BAB IV
ANALISIS
ETIKA BELAJAR DAN MENGAJAR
DALAM
KITAB SYARAH TA’LIM WA AL-MUTA’ALIM
A. Etika Belajar
K.H. Hasyim Asy’ari mempunyai perhatian khusus terhadap
penyebaran ilmu pendidikan, khususnya pendidikan di lembaga pesantren, karena
ia yakin bahwa pendidikan merupakan sarana penting untuk mensosialisasikan
keutamaan dan membersihkan pikiran (jiwa), termasuk sarana untuk mendekatkan
diri bagi para santri kepada keridhoan Allah SWT.
Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, etika belajar mengajar
merupakan suatu norma dalam kemaslahatan untuk memperoleh ilmu bermanfaat. Oleh
karena itu, di samping meningkatkan tugas sebagai pakar pendidikan Islam K.H.
Hasyim Asy’ari juga merupakan tokoh pembaharu dalam pendidikan Islam di
Indonesia.
Statement K.H. Hasyim Asy’ari Dalam bidang etika
pendidikan khususnya belajar mengajar dapat memberikan jawaban tentang
pendekatan nilai-nilai agama dan tasawuf. Hadratus Syekh membatasi secara lugas
bahwa tujuan –tujuan etika belajar dan mengajar dalam pendidikan itu harus
sesuai dengan standar fillosofis. Gagasan etika belajar mengajar yang dewasa
ini dianggap sebagai target bagi para
pendidik modern telah lama ia kemukakan. K.H. Hasyim Asy’ari, memberi
saran pada pengajar agar memperhatikan etika dalam penyampaian pelajaran,
dengan memperhatikan perbedaan kemempuan siswa sewaktu proses berlangsung.
Pentingnya standar-standar filsafat dalam proses belajar mengajar
atau dalam dunia pendidikan adalah karena dengan standar-standar itu akan
muncul feed back atau interaksi
yang positif antara etika belajar mengajar dengan metoda pendidikan. Hal ini
bisa terjadi karena para pendidik yang mengerti filsafat dalam menyebarluaskan
fahamnya serta prinsif-prinsif yang digunakannya selalu melalui etika belajar
atau melalui pendidikan yang sengaja
dijadikan sebagai umpan balik untuk menolong dan meraih kenyataan yang di
cita-citakan. Filsafat dan pendidikan merupakan komponen yang tidak bisa di
pisahkan antara satu dengan yang lainnya, (Fathiyah Hasan Sulaeman, t,t : 13 ).
Sosialisasi etika belajar mengajar dalam pendidikan akan
berbanding lurus dengan asumsi menyebarluaskan dan mentransfer filsafat dan
etika pendidikan kepada para murid. Filsafat akan tegak karena pembatasan
tujuan etika belajar mengajar dalam pendidikan. Dalam hal ini filsafat
menetapkan sarana dan metodologi yang dapat membantu pencapaiannya tujuan etika
pembelajaran yang sesuai dengan norma-norma agama.
Filsafat pendidikan merupakan embrio bagi proses belajar
mengajar dan menjadi komponen pendidikan yang tidak bisa di pisahkan dari
komponen-komponen pendidikan yang lain. Metode dan segi-segi yang dalam etika
belajar mengajar harus terkait dengan filsafat pendidikan adalah memberi arah
untuk menunjukan metode yang akan di tempuh dan melaksanakan dasar-dasar serta
prinsip-prinsip norma (etika) belajar mengajar, (Hasan Langgulung,1987 : 18).
Filosof ternama Plato menampilkan filsafat nama idealisme,
yaitu filsafat yang bertolak dari dunia idea yang terkandung dalam filsafat
ini, adalah sesuatu yang ada pada alam ini bukanlah benda yang
sesungguhnya,karena yang berada di balik benda itu adalah idea. Jadi, dunia
yang objektif adalah dunia yang ideal,karena didalamnya terdapat hakikat benda
yang sesungguhnya (Ali Hamdani,1987 : 34)
K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitab Adab a-Alim wa
al-Muta’alim mengawali tulisanya dengan uraian tentang etika belajar dalam
mencari ilmu serta pendidikan, kemudian predikat yang tinggi terhadap para
ulama dengan mengikuti jejak terdahulunya yaitu al-Ghazali, (Al-Ghazali, 1939:
6-7).
