BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
dunia pendidikan masalah kecerdasan merupakan salah satu masalah pokok dimana
peranan kecerdasan dalam proses pendidikan dipandang sebagai faktor yang dapat
menentukan berhasil atau tidaknya seorang anak dalam belajar. Begitu juga
kecerdasan memiliki kontribusi yang signifikan dalam kehidupan seseorang.
Tentang pentingnya
kecerdasan ini dalam proses pendidikan, Az-Zarnuji, dalam kitabnya Ta'limul
Muta'alim telah menetapkan faktor kecerdasan sebagai salah satu syarat bagi
keberhasilan seorang anak dalam belajarnya
guna memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam syairnya mengatakan :
الالا
تنال العلم الاّ بسـتّة سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء
وحرص واصطبار وبلغة وارشاد استاذ
وطول زمان
Artinya: "Ingatlah, kamu tidak akan
memperoleh ilmu pengetahuan kecuali
dengan enam perkara, yang akan kujelaskan semua kepadamu secara ringkas.
Yaitu : kecerdasan, cinta kepada ilmu, kesabaran, bekal biaya, Petunjuk
guru, dan masa yang lama". (Ali Chasan Umar, 1993 : 25)
Namun bahwa kecerdasan seorang anak
tidaklah tumbuh dengan sendirinya, tetapi memerlukan suatu proses. Proses yang
dijalani anak itu akan efektif bila diisi dengan adanya suatu upaya pendidikan
agar terbimbing dan terarah. Sebagaimana tugas daripada pendidikan yaitu
membimbing dan mengarahkan potensi anak dari tahap ke tahap kehidupannya agar
berkembang ke arah kematangan yang optimal.
Terlebih pada saat anak berada pada
usia dini atau masa kanak-kanak awal, dimana kebutuhan akan pengalaman
belajarnya demikian tinggi. Hal ini karena anak sedang mengalami pertumbuhan
dan perkembangan yang pesat, terutama yang terjadi di dalam otaknya, di mana
otaknya ini telah mampu menyerap informasi yang tinggi. Oleh karena itu penting
artinya menumbuhkan potensi-potensi yang ada dalam diri anak, terutama
kecerdasannya disaat awal-awal kehidupannya.
Pada masa dini ini merupakan masa
peka bagi anak untuk belajar, dan anak sebenarnya merasa haus akan belajar. Ia
akan merasa gembira dan bergairah bila diikutsertakan dalam proses belajar.
Pada masa ini rasa ingin tahunya begitu besar, pada masa ini pula anak telah
mencapai lima puluh persen dari kemampuan belajarnya, saat anak berusia empat
tahun. Belajar pada masa usia dini juga merupakan peletak dasar bagi kemampuan
belajar anak selanjutnya. Hal ini sinkron dengan sabda Nabi SAW., yang
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Abu Darda : "Menuntut ilmu ketika usia
kecil bagaikan mengukir di atas batu dan menuntut ilmu setelah dewasa seperti
menulis di atas air". (Kuswandani, 1999 : 233)
Pada masa dini ini biasanya anak
belum lagi memasuki pendidikan sekolah secara formal, maka pendidikan yang
diterima anak adalah apa yang dia serap dari lingkungan keluarga atau rumah.
Dan lingkungan keluarga atau rumah yang paling besar pengaruhnya adalah ibu.
Hal ini karena ibulah yang sering bersentuhan langsung dengan kehidupan anak.
Mulai mengandung, melahirkan, mengasuhnya pada masa kanak-kanak bahkan hingga
menjelang dewasa. Oleh karena itu tak heran bila ibu mempunyai hubungan bathin
yang lebih kuat dan memiliki kedekatan dengan anak-anaknya.
Disinilah bahwa sebetulnya ibu
berperan penting dalam pendidikan dan kehidupan anak. Ketulusikhlasan,
kesabaran, dan kasih sayang yang tinggi dari seorang ibu merupakan aset atau
modal terbesar bagi pendidikan anak. Aset tersebut sekaligus merupakan syarat
bagi seorang guru atau pendidik, dan hal itu telah dimiliki oleh ibu. Menurut
Marian Diamond, bahwa cinta adalah resep paling penting dalam pendidikan
anak-anak. (A. Baiquni, 2000 : 251)
Oleh karena itu ibu dapat
menciptakan lingkungan rumah yang kondusif
bagi belajar anak, dengan memberinya motivasi serta stimuli atau
rangsangan-rangsangan intelektual. Hal ini karena pada lingkungan yang
kondusiflah seorang anak dapat mengembangkan potensinya. Dan ibu dapat
mengupayakan pendidikan anak dengan
teknik atau cara yang sesuai dengan karakteristik belajar anak, agar anak tidak
merasa jemu dalam belajar.
Apa yang dilakukan ibu dalam
mengupayakan pendidikan anaknya adalah memberi harapan bahwa taraf kecerdasan
anak dapat ditingkatkan dan anak dapat memiliki kemampuan serta kesiapan saat
memasuki pendidikan sekolah.
Pendidikan
yang ibu berikan kepada anak pada dasarnya adalah suatu bentuk upaya dalam
menumbuhkembangkan potensi atau kemampuan dasar (predisposisi) anak, dan
merupakan suatu bentuk dari pada pemberian pendidikan intelektual kepada anak.
Berdasarkan
uraian di atas, maka penulis mengambil
sebuah judul dalam penulisasn skripsi ini yaitu "Peran Ibu dalam
Mencerdaskan Anak (Tinjauan Terhadap Aspek Pendidikan Intelektual Anak)".
B. Pengertian Ibu
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang
dimaksud dengan ibu adalah : "Orang perempuan yang telah melahirkan anak;
Sebutan untuk wanita yang sudah bersuami". (Depdikbud, 1996 : 364)
Sedangkan
dalam bahasa Al-Qur'an, ibu dinamakan dengan Umm. Bentukan dari kata ini
adalah Imam dan Ummat. Kesemuanya bermuara pada makna "yang
dituju" atau "yang diteladani", dalam arti pandangan harus
tertuju pada umat, pemimpin, dan ibu untuk diteladani. (Quraisy Syihab, 1996 :
259)
Bila melihat pengertian di atas, ibu berarti
sosok yang menjadi panutan, yaitu panutan yang menyangkut dalam ruang lingkup
kehidupan anak. Hal ini bila kita lihat bahwa anak yang baru lahir ia sungguh
dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Ketidakberdayaan ini mengundang
perhatian lingkungan untuk merawatnya, dan sosok ibulah yang tampil dalam
merawat anaknya dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Sedangkan ayah
sifatnya hanyalah meringankan tugas ibu dan menyediakan sarana bagi kebutuhan
keduanya.
Anak
dalam ketidakberdayaannya itu akan mengikuti apa-apa yang diperbuat oleh ibu
sebagai orang yang merawat dan mengasuhnya. Anak betul-betul anut menuruti
kemauan dan kehendak orang yang berada didekatnya terutama ibunya. Oleh karena
itu pantaslah bila ibu harus menjadi teladan bagi anaknya, di mana anak akan
menerima perlakuan ibu terhadapnya tanpa ada penyaringan atau pun membantahnya.
Dalam hal ini berarti ibu selain sebagai orang yang merawat dan mengasuh
anaknya juga sebagai lingkungan pendidikan pertama bagi anak. Maka tak heran
bila keadaan mentalitas, spiritualitas, maupun intelektualitas seorang ibu
berpengaruh pada kehidupan anak. Oleh karena itu sungguh tepat apa yang
disabdakan Rasulullah SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
"Syurga itu terletak di bawah telapak kaki ibu". (Hadiyah Salim,
1991: 12)
Ini menggambarkan bahwa bukan saja seorang
anak itu harus menghormati kepada ibunya, tetapi yang lebih mendasar adalah
bahwa keberadaan ibu sendiri dapat menentukan kebahagiaan serta masa depan
anaknya baik di dunia maupun di akhirat.
Umm
atau ibu melalui perhatiannya kepada anak serta keteladanannya, dapat
menciptakan pemimpin-pemimpin dan bahkan dapat membina umat. Sebaliknya jika
yang melahirkan seorang anak tidak berfungsi sebagai Umm, maka umat akan
hancur dan pemimpin yang baik untuk diteladani pun tidak akan lahir. Dalam
semboyan Islam dikatakan "Wanita itu tiang negara. Apabila baik wanita,
maka baiklah negara. Dan apabila rusak wanita, maka rusaklah negara".
(Hadiyah Salim, 1988: 100). Maka dengan demikian perjuangan membina umat dan
pemimpin dimulai dari keteladanan seorang ibu dan pendidikan yang baik yang
diberikan ibu kepada anaknya.
C. Keluarga dalam Islam
Allah
berfirman dalam Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat 21 : "Dan di antara
tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasang-pasangan dari
jenismu sendiri (manusia) supaya kamu cenderung dan merasa tenteram terhadapnya
dan dijalinnya rasa kasih sayang (antara kamu sepasang). Sesunguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanad-tanda bagi kaum yanmg berfikir". (M. Quraisy
Syihab, 1999: 253)
Merupakan
daari sekian banyaknya ayat-ayat kebesaran Allah yang tak terhingga adalah Dia
menjadikan manusia berpasangan antara pria dan wanita dan menetapkan jodohnya
masing-masing agar tercipta ketentraman dalam hidupnya, karena dari kedua jenis
manusia ini masing-masing memiliki rasa ketertarikan dan diberi dorongan
seksual (syahwat) terhadap lawan jenisnya.
Ketertarikan
kedua pasangan insan ini untuk kemudian dilanjutkan melalui sebuah ikatan
perkawianan, agar hubungan keduanya menjadi leluasa dan syah. Ajaran Islam
sangat menganjurkan pernikahan dan menolak adanya kehidupan membujang (ruhbaniyah).
Seperti dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Saad bin Abi
Waqqash, Rasulullah SAW bersabda :
انّ الله ابد لنا
باالرهبانية الحنيفيّة السمحة. (زواه
البيهقى)
Artinya : "Sesunguhnya Allah
telah menggantikan kita dengan ruhbaniyah yang lurus dan mudah".
(Syaifullah, 1993 : 4)
Kehidupan
ruhbaniyah yang lurus dan mudah dalam ajaran Islam adalah dengan dianjurkannya
suatu pernikahan bagi pemeluknya. Dalam hadits riwayat Bukhori Muslim,
diceritakan ada tiga orang bersilaturahmi ke rumah istri Rasulullah. Mereka
menanyakan tentang ibadah Rasululah. Ketika diberitahukan maka seakan-akan
ibadah mereka itu sedikit. Lalu mereka berkata, bagaimana kita ini padahal
beliau telah diampuni dosanya baik yang lampau dan yang akan datng. Salah satu
diantara mereka kemudian berkata, kalau demikain aku akan shalat tahajjud
setiap malam. Yang lain mengatakan, aku akan berpuasa sepanjang masa. Dan yang
lain lagi berkata, aku akan menjauhi wanita, tidak akan kawin selama hidupku.
Rasulullah SAW mendengar pembicaran ketiga tammu itu, beliau bersabda :
"Kalian berkata begini
dan begitu, demi Allah
sesunguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allah
daripada kamu, dan lebih bertaqwa kepada-Nya daripada kamu. Tetapi aku berpuasa
dan aku berbuka. Aku melakukan shalat dan aku tidur, dan aku mengawini kaum
wanita. Oleh karena itu, barangsiapa yang tidak suka kepada sunahku, maka ia
bukan termasuk golonganku". (Syaifullah, 1993 : 5)
Sementara itu dalam hadits riwayat
Ath-Thabrani dan Baihaqi, Rasulullah SAW bersabda :
من كان موسرا لان ينكح ثمّ لم ينكح فليس منّى. (رواه الطبرانىوبيهقى)
Artinya: "Barangsiapa yang
dimudahkan baginya untuk menikah,
lalu ia tidak menikah, maka tidaklah termasuk golonganku". (Sabil Huda,
1994 : 15)
Rasulullah SAW bersabda dalam
hadits riwayat Baihaqi :
اذا تزوّج العبد فقد استكمل نصف الدين فليتّق الله فى النصف
الباقى. (رواه البيهقى)
Artinya : "Seorang yang
telah menikah itu,
sungguh telah menyempurnakan sebagian dari agamanya, maka
takutlah kepada Allah mengenai sebagian yang lain". (Sabil Huda, 1994 :
23)
Pernikahan
adalah satu ketentuan untuk mengikat hubungan lahir dan bathin antara pria dan
wanita. Karena itu pernikahan sesuai denga fitrah manusia yang menghajatkan
hubungan denganlawan jenisnya. Bahkan Islam mengharamkan seorang Muslim untuk
menahan diri dari perkawinan dengan niat melakukan kehidupan membujang (celibacy).
Perbuatan membujang seumur hidup bagi pria dan wanita adalah perbuatan sangat
menyimpang dari fitrah kejadian manusia itu sendiri.
Pernikahan
bukanlah satu ketentuan yang ditimbulkan dari hasil pemikiran manusia, tetapi
merupakan satu syariat agama untuk mengatur tata hidup dan pergaulan hidup
manusia di dunia. Oleh kaena itu pernikahan termasuk satu bentuk peribadatan
kepada Allah yang berarti pula melaksanakan syariat Islam. Adapun tujuan
pernikahan itu menurut Islam adalah :
a.
Untuk menegakkan dan menjunjung tinggi syariat agama.
b.
Untuk memelihara berlakunya hubungan biologis.
c.
Untuk menjaga fitrah dan nilai-nilai kemanusiaan
d.
Untuk mencapai ketentraman hidup.
e.
Untuk mempererat serta memperluas hubungan persaudaraan.
f.
Untuk memelihara kedudukan harta pusaka. (Sabil Huda,
1994 : 21)
Namun
ketika akan melaksanakan suatu pernikahan, maka bagi pria maupun wanita
hendaknya memperhatikan pasangannya masing-masing. Perhatian ini dalam Islam
dengan memprioritaskan pilihan agamanya dalam memilih pasangan hidup.
