BAGAIMANA HUKUM MENGUACAPKAN SELAMAT HARI NATAL
Dalam beberapa hari lagi kita akan memasuki tanggal 25 Desember yang berarti Agama Nasrani akan merayakan hari lahirnya Kanjeng Nabi Isya AS, bagaimanakah islam mengajarkan umatnya untuk bertoleransi terhadap orang yang berbeda agama? simak jawabannya
Dr. Yusuf al-Qaradlawi mengatakan bahwa merayakan hari raya agama
adalah hak masing-masing agama. Selama tidak merugikan agama lain. Dan termasuk
hak tiap agama untuk memberikan tahni’ah (ucapan selamat) saat perayaan agama
lainnya.
Dr. Yusuf al-Qaradlawi juga menambahkan bahwa kita sebagai pemeluk
Islam, agama kita tidak melarang kita untuk memberikan tahni’ah kepada
non-muslim warga negara atau tetangga dalam hari besar agama mereka. Bahkan
perbuatan ini termasuk kedalam kategori al-birr (perbuatan yang baik). Sebagaimana firman
Allah Swt.: “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negrimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil“.
Kebolehan memberikan tahni’ah ini terutama bila pemeluk agama lain itu
juga telah memberikan tahni’ah kepada kita dalam perayaan hari raya
kita. Firman Allah Swt.: “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah
penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu“.
Namun Dr. Yusuf al-Qaradlawi secara tegas mengatakan bahwa tidak
halal bagi seorang muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan agama yang
khusus milik agama lain. Akan tetapi penulis berpendapat bila menghadiri
perayaan tersebut tidak mengganggu atau menodai sedikitpun akidah yang kita
anut dan tidak ikut berbuat yang haram seperti makan babi, minum khamr dan lain
sebagainya maka boleh-boleh saja. Siapa tahu suatu saat nanti kita mampu
mempengaruhi mereka sedikit demi sedikit sehingga dapat mengislamkan mereka.
Hal yang mungkin lebih penting di sini adalah; bahwasanya perayaan
tersebut hakikatnya merupakan peringatan atas lahirnya (maulid) Nabi Isa As.
tentunya kaum muslimin lebih berhak merayakannya daripada kaum Kristiani itu
sendiri, sebabnya tiada lain karena Nabi Isa As. menyeru kepada tauhid dan
tidak pernah mengaku sebagai tuhan atau anak Tuhan. Beliau juga masih hidup dan
terangkat ke langit, bukan disiksa mati-matian dan disalib. Kalaupun tidak
dibenarkan kelahiran beliau pada tanggal 25 Desember, toh juga mempringati
maulid tidak mesti tepat pada hari dan tanggalnya, karena yang lebih penting
adalah bagaimana kita selalu mengenang sejarah dan perjuangan beliau tanpa
harus bergantung pada ruang maupun waktu.
Adapun mengenai tasyabbuh bil-kuffar (menyerupai orang-orang
kafir), maka penyerupaan yang dilarang adalah penyerupaan dalam hal keyakinan
dan kepercayaan (akidah). Bukan dalam hal-hal yang bersifat zahir, karena bila
difahami secara sempit maka mengendarai mobil, memakai jas dan dasi, makan
pakai sendok dan garpu, memakai parfum dan lain sebagainya, semua itu juga
haram !! Orang-orang Majusi mengelilingi api untuk menyembah, maka boleh-boleh
saja kita ikut mengelilingi api namun bukan untuk menyembah, melainkan sekedar
berhangat-hangatan saja. Niat dan akidahlah yang membedakan.
Sedangkan Dr. Mushthafa Ahmad Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada
dalil yang secara tegas melarang seorang muslim mengucapkan tahni’ah kepada
orang kafir. Dan kaidah fikih menyatakan: asal hukum tiap sesuatu itu adalah
kebolehan.
Beliau juga mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw.
pernah berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini
tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut jenazah
tersebut.
Sehingga menurut beliau, ucapan tahni’ah kepada
saudara-saudara pemeluk kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka,
tidak terkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkan hanya
bagian dari mujamalah(basa-basi) dan muhasanah seorang
muslim kepada teman yang kebetulan berbeda agama.
Dan beliau juga menfatwakan bahwa karena ucapan tahni’ah ini
dibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuat kartu
ucapan selamat natal pun hukumnya mengikuti hukum ucapan itu sendiri.
Majelis Fatwa dan Riset Eropa juga berpendapat yang sama dengan
fatwa Dr. Ahmad Zarqa’ dalam hal kebolehan mengucapkan tahni’ah,
karena tidak adanya dalil langsung yang mengharamkannya.
Bila meminjam gaya pemikiran almarhum Gus Dur, maka mudah-mudah
saja menghukumi ucapan selamat natal; “Toh juga itu sebatas ucapan. Yang penting kan niat dan keyakinan
di hati. Gitu aja kok repot” !!
sumber : WWW. AZIZNAWADI.COM
0 Response to "SUFI DALAM UCAPAN SELAMAT NATAL"
Post a Comment