Dalam kitab tersebut, ia juga banyak mengemukakan
pendapatnya tentang keberhasilan mencari ilmu dan ketinggian etika dalam
belajar mengajar serta kedudukan para ulama. Menurutnya, kepribadian dan
kesuksesan seorang murid sangat tergantung terhadap apa yang dinamakan oleh
gurunya.
Progresivisme memandang etika belajar mengajar
dalam pendidikan sebagai suatu proses pembentukan dasar fundamental, baik yang
menyangkut daya fikir maupun emosional menuju ke arah fitrah manusia. Dengan
demikian, filsafat dapat diartikan sebagai teori umum dalam pendidikan. Hal ini
digambar oleh James L. Jarret (1996: 404) dalam kalimat: educatinal as the
proces of forming fundamental disposition iltellectual and emotional, to word
nature and follow man philosophy may even devined as the general theory of
education.
Melihat penjelasan di atas, baik progresivisme ataupun essensialisme
masing-masing mempunyai kecenderungan yang berbed antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan sudut pandang terhadap objek didik
berdasarkan penelitian-penelitian yang bersifat empiris.
Sedangkan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari identik dengan
al-Ghazali, terutama pada unsur fisiknya akan tetapi pada unsur non-fisik,
yaitu hati (qalbu). Bagi al-Ghazali sendiri pemikiran ini dihasilkan
dari proses yang panjang setelah ia bergelut dengan filsafat, sehingga konsep
tentang pendidikan lebih difokuskan pada pembentukan etika (akhlak mulia).
Dalam masalah etika belajar mengajar, K.H. Hasyim Asy’ari
lebih menekankan kepada guru sebagai pengajar dan pendidik. Menurutnya guru
menempati posisi sentral dalam rangka mensosialisasikan etika, karena
sesungguhnya nilai-nilai etika pada santri dibentuk oleh guru, kemudian
ditransfer oleh anak didik. Dalam konteks ini, konsep K.H. Hasyim Asy’ari lebih
dekat dengan pada aliran Esensialisme dari pada Progresivisme.
Mengapa? Karena dalam progresivsme yang dipentingkan adalah kecerdasan
yang dianggap sebagai sentral dalam pendidikan. Oleh sebab itu, nilai timbul
karena anak didik mempunyai bahasa, dan dengan demikian menjadi mungkin adanya
saling berkaitan seperti ada dalam masyarakat, (Imam Barnadib, 1986: 41).
K.H. Hasyim Asy’ari tidak menemukan metode tertentu bagi
pengajaran kecuali untuk pengajaran agama. Ia menunjukkan metode khusus bagi
pengajaran agama, terutama etika (akhlak) dalam mengajar atau dalam belajar,
seperti mentode penugasan (resitasi), ketauladanan akhlak atau budi
pekerti dan menanamkan nilai-nilai etika pada diri anak didik. Pemahaman K.H.
Hasyim Asy’ari terhadap pendidikan agama dan etika moral selaras dengan
pendidikan secara umum.
K.H. Hasyim Asy’ari memandang bahwa keberhasilan belajar
mengajar tidak lepas dari pendidikan akhlak dan etika dan moralitas, yang
menuntutnya akhlak dan etika merupakan fondasi (dasar) yang utama dalam
pembentukan pribadi anak didik yang seutuhnya. Pendidikan yang mengarah pada
terbentuknya pribadi berakhlak merupakan hal pertama yang harus dilakukan, sebab
hal ini akan melandasi kestabilan kepribadian secara keseluruhan.
Menurut Al-‘Abdari, para pelajar harus senantiasa diberi
nasehat yang dibekali dengan petunjuk-petunjuk yang baik. Menurut K.H. Hasyim
Asy’ari, petunjuk yang terpenting adalah:
1.
Seorang harus membersihkan hati dari kotoran sebelum ia
menuntut ilmu, karena merupakan ibadah, dan tidak sah ibadah dengan bersih
hati. Bersih hatinya artinya menjauhkan diri dari sifat-sifat yang tercela,
seperti benci, dengki, menghasut, takabur, berbangga-bangga dan memuji diri.
Pada saat yang sama bersih hati juga harus disertai dengan upaya untuk selalu
menghiasi diri dengan etika (akhlak yang mulia) seperti : benar, taqwa, ikhlas,
sujud, merendahkan hati dan ridha.
2.
Hendaknya tujuan itu ditunjukkan untuk menghiasi ruh
dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan Tuhan dan membersihkannya dari
sikap bermegah-megah dan mencari kedudukan.
3.
Dinasehati agar
murid tabah dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan supaya merantau.