Dan bagi para wanita ataupun walinya hendaknya
menetapkan pasangan hidupnya itu memiliki agama dan akhlak. Rasulullah SAW bersabda
dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi :
اذا جاءكم من
ترضون دينه وخلقه فزوّجوه, الاّتفعلواتكن فتنة فى الارض,وفساد عريض. (رواه الترمذى)
Artinya: "Apabila kamu
sekalian didatangi oleh
seseorang yang din
dan akhlaknya kamu ridhai, maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak
melaksanakannya, maka akan terjadilah fitnah dimuka bumi ini dan tersebarlah
kerusakan". (Syaifullah, 1993 : 13)
Memilih
calon suami yang bukan dari golongan orang fasik, pembuat dosa, yang dapat
memutuskan tali kekeluargan. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang
diriwayatkan Ibnu Hibban :
من زوّج كريمته من فاسق فقد قطع رحمها. (رواه ابن حبّان)
Artinya: Siapa saja
menikahkan saudara perempuannya
dengan l aki-laki fasik, berarti
memutuskan tali keluarganya". (Amir H. Fachrudin, 2001 : 101)
Diceritakan
seorang laki-laki datng kepada Al-Hasan Al-Bashri untuk meminta pandangannya.
Dia berkata : Ada dua orang yang datang melamar putriku, siapa yang kuterima.
Al-Hasan menjawab : Terimalah yang paling baik agamanya, karena jika ia senang
kepada istrinya, pasti ia menghormati/memeliharanya. Sedangkan bila ia
membencinya, ia tidak akan menganiayanya. (M.Quraisy Syihab, 1999 : 254)
Begitu
pula bagi seorang pria yang akan menikahi calon istrinya hendaknya dilandasi
atas dasar agamanya. Rasulullah SAW bersabda dalam haadits riwayat Abu Daud dan
Nasa'i :
تنكح المرأة لأربع
لمالهاوجملهاوحسبهاودينهافاظفربذات الدين تربت يداك. (رواه ابودود والنساء)
Artinya: "Wanita dinikahi
karena empat faktor,
yakni karena hartanya, karena
kecantikannya, karena kedudukannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita
yang berpegang teguh pada agama, niscaya engkau akan berbahagia". (Amy
An-Nadhirah, 1996 : 21)
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari Anas, Rasulullah SAW bersabda :
من تزوّج امرأة
لعزّهالم يزده الله الاّذلاّومن تزوّجهالمالهالم يزده الله الاّفقراومن
تزوّجهالنسبهالم يزده الله الاّدناءة ومن تزوّج امرأة لم يرد بهاالاّان يغضّ بصره
ويحصن فرجه ويصل رحمه بارك الله له فيهاوبارك لهافيه. (رواه الطبرانى)
Artinya : "Barangsiapa mengawini perempuan karena
kedudukannya, maka Allah
hanya akan menambahi dengan kehinan, dan barangsiapa
mengawininya karena harta, maka Allah hanya menambahinya dengan kemiskinan dan
barangsiapa mengawininya karena keturunannya, maka Allah hanya menambahinya
dengan kerendahan, sedang barangsiapa yang mengawini perempuan karena ingin
menjaga pandangannya (dari pandangan yang terlarang) dan ingin menjaga
kehormatannya (dari perbuatan zina) serta membina hubungan kekeluargaan,
niscaya Allah memberkahi dirinya dan istrinya". (Sabil Huda, 1994 : 172)
Rasulullah
SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni :
ايّاكم وخضراء
الدمن قالوا : وماخضراءالدمن يارسول الله, قال : المرأة الحسناء فىالمنبت
السوء. (رواه الدارقطنى)
Artinya : "Jauhilah oleh kalian rumput hijau
yang berada di tempat kotor. Mereka
bertanya : Apa yang dimaksud dengan rumput hijau yang berada di tempat kotor
itu wahai Rasulullah. Beliau menjawab : Yaitu wanita yang sangat cantik yang
tumbuh (berkembang) di tempat yang tidak baik". (Syaifullah, 1993 : 15)
Seorang pria ataupun wanita menikah karena
adanya rasa ketertarikan kepada pasangannya, baik itu karena kecantikannya,
ketampanannya, keturunannya, kekayaan, pangkat dan kedudukannya. Namum semua
itu bukanlah segala-galanya karena Islam mengarahkan motivasi menikah adalah atas
landasan agamanya. Hal ini karena pernikahan semata-mata adalah sebagai bentuk
peribadatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah
bahwa memperhatikan pasangannya masing-masing sangatlah penting bagi pria dan
wanita, karena akan sangat menentukan bagi berlangsungnya kehidupan
rumahtangganya. Istri atau suami yang baik tentu akan menjalani kehidupan
rumahtangganya dengan baik pula sehingga terwujud keluarga yang kokoh, aman,
dan tenteram. Sebaliknya istri atau suami berperangai buruk maka kebangunan keluarga
tersebut dibangun pada pondasi yang rapuh.
Pernikahan merupakan fase awal membentuk suatu
keluarga, dan biasanya dengan adanya pernikahan ini, akan diwarnai dengan
kehadiran keturunan baru yaitu anak-anak maupun cucu, atas kehendaknya. Firman Allah
dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 72 :
وَاللَّهُ جَعَلَ
لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ
وَحَفَدَةً (النحل: 72)
Artinya : "Allah menjadikan
bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu". (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 412)
Keluarga
menurut Aisyah Dachlan (1973 : 27), berasal dari kata kula dan warga.
Kula, artinya abdi, hamba, yaitu mengabdi untuk kepentingan bersama. Warga,
artinya anggota, berhak ikut berbicara
dan bertindak. Maka keluarga berarti mengabdi, bertindak dan bertanggungjawab
untuk kepentingan umum atau bersama.
Keluarga
dalam bahasa Arab di sebut Asyirah (عشيرة ), 'Ailah ((عائلة, Usrah (عسرة), Ahillah (اهلّلة), dan Sulalah (سلالة). Pada orang Barat keluarga adalah meliputi bapak, ibu, dan
anak-anak. Sedangkan pada bangsa kita, keluarga meliputi bapak, ibu, anak, nenek,
ditambah dengan famili terdekat. (Aisyah Dachlan, 1973 : 27)
Sedangkan
menurut Djuju Sudjana dalam Jalaluddin (1993 : 20), yang di sebut keluarga
dalam arti luas adalah meliputi semua pihak yang mempunyai hubungan darah dan
atau keturunan. Sedangkan dalam arti sempit, keluarga meliputi orangtua dengan
anak-anaknya.
Menurut
Djudju Sudjana, terdapat lima ciri khas yang dimiliki keluarga, yaitu adanya
hubungan berpasangan antara kedua jenis kelamin, adanya perkawinan yang
mengokohkan hubungan tersebut, pengakuan terhadap keturunan, kehidupan ekonomi
bersama, dan kehidupan berumahtangga. (Jalaluddin, 1993 : 20)
Dalam
membina keluarga maka terdapat pembagian tugas di dalamnya antara suami istri.
Menurut Abu Syuqqah (Mujiyo, 1995 : 137), pembagian tugas dalam keluarga bagi
seorang suami adalah sebagai pemimpin rumahtangga, dan memberi nafkah.
Suami
sebagai pemimpin rumahtangga dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat
228 :
وَلِلرِّجَالِ
عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ (البقرة: 228)
Artinya :
"Bagi lelaki (suami)
terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih
tingi)". Hasby Ash-Shiddiqy, dkk,
1995: 55)
Derajat lebih tinggi yang dimaksud oleh
ayat di atas dijelaskan kembali dalam surat An-Nisa ayat 34, yang menyatakan
bahwa :
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ (النساء: 34)
Artinya : "Lelaki
(suami) adalah pemimpin
terhadap perempuan (istri)". (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995:
123)
Dalam
hadits riwayat Bukhori Muslim, Rasulullah SAW bersabda :
والرجل راع فىاهله ومسئول عن رعيّته. (رواه بخارى ومسلم)
Artinya : "Seorang
suami adalah pemimpin
terhadap keluarganya dan
akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya". (M.
Syureich, 1990 : 32)
Suami
sebagai pemberi nafkah diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 233 :
وعلىالمولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف لاتكلّف نفس الاّوسعها. (البقرة :
233)
Artinya : "Dan kewajiban
ayah memberi makan
dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang baik.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kesanggupannya". (Hasby
Ash-Shiddiqy, dkk., 1995: 57)
Dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya'la dari Saad binAbi Waqash, Rasulullah SAW
bersabda : "Sesungguhnya apabila engkau menafkahkan hartamu bagi
keluargamu niscaya engkau akan mendapat pahala, walaupun itu hanya berupa sesuap
makanan yang engkau suapkan kemulut isterimu". (Kuswandani, 1999 : 47)
Sedangkan bagi seorang istri,
pembagian tugas dalam keluarga menurut Abu Syuqqah (Mujiyo, 1995 : 138), adalah
memelihara dan mendidik anak, dan mengurus urusan rumah. Tugas seorang istri
tersebut telah dijelaskan pula dalam hadits riwayat Bukhori Muslim, Rasulullah
SAW bersabda :
والمرأة راعية فىبيت زوجهاومسئولة عن رعيتها.
(رواه بخارىومسلم)
Artinya : "Seorang
istri adalah pemimpin terhadap
rumah suaminya dan
akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya".
(M.Syureich, 1990 : 32)
Walaupun
terdapat pemilahan kerja atau pembagian tugas, maka bukan berarti berjalan
sendiri-sendiri tetapi keduanya dapat bekerja sama, saling membantu, sehingga
terjalin kekompakan dalam kehidupan rumahtangganya. Menurut Abu Syuqqah
(Mujiyo, 1995 : 139), kekompakan antara suami istri dalam kehidupan
berumahtangga seperti diwujudkan dalam sikap : a) tolong menolong dalam hal
kepemimpinan, b) tolong menolong dalam mencari nafkah, c) tolong menolong dalam
memelihara dan mendidik anak, d) tolong menolong dalam mengatur urusan
rumahtangga.
Keluarga
adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang menjadi inti bagi masyarakat
besar maupun bangsa. Baik buruknya tatanan suatu masyarakat besar atau bangsa
berpangkal kepada intinya yaitu keluarga. Keluarga yang aman, bahagia, tidak
kacau, menjadi dasar bagi aman dan tenteramnya masyarakat besar. Keluarga
adalah jiwa dan tulang punggungnya masyarakat. Kesejahteran yang dinikmati oleh
suatu bangsa, atau sebaliknya, adalah cermin dari keadaan keluarga-keluarga
yang ada pada suatu masyarakat atau bangsa tersebut.
Pada
keluargalah terletak kewajiban pertama untuk membimbing dan mendidik
anak-anaknya. Dan pada keluarga pula mempunyai tanggungjawab dalam membina dan
menyelamatkan suatu bangsa. Menurut Djudju Sudjana dalam Jalaluddin (1993 :
22), keluarga dalam ajaran Islam mempunyai tiga macam tanggungjawab. Pertama,
tanggungjawab kepada Allah SWT karena keluarga dan fungsinya itu merupakan
pelaksanaan amanat Allah, yaitu amanat ibadah dan khilafah. Kedua,
tanggungjawab ke dalam keluarga itu sendiri, terutama tanggungjawab orangtua
sebagai pemimpin dalam keluarga untuk senantiasa membina dan mengembangkan
kondisi kehidupan keluarga ke taraf yang lebih baik. Ketiga, tanggungjawab
keluarga adalah bahwa keluarga sebagai unit kecil dan bagian dari masyarakt,
menunjukkan penampilan yang positif terhadap keluarga lain, masyarakat, bahkan
terhadap bangsa dan negaranya.
Pembentukan
keluarga yang diawali dengan pernikahan dengan begitu mempunyai peran yang
krusial, yaitu sebagai pilar bagi masyarakat maupun bangsa. Apabila dalam
keluarga-keluarga itu rapuh atau rusak, maka kebangunan dari kehidupan
masyarakat ataupun bangsanya menjadi goyah. Dengan demikian maka keluarga adalah bagaikan sosok pionir
dari sebuah masyarakat.
A.
Pandangan Islam Terhadap Kaum Ibu (Wanita)
Allah
telah menciptakan manusia dari jenis pria dan wanita, dan Allah tidak melihat
kemuliaan manusia atas dasar keturunan, suku, atau jenis kelamin, melainkan
atas dasar ketaqwaannya kepada Allah. Firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat
13 :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ
إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ
لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ٌ(الحجرة: 13)
Artinya: "Wahai seluruh manusia, sesungguhnya
Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan, dan
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling
bertaqwa". (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 847)
Oleh karena itu Islam tidak memandang kaum ibu
(wanita) sebagai kaum yang hina, tetapi Islam menghormati kaum wanita seperti
halnya kaum pria. Tentang kesetaraan antara pria dan wanita ini telah
dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 195 :
أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
أَوْ أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ (ال عمران : 195)
Artinya: "Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan
pahala orang yang beramal di antara kamu dari laki-laki
atau perempuan, setengah kamu dari yang setengah". (Hasby Ash-Shiddiqy,
dkk, 1995: 110)
Firman Allah dalam Al-Qur'an surat An-Nisa
ayat 124 :
وَمَنْ يَعْمَلْ
مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (النساء :124)
Artinya: "Barangsiapa yang
mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang
beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau
sedikitpun". (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 142)
Firman Allah dalam Al-Qur'an surat Mu'min ayat
40 :
وَمَنْ عَمِلَ
صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ
الْجَنَّةَ يُرْزَقُونَ فِيهَا بِغَيْرِ حِسَابٍ(المؤمن:40)
Artinya: "Barangsiapa yang beramal
saleh baik laki-laki
maupun perempuan sedang ia
beriman pula, maka mereka akan masuk surga serta mendapat rizki di sana dengan
tiada terhingga". (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 765)
Dengan
demikian Islam tidak mendiskriminasikan antara kaum pria dan kaum wanita,
karena Allah akan memberikan pahala yang setimpal kepada siapa saja diantara
hamba-hamba-Nya baik itu dari jenis pria atau wanita, dari keturunan dan suku
mana ia berasal. Dan apabila Allah membedakan antara pria dan wanita tentu hal
ini sangat bertentangan dengan sifat Maha Adilnya Allah.
