulat melalui latihan kejiwaan, kecerdasan otak dan penalaran, perasaan dan indera. Sedangkan tujuan pendidikan Islam, sebagaimana tujuan pendidikan pada umumnya, kemudian diidentikan dengan tujuan Islam itu sendiri, yatu mencari keselamatan di dunia dan di akhirat.

Surat al-Fatihah sendiri dianggap sebagai umm al-Qur’an (induk al-Qur’an), yang memuat seluruh kandungan al-Qur’an. Sedangkan dua pertiga dari keseluruhan al-Qur’an mengandung implikasi dan motivasi pendidikan seperti yang dikemukakan oleh M. Arifin.[94] Sebagai sumber pedoman bagi umat Islam, al-Qur’an sendiri mengandung dan membawakan nilai-nilai yang membudayakan manusia. Karenanya, nilai-nilai pendidikan tersebut tentu saja termuat dalam surat al-Fatihah.

Bila diamati secara mendalam tentang bagaimana Tuhan mendidik alam ini, yang dalam surat al-Fatihah disebut raab al-‘alamin, akan tampak bahwa Allah sebagai Yang Maha Pendidik dengan kodrat dan iradat-Nya telah mempolakan suatu suprasistem apa pun. Sebagai maha pendidik menghadapi segala sesuatu yang menyangkut kehidupan di alam ini berjalan dalam suatu sistem, suatu proses kehidupan yang terjadi secara alami. Hal demikian menjadi contoh bagi makhluk-Nya yang berusaha mengembangkan kehidupan secara manusiawi dan alami sesuai dengan garis yang telah diletakkan Allah.

Mengapa Allah Yang Maha Kuasa itu secara langsung menjadikan makhluk-Nya baik atau jahat, pandai atau bodoh, bahagia atau celaka, sehat atau sakit (jasmaniah atau rohaniah), tumbuh dan berkembang atau lemah dan punah sama sekali. Melainkan Allah menjadikannya melalui sistem berbagai macam proses yang pada dasarnya terletak pada suatu mekanisme sebab akibat. Seperti berbuat baik mengakibatkan Tuhan memberi pahala. Karena berbuah jahat, Tuhan membalas dengan siksaan. Karena beriman dan beramal shaleh, Tuhan memberi pahala yang tidak putus-putus dan karena bersyukur terhadap nikmat Allah maka Allah akan menambah nikmat-Nya.

Allah S.W.T. juga berperan sebagai Maha Pendidik terhadap hamba-hamba-Nya. Dia adalah Pendidik atas sekalian alam. Para malaikat, rasul, nabi-nabi, serta para wali-wali sampai kepada para ulama yang bertugas sebagai penyambung kalam Ilahi dan sekaligus sebagai pembantu Allah dalam proses mendidik manusia agar menjadi hamba yang beriman, bertakwa, dan taat kepada printah-Nya.

Mengapa Allah perlu menciptakan planet-planet dalam suatu system tata surya yang berjalan di atas khittah yang teratur dan konstan dalam pola keseimbangan dan keserasian. Mengapa Allah menciptakan wadah dunia sebagai suatu sistem institusi di mana umat manusia dididik untuk mampu mengembangkan dirinya serta mampu berinteraksi dengan dunia sekitarnya.

Ini membuktikan betapa Tuhan ingin menunjukkan segala sesuatu yang hidup di alam ini tidak terjadi secara insidental, akan tetapi harus melalui proses dalam suatu sistem yang bekerja secara mekanis yang dapat dicontoh dan ditiru oleh hamba-hamba-Nya, khususnya manusia. Apabila manusia mengikuti dan berjalan menurut sistem tersebut, maka segala ikhtiar manusia akan berakhir pada tujuan yang dicita-citakan.

Jika di atas telah disinggung bahwa dua pertiga dari keseluruhan ayat al-Qur’an mengandung motivasi pendidikan, maka surat al-Fatihah sebagai surat yang paling populer dan sebagai pembuka dari al-Qur’an (umm al-kitab), juga mengandung nilai-nilai pendidikan tersebut, seperti tujuan pendidikan. Hal ini bisa dilihat dari kandungan makna lafaz-lafadz atau ayat-ayatnya secara keseluruhan, misalnya:

Lafadz bismillahirrahmanirrahim (dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Pada bab terdahulu telah disebutkan bahwa lafaz ism menunjukkan pada nama Allah, di mana ayat-ayat al-Qur’an banyak memerintahkan agar menyebut nama-Nya. Lafadz Allah, adalah nama khusus bagi zat yang wajib dipuja. Al-Rahman al-Rahim, kedua-duanya diambil dari kata al-rahmah, yang berarti pengertian yang bersemayam dalam hati yang dimunculkan oleh orang yang memiliki dalam bentuk perbuatan baik terhadap orang lain, yaitu pemberian kasih dan sayang.[95]