Sekiranya keadan menghendaki untuk pergi ke tempat yang jauh untuk memperoleh
seorang guru, maka ia tidak boleh ragu-ragu untuk itu. Demikian pula ia
dinasehati agartidak sering menukar guru. Kalau keadaaan menghendaki ia harus
menanti sampai dua bulan sebelum menukar seorang guru.
4.
Wajib menghormati guru dan bekerja untuk memperoleh
kerelaan guru, dengan mempergunakan bermacam-macam cara. Bermanis mulut bukan
satu sikap terpuji, kecuali untuk memperoleh kerelaan guru, (Asma Hasan Fahmi,
1979: 174).
Dalam hal ini ‘Ali bin Abi Thalib sebagaimana dikutif oleh An-Namiri Al-Qurthubi (1978: 129) mengatakan sebagai berikut:
“Sebagian dari hak guru itu ialah jangan banyak bertanya kepadanya, dan jangan memaksanya untuk menjawab, jangan banyak meminta kalau ia sedang letih, jangan menarik kakinya kalau ia sedang bergerak, jangan membuka rahasianya, jangan mencela orang didepannya, jangan membuat ia jatuh, kalau ia bersalah supaya dimaafkan, satu kewajiban bagimu ialah menhormati dan memulyakannya, selama tidak melanggar perintah Tuhan. Janganlah kamu duduk didepannya, kalau ia membutuhkan sesuatu maka berlomba-lombalah untuk membantunya.
Seperti halnya Ali bin Abi Thalib, K.H. Asyim Asy’ari jiga menasehatkan para pelajar agar jangan menggugu guru dengan memperbanyak pertanyaan bila ternyata ia tidak suka, jangan berlari dilakangnya bila ia sedang berjalan dijalanan.
Az-Zarnuji menambahkan, belajar harus patuh kepada guru, menurutnya, sebagian dari kewajiban pelajar ialah jangan berjalan dibelakang guru, jangan duduk ditempat guru, jangan berbicara kecuali sesudah mendapat izin dari guru. Dalam substansi yang sama Al-ghazali mengemukakan beberapa nasehatnya yaitu murid harus mendahului memberi salam kepada guru, jangan banyak bercakap didepannya, dan tidak boleh mengatakan pada guru bahwa si pulan menyatakan yang bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh guru.
B. Etika Mengajar dalam Pendidikan Islam
Dalam kitab al-Alim wa al-muta’alim tidak terdapat definisi belajar secara eksplisit. Yang ada adalah sebuah definisinya secara implisit. Oleh karena itu, penulis mencoba memberi batasan berdasarkan kandungan kitab tersebut, agar dapat memberikan gambaran secara keseluruhan tentang maksud belajar yang diinginkan oleh penyusun kitab.
Dalam kitab ini disebutkan secara khusus tentang hak dan kewajiban guru dan murid terhadap etika belajar, yaitu:
1. Akhlak (etika) menempati tempat yang lebih penting dari ilmu, dan ini merupakan prinsip dasar yang harus digunakan untuk pembinaan guru dan murid-murid bersama-sama. Sebagaimana wudhu’ mendahului sembahyang, maka demikian pula pembersihan jiwa harus didahulukan dari pada belajar, karena mencari ilmu itu merupakan ibadah.
Atas dasar inilah orang islam menganggap bahwa pekerjaan yang pokok bagi seorang guru adalah menanamkan akhlak dan membentuk sifat-sifat yang utam untuk para muridnya. Tidak dapat diragukan lagi bahwa penanaman akhlak itu merupakan inti hikmah dan tujuan pendidikan. Karena pendidikan yang tidak berasaskan akhlak (etika) merupakan pendidikan yang gagal. Dan tiap-tiap peradaban yang berakar pada kebaikan dan sifat-sifat yang utama adalah peradaban yang tidak baik.
2. Mensucikan ilmu dan para ulama. Sikap seperti ini faktor integral dari sistem pendidikan yang terbaik. Sikap mensucikan ilmu dan ulama mempunyai yang terbaik. Sikap mensucikan ilmu dan ulama mempunyai pengaruh yang positif dalam memperkuat kemampuan bagi guru dan murid. Yang ideal bagi seseorang adalah jika ada kemampuan yang dapat mengisi jiwa seseorang dengan kekhusuannya, keimanan dan ketabahan. Mensucikan guru adalah akibat mensucikan ilmu. Akan tetapi kitak tidak mengingkari bahwa kecenderungan untuk bersikap yang berlebih-lebihan dalm mensucikan ilmu dan ulama dapat menjurus cara fikir yang tidak sehat, sementara kita menghendaki adanya keberagaman siakp dan kesatuan tujuan dari pendidikan. Kalau sekiranya kita mengecam masa lalu karena berlebih-lebihan dalam mensucuiakn ilmu dan ulama, maka pada zaman moderen sekarang ini terdapat sikap yang berlebihan dalam keberagaman dan tiak satu faham dalam pendidikan (K.H. Hasyim Asy’ari, 1415 : 15).