Adapun
adanya perbedaan antara wanita dan pria adalah karena Allah telah menciptakan
kodrat wanita dan pria memang berbeda. Perbedaan antara pria dan wanita bukan
hanya pada bentuk fisik tetapi juga dalam bidang psikis. Menurut Alexis Carrel,
bahwa perbedaan tersebut berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing
kelamin. (M. Quraisy Syihab, 1997: 310). Dan hal perbedaan ini adalah
semata-mata merupakan simbol kebesaran Allah Yang Maha Tahu atas segala
penciptaan-Nya. Dan oleh karena itu pula maka dalam syariat Islam memberikan
ketetapan hukum yang berbeda berdasarkan kodrat alami yang memang berbeda
antara pria dan wanita.
Haya
binti Mubarok (A.H. Fachrudin, 2001: 173), mengemukakan persamaan dan perbedaan
antara pria dan wanita, yaitu:
1. Persamaan pria dan wanita dalam
Islam adalah:
Ø
Wanita dan pria sama-sama dibebani hukum-hukum syariat,
sekalipun tetap ada perbedaan dalam beberapa hukum yang bersifat detail.
Ø
Wanita sama halnya dengan pria dalam mendapatkan pahala
dan siksa, baik yang bersifat dunia maupun ukhrowi secara keseluruhan.
Ø
Wanita sama dengan pria dalam mendapatkan haknyadan
mendengarkan putusan hakim.
Ø
Wanita sama dengan pria dalam pemilikan harta berikut
penggunaannya.
Ø Wanita
sama dengan pria dalam kebebasan memilih calon pasangan hidup. Jadi wanita
tidak boleh dipaksa menikah dengan pria yang tidak disukainya.
2.
Perbedaan pria dan wanita adalah ;
Ø
Aqiqah bagi anak laki-laki adalah dua ekor kambing, dan
bagi anak perempuan satu ekor.
Ø
Shalat berjamah untuk mayat laki-laki adalah posisi imam
berdiri di kepala mayat, sedang untuk mayat wanita imam berdiri pada posisi
perut.
Ø
Air kencing bayi perempuan yang masih menyusu dan belum
makan suatu makanan, cara
menghilangkannya dengan dicuci, sedangkan pada bayi laki-laki cukup
dipercikkan.
Ø
Bagian waris anak laki-laki dan perempuan berbeda denga
perbandingan 2 : 1.
Ø
Pria boleh kawin sampai empat bila berlaku adil, sedang
wanita tidak boleh lebih dari satu.
Ø
Nilai kesaksian dua orang wanita sama dengan nilai
kesaksian seorang pria.
Ø
Batas aurat wanita adalah keseluruhannya kecuali wajah,
sedang pria adalah pusat perut sampai lutut.
Ø
Wanita dilarang mencukur rambut kepalanya, sedangkan bagi
pria dibolehkan.
Ø
Dalam shalat berjamaah pria dapat menjadi imam untuk
semua jamaah, sedang wanita hanya terbatas untuk jamaah wanita.
Menurut Quraisy Syihab yang mengutip
Mahmud Syaltut (1997 : 298), mengemukakan bahwa :
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana
menganugerahkan kepada lelaki potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul
tanggung jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat melaksanakan aktivitas-aktivitas
yang bersifat umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun
meletakkan keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan membeli,
mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum, menuntut dan menyaksikan, dan
yang itu (perempuan) juga demikian, dapat mrnjual dan membeli, mengawinkan dan
kawin, melanggar dan dihkum, serta menuntut dan menyaksikan".
Menurut Abdullah Nasih Ulwan
(Syaifullah, 1993 ; 290), mengemukakan bahwa kedudukan wanita adalah sama
seperti pria dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syara dan dalam mendapatkan
pahala ukhrowi. Kedudukan wanita dikatakan sama seperti pria di dalam menjalankan
kewajiban-kewajiban syara, karena Islam telah membebani wanita dengan berbagai
kewajiban yang juga dipikulkan kepada pria. Seperti misalnya shalat, puasa,
zakat, haji, menjalankan kebaikan dan keadilanm berjual beli, memerintah
kebaikan, mencegah kemungkaran. Kecuali dalam situasi tertentu yang memang
diperbolehkan.
Sementara
itu menurut Quraisy Syihab (1997 : 307), menyatakan bahwa sebagian ulama
menyimpulkan, Islam membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau
bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar rumahnya secara mandiri,
bersama orang lain, atau dengan lembaga pemerintah maupun swasta, selama
pekerjaan tersebut dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta memelihara
agamanya, dan dapat menghindaarkan dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut
terhadap diri dan lingkungannya.
Pada
masa Nabi SAW dan sahabat, peran kaum ibu (wanita) telah tampak dalam kehidupan bermasyarakat. Nama-nama seperti
Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam
Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam
peperangan. Dalam hadits riwayat Bukhori dari Al-Rabi binti Mu'awwidz (Mujiyo, 1995 : 136), ia berkata : "Kami
ikut berperang bersama Rasulullah SAW; kami menyediakan minuman bagi prajurit
dan pelayanan lainnya serta mengembalikan prajurit yang terbunuh dan yang
terluka ke Madinah". Sedangkan dalam hadits riwayat Muslim dari Ummu
Athiyah Al-Anshariyah, ia berkata : "Saya ikut berperang bersama
Rasulullah SAW sebanyak tujuh kali, saya berada di belakang mereka, di markas.
Saya (bersama wanita lain) membuatkan makanan untuk mereka, mengobati yang
terluka, dan merawat orang yang sakit". (Mujiyo, 1995 : 136)
Di
samping itu, para wanita pada masa Nabi SAW aktif pula dalam berbagai bidang
pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti
Mulhan, yang merias istri Nabi, Shafiyah binti Huyay. Serta ada juga yang
menjadi perawat, bidan, dan sebagainya. Dalam bidang perdagangan misalnya,
tercatat Khadijah binti Khuwailid istri Nabi yang pertama, sebagai wanita yang
sukses dalam bidang berdagang. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar, pernah
datang kepada Nabi meminta petunjuk-petunjuk tentang jual beli. Zainab binti
Jahsy juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil usahanya itu beliau
sedekahkan. Dan Rauithah istri Abdullah bin Mas'ud seorang sahabat Nabi, juga
aktif bekerja karena suami dan anaknya ketika itu tidak mampu mencukupi
kebutuhan hidup keluarga.
Dalam bidang pertanian juga kaum wanita pada zaman Nabi telah ikut
terlibat, seperti diceritakan dalam hadits riwayat Muslim dari Jabir bin
Abdullah (Mujiyo, 1995 : 136), beliau berkata : "Bibiku ditalak suaminya,
ia bermaksud untuk memanen kurmanya (di waktu iddah). Maka ia dilarang oleh seorang
laki-laki keluar dari rumah. Maka ia datang kepada Nabi SAW, maka beliau
berkata : Betul, petiklah kurmamu, sebab barangkali kamu dapat bersedekah
dengannya atau berbuat kebaikan". Sementara itu, Al-Syifa seorang wanita
yang pandai menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar bin Kahttab sebagai petugas
yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian
pula halnya keikutsertaan kaum wanita dalam bidang pendidikan. Mereka memiliki
hak dan kewajiban yang sama untuk belajar seperti halnya kaum pria, karena
ajaran Islam menganjurkan para pemeluknya untuk menuntut ilmu. Sebagaiman sabda
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani :
طلب العلم فريضة
على كلّ مسلم ومسلمة
Artinya:
"Menuntut ilmu itu wajib
bagi setiap muslim
dan muslimat". (Ali Chasan Umar, 1993 : 1)
Menuntut
ilmu adalah hukumnya fardhu ain bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan yang
mukalaf. Karena dengan belajar dan bekal ilmu pengetahuan yang diperoleh maka
diharapkan dapat memahami ajaran agama dan menjalankannya dengan baik dan
benar. Dan dengan belajar pula maka berarti menggunakan potensi akal pikiran
untuk memahami alam semesta.
Maha
suci Allah atas segala penciptaan-Nya, dan apa yang diciptakan-Nya itu
merupakan sumber inspirasi yang tak akan habis-habisnya bagi hamba-hambanya
yang mau berfikir. Dan Allah memberikan kehormatan kepada mereka yang amau
berfikir dengan predikat Ulul Albab, yaitu orang-orang yang mau berfikir
dan berdzikir mengingat kebesaran Allah dalam mengamati fenomena-fenomena
semesta. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 190 :
إِنَّ
فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (ال عمران: 190)
Artinya: "Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal". (Hasby Ash-Shiddiqy,
dkk, 1995: 109)
Mereka
yang dinamai Ulul Albab tidak terbatas pada kaum pria saja tetapi
termasuk pula kaum wanita. Ini berarti bahwa kaum wanita dapat berfikir,
mempelajari, dan mengamalkan serta senantiasa berdzikir kepada Allah dari apa
yang mereka ketahui dari alam raya. Ulul Albab adalah mereka yang
menggunakan ilmu pengetahuannya untuk menambah keimanannya kepada Tuhannya.
Abul A'la Al-Maududi (M. Arifin, 1996 : 123), mengatakan :
"...berbeda dengan seorang
cendekiawan yang kafir, seorang cendekiawan Muslim menggunakan ilmu
pengetahuannya dan kecerdasannya untuk mengenal Tuhannya, memantapkan
keimanannya kepada Tuhannya, dan tanpa ada rasa paksaan ia memilih jalan
berbakti kepada-Nya. Ia tidak akan salah membedakan antara yang haq dan yang
batal, dan ia memilih yang haq meskipun ia mempunyai kecendrungan ke arah yang
sesat. Ia menyadari tentang kejadian alaminya hukum-hukum dan realitas alami srta
mengesampingkan kemampuan dan kebebasan mengambil jalan apapun; Ia tetap
mengambil jalan berbakti kepada Tuhannya. Dia berhasil lulus dalam ujian,
karena ia menggunakan kecerdasannya dan semua kemampuannya secara tepat guna.
Makin dalam pemikirannya terhadap dunia ilmu pengetahuan, makin kuat imannya
kepada Tuhan; Ia bersujud syukur kepada Tuhannya. Ia merasa bahwa Tuhannya
telah memberikan karunia kepadanya kekuatan dan ilmu pengetahuan sehingga ia
harus merasa berderma baktikan diri
pribadinya untuk kebaikan dirinya sendiri dan kebaikan sesama manusia".
Penegetahuan tentang alam raya
tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, sehingga dapat dipahami bahwa
wanita pun bebas untuk mempelajari apa saja, sesuai dengan keinginannya dan
kecenderungan masing-masing.
Para
wanita di zaman Nabi SAW menyadari benar akan kewajibannya menuntut ilmu,
sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia menyisihkan waktu
tertentu untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Sejarah membuktikan
bahwa tidak sedikit wanita yang menonjol dalam berbagai ilmu pengetahuan.
Aisyah, istri Nabi SAW misalnya adalahsalah seorang yang mempunyai pengetahuan
sangat dalam yang termasyhur sebagai ahli hadits dan seorang kritikus. Demikian
juga As-Sayyidah Sakinah putri Husein bin Ali bin Abi Thalib, kemudian
Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar Fakhr Al-Nisa (kebanggan wanita)
adalah salah seorang guru imam Syafi'i, tokoh madzhab yang
pandangan-pandangannya menjadi anutan umat Islam di seluruh dunia. Demikian
juga Ibnu Arabi yang dikenal sebagai Syeikh Al-Akbar, dua guru utamanya
pun adalah wanita.
Demikianlah
bahwa kaum ibu (wanita) sebagai seorang manusia dapat melakukan aktivitas dan
belajar, sama seperti halnya kaum pria, karena Allah telah menganugerahkan
poensi dan kemampuan yang cukup kepada kaum wanita untuk memikul tanggungjawab
sebagaimana halnya kepada kaum pria. Wanita sama seperti pria dibebani
ketetapan hukum syara, da wanita pun sama seperti pria dalam memperoleh pahala
dan siksa.
B.
Kewajiban Ibu dalam Fungsinya Sebagai Istri
Seorang wanita yang menjalani fungsinya
sebagai seorang istri, hendaknya menempatkan dirinya sebagai belahan jiwa (garwo/sigaraning
nyowo) dari suaminya, yaitu mempunyai rasa tanggungjawab bersama terhadap
pembinaan rumahtangganya. Seia sekata, searah dan setujuan, serta senasib dan
sepenanggungan. Sikap yang demikian menjadi modal dasar bagi pembentukan
kehidupan rumahtangga yang utuh dan bahagia.
Seorang
istri harus senantiasa menyenangkan suaminya dengan menghindarkan sikap-sikap
yang tidak berkenan bagi suaminya. Sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ath-Thabrani :
خير النساء من
تسرّك اذا أبصرت وتطيعك اذا امرت وتحفظ غيبتك فىنفسهماومالك. (رواه الطبرانى)
Artinya: "Sebaik-baiknya
istri ialah orang yang dapat
menghibur hatimu
dan menyenangkannya apabila kamu memandanginya, ia taat kepadamu jika
kamu perintah, dan ia jaga dirinya serta hartamu sewaktu kamu pergi".