Lafadz al-Hamd Lillahi Rabi al-‘Alamin (segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam). Maksudnya pujian atau sanjungan sebagai ungkapan syukur kepada Allah sebagai pemilik dan pendidik seluruh alam yang tampak (ada). Setiap pujian yang baik hanyalah untuk Allah, karena Dia-lah sumber segala yang ada. Dia-alah yang mengerahkan seluruh alam dan mendidiknya mulai dari awal hingga akhir dan memberikannya nilai-nilai kebaikan dan kemaslahatan. Dengan demikian, puji itu hanya kepada pencipta dan syukur kepada yang memiliki keutamaan.[96]

Lafadz al-Rahman al-Rahim (Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Maksudnya, yang memberikan kenikmatan yang baik kepada hamba-hamba-Nya tanpa mengenal batas dan akhir. Lafadz al-rahman hanya untuk Allah dan tidak dapat dilekatkan pada yang lain. Sedangkan al-rahim adalah Zat yang padanya terdapat sifat rahmah (kasih sayang) yang daripadanya dapat dimbul perbuatan yang baik.[97]

Lafadz Maliki Yaum al-Din (yang menguasai hari pembalasan). Tafsir lafadz maliki berarti mengatur perilaku orang-orang yang berakal dengan cara memberikan perintah, larangan dan balasan. Sedangkan lafadz aldin dari segi bahasa digunakan untuk pengertian al-hisab, yakni penghitungan, dan berarti pula memberikan kecukupan, pembalasan yang setara dengan perbuatan yang dilakukan manusia semasa hidup di dunia[98]

Lafadz Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in (Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Ibadah dalam ayat ini berarti merendahkan yang disertai perasaan dan getaran hati yang muncul karena menggunakan Zat Yang Disembah (Allah S.W.T.) yang didasarkan pada keyakinan bahwa pada-Nya terdapat kekuasaan yang hakikatnya tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran, karena melampaui batas yang dapat dijangkau oleh pemikiran atau dicapai oleh sejauh kemampuan nalarnya. Inti ayat ini berisi perintah Allah agar seseorang tidak menyembah selain Allah, karena Dialah yang tersendiri dengan kekuasaan-Nya. Selain itu, ayat itu juga melarang seseorang menyekutukan-Nya atau mengagungkan selain diri-Nya, dan menyuruh agar tidak meminta pertolongan kepada selain Dia atau meminta pertolongan yang dapat menyempurnakan perbuatannya dan menyampaikan kepada hasil yang diharapkan.[99]

Lafadz Ihdina al-Shirat al-Mustaqim (Tunjukillah kami jalan yang lurus). Kata hidayah yang terdapat dalam ayat ini mengandung arti petunjuk yang membawa kepada tercapainya sesuatu yang diharapkan. Menurut Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Rasyid Ridha bahwa hidayah adalah pentunjuk yang lembut tentang sesuatu yang akan mengatur pada perkara yang dicari. Sedangkan shirat adalah al-thariq (jalan). Al-Mustaqim (yang lurus) adalah antonim dari al-mu’wij (bengkok). Beberapa ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-shirat al-mustaqim (jalan lurus) adalah agama, kebenaran, keadilan, atau aturan-aturan (hudud), yaitu Islam. Menurut Abduh, bahwa al-shirat al-mustaqim adalah sejumlah cara yang akan membawa manusia pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Di antara cara yang dimaksud adalah akidah, etika, hukum dan ajaran. Itulah Islam.[100]

Lafadz Shirat al-Ladzina An’amta Alaihim Ghairi al-Maghdhubi Alaihim Wala al-Dhalin (َYaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”). Ayat tersebut menginformasikan tentang kisah orang yang mendapatkan kenikmatan yaitu para Nabi, para shadiqqin, para salihin, di samping orang-orang yang mendapatkan kemurkaan dan kesesatan. Sedangkan al-maghdlubi alaihim adalah orang-orang yang menolak agama yang benar yang disyari’atkan Allah kepadanya.