Menurut K.H. Hasyim Asy’ari, signifikasi etika belajar dalam pendidikan adalah untuk mengembangkan seluruh potensi jasmani maupun rohani untuk mempelajari, menghayati, menguasai dan mengamalkan secara baik ilmu-ilmu yang dipelajari untuk kemaslahatan hidup dunia dan akhirat. Pengertian “belajar” menurut K.H. Hasyim Asy’ari berbeda dengan pengertian yang dirumuskan oleh teori Cognitive-Field. Menurut teori ini pengertian belajar adalah reorganisasi-insight (Morris, L. Biggie, 1982 : 247). Sedang K.H. Hasyim Asy’ari sependapat dengan Kimble yang menyatakan bahwa belajar merupakan perubahan prilaku yang relatif permanen, yang terjadi karena adanya penguatan (reinforcement) (B.H Hergenhalm, 1976 : 3)
K.H. Hasyim Asy’ari juga menengaskan bahwa belajar merupakan ibadah untuk mencari ridha Allah yang mengantarkan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Karenanya belajar harus diniati untuk mengembangkan dan melestarikan nilai-nilai islam bukan sekedar menghilangkan kebodohan.
Dalam kitab “Abad al-Alim al-Muta’alim, K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan empat aspek pokok yang menunjang kesuksesan belajar mengajar. Empat pokok itu adalah aspek-aspek belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar dan cita-cita dalam belajar.
1. Aspek-aspek Belajar
Belajar
merupakan pemahaman potensi jasmaniah dan bathiniah, oleh karena itu
konsentrasi dan kesehatan mutlak diperlukan. Kesehatan menjadi sangat penting,
karena tanpanya konsentrasi belajar tidak dapat diwujudkan.
K.H. Hasyim Asy’ari menyebutkan beberapa penting yang terkait
dengan masalah kesehatan.ia menuturkan bahwa murid harus mengetahui hal-hal
yang dapat menjaga kesehatan sehingga ia (murid) dapat berhasil (Hasyim
Asy’ari, 1415: 26)
Dalam kaitan ini, K.H. Hasyim Asy’ari menyebut pola konsumsi santri
terhadap makanan dan gaya hidup mereka harus diperhatikan demi terjaganya
kesehatan. Ia menganjurkan kepada murid agar tidak berlebih-lebihan dalam
makanan dan minuman. Seruan tersebut sebagai upaya preventif aga murid tidak
terkena penyakit agar diakibatkan berlebihan dalam hal makanan. Ia juga
menyarankan agar murid tidak memakan yang diharamkan. Dalam Al-Qur’an kita diperintahkan memakan makanan
yang baik-baik dan dilarang memakan makanan bangkai, darah, daging babi, dan
binatang ang disembelih bukan atas nama Allah, minuman khamar, hasil judi dan
pengundian nasib. (Al-Baqarah, 173-175/Al-Maidah: 9)
Yang dimaksud makanan yang halal di sini adalah makanan yang baik dari segi
materi (bergizi) maupun cara memperolehnya. Makanan yang bergizi tinggi
merupakan kunci bagi upaya memperolehnya. Makanan yang bergizi tinggi merupakan
kunci bagi upaya memperoleh kondisi mental dan psikologis yang baik. Dan dalam
hal ini harus dimulai sejak dalam kandunga sampai sepanjang hayatnya. (Al-Husaini
Abdul Majid Hasim, dkk, 1986; 44).
Sedang mengenai minuman, murid dianjurkan untuk meminum madu. Imam
Jalaludin al-Suyuti menjelaskan dalam
kitabnya bahwa madu dapat membersihkan kotoran dalam usus, selancarkan air
seni, menyembuhkan batuk karena dahak, menyembuhkan pencernaan dan meningkatkan
daya (Idrus H. Al-Kaff, 1988: 188).
Selain harus meperhatikan gizi makanan, menurut K.H. Hasyim Asy’ari, murid
juga harus menghindari makanan yang terlalu banyak, karena hal ini akan
mendangkan madharat.