(Hadiyah Salim, 1988 : 11)
Oleh karena itu seorang istri dalam menjaga dirinya hendaknya tidak keluar
tanpa adanya suatu hajat. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan
Al-Bazzar dari ibn Mas'ud, Rasulullah SAW., bersabda:
ان الموأة عورة فإذاخرجت من بيتهااستشر
فهاالشيطان وأقرب ماتكون من رحمة ربهاوهي فى قعر بيتها (رواه الترمذ والبزر)
Artinya: "Sesungguhnya wanita
itu sendiri adalah aurat. Maka apabila ia
keluar dari rumahnya ia di intai oleh setan. Dan wanita yang paling dekat
kepada rahmat Tuhannya ialah ketika ia berada dalam rumahnya". (Bahrun
Abu Bakar, Juz 22, 1999: 7)
Fiman Allah dalam Al-Qur'an surat
Al-Ahzab ayat 33:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى (الاحزب: 33)
Artinya:
"dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu". (Hasby
Ash-Shiddiqy, dkk., 1995: 672)
Menurut Islam
seorang wanita yang telah bersuami maupun belum, dilarang bersolek untuk
laki-laki lain dengan maksud menarik laki-laki, mencari perhatian orang lain,
yang sifatnya membangkitkan birahi. Seorang wanita (istri) yang bersoleh bukan
karena dorongan untuk menyenangkan suaminya, tetapi karena ingin mencari
perhatian orang lain, menurut Islam hal ini di sebut dengan tabarruj,
maksudnya adalah seorang wanita (istri) yang menampakkan kecantikan dan memikat
laki-laki lain yang bukan mukhrimnya tanpa rasa malu.
Bagi seorang istri, suami adalah
ibarat Tuhan Metaforis di dunia. Oleh karena itu seorang istri wajib taat dan
patuh terhadap setiap perintah suaminya selama tidak melanggar perintah agama.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad :
لايصلح لبشر ان يسجد لبشر ولوصلح لبشر ان يسجد لبشرلأمرت
المرأة ان تسجد لزوجهالعظم حقّه عليها (رواه احمد) .
Artinya : "Tidak pantas seorang
manusia sujud kepada manusia, sekiranya
pantas manusia sujud kepada manusia yang lainnya niscaya aku perintahkan
perempuan-perempuan sujud kepada suaminya, sebab sangat besar hak seorang suami
atas istrinya ". (Sabil Huda, 1994 : 232)
Sebagai seorang istri yang baik hendaknya ia
selalu menghargai jerih payah suaminya, jangan sekali-kali menghilangkan
kebaikan-kebaikan suami terhadap dirinya. Istri jangan selalu mengajukan
permintaan kepada suami supaya dibelikan barang-barang perhiasan yang berharga,
tetapi harus mengukur kemampuan suaminya. Bila suami korupsi untuk memenuhi
kehendak istrinya atau melakukan perbuatan terlarang lainnya, maka dengan
begitu istri telah menjerumuskan suaminya.
Sebagai seorang istri, ia harus
senantiasa bersikap baik terhadap suaminya dan menjalani kewajibannya sebagai
istri kepada suaminya. Kewajiban seorang istri kepada suaminya menurut Hadiyah
Salim (1988 : 26 – 28), yaitu antara lain:
a. Taat dan patuh terhadap suaminya mengingat tanggungjawab
yang besar karena suami itu pemimpin istri.
b.
Memperlihatkan budi yang baik terhadap suaminya.
c. Dapat mengatur rumah tangganya dengan rapi, pandai
bersolek sehingga suami tidak bosan melihatnya, dan pandai mendidik
anak-anaknya.
d.
Jangan menambah kesulitan suami, sebaliknya istri harus
pandai mengambil hati suaminya ketika dalam kesempitan.
e.
Hemat, cermat, dan rajin serta pandai menyimpan.
Sikap atau akhlak seorang istri
kepada suaminya menurut Haya binti Mubarok (A.H Fachrudin, 2001 : 126-128),
hendaknya adalah:
a.
Wajib mentaati suaminya, selama bukan untuk bermaksiat
kepada Allah.
b.
Menjaga kehormatan dan harta suami.
c.
Menjaga kemuliaan dan perasaan suami.
d.
Melaksanakan hak suami, mengatur rumah dan mendidik anak.
e.
Tidak boleh seorang istri menerima tamu yang tidak
disenangi suaminya.
f.
Seorang istri tidak boleh melawan suaminya, baik dengan
kata-kata membentak, maupun dengan sikap sombong.
g.
Tidak boleh membanggakan sesuatu tentang diri dan
keluarganya dihadapan suami, baik kekayaan, keturunan, ataupun kecantikannya.
h.
Tidak boleh menilai dan menganggap bodoh suaminya.
i.
Tidak boleh menuduh kesalahan atau mendakwa suaminya
tanpa bukti dan saksi-saksi.
j.
Tidak boleh menjelek-jelekkan keluarga suami.
k.
Tidak boleh menunjukkan pertentangan dihadapan anak-anak.
l.
Apabila melepas suami bekerja, lepaskanlah suami dengan
sikap kasih. Dan apabila menerima suami pulang bekerja, sambutlah dengan muka
manis, pakaian bersih dan berhias.
m.
Setiap istri harus dapat mempersiapkan keperluan makan,
minum dan pakaian suaminya.
n.
Seorang istri harus pandai mengatur dan mengerjakan
tugas-tugas rumahtangganya.
Seorang istri sebagai ibu rumah
tangga berperan menjadikan rumah itu sebagai tempat yang menyenangkan dan
menentramkan seluruh anggotanya. Maka dari itu keluarga yang harmonis, penuh
rasa cinta, damai, sehingga rumah ibarat syurga bagi penghuninya, adalah tidak
lepas dari keberadaan seorang ibu dalam fungsinya sebagai seorang istri.
Namun demikian bahwa dalam sebuah
keluarga bukan hanya seeorang istri yang memberikan kewajibannya atau bersikap
yang baik kepada suaminya, tetapi seorang suamipun harus memberikan
kewajibannya kepada istrinya. Kewajiban tersebut menurut Hadiyah Salim (1988 :
22-26) adalah antara lain:
a.
Menaruh perhatian terhadap istrinya dengan tanggungjawab
penuh, menjaga kehormatannya, nama baik istri dan keluarganya, jika perlu turut
membantu pekerjaan istri.
b.
Mempergauli istri dengan baik dan penuh rasa kasih
sayang.
c.
Jangan mengeluarkan kata-kata yang menyinggung
perasaannya, dan umumnya wanita bersifat perasa dan cepat tersinggung.
d.
Jangan memberikan pekerjaan diluar batas kemampuan istri,
seperti harus mencari nafkah sehingga suami bekerja sesuka hatinya.
e.
Mencukupkan belanja rumah tangga menurut kadar
kekuatannya.
f.
Berusaha meningkatkan ilmu pengetahuan istrinya, terutama
ilmu pengetahuan agama.
g.
Memberi kesempatan kepada istrinya untuk menengok atau
bersilaturahmi kepada orang tua atau keluarganya.
h.
Berlapang dada dan bersabar menghadapi kekurangan yang
ada pada istrinya.
i.
Berdandan yang bersih dan rapih dihadapan istrinya.
Sedangkan menurut Haya binti Mbarak
(2001 : 102-103), sikap seorang suami terhadap istrinya hendaknya adalah:
a.
Membayar mahar istrinya dengan sempurna.
b.
Melapangkan nafkah istri dengan tidak bakhil dan tidak
berlebihan.
c.
Memperlakukan istri dengan baik, mesra dan lemah lembut.
d.
Meminta pendapat istri dalam urusan rumah tangga dan
anak-anaknya.
e.
Bersenda gurau dengan istri tanpa berlebihan.
f.
Memaafkan kekurangan istri dan berterimakasih atas
kelebihannya.
g.
Berpenampilan bersih, rapi, dan wangi dihadapan istri.
h.
Membantu istri dalam tugas-tugas rumah tangga yang kadang
tidak tertangani.
i.
Meringankan pekerjaan istri dengan seorang pembantu bila
berkesanggupan.
j.
Meringankan pekerjaan istri dengan perabot dapur dan
rumah tangga yang memadai bila berkesanggupan.
k.
Menempatkan istri di tempat tinggal yang tidak bercampur
dengan saudara ipar laki-laki.
l.
Memerintahkan istri berbusana muslimah bila keluar rumah.
m.
Menemani istri bila bepergian.
n.
Tidak menyiarkan rahasia suami istri.
o.
Menjaga istri dari segala hal yang dapat menimbulkan
fitnah kepadanya.
p.
Tidak membawa istri ke tempat-tempat maksiat.
q.
Memberi peringatan dan bimbingan yang baik bila istri
lalai dari kewajibannya.
r.
Bila sampai harus memukul istri karena alasan yang
syar'i, maka jangan memukul wajahnya dan anggota tubuh yang dapat mengakibatkan
kerusakan atau berbekas.
s.
Memuliakan dan menghubungkan silaturahmi kekpada orang
tua dan keluarga istri.
t.
Memanggil istri dengan panggilan kesayangannya.
u.
Bekerjasama dengan istri dalam taat kepada Allah SWT.
Kewajiban antara suami dan istri
tersebut merupakan sebuah komitmen bersama yang sifatnya menerima dan memberi (take
and give), serta sebagai jalinan perekat dalam membangun keharmonisan rumah
tangga. Maka bagi seorang wanita dalam fungsinya sebagai seorang istri
hendaklah menjadi istri yang shaleh, sebagaimana sabda Nabi SAW dalam hadits
riwayat Muslim:
ا لد نيا متاع
وخيرمتاعهاالموأةالصالحة (رواه مسلم )
Artinya : "
Dunia itu mempunyai
perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah perempuan yang shaleh (perempuan
yang baik agamanya, rumah tangganya dan pergaulannya)". (Hadiyah Salim, 1988 : 13)
Bagi seorang pria salah satu
kesuksesan hidupnya adalah dia mempunyai istri yang shaleh, dan merupakan harta
simpanan yang sangat berharga bagi dirinya di dunia dan akhirat. Oleh karena
itu maka bagi seorang suami hendaklah pula berusaha menjadi suami yang baik. Sabda
Nabi SAW dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Assakir:
خيركم لاهله
واناخيركم لاهلى. مااكرم اانساءالاكريم
ولااهانهن الالئيم ( رواه ا بن عساكير )
Artinya: "Orang
yang paling baik diantara kamu adalah
orang yang paling
baik kepada ahlinya, dan aku ini orang yang paling baik diantara kamu
kepada isi rumahku. Hanya orang yang mulia perangainya yang memuliakan wanita
dan hanya orang yang hina perangainya yang merendahkan wanita" (Sabil
Huda, 1994 : 212)
Maka bagi seorang suami sebagai
kepala keluarga muslim hendaknya membimbing dan mengarahkan keluarganya baik
istri maupun anak-anaknya sesuai dengan ajaran-ajaran islam. Jangan sampai
istri dan anak-anak menjadi bumerang atau fitnah bagi dirinya. Karena sebagai
kepala keluarga ia akan dituntut atau dimintai pertanggungjawabannya atas
kepemimpinannya, dan sebagai kepala keluarga untuk menjaga dirinya dan
keluarganya dari api neraka.
C.
Kewajiban Ibu dalam Pendidikan Anak
Seorang wanita dalam kehidupan anak
maka ia berarti berfungsi sebagai ibu bagi anak-anaknya. Ia yang mengandung,
melahirkan dan mengasuhnya. Firman Allah dalam Al-Qur'an surat Luqman ayat 14:
حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ (القمان: 14)
Artinya: "Ibunya
telah mengandung dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam
dua tahun". (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 654)
Firman Allah dalam Al-Qur'an surat
Al-Ahqaf ayat 15:
حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ
ثَلَاثُونَ شَهْرًا (الأحقاف: 15)
Artinya: "Ibunya
telah mengandungnya dengan susah
payah dan melahirkannya dengan susah payah pula, serta
mengandungnya dan menyapihnya dalam tiga puluh bulan". (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 824)
Menurut Said Ahtar Radhawi (Alwiyah,
1998 : 118), bahwa seorang wanita dalam fungsinya sebagai seorang ibu harus
melewati empat tahapan, yaitu mengandung, melahirkan, menyusui dan membesarkan
anak-anaknya dengan baik. Ia mendapat ganjaran dalam setiap tahapnya. Pada
tahapan pertama, ketika mengandung maka selama kehamilannya disamakan dengan
seorang yang terus menerus berpuasa, bersembahyang dan berjihad dengan jiwa dan
kekayaan dijalan Allah. Tahapan kedua, ketika melahirkan ia mendapat ganjaran
yang melimpah. Tahapan ketiga, ketika menyusui ia mendapat ganjaran seperti
orang yang memerdekakan seorang budak setiap kali menyusui. Tahapan keempat,
memelihara anak dengan baik.
Beban
seorang ibu dalam memikul dan memelihara anak-anaknya lebih banyak daripada
ayahnya, karena ibu mengandung, melahirkan, menyusui, dan merawatnya. Sedangkan
ayah hanya memberikan nafkah bagi kebutuhan keduanya. Jika dibandingkan beban
ibu dalam merawat anak-anaknya, maka ibu lebih banyak tiga kali lipat.
Allah
menjelaskan lama seorang anak terikat dengan ibunya dengan menyebutkan
tahap-tahapnya yaitu mengandung, melahirkan, menyusui, dan menyapihnya selama
tiga puluh bulan. Ikatan yang begitu lama antara ibu dan anak secara fisik dan
psikis memberikan dampak emosional kepada anak pada masa-masa selanjutnya.
Sejak lahir hingga tiga puluh bulan kemudian anak tergantung pada ibunya dalam
urusan makan, minum, perlindungan, kebersihan, ataupun komunikasi dengan
dirinya.
Allah
telah membuat perasaan wanita lebih peka daripada pria karena hal ini berkaitan
dengan peran untuknya yaitu sebagai seorang ibu. Said Athar Radhawi yang
mengutip Kenneth Walker (Alwiyah, 1998 : 98), mengatakan :
"Agar berhasil dalam dunianya, wanita
telah dilengkapi dengan kepekaan terhadap rangsangan efektif, lebih besar
daripada pria. Ia melihat kehidupan melalui perasaannya dan secara emosional ia
mendapat lebih banyak kebenaran daripada seorang pria yang sudah berusaha keras
mendapatkannya lewat media pikirannya".