Mereka berpaling dari kebenaran dan tetap mengikuti apa yang diwariskan nenek moyang mereka, dan semua itu menyebabkan mereka dimasukkan ke dalam neraka jahanam. Lafadz al-dlallin adalah orang-orang yang tidak mengenal kebenaran, atau tidak mengetahui sesuatu secara benar, yaitu orang-orang yang kepadanya tidak sampai risalah, atau sampai risalah kepada mereka namun mereka enggan mengikutinya.[101]

Secara global kandungan lafadz-lafadz surat al-Fatihah tersebut memuat tentang tahuid, janji dan ancaman, ibadah yang menghidupkan tauhid, penjelasan tentang jalan kebagahiaan dan cara mencapainya di dunia dan di akhirat, dan pemberitaan atau kisah generasi terdahulu. Ajaran-ajaran ini dapat dapat dikerucutkan bahwa pokok utamanya adalah keimanan dan ketakwaan.

Dengan demikian, jika tujuan pendidikan Islam identik dengan tujuan Islam sendiri, yaitu sesuai dengan hakikat penciptaan manusia agar manusia menjadi pengabdi Allah yang patuh dan setia dengan iman dan takwa, maka tujuan tersebut telah termuat di dalam surat al-Fatihah tersebut.

Korelasi ini didukung pula jika predikat takwa merupakan tujuan akhir dari sebuah proses pendidikan. Apalagii jika dikorelasikan dengan tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia di dunia dan di akhirat. Nilai inilah yang tercover dalam rangkaian surat al-Fatihah secara utuh.

Dari ilustrasi di atas dapat ditegaskan lagi bahwa tujuan pendidikan yang diidentikan dengan tujuan Islam sendiri telah termuat di dalam surat al-Fatihah, yang pokok utamanya adalah arahan untuk memperoleh predikan keimanan dan ketakwaan.



K.  Analisis terhadap Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Surat al-Fatihah

Pada terdahulu telah dijelaskan mengenai beberapa nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat al-Fatihah. Nilai sendiri dapat berfungsi sebagai standar pembentukan kebijakan atau keputusan, motivasi, dasar penyesuaian dan penyusunan satuan pendidikan.

Dengan demikian, nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat al-Fatihah setidaknya dapat dijadikan acuan dalam merumuskan pola standar pendidikan Islam. Misalnya;

pertama, nilai pendidikan keimanan.

Ajaran keimanan yang termuat dalam surat al-Fatihah secara merupakan keimanan secara menyeluruh, walupun tidak menyinggung masalah zat Tuhan, karena hal ini termasuk masalah yang tidak mungkin dijangkau oleh pancaindera dan akal manusia yang terbatas. Ajaran keimanan dalam surat al Fatihah menekankan tentang pentingnya mengenal Allah melalui pengamatan secara seksama terhadap sifat dan perbuatan Allah yang tampak di jagat raya ini.

Keimanan yang dapat menghasilkan keikhlasan, kejujuran, tanggung jawab, kreativitas dan motivasi yang termuat dalam surat al-Fatihah harus mendasari seluruh perbuatan baik yang akan dilakukan oleh manusia, sehingga perbuatan tersebut di samping akan bernilai ibadah juga tidak akan disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang dapat merusak dan merugikan umat manusia. Keimanan yang selanjutnya mengambil bentuk akidah ini penting sekali untuk digunakan sebagai dasar dan standar materi pendidikan Islam.

Kedua, nilai pendidikan ibadah. Kata ibadah yang pada intinya ketundukkan untuk melaksanakan segala perintah Allah mengandung arti yang luas, yaitu bukan hanya ibadah dalam arti khusus seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, melainkan juga ibadah dalam arti luas, yaitu seluruh aktivitas kebaikan yang dilakukan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dengan tujuan ikhlas karena Allah S.W.T. Menurut Rasyid Ridha bahwa kandungan ibadah dimaksud juga akan menghidupkan tauhid dalam hati dan mematrikannya dalam jiwa.[102]

Ibadah dalam arti yang demikian itulah yang harus dijadikan tujuan dalam pendidikan Islam sebagaimana disebutkan di atas. Dengan cara ini, pendidikan akan memiliki kontribusi dalam menyiapkan sumber daya manusia yang mampu berkiprah di tengah-tengah masyarakat.

Manusia yang mampu beribadah itulah manusia yang akan memberi manfaat pada dirinya dan manfaat bagi orang lain. Pokok ajaran ini pula yang dijadikan materi dalam pendidikan, khususnya pendidikan agama.

Ketiga, nilai pendidikan tentang syari’ah. Pokok-pokok ajaran tentang syari’ah erat kaitannya dengan materi atau kurikulum pendidikan, yaitu selain kurikulum itu memuat materi pelajaran yang bertolak dari hasil penelitian dan pemikiran manusia, juga harus memuat materi pelajaran yang bertolak dari wahyu yang diturunkan Allah S.W.T. Keberadaan materi ajaran yang bersumber dari wahyu ini penting dalam rangka menilai dan mengukur kebenaran yang dihasilkan penelitian dan pemikiran manusia. Dengan cara demikian diharapkan akan terjadi keseimbangan antara materi ajaran yang berasal dari akal dan materi ajaran yang berasal dari naqli (wahyu Allah), yaitu al-Qur’an. Ajaran-ajaran tersebut telah termuat dalam surat al-Fatihah.