2. Teori Belajar
Hal pertama yang harus diperhatikan dalm proses belajar adalah mencurahkan perhatian yang mendalam untuk memperkuat hubungan murid dengan ikatan kasih sayang antara guru dan murid. Kepada guru dimintakan untuk mendahulukan kasih sayang dalam pergaulan dengan para pelajar sehingga terbangu suatu pergaulan yang mendekati model hubungan antara seorang bapak dan anak-anaknya, (Hasyim Asy’ari, 1514: 28). Sedang para pelajar dituntut untuk mentaati guru dan menghormatinya, menjaga ketenangannya, dan berusaha memperoleh kerelaannya (Thary Kubra Zade, tt: 19-25).
Dengan memperhatikan hal-hal di atas setidaknya telah terbangun dasar-dasar pendidikan Islam yang baik. Namun perlu ditambahkan bahwa tidak kalah pentingnya adalah seorang guru dalam mengelola pendidikan harus dimulai dengan menanamkan rasa kepercayaannya dan kasih sayang diantara murid-muridnya. Apabila sudah terdapat keharmonisan dan saling pengertian di antara kedua belah pihak, semua kesukaran dapat diatasi. Jika guru gagal dalam menanamkan rasa kepercayaan diri pada muridnya, maka itulah awal kegagalannya sebagai pendidik.
Biasanya apabila orang Islam berbicara tentang ilmu, maka yang dimaksud adalah ilmu agama (K.H. Hasyim Asy’ari, 1514: 28). Padahal ilmu juga mencakup ilmu-ilmu yang lain di luar bukan ilmu agama secara eksklusif. Semua ilmu penting. Khusus untuk ilmu agama, sebagian menganggapnya sebagai ilmu yang suci. Allah berfirman di dalam al-Qur’an:
Artinya: “Allah akan meninggalkan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Hasby Ash-Shiddiqie, dkk: 233).
Dengan demikian, yang paling tinggi di dunia ini adalh ilmu. Karena itu, mengajar suatu ilmu itu merupakan pekerjaan yang terhormat dan tertinggi. Ibn Khaldun mengatakan bahwa ilmu dan mengajar merupakan suatu kemestian. Sedangkan Ibn Maskawaih dan Al-Ghazali mengatakan bahwa belajar dan ilmu itu makanan jiwa, akal dan ilmu bertambah pengertian dan kemampuannya untuk menanggapi dan mengatahui sesuatu (Ibn Maskawaih, 1298 H: 3-4).
Ibn Maskawaih mengatakan pemahaman manusia akan terus bertambah selama ia melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu dan sastra dengan tekun. Dan jiwa akan terus berkembang dengan buah pikiran yang baik yang diperolehnya dengan kemampuan menerima yang baru tanpa batas waktu, kita mengetahui bahwa jika kita menerima bermacam ragam rupa dari segala sesuatu, baik yang dapat diindrakan maupun yang hanya dpt dipikirkan dalam bentuk yang sempurna. Bentuk-bentuk yang diterima itu tetap terpelihara dan tidak berubah dari aslinya, (Ibn Maskawaih, 1298 H : 6).
Untuk bisa sukses dalam mencari ilmu K.H. Hasyim Asy’ari menyarankan agar pelajar mengurangi wktu tidurnya. Hal ini bisa dihubungkan dangan prinsip-prinsip kesehatan di atas dapat dimaknai bahwa pelajar hendaknya tidur secukupnya demi terpelihara kesehatan fisik maupun mental. Perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan tidur secukupnya adalah identik dengan istirahat bukan hanya tidur. Sebgaimana dikatakan oleh al-Zarmuji bahwa berpindah dari satu perbuatan ke perbuatan lain adalah istirahat. Menurutnya, pelajar hendaknya menggunakan seluruh waktunya untuk belajar, dan apabila terasa bosan akan satu cabang ilmu pengetahuan ilmu dipelajari, hendaknya dia berpindah ke ilmu yang lain, (Muh. Abd. Qodir Ahmad, 1986: 154).
Istirahat adalah dorongan ketegangan-ketegangan psikologis maupun fisiologis secara baik. Sedang perpindahan dari satu perbuatan ke perbuatan lain bisa disebut istirahat, hal itu dapat memberikan kenikmatan pada diri pelakunya, sehingga benar-benar menjadi pelenturan ketegangan yang sedang dirasakan.