Secara
emosional seorang ibu lebih besar kasih sayangnya kepada anak-anaknya daripada
seorang ayah. Karena seoranng ibu telah memberikan lebih banyak pengorbanan
bagi anak-anaknya. Ibu mengorbankan nyawanya bila gagal dalam melahirkan
bayinya, sedangkan ayah tidak mengalami hal itu. Faktor-faktor ini telah
menjadikan setiap anak secara fitrah mempunyai kecenderungan lebih dekat dengan
ibunya daripada dengan ayahnya.
Bagi
ibu dan ayah sangat berguna memahami fitrah anak semacam ini dalam membina dan
memberi bimbingan kepada anak. Para ibu dan ayah dapat mengambil peran sesuai
dengan kedudukannya masing-masing.
Sebagai
seorang ibu dari anak-anaknya maka diharapkan ibu memberi bimbingan dengan
lemah lembut dan penuh perasaan. Sedangkan ayah maka bagi anak-anaknya lebih
mengharapkan bimbingan yang lugas dan rasional.
Hal
terpenting dari seorang ibu selain merawat anaknya, yaitu bahwa ia juga adalah
orang yang menjadi pendidik pertama bagi anaknya. Ibu menjadi pendidik pertama anak sejak anak masih berada
dalam kandungannya. Hal ini karena rahim ibu tidak saja berfungsi untuk
memberikan gizi pada janin, tetapi juga semacam transmisi pendidikan. Di mana
pendidikan yang diterima anak di dalam rahim bersifat terpusat (top down),
karena anak secara pasif menerima pembelajaran dari perbuatan orang tua
terutama ibunya.
Rahim
yang berfungsi untuk memberi gizi pada janin, maka oleh karena itu bagi ibu
yang sedang hamil harus mengkonsumsi makanan yang bergizi, karena pada saat itu
makanan yang dikonsumsi ibu akan diserap pula oleh janin dalam kandunganya. Namun
dalam Islam bahwa makanan yang dikonsumsi haruslah makanan yang halal dan baik (halalan
toyyiban). Sebagaimana
Firman Allah dalam Al-Qur'an ayat 168 :
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي
الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ (البقرة: 168)
Artinya
: "Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesunggauhnya syatan itu adalah musuh
yang nyata bagimu"(Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 41).
Halal yang
dimaksud adalah halal dalam zatnya, yaitu bioleh dimakan menurut ajaran Islam.
Juga halal dalam cara memperolahnya, yaitu menurut jalan yang wajar dan syah
menurut ajaran Islam. Sedangkan makanan yang baik adalah makanan yang
berkhasiat, menumbuhkan, menyuburkan, menguatkan badan, makanan yang bergizi,
kadang yang tidak mendatangkan kerusakan pada tubuh, akal dan jiwa.
Dengan
mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, maka bukan hanya tubuh menjadi sehat
dan kuat tetapi juga berpengaruh pada kesehatan mental dan rohani. Memakan
makanan yang haram dan tidak baik selain merusak tubuh juga merusak kesucian
jiwa, budi pekerti dan tingkah laku.
Dalam ayat lain
perintah memakan makanan yang baik disambung dengan perintah mengajrkan
perbuatan yang baik. Firman Allah, Al-Qur'an surat Al-Mu'minun ayat 51 :
يَاأَيُّهَا
الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا
تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (البقرة: 51)
Artinya:
Hai Rasulullah, makalah dari makanan
yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh, sesungguhnya Aku Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan (Hasby Ash-Shiddiqy, dkk, 1995: 532).
Perintah
mengkonsumsi makanan yang baik diiringi dengan perintah mengajarkan perbuatan
baik, memberikan pengertian bahwa atara makanan dan perilaku mempunyai hubungan
dan pengaruh satu sama lain. Hal ini karena memanglah makanan yang haram
mengundang perbuatan haram dan merusak perbuatan baik.
Pengaruh makanan
haram pada janin, maka dapat berdampak pada kehidupan anak setelah ia lahir.
Untuk memberikan gambaran tentang hal ini kita dapat mengambil sebuah fakta
kehidupan dari kisah seorang ayah Maula Muhammad Taqi Isfahani yang terkenal
dengan al-Allamah al-Majlisi al-Awwall, dan seorang putranya Maula Muhammad
Bagir bin Muhammad Taqi al-Majlisi, yang dikenal dengan sebutan al-Allamah
al-Majlisi Ats-Tsani.
Al-Majlis al-Awwal
adalah seorang alim terkemuka, analisis yang dalam ilmunya, Zahid, abid (ahli
ibadah), tsiqah, teolog, faqih dan muhaddist. Memiliki
karya-karya dalam bahasa Arab dan Persia, dan memiliki putra-putri yang
terkemuka dan yang paling terkenal adalah al-Majlisi Ats-Tsani.
Sedangkan
Al-Allamah al-Majlisi Ats-Tsani adalah seorang ulama terkemuka, memiliki banyak
murid, dan memiliki kitab-kitab yang ditulis dari seluruh penjuru Negara Islam,
memiliki karya-karya berbahasa Arab dan Persia, dan yang terkenal karyanya
adala Ensklopedia yang dikenal dengan Bihar al-Anwar, yang memiliki 110
jilid kitab.
Kisah itu menceritakan pada saat usia al-Allamah al-Majlisi ats-Tsani
kurang dari tujuh tahun. Pada suatu hari al-Majlisi ats-Tsani tidak ikut masuk
mesjid bersama ayahnya, tetapi hanya bermain di halaman. Dan disitu terdapat girbah
(tempat air yang terbuat dari kulit) milik seorang laki-laki yang bekerja
memberikan minum. Al-Majlisi ats-Tsani menemukan sebuah jarum dan memasukannya
pada girbah, hingga airnya tumpah dan habis di tanah.
Lelaki pemilik qibah tersebut datang dan melihat girbah-nya berlubang
dan airnya tumpah. Kemudian diketahui bahwa pelakunya adalah Al-Majlisi
ats-Tsani. Beritapun menyebar sehingga terdengar oleh Al-Majlisi Al-Awwal.
Al-Majlisi al-Awwal merasa bahwa dirinya telah menjaga dari makanan haram
dan memelihara tata cara syariat. Kemudian ia menanyakan kepada istrinya tentang perbuatan
yang telah dilakukannya. Kemudian istrinya mengakui kesalahannya dan teringat
akan perbuatannya ia berkata:
"Ketika saya mengandung anak itu, saya pergi untuk suatu pekerjaan ke
rumah tetangga-tetangga. Sewaktu saya pulang dan melewati rumah mereka,
terdapat sebuah pohon anggur, maka saya berhasrat untuk memetik salah satu
anggur yang saya kira masam. Wanita hamil seperti saya berhasrat sekali
terhadap yang masam-masam. Lantaran itu saya lubangi anggur itu yang masih
tetap berada di pohonnya dengan sebuah jarum yang saya miliki, lalu saya hisap
sedikit. Saya perhatikan ternyata rasanya manis, maka saya tinggalkan anggur
itu dan pulang ke rumah. Saya tidak memberitah tetangga saya pemilik rumah itu
dan tidak meminta izin kepadanya atas perlakuan saya." (S. Abdillah
Assegaf, 1999: 73).
Kisah ini memberikan pelajaran besar, sebab bagaimana satu hisapan dari
sebuah anggur milik tetangga tanpa ada izinnya, berpengaruh besar terhadap
janin yang dikandung dalam perut istri Al-Allamah al-Majlisi al-Awwal ini. Dan
pengaruh ini praktis berpindah pada perilaku anaknya, AL-Allamah al-Majlisi
ats-Tsani, yang perlakuannya mirip dengan perlakuan ibunya sewaktu
mengandungnya.
Disamping itu rahim yang juga berfungsi sebagai transmisi pendidikan, maka
kondisi kejiwaan ibu hamil, baik itu saat labil maupun stabil, serta sikap atau
tingkah laku keseharian ibu berpengaruh pula pada janin yang dikandungnya.
Oleh karena itu maka seoran ibu yang sedang hamil, hendaknya pula
menghindarkan dari emosi ataupun fanatisme yang berlebihan, serta kesedihan
yang berlarut-larut. Sebab semua kondisi kejiwaan ini akan melekat pada janin
dan meninggalkan pengaruhnya.
Masa kehamilan adalah masa yang sensitif, dimana emosional ibu hamil
meninggalkan pengaruhnya secara langsung terhadap pembentukan tubuh dan jiwa
janin secara buruk. Kondisi-kondisi goncangan jiwa seorang ibu meninggalkan
pengaruhnya yang dalam terhadap pembentukan jiwa anak ketika lahir, sehingga
potensi-potensi kejiwaan yang lurus terampas.
Apabila ibu dalam keadaan hamil namun kemudian menjadi tempat persemaian
kesedihan, emosi jiwa, khususnya yang timbul dari hal-hal remeh dan sederhana,
yang tercermin dari problema-problema kehidupan keseharian dan kebiasaan serta
situasi rumah tangga, maka kehidupannya berujung pada stagnasi dan statis, yang
pada gilirannya berpengaruh pada aktivitas janin yang berada dalam perutnya.
Kesedihan amarah dan terus menerus berduka, tidaklah akan mengantar kepada
penyelesaian problem apapun, yang terjadi justru sebaliknya akan menambah
permasalahan dan pengaruh-pengaruh negatif.
Maka seorang wanita muslimah yang sedang dalam keadaan hamil, tidak boleh
menjadi tawanan tekanan-tekanan jiwanya. Sebaliknya ia mesti menguatkan
hubungannya dengan Allah, berdoa, bertawakal, dan sebagai ibu yang sedang
mengandung anaknya maka ia adalah bagaikan orang yang berada di garis depan
dari medan perang di jalan Allah.
Dan apabila ia sedang bergembira, maka hendaknya kesenangan itu tidak
melupakan dirinya, tetapi bersyukur kepada Allah atas kenikmatan yang
diberikan-Nya pada dirinya. Karena hal itu mendidik janin dalam kandungan agar
senantiasa bersyukur dan tidak lupa akan nikmat-nikmat Allah.
Demikian juga menyangkut sikap atau perilaku keseharian ibu, maka
intensitas keseharian ibu dapat lebih ditingkatkan pada saat kehamilannya.
Seperti memperbanyak membaca Al-Qur'an, shalat malam, shadaqah, mempelajari
ilmu-ilmu agama dan perbuatan-perbuatan yang mengandung keutamaan. Maka
perilaku ibu tersebut berarti ia tengah memberikan pendidikan yang baik kepada
anak yang dikandungnya.
Seorang ibu hamil juga harus menjauhkan sifat-sifat yang tercela seperti
menggunjing, dengki, iri hati serta perbuatan-perbuatan maksiat. Karena hal
tersebut dapat memberikan noktah hitam pada janin, yang berarti memberikan
pendidikan yang buruk bagi janin yang dikandungnya.
Sedangkan pada saat anak masih kecil, misalnya pada masa kanak-kanak awal.
Maka hendaknya seorang ibu sebagai pendidik anak, menanamkan sikap yang baik,
memberikan perhatian dan kasih sayang, melatih anak berdisiplin, dan menanamkan
nilai-nilai moral agama. Karena anak akan meniru sikap atau perilaku dari
ibunya,
Dalam memberi pendidikan kepada anak hendaknya seorang ibu jangan terlalu
ketat dan jangan pula terlalu membiarkan anak menjadi manja. Anak yang mendapat
sikap yang terlalu ketat dari ibunya maka mereka tumbuh dengan mental yang down,
anak akan kehilangan harga diri, menjadi minder dalam bergaul, dan kehilangan
keyakinan pada dirinya sendiri. Begitu juga anak yang terlalu bebas, maka ia
akan tumbuh menjadi remaja yang nakal dan membingungkan orang tua.
Seorang ibu karena kasih sayangnya yang berlebihan terhadap anak, maka
cenderung membiarkan anak jika melakukan kesalahan. Akibatnya anak bersikap
kepala batu bila diberi peringatan. Seharusnya ibu tidak pula bersikap
demikian, karena membiarkan anak melakukan kesalahan bukanlah sikap kasih
saying kepadanya, melaikan akan menjadikan anak terbiasa berbuat kesalahan.
Seharusnya seorang ibu menegur anak dan memberikan petunjuk bagaimana cara
memperbaikinya.
Dengan demikian peran
ibu dalam kehidupan anak sebagai orang yang merawat perkembangannya serta
sebagai lingkungan pendidikan pertama bagi anak sangat berkaitan erat, karena
ibu dalam merawat perkembangan anak maka secara otomatis ibu juga tengah
memberikan pendidikan kepada anak, baik itu secara sengaja maupun tidak
sengaja. Dengan demikian dalam rumahtangga dibutuhkan seorang ibu selain yang
akan merawat anaknya juga mendidik anak-anaknya dengan baik, karena sebetulnya
seorang ibu adalah pendidik pertama dan utama bagi pendidikan anaknya, yang
dapat memberikan pengaruh menentukan bagi intelektualitas, mentalitas, maupun spiritualitas
anak.
Setiap ibu harus menyadari bahwa mendidik anaknya itu berarti mempersiapkan
lahirnya satu generasi umat yang akan mengisi dan menetukan kehidupan
masyarakat pada masa mendatang. Seorang ibu yang telah memberikan pendidikan
yang baik terhadap anaknya itu, berarti dia telah ikut menyelamatkan kehidupan
suatu bangsa, dan telah membangun suatu landasan yang fundamental terhadap
bangunan kehidupan suatu masyarakat yang kokoh dan kuat
Dengan demikian bahwa fungsi wanita sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya
itu sangat penting dalam menentukan kehidupan anak itu sendiri maupun bagi umat
dan bangsa. Oleh karena itu menjadi hal yang sangat penting artinya
mempersiapkan sosok seorang wanita yang akan menjadi ibu bagi anak-anaknya itu.
Dalam hal ini penyair Hafidz Beik Ibrahim mengatakan :
الأمّ مدرسة اذااعددتها اعددت شعباطيّب الأعراق
Artinya : "Ibu adalah suatu sekolah, bila
dipersiapkan dapat membentuk bangsa yang baik dan kuat".