Keempat, nilai pendidikan tentang kisah (teladan). Keberadaan kisah sebagai cara mendidik seseorang diakui memiliki kecenderungan menyukai kisah. Manusia misalnya merasa senang mendegar cerita Nabi Yusuf yang unik itu. Melalui kisah ini seseorang dapat memetik ajaran tentang perlunya memiliki ketampanan lahir dan batin, sebagaimana dimiliki Nabi Yusuf.

Adanya materi ajaran tentang kisah (sejarah) tentang akhak ini merupakan jiwa pendidikan Islam. Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali dan dikutip oleh bahwa karakteristik pendidikan Islam yang menonjol adalah riligius moralisnya, tanpa mengesampingkan yang berkenaan dengan duniawi, akal dan ketrampilan.[103] Teladan akhlak inilah yang telah termuat dalam surat al- Fatihah.

Di samping mengandung tujuan dan materi pendidikan Islam, dalam surat al-Fatihah juga terdapat kandungan mengenai metode pendidikan Islam. Para ahli pendidikan Islam telah sepakat, bahwa keimanan dan ketakwaan harus menjadi dasar pendidikan. Dengan dasar ini, maka seluruh komponen pendidikan, mulai dari tujuan, kurikulum (materi) pendidikan, metode, motivasi, evaluasi dan sebagainya harus didasarkan pada keimanan. Dengan dasar ini, maka tujuan pendidikan harus diarahkan untuk membentuk manusia yang mengenal Tuhan sebagai pencipta dirinya, pertanggungjawaban yang harus dilakukan di dunia dan di akhirat nanti. Dengan demikian, ia akan menjadi orang yang baik dan senantiasa melakukan kebaikan.

Kurikulum pendidikan selain harus memuat ajaran tentang keimanan sebagai mata pelajaran pokok, juga akan mengintegrasikan seluruh mata pelajaran baik mata pelajaran agama maupun umum sebagai suatu kesatuan, yakni sebagai hasil pemahaman terhadap ayat-ayat yang terdapat dalam surat al-Fatihan tersebut. Dari sinilah metode pengajaran dapat dirumuskan, yaitu didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan harus dapat memanfaatkan seluruh jagat raya ciptaan Allah sebagai sarana untuk membawa anak mengenal Tuhan dan ciptaan-Nya, dan memperlakukan anak didik sebagai makhluk yang sama kedudukannya dengan dirinya. Dengan dasar keimanan ini pula, motivasi pendidikan harus dilakukan dengan ikhlas, tanggung jawab, kejujuran dan penuh kreativitas, sebagaimana halnya Allah S.W.T. telah melakukan semua itu terhadap ciptaan-Nya. Dengan dasar keimanan ini seorang guru harus mampu meniru dan mempraktekkan sifat-sifat Tuhan menurut kadar kesanggupannya dan yang terpenting dari ajaran keimanan adalah al-takhalluq bi akhlak Allah ‘ala thaqa al-basyariyah (berbudi pekerti dengan budi pekerti Allah menurut kadar kesanggupan manusia).

Dengan dasar keimanan yang termuat dalam surat al-Fatihah pula, evaluasi pendidikan harus dilakukan dengan jujur, obyektif dan penuh tanggung jawab. Itulah hubungan singkat antara pokok ajaran keimanan dalam surat al-Fatihah dengan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa nilai-nilai pendidikan Islam yang termuat dalam surat al-Fatihah seperti nilai keimanan dan ketakwaan, nilai tentang ajaran ibadah, syari’ah dan teladan atau kisah dapat dijadikan sebagai materi dasar pendidikan Islam. Materi ini akan dapat mengintegrasikan seluruh materi pelajaran lain baik agama maupun umum sebagai kesatuan. Metode pendidikan Islam juga dapat ditemukan dalam surat al-Fatihah dengan mendasarkan pada pandangan pendidikan harus dapat memanfaatkan seluruh jagat raya ciptaan Allah sebagai sarana untuk membawa anak didik mengenal Tuhan dan ciptaan-Nya, dan memperlakukan anak didik sebagai makhluk yang sama kedudukannya dengan dirinya.

0 Response to "KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DALAM UMMUL KITAB"