(H. Bustami, 1993 : 133)
Maka
dalam hal ini andil seorang ayah bagi pendidikan anak-anaknya adalah memilihkan
wanita yang baik, karena hal itu adalah merupakan hak anak dari seorang ayah,
serta memberikan nama yang baik baginya karena pemberian nama pun dapat
mempengaruhi kejiwaan anak itu sendiri. Khalifah Umar bin Khattab mengatakan :
"Hak seorang anak pertama kali adalah mendapatkan seorang ibu yang sesuai
dengan pilihannya, kemudian wanita yang akan melahirkannya, yaitu seorang
wanita yang memiliki kecantikan, terhormat, beragama kuat, yang menjaga diri,
berakal, dan berakhlak baik".(Kuswandani,1999: 44)
Jadi
bahwa perhatian terhadap pendidikan anak-anak telah dimulai semenjak seorang
pria menetapkan pilhannya terhadap seorang wanita yang akan menjadi ibu bagi
anak-anaknya, dan itu merupakan sebagai bentuk persiapan awal dalam pemberian
pendidikan kepada anak. Ini disebabkan karena ibu memegang peran yang cukup
signifikan dalam kehidupan anak. Ibu harus menjadi Imadul Bilad, yakni
soko guru atau tiang kehidupan negara, untuk melahirkan satu generasi umat
serta bangsa yang baik. Dan ibu juga harus dapat membukakan pintu syurga bagi
anak-anaknya karena pada hakikatnya syurga itu berada di bawah telapak kaki
ibu.
A. Pengertian Anak
Seorang anak terlahir karena adanya suatu perkawinan. Dalam Islam
perkawianan merupakan perbuatan yang mulia karena telah diwajibkan oleh Allah
dan Rasul-Nya. Dengan perkawinan maka kehormatan manusia terpelihara karena
keturunannya menjadi syah, menjaga dekandensi moral, terjauhkan dari perzinahan
dan penyakit, serta memberikan ketentraman jiwa
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan anak adalah : Keturunan yang
kedua; Manusia yang masih kecil. (Depdikbud, 1996 : 35)
Sedangkan
kaitannya dengan masa prasekolah, maka yang dimaksud dengan anak prasekolah
menurut Biechler dan Snowman adalah mereka yang berusia antara 3-6 tahun.
Mereka biasanya mengikuti program prasekolah. (Soemiarti Patmonodewo, 2000 :
19)
Sementara
itu ada beberapa pandangan mengenai anak seperti yang diungkapkan oleh Barbara
dan Philip Newman dalam Soemiarti Patmonodewo (2000 : 49), yaitu :
1. Tanaman yang Tumbuh
Pandangan
ini menganggap anak sebagai tanaman yang sedang tumbuh. Pendidik atau orangtua
adalah sebagai tukang kebun, sedangkan sekolah ibarat rumah kaca di mana anak
tumbuh dan matang sesuai pola pertumbuhan yang wajar.
Suatu
konsekuensi yang alami dari petumbuhan dan kematangan merupakan batangan (unfold)
anak, banyak miripnya dengan mengembangkan bunga di bawah kondisi yang tepat.
Dengan kata lain, apa yang terjadi pada anak tergantung pada pertumbuhan yang
terjadi pada anak serta lingkungan yang memberikan perawatan. Kata kunci dari
peristiwa ini adalah kegiatan bermain dan unfolding adalah kegiatan
bermain dan kesiapan dalam kegiatan bermain dan materi serta aktivitas
dirancang untuk kegiatan bermain.
Anak
yang siap untuk belajar adalah melalui pemberian motivasi dan bermain. Apabila
anak siap untuk belajar melalui pemberian motivasi dan permainan, maka anak
siap untuk dikembangkan keterampilannya dan anak dapat menarik keuntungan dari
instruksi yang tepat. Namun apabila anak belum siap belajar berarati anak belum
matang dan proses unfolding yang alami belum terjadi.
2. Anak sebagai Milik
Pandangan
ini menganggap bahwa anak adalah milik orangtua atau instansi. Orangtua
mempunyai hak atas diri anak, oleh karena itu orangtua seringkali menganggap
bahwa mereka boleh melakukan apa saja terhadap anaknya, kaena berpendapat bahwa
anak adalah miliknya. Namun perlu diingat bahwa hukum melindungi hak-hak anak
dari hukuman fisik dan perlakuan salah. Orangtua harus memasukan anak ke
sekolah sesuai dengan undang-undang wajib belajar bagi anak.
3. Anak sebagai Investasi untuk Masa Depan
Pandangan ini berkaitan erat dengan pandangan
anak sebagai hak milik orangtua. Pandangan ini menganggap anak adalah sebagai
pengganti orangtua dan merupakan investasi masa depan keluaarga dan bangsa.
Oleh karena itu di beberapa negara bagian di
Amerika melakukan berbagai pencegahan guna menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan pada anak-anaknya. Para orangtua menyadari bahwa mencegah adalah
lebih baik daripada memperbaiki atau mengobati. Apabila pencegahan dilakukan
sejak awal dari kehidupan anak, maka biayanya jauh lebih murah bila pencgahan
baru dilakukan pada usia sekolah atau reaja. Oleh karena itu di negara-negara
bagian Amerika, timbul berbagai program yang berlatar belakang pentingnya anak
sebagai investasi. Program yang dikenal berdasarkan pandangan anak sebagai
investasi adalah Head Start dan Follow Trough. Umumnya program
tersebut berpandangan bahwa investasi yang paling berharga bagi negara adalah
anak-anak.
Dalam
mendidik anak, orangtua tentunya memiliki pandangan terhadap anak-anaknya, hal
ini tentunya akan memberikan corak dalam pengasuhan anak sesuai dengan cara
pandang yang dianutnya.
Dalam
pandangan Islam anak adalah rahmat dan amanat dari Allah SWT bagi orangtuanya.
Sebagaiman firman Allah dalam Al-Qur'an surat As-Syura ayat 49 :
لله ملك السموت والارض
يخلق مايشاء يهب لمن يشاء اناثاويهب لمن يشاءالذكور. (الشورى :
)
Artinya : "Kepunyaan
Allah lah kerajan langit dan
bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia
memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak
laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki". (Hasbi Ashshidiqi, 1993 : 791)
Dari
pandangan tersebut maka anak merupakan permata yang amat berharga sebagai
karunia dari Allah kepada Tuhannya, berbakti kepada ayah ibunya serta bangsanya.
Karena anak adalah makhluk, maka ia harus terjaga agar tidak terpuruk dalam
kehinaan. Dan sebagai amanah anak harus di bimbing dan di bina agar tumbuh
menjadi anak yang sholeh karena ia akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah
SWT. Oleh karena itu sebagai ikhtiar anak diberdayakan potensinya agar memiliki
kompetensi dan daya saing (survival), sehingga anak mampu berkompetensi secara
positif dalam kehidupannya, memiliki kepribadian yang luhur, beriman an
bertaqwa Allah, yang juga mengemban tugas sebagai khalifah Allah di mu ka bumi.
Dan Allah telah menciptakannya dengan sebaik-baiknya bentuk, serta memberinya
potensi-potensi agar ditumbuhkembangkan terutama akal dan kecerdasannya sebagai
karunia terbesar yang diberikan Allah kepada seorang anak.
B.
Kecerdasan Anak
Kata kecerdasan seringkali diartikan dengan kata inteligensi. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan inteligensi atau kecerdasan
adalah : "Daya reaksi atau penyesuaian yang cepat dan tepat, baik secara
fisik maupun mental, terhadap pengalaman-pengalaman baru; Membuat pengalaman
dan pengetahuan yang telah dimiliki siap untuk dipakai apabila dihadapkan pada
fakta-fakta atau kondisi-kondisi baru". (Depdikbud, 1996 ; 383)
Singgih
Gunarsa dalam Sunarto (1999 : 99), mengemukakan rumusan inteligensi sebagai
berikut :
1.
Inteligensi merupakan suatu kumpulan kemampuan seseorang
yang memungkinkan memperoleh ilmu
pengetahuan dan mengamalkan ilmu tersebut
dalam hubungannya dengan lingkungan dan masalah-masalah yang timbul.
2.
Inteligensi adalah suatu bentuk tingkah laku tertentu
yang tampil dalam kelancaran tingkah laku.
3.
Inteligensi meliputi pengalaman-pengalaman dan kemampuan
bertambahnya pengertian dan tingkah laku dengan pola-pola baru dan
menggunakannya secara efektif.
Sedangkan
Woodworth dalam Anwar Prabumangkunegoro (1993 : 9), berpendapat bahwa
inteligensi adalah suatu tindakan yang bijaksana dalam menghadapi setiap
situasi secara cepat dan tepat.
Wasty
Soemanto dalam Jalaluddin (1997 : 73), menyatakan bahwa inteligensi menyangkut
kemampuan untuk belajar dan menggunakan apa yang telah dipelajari dalam usaha
penyesuaian terhadap situasi-situasi yang kurang dikenal atau dalam
pemecahan-pemecahan masalah.
Dari
beberapa definisi adi atas maka ada tiga ciri utama kecerdasan yaitu,
kemampuan, ilmu pengetahuan, dan tingkah laku. Inteligensi merupakan kualitas
otak yang diaplikasikan dalam kualitas-kualitas organ-organ tubuh lainnya
berupa tingkah laku. Jadi inteligensi atau kecerdasan merupakan kemampuan
psiko-fisik manusia untuk mereaksi rangsangan atau untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan dengan cara yang tepat.
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terdapat beberapa macam kecerdasan yang
kita kenal sekarang ini yaitu, kecerdasan rasional atau Intelligence Qoutient
(IQ). Kecerdasan ini telah melegenda sehingga menjadi sebuah mitos selama
kurang lebih satu abad, sebagai satu-satunya alat ukur atau parameter
kecerdasan manusia. Studi tentang IQ untuk pertama kali dipelopori oleh Sir Francis
Galton, pengarang Heredity Genius (1896). Kemudian dilanjutkan oleh
ahli-ahli lainnya seperti Alferd Binet, Theodore Simon, William Stern.
Kedua
adalah kecerdasan emosi atau Emotional Intelligence (EQ). Istilah
kecerdasan emosi ini pertama kali dilontarkan oleh Peter Salovey dan John Mayer
pada tahun 1990, dan kemudian dipopulerkan dikhalayak ramai oleh Daniel Goleman
pada tahun 1995.
Ketiga
adalah kecerdasan spiritual atau Spiritual Intelligence (SQ), yang
dipopulerkan oleh pasangan suami istri Danah Zohar dan Ian Marshall pada tahun
2000 lalu. Sedangkan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences), yaitu
kecerdasan linguistik, logis matematis, musikal, spasial dan visual,
kinestetis/fisik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Menurut Danah
Zohar dan Ian Marshall, kecerdasan ini pada hakikatnya adalah varian dari
ketiga kecerdasan yaitu IQ, EQ, SQ, serta pengaturan syaraf ketiganya.
C. Macam-macam Kecerdasan
Sebagaimana telah disebutkan bahwa terdapat
tiga macam jenis kecerdasan yang populer yaitu, Intelligence quotient
(IQ), Emotional Intelligence (EQ), dan Spiritual Intelligence
(SQ). Ketiga sifat kecerdasan ini bekerja melalui atau dikendalikan oleh otak
beserta jaringan sarafnya yang tersebar di seluruh tubuh.
1. Intelligence Quotinet (IQ)
Kecerdasan
rasional atau IQ merupakan kecerdasan yang terukur dengan menggunakan rumus
yaitu :
IQ = MA
x 100
CA
Dengan
rumus ini kecerdasan seseorang dapat diukur, sedangkan kecerdasan normal adalah
antara skor 90-109. MA, atau Mental Age adalah umur kecerdasan atau umur
inteligensi yang ditunjukkan oleh test inteligensi. Sedangkan CA, atau Chronological
Age adalah umur kalender atau umur kronologis yang ditunjukkan oleh hari
kelahiran.
Pada
masa kanak-kanak peningkatan skor inteligensi terjadi secara pesat bahkan
hingga usia 13 atau 15 tahun, dan setelah itu perkembangan inteligensi rasional
ini terjadi secara lambat. Pada usia 17 tahun taraf kecerdasan seseorang mencapai kestabilannya.
IQ
bersifat akademis, nilai yang tingi dalam bidang studi atau ranking dalam
kelas, merupakan pengukuran kecerdasan ini. IQ melihat pada obyek-obyek yang
berada di luar diri (outward looking). Dalam kehidupan nyata kontribusi
IQ pada keberhasilan atau kesuksesan hidup hanya sekitar 20 persen, dan 80
persen lainnya ditentukan oleh faktor-faktor lain. (Daniel Goleman, 1997 : 44)
2. Kecerdasan Emosi (Emotional
Intelligence)
Kecerdasan emosi (EQ) lebih mengarahkan pada
obyek-obyek kedirian (inward looking), wilayah EQ adalah hubungan
pribadi dan antar pribadi. Dengan perbedaan ini, orang yang ber-IQ tinggi bisa
saja gagal mengenal diri sendiri, tetapi orang yang ber-EQ tinggi walaupun
IQ-nya biasa, dapat mengenal persoalan kedirian. Dengan EQ yang tingi, kita
mampu memahami berbagai perasaan secara mendalam ketika perasaan-perasaan itu
muncul, dan benar-benar dapat mengenali diri sendiri.
Emosi
adalah setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadan
mental yang hebat atau meluap-luap. (D. Goleman, 1997 : 411). Bila kita merujuk
pada akar kata emosi, kita tahu bahwa emosi ibarat tenaga pendorong. Berasal
dari bahasa latin movere, yang berarti menggerakkan, bergerak. Kemudian
mendapat awalan "e", yang menunjukkan arti bergerak menjauh. (D. Goleman,
1997 : 7)
Emosi
adalah bahan bakar yang tidak tergantikan bagi otak agar mampu melakukan
penalaran yang tinggi. Emosi menyulut kreatifitas, kolaborasi, inisiatif, dan
transformasi, sedangkan penalaran logis berfungsi mengatasi dorongan-dorongan yang
keliru dan menyelaraskannya dengan proses, dan teknologi dengan sentuhan
manusiawi. (Ary Ginanjar Gustian, 2001 : 199)
Sedangkan
yang dimaksud dengan kecerdasan emosi menurut Robert K Cooper adalah kemampuan
merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi
sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi. (Ary
Ginanjar Gustian, 2001 : 44)
Napoleon
Hills menamakan kecerdasan emosi sebagai kekuatan berfikir alam bawah sadar
yang berfungsi sebagai tali kendali atau pendorong. Ia tidak digerakkan oleh
sarana logis. (Ary G. Gustian, 2001 : 45)
Otak kita terdiri dari otak
berfikir dan otak emosional, dua jenis fikiran ini umumnya bekerja dalam
keselarasan yang erat, saling melengkapi dalam mencapai pemahaman. Walaupun
masing-masing mempunyai karaketistik yang berbeda, yang satu bersifat
hati-hati serta analitis, sedang yang lainnya bertindak melompat tanpa
pertimbangan apa yang dilakukannya.
Keuntungan
utama dari pikiran emosional adalah dapat membaca emosi dalam sekejap, membuat
penilaian singkat secara naluri, sehingga dapat menunjukkan kepada kita apa
yang patut dicurigai, siapa yang dapat dipercaya, apakah seseorang marah atau
berdusta kepada kita. Pikiran emosional merupakan radar terhadap segala situasi
yang ada.
Keterkaitan
antara kedua jenis pikiran ini menimbulkan kebutuhan yang saling melengkapi, di
mana perasaan akan dirasa amat penting bagi pemikiran, begitupun sebaliknya
pikiran rasional sangat penting bagi perasaan. Bila kecerdasan rasional
cenderung tetap, maka kecerdasan emosi dapat terus ditingkatkan sepanjang
perjalanan hidup kita.
3. Kecerdasan Spiritual (Spiritual
Intelligence)
Kecerdasan
spiritual atau SQ menurut pasangan Danah Zohar dan Ian Marshall adalah :
"Kecerdasan untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan
untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan
tertinggi kita". (Rahmani Astuti, 2001 : 4)
Kecerdasan
spiritual (SQ) ini diperkuat dengan bukti ilmiah dengan ditemukannya Titik
Tuhan (God Spot) dalam otak kita, sebagai hasil riset dari seorang ahli
Neuropsikolog Michael Persinger, pada awal tahun 1990-an, dan Neurolog VS
Ramachandran bersama timnya di Universitas California, pada tahun 1997.
Penelitian
lain dilakukan oleh Neurolog Austria Wolf Singer, tahun 1990-an tentang problem
ikatan (The Binding Problem), yang menunjukkan adanya proses saraf dalam
otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha untuk menyatukan dan memberi makna
pada pengalaman hidup kita.
Dari
hasil penelitian tersebut terungkap bahwa pusat spiritual akan bereaksi atau
bersinar manakala seseorang diberi sentuhan yang bersifat spiritual atau agama.
Namun God Spot itu tidak identik dengan adanya pembuktian adanya Tuhan.
Tetapi menunjukkan bahwa otak manusia telah berkembang yang memungkinkan ia memiliki dan menggunakan
kepekaan terhadap makna dan nilai.
Manusia
pada dasarnya adalah makhluk spiritual, yang bertanya tentang hal-hal pokok atau
mendasar dalam mencari makna kehidupannya. Dan dengan adanya kecerdasan
spiritual (SQ), kita menggunakannya untuk menghadapi masalah-masalah
eksistensial. Pada saat kita terpuruk, khawatir, terjebak oleh kebiasan, masa
lalu yang kelam dan kesedihan. Dengan SQ, membuat kita menjadi sadar bahwa kita
berhadapan dengan maalah-masalah yang eksistensial. Kita dapat mengatasinya
atau setidaknya berdamai dengan masalah tersebut untuk tidak sampai terseret
atau terjebak.
Kita
juga menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ
mampu menghubungkan kita dengan makna dan ruh esensial di belakang semua agama
(hakikat atau inti suatu agama). Seorang yang memiliki SQ tinggi tidak
menjalankan agamanya secara picik, eksklusif, fanatik, atau prasangka. Namun
walaupun begitu orang yang ber-SQ tinggi tanpa beragama dapat memiliki kualitas
spiritual.
SQ
memungkinkan kita menyatukan hal-hal yang bersifat pribadi (intrapersonal) dan
orang lain (interpersonal), dan menjembatani kesenjangan antara keduanya. SQ
membuat kita memahami tentang siapa diri kita dan apa makna segala sesuatu bagi
kita, begitu juga bagi orang lain. Sedangkan EQ semata-mata tidak dapat
membantu kita untuk menjembatani kesenjangan itu. IQ dan EQ secara terpisah
atau bersama-sama, tidak cukup untuk menjelaskan keseluruhan kompleksitas
kecerdasan manusia dan kekayaan jiwa serta imajinasinya. SQ memungkinkan
manusia menjadi kreatif, mangubah aturan dan situasi. SQ membuat kita bermain
dengan permainan yang tak terbatas. Dengan SQ memberikan kita kemampuan
membedakan, memberi kita rasa moral, mampu menyesuaikan aturan yang kaku, serta
memberi kemungkinan untuk membayagkan yang belum terwujud untuk bermimpi,
bercita-cita, dan mengangkat diri kita dari kerendahan.
Perbedaan
penting antara SQ dan EQ adalah terletak pada daya ubahnya. Kecerdasan
emosional memungkinkan kita untuk memutuskan terhadap situasi yang ada dan
kemudian bersikap secara tepat di dalamnya. Ini berarti bahwa EQ bekerja di
dalam batasan situasi dan membiarkan situasi itu mengarah kepada kita. Akan
tetapi kecerdasan spiritual memungkinkan kita untuk tetap berada pada situasi
tersebut atau memperbaikinya. Ini berarti dengan SQ kita dapat mengarahkan
situasi, atau keluar dari batasan, sehingga kita bermain dalam
ketidakterbatasan.
SQ
dipergunakan untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh. SQ memfasilitasi
dialog antara akal dan emosi, antara fikiran dan tubuh. SQ menyediakan titik
tumpu bagi pertumbuhan dan perubahan. SQ mengintegrasikan semua kecerdasan kita
dan menjadikan kita makhluk yang benar-benar utuh secara intelektual,
emosional, dan spiritual.
Dengan
ragam kecerdasan tersebut maka pendidikan kepada anak, tidak hanya diberikan
agar anak mempunyai ilmu pengetahuan yang banyak yang belum diketahuinya.
Tetapi pendidikan itu sendiri diberikan kepada anak harus diiringi nuansa
emosional dan spiritual, agar anak memiliki kecerdasan secara utuh (holistik).
D. Arti Penting Menumbuhkan Kecerdasan Anak Usia
Dini
Seorang
anak yang baru lahir ia masih berada dalam keadaan lemah, naluri dan
fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya belum berkembang dengan sempurna. Namun
secara pasti berangsur-angsur anak terus belajar dengan lingkungannya yang baru
dengan alat inderanya, baik itu melalui pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan, maupun pengecapan. Anak berkemungkinan besar untuk berkembang dan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Bahkan anak bisa meningkat pada
taraf perkembangan tertinggi pada usia kedewasaannya sehingga ia mampu tampil
sebagai pionir dalam kancah dunia dan mampu mengendalikan alam sekitarnya. Hal
ini karena anak memiliki potensi yang telah ada dalam dirinya. Seperti yang
dikemukakan oleh Al-Ghazali : "Secara potensial pengetahuan itu ada dalam
jiwa manusia bagaikan benih di dalam tanah. Dengan melalui belajar potensi itu
baru menjadi aktual". (M. Arifin, 1996 : 102)
Sebagaimana
dikatakan Al-Ghazali, bahwa pengetahuan telah tertanam pada diri anak secara
potensial, maka pendidikan bagi anak adalah ibarat seorang petani yang sedang
menanam benih unggul, di mana agar benih itu dapat tumbuh dengan baik maka
harus dipupuk dan dipelihara dengan baik. Dan pembelajaran atau pendidikan yang
diterima anak adalah merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi tersebut.
Belajar adalah istilah kunci (key
term) dalam setiap usaha pendidikan. Oleh karena itu kita harus mendorong
anak untuk belajar, dan jangan menganggap enteng akan kemampuan belajar anak
untuk menyerap ilmu pengetahuan dari pengalaman-pengalaman belajarnya, karena
potensi itu telah ada dalam diri anak.
Secara
lebih komprehensif kita dapat melihat potensi-potensi atau kemampuan-kemampuan
anak untuk belajar dan menyerap ilmu pengetahuan, yaitu melalui teori-teori
mengenai pendidikan anak di bawah ini, sebagai landasan mengapa anak perlu
ditumbuhkembangkan potensinya terutama perihal kecerdasannya (Dudi Misky, 2000
: 14-42), yaitu antara lain :
1.
Anak tidak memiliki taraf kecerdasan yang sudah
terbentuk, dan tidak juga memiliki tempo perkembangan yang tidak bisa diubah.
2.
Rangsangan di masa kecil dapat mengubah ukuran dan fungsi
kimiawi dari otak.
3.
Faktor keturunan menentukan batas tertingi bagi taraf
kecerdasan anak. Artinya bahwa anak terlahir memiliki bakat menjadi orang
genius. Akan tetapi lingkunganlah yang menentukan bakat ini berkembang atau
tidak.
4.
Perubahan-perubahan dalam kemampuan mental paling besar
terjadi pada saat di mana otak sedang mengalami pertumbuhan yang paling pesat.
Oleh karena itu rangsangan-rangsangan yang diberikan pada tahun-tahun pertama
kehidupan anak akan memberikan hasil paling besar dalam meningkatkan
kecerdasannya. Sedangkan rangsangan-rangsangan yang diberikan selama anak di
sekolah dasar atau lanjutan tidak akan menghsilkan banyak penigkatan. Belajar
semasa anak masih kecil menjadi dasar belajar anak pada tahap berikutnya.
5.
Pada umur empat tahun, anak telah mencapai separuh dari
kemampuan kecerdasannya, dan pada umur delapan tahun ia mencapai delapan puluh
persen. Setelah umur delapan tahun kemampuan kecerdasannya hanya dapat diubah
sebanyak dua puluh persen.
6.
Otak anak diibaratkan sebuah komputer yang perlu diberi
program sebelum dapat bekerja secara efektif. Dan anak memberi program pada
otaknya dengan jalan mengirimkan rangsangan-rangsangan sensorik yang berasal
dari mata, telinga, hidung, mulut, dan perabaan ke otak melalui saraf-saraf.
Lebih banyak rangsangan sensorik yang merangsang otak, lebih besar pula
kemampuan otak untuk berfungsi secara cerdas.
7.
Ada suatu batas waktu di mana sel-sel otak tidak dapat digiatkan
lagi dengan mudah. Bila anak kecil mengalami cidera di bagian otak, ia akan
mengganti atau membentuk bagian yang cidera itu di bagian di otaknya. Akibat
dari adanya perubahan kekenyalan otak ini, maka apa yang dipelajari pada waktu
kecil walaupun tidak dapat diingat lagi secara sadar sulit sekali untuk hilang.
Lebih penting lagi apa yang dipelajari itu akan mempengaruhi proses belajar dan
tingkah laku di masa berikutnya.
8.
Terdapat masa-masa peka pada kehidupan anak terhadap
beberapa jenis pembelajaran. Masa peka ini merupakan tingkatan dalam
perkembangan di mana keadaan otak yang sedang tumbuh memudahkan anak melakukan
jenis pembelajaran tersebut. Dalam hal ini otak mengalami peristiwa cetakan
atau imprinting. Contoh masa peka atau maa cetak yang epat untuk anak
belajar membaca adalah kira-kira bersamaan dengan waktu anak mulai belajar
bicara. Belajar membaca pada umur enam tahun dianggap sudah mendekati akhir
masa peka tersebut.
9.
Dalam perkembangan bicara tercakup di dalamnya faktor
kecerdasan. Belajar berbicara dengan baik sebenarnya cukup sulit, akan tetapi
anak berhasil melakukannya sebelum umur lima tahun.
10.
Sifat phisiologis otak memungkinkan anak lebih mudah
belajar bahasa kedua atau ketiga pada tahun-tahun pertama kehidupannya
dibandingkan masa-masa selanjutnya.
11.
Setiap anak memiliki dorongan untuk eksplorasi
(menyelidiki), memeriksa, mencoba, mencari hal-hal baru, belajar menggunakan
alat-alat inderanya, dan memuaskan rasa ingin tahunya yang sangat besar.
12.
Setiap anak mempunyai dorongan untuk melakukan sesuatu
akan belajar untuk melakukannya, ia melakukannya, ia mencoba, mengulangi,
meneliti dan berusaha untuk menguasai lingkungannya sebanyak mungkin terutama
demi kegembiraan yang dirasakannya dalam melakukan kegiatan tersebut.
13.
Belajar pada dasarnya bisa menyenangkan, dan anak kecil
akan belajar dengan sendirinya bila usaha-usaha mereka tidak diganggu oleh
tekanan-tekanan, persaingan, penghargaan, hukuman ataupun rasa takut.
14.
Semakin banyak yang dilihat dan didengar oleh anak,
semakin banyak pula yang ingin diketahuinya. Semakin beraneka ragam rangsangan
lingkungan yang pernah dihadapinya, semakin besar pula kemampuannya untuk
mengatasi atau menguasai rangsangan-rangsangan itu.
Dengan
demikian pada saat anak berada pada usai dini merupakan masa yang tepat atau
efektif untuk melakukan pembelajaran, sebab pada saat usianya itu anak tengah
membentuk jalur-jalur belajar utama dan menyerap sejumlah besar informasi di
dalam otaknya dengan membentuk koneksi-koneksi saraf. Koneksi-koneksi saraf
inilah yang menumbuhkan kecerdasan, dengan memberinya rangsangan secara
berulang atau bervariasi dapat menumbuhkembangkan kecerdasan anak. Dan juga
bahwa anak pada masa usia dini mereupakan masa yang efektif untuk belajar
karena pada masa ini adalah peletak dasar bagi belajar anak pada tahap
berikutnya.
Oleh
karena itu apa yang dibutuhkan oleh anak untuk dapat tumbuh menjadi anak yang
cerdas adalah adanya upaya-upaya pendidikan seperti terciptanya lingkungan
belajar yang kondusif, motivasi-motivasi kegiatan anak untuk belajar, dan
bimbingan serta arahan ke arah perkembangan yang optimal.
Dengan
begitu bahwa menumbuhkan kecerdasan anak memiliki arti penting, yaitu dengan
teraktualisasikannya potensi-potensi yang ada dalam diri anak. Sebab apabila
potensi kecerdasannya tidak dibimbing dan diarahkan dengan diberi
rangsangan-rangsangan intelektual, maka walaupun dia memiliki bakat genius, hal
itu tiadak ada artinya sama sekali. Sebaliknya seorang anak yang memiliki bakat
kecerdasan rata-rata atau normal, bila didukung dengan lingkungan yang kondusif
maka ia akan dapat tumbuh menjadi anak yang cerdas di atas rata-rata atau
superior. Hal ini berarti lingkungan memang memegang peranan penting bagi anak
bagi pendidikan anak selain bakat yang telah dimiliki oleh anak itu sendiri.
Kita
dapat mengambil sebuah contoh bagaimana bila potensi yang ada dalam diri anak
tidak dikembangkan dengan baik. Misalnya seorang bayi yang masih mungil, ia
dibiarkan menangis sendirian di dalam boks yang sempit dan tanpa diberi
benda-benda sebagai rangsangan senso-motorik (inderawi dan tubuh), dengan
tujuan agar bayi menjadi anak yang penurut, tidak manja, dan tidak banyak
tuntutan. Bila kejadain ini berlangsung terus menerus dalam tempo yang cukup
lama, maka besar kemungkinan peerkembangannya akan terhambat, baik itu secara
fisik, emosional, maupun intelektualnya.
Atau apabila seorang anak tidak mendapat
pendidikan sama sekali seperti layaknya seorang manusia. Seperti yang terjadi
pada kasus "manu", anak yang dipelihara oleh sekelompok serigala.
Saat ditemukan ternyata perilakunnya mirip serigala, berjalan merangkak, lidahnya
terjulur, minum dengan cara menjilat, dan gigi taringnya menjadi lebih panjang
dari gigi serinya. Ia bahkan tidak mampu mengingat kata-kata, kehilangan
kemampuan untuk berbicara seperti layaknya manusia pada umumnya, tetapi ia
memiliki penciuman dan pengecapan yang lebih tajam dari manusia lainnya.
Apa
yang terjadai seperti kasus di atas adalah bahwa potensinya baik fisik maupun
psikisnya, tidak dibimbing dan diarahkan dengan baik seperti layaknya manusia
karena lingkungan yang tidak kondusif, sehingga potensi yang ada dalam dirinya
menjadi sia-sia, terutama adalah daya akal dan kecerdasannya tidak
teraktualisasikan dengan semestinya.
E. Karakteristik Belajar Anak
Dunia anak adalah dunia bermain, itulah
gambaran mengenai kehidupan anak. Pada dasarnya bermain merupakan kebutuhan
dasar manusia, baik anak-anak maupun orang dewasa. Bermain pada masa
kanak-kanak awal sanngat penting sebagai kegiatan alamiah dan sebagai alat
untuk belajar.
Bermain
merupakan kegiatan spontan dan kreatif, di mana anak kecil dapat
mengekspresikan dirinya. Bermain memberikan kegembiraan disertai kepuasan
emosional.
Bermain
bagi seorang anak juga sebagai kompensasi untuk kegiatan-kegiatan yang tidak
mendapat pemuasan, yang memungkinkan anak melepaskan perasaan-perasaan dan
emosi-emosinya melalui bermain. Selain itu bermain merupakan rangsangan atau
stimulus bagi pertumbuhan dan perkembangan anak secara normal serta sebagai
cara untuk mengembangkan persahabatan dan perasan anak dengan anak yang lain.
Ahli-ahli
filsafat seperti Plato, Aristoteles, dan ahli-ahli pendidikan seperti Comenius,
Rousseau, Pestalozzi, dan Froebel, menekankan tentang pentingnya bermain
sebagai kegiatan alamiah pada masa kanak-kanak dan sebagai alat untuk belajar.
Bermain bukanlah kegiatan yang hanya dianggap sebagai kegiatan yang
biasa-biasa saja atau sepele yang tidak berarti sama sekali, tetapi bermain bia
merupakan kegiatan yang serius.
Banyak penemuan besar berawal dari kejadian yang sifatnya main-main,
biasa-biasa saja atau sepele. Seperti penemuan mesin uap oleh James Watt, yang
bermula dari kekagetannya atas letupan tutup ketel di dapurnya. Sir Issac
Newton menemukan teori gravitasi karena kejatuhan buah apel. Atau kisah seorang
yang sedang berendam di dalam bak air (bath tub), tiba-tiba pada saat ia
bergerak air di dalam baknya itu tumpah, dia memperhatikan air yang tumpah itu.
Kemudian dia keluar dari dalam baknya itu dan mengisi kembali hingga penuh,
lalu dia mencelupkan kakinya, kembali airnya tumpah. Ia merasa tidak puas, dan
kemudian merendamkan seluruh badannya, dan air yang tumpahpun semakin banyak.
Kemudian orang tersebut tiba-tiba berlari keluar sambil berteriak Eureka
(saya dapat).
Orang tersebut adalah Archimedes, ia akhirnya berhasil menemukan jawaban
atas teka-teki yang telah membingungkannya ketika raja Sisilia memerintahkannya
untuk mengukur volume mahkotanya.
Demikian pula halnya dalam kegiatan bermain anak sebagai karakteristik
belajar baginya, maka di dalamnya sarat memuat makna pendidikan atau
pengajaran, baik secara sengaja diarahkan atau tidak sengaja. Misalnya anak
yang sedang bermain dengan balok-balok, maka anak sedang belajar mengenai
beban, berat, massa. Atau pada saat anak sedang menggambar, melukis, maka anak
sedang menggunakan imajinasi kreatifnya. Dengan begitu bermain bagi anak
merupakan aktivitas yang membantu mencapai perkembangannya, baik itu fisik,
emosional, sosial, moral, maupun intelektualnya.
Tentang pentingnya bermain bagi anak, Al-Ghazali mengatakan : "Hendaknya
anak kecil diberi kesempatan bermain, melarangnya bermain dan menyibukkannya
dengan belajar terus akan mematikan hatinya, mengurangi kecerdasannya dan
membuatnya jemu terhadap hidup sehingga ia akan sering mencari alasan untuk
membebaskan diri dari keadaan sumpek ini". (M. Fauzil Adhim, 1996 : 73)
Dengan
demikian bahwa pengalaman belajar yang diberikan kepada anak hendaknya tidak
terlalu akademis atau formal, atau bahkan dengan cara kekerasan tetapi belajar
dapat menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi anak dengan dikemas dalam
suasana bermain. Ini berarti bahwa pengajaran kepada anak tidak hanya
mementingkan intelektualitas saja, sehingga pengajaran berjalan secara kaku dan
formal. Tetapi penting memperhatikan keterlibatan emosi dalam pengajaran,
karena dapat merekatkan pelajaran yang diterima anak dalam ingatannya. Anak
belajar tidak dalam suasana yang tertekan dan ia terbebas dari ancaman dalam
suasana belajar.
Sebagai sebuah gambaran saat sebelum Islam, pendidikan yang dipakai
terhadap anak-anak adalah dengan cara keras dan kasar. Di setiap sekolah atau
tempat pengajaran terdapat cambuk dan hukuman-hukuman yang kejam. Akan tetapi
kemudian para filosof Islam memperingatkan tentang bahayanya sistem ini dalam
pendidikan, dan menyarankan dengan menggunakan cara-cara yang lunak dan lembut.
Membenahi kesalahan-kesalahan apa bila memang dilakukan anak, dengan pendektan
yang halus dan kasih sayang, dengan memperhatikan pula latar belakang yang
menyebabkan kekeliruan-kekeliruan tersebut, serta memberikan pemahaman akan
akibat-akibat kekeliruan tersebut.
Dan dalam pendidikan Islam adalah mencegah kemungkinan terjadinya
penggunaan dengan cara-cara yang tegas dan keras. Kekerasan dapat dipegunakan
sekiranya memeng di rasa diperlukan dengan maksud untuk pencegahan. Kekerasan
dengan pemberian hukuman dalam pendidikan Islam adalah untuk tuntunan dan
perbaikan, bukan untuk hardikan atau balas dendam oleh karena itu para pendidik
Muslim mempelajari terlebih dahulu tabiat atau sifat anak sebelum diberi
hukuman, bahkan mengajak agar anak itu sendiri turut serta dalam memperbaiki
kesalahannya, melupakan kesalahan dan kekeliruan anak setelah turut pula
memperbaikinya.
Sedangkan apabila sanksi itu harus diberikan, maka harus memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a.
Sebelum berumur sepulu tahun anak-anak tidak boleh di
pukul.
b.
Pukulan tidak boleh lebih dari tiga kali, maksud dari
pukulan adalah dengan menggunakan lidi atau tongkat kecil, bukan tongkat besar.
c.
Diberikan kesempatan kepada anak untuk tobat dari
perbuatannya dan memperbaiki kesalahannya tanpa perlu menggunakan pukulan atau
merusak nama baiknya atau membuat ia malu. (H. Bustami, 1993: 153)
Sementara itu bagi
Ibn Khaldun, ia anti terhadap penggunaan kekerasan dalam pendidikan anak-anak,
beliau berkata:
"Setiap yang biasa di
didik dengan kekerasan di antara siswa-siswa atau pembantu-pembantu dan pelayan
ia akan selalu dipengaruhi oleh kekerasan, akan selalu merasa sempit hati, akan
kekurangan kegiatan bekerja dan akan bersifat pemalas, akan mengakibatkan ia
berdusta serta melakukan yang buruk-buruk karena takut akan dijangkau oleh
tangan – tangan kejam. Hal ini selanju tidak akan mengajar ia menipu dan
membohong, sehingga sifat – sifat ini menjadi kebiasaan dan perangainya, serta
hancurlah arti kemanusiaan yang masih ada pada dirinya" (H. Bustami, 1993:
157)
Kekerasan kepada
anak-anak menumbuhkan kebiasaan-kebiasaan, penakut, menjauhkan anak-anak dari
kegairahan bekerja, keberanian bertindak yang menyimpang, dan menyebabkan ia
senantiasa merasa gembira.
Memberikan
pendidikan kepada anak haruslah pula memperhatikan kemampuan akalnya. Oleh
karena itu maka bagi orang tua atau pendidik harus mempertimbangkan teknik atau
cara pengajaran yang disesuaikan dengan tingkat kemampuan akal pikiran anak.
Dalam hal ini Al-Ghazali mengatakan: "Seorang guru hendaklah membatasi
dirinya dalam berbicara dengan anak-anak sesuai dengan daya pengertiannya,
jangan diberikan kepadanya sesuatu yang tidak dapat ditangkap oleh akalnya karena
akibatnya ia akan lari dari pelajaran atau akalnya memberontak
terhadapnya". (H. Bustami, 1993: 12).
Sedangkan Athiyah
Al-Abrasy mengatakan: "Berbicaralah kepada hamba sesuai dengan timbangan
akalnya, timbanglah sesuatu itu sesuai timbangan pengertiannya hingga engkau
bisa selamat dan ia pun mendapat manfaat. Menempatkan sesuatu pada tempatnya
adalah nasehat yang sebaik-baiknya kalau dapat dilaksanakan oleh setiap juru
didik laki-laki atau wanita". (H. Bustami, 1993: 13)
Rasulullah SAW.,
sendiri telah mengisyaratkan tentang pemberian pendidikan sesuai dengan
kemampuan akal seseorang. Sebagaimana sabdanya dalam sebauah Hadits yang
diriwatkan oleh Ad-Dailami dan Hasan bin Sufyan:
امرت ان اخاطب الناس على قدرعقولهم
(روه الديلهى وحسن ابن سفيان)
Artinya: "Aku diperintahkan untuk berbicara
dengan manusia sesuai dengan kadar berpikir mereka". (Syaifullah, 1993:
318)
Bentuk pengajaran
bagi anak-anak berlainan dengan bentuk pengajaran bagi orang dewasa, karena
pemikiran anak-anak berbeda dengan pemikiran orang dewasa. Maka hal ini menjadi
perhatian dalam memberikan teknik atau cara dalam pengajaran kepada anak.
Belajar sambil
bermain dengan anak, merupakan cara yang sesuai dengan prinsip pendidikan
Islam, dan termasuk pula dalam pendidikan modern, yaitu berbicara kepada
manusia sesuai dengan akalnya. Anak-anak jangan diajak berbicara atau diajari
dengan bahasa atau dengan pelajaran yang tidak dimengerti olehnya, tetapi
memperhatikan tarap kecerdasanya dan tingkat pengetahuannya. Begitu pula
sebaliknya orang dewasa jangan diajak bicara atau diajari dengan bahasa atau
pelajaran anak-anak.
Dengan
memperhatikan karakteristik belajar anak yaitu bermain, maka hal ini pula
berarti memperhatikan kemampuan akal anak, yang sesuai dengan prinsip
pendidikan Islam mengenai pengajaran yang harus disesuaikan dengan akalnya.
Karena anak belum mampu untuk berpikir secara abstrak dan daya nalarnya belum
terbentuk.
0 Response to "BAGAIMANA PERANAN SEORANG IBU DALAM IKUT MENCERDASKAN ANAK ? (Tinjauan Terhadap Aspek Pendidikan Intelektual Anak)"
Post a Comment