Tidur dipahami sebagai cara istirahat yang sangat efektif, untuk dapat menghilangkan rasa stress, ketakutan, ketegangan dan dapat memulihkan kembali kebugaran badan yang dimilikinya. Dengan tidur, maka ketika bangun badan terasa segar dan mempunyai semangat baru untuk melakukan kegiatan kembali.
Sedangkan berdo’a menurut K.H. Hasyim Asy’ari adalah pasrah dengan ikhlas kepada kekuatan yang lebih tinggi yang tidak ada pada diri kita. Do’a melahirkan rasa tentram pada jiwa dan pribadi kita serta mengendurkan syaraf kita (Dale Carnegie, tt: 225-226).
Masalah kebersihan dalam belajar tidak luput dari perhatian K.H. Hasyim Asy’ari. Ia menyarankan ketika murid akan belajar hendaknya hatinya suci terlebih dahulu dari segala sifat suap, keji, khianat, dengki dan buruk akidah serta akhlak. Karena bila hati bersih dan hal-hl itu maka hati akan dapat menerima ilmu, mudah menghafal, dapat menelaah kehalusan makna-makna yang dipelajari serta dapat memahaminya dengan baik (K.H. Hasyim Asy’ari, 1514: 24).
Ia juga menyarankan agar murid membersihkan niatnya dalam menuntut ilmu. Menuntut ilmu hendaknya karena berharap memperoleh ridha Allah, menuntut ilmu karena ingin menghidupkan syari’at Islamiyah, agar hatinya tenang, bathinnya suci dan dekat kepada Allah SWT. Janganlah murid mencari ilmu untuk kepentingan-kepentingan duniawi seperti agar menjadi pemimpin, memperoleh pangkat kehormatan, agar menjadi kebanggaan di depan rekan-rekannya atau agar ia dihormati manusia dan lain-lain, (Hasyim Asy’ari, 1514: 25).
Kebersihan suatu yang dicintai oleh Allah SWT. Kebersihan adalah bagian dari iman. Dengan keindahan, kebagusan dan kebersihan murid sebagai manusia bisa hidup sehat sehingga ia dapat melaksanakan secara baik.
Selain kebersihan K.H. Hasyim Asy’ari juga mengungkapkan soal biaya, yang merupakan problem tersendiri bagi sebagian pelajar. Hal ini berhubungan dengan pembiayaan sekolah, perlengkpan buku-buku dan alat-alat sekolah lainnya. Masalah ini nampaknya tidak selamanya menjadi problem bagi pelajar. Apa pelajar yang tidak terpengaruh dengan persoalan ini dan ada mereka tetap belajar sungguh-sungguh, tekun memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, kreatif dan inovatif, sehingga di antara mereka banyak yang sukses dalam kegiatan belajar.
Meski ada beberapa pelajar yang tidak terpengaruh oleh masalah biaya seperti di atas, namun K.H. Hasyim Asy’ari tetap mempunyai perhatian yang besar terhadap masalah finansial baik bagi pelajar maupun bagi sekolah (pendidikan). Karena itu, ia menganjurkan murid ntuk menerima atas segala pemberian, biaya mengatur waktu, menyederhanakan makan dan minum, menghindari makanan dan minuman yang menyebabkan kebodohan (Hasyim Asy’ari, 1514: 25-29).
Selain usaha yang bersifat lahiriyah, K.H. Hasyim Asy’ari juga menasehatkan murid untuk berusaha secara bathiniah usaha secara bathiniah itu antara lain shalat dengan khusu’, membaca surat al-Waqiah, al-Insyirah, melaksanakan shalat dhuha dan memperbanyak do’a.
Zakiah Daradjat (1988: 13) mengungkapkan bahwa dengan shalat yang khusu’ segala persoalan yang dihadapi seseorang, yang menghimpit dan menekankannya akan dapat di atasi. Jiwa menjadi tenag dan cerah kembali, otaknya dapat jernih kembali untuk berfikir. Sedangkan shalat dhuha bila dilaksanakan akan mengantarkan pelakunya kepada optimisme yang tinggi. Kepasrahan, sabar dan bersyukur, kesemuanya itu akan mendorong hati menjadi tenang dan damai. Dalam hal ini Zakiah Daradjat (1988: 57) memberikomentar bahwa dengan shalat dhuha anda akan dapat mendekatkan diri kepada Allah, mengadu dan memohonnya, maka hati yang semula gelisah akan menjadi lega dan cerah, karena fikiran kembali terbuka dan dapat berfungsi dengan baik.
Adapun membaca al-Qur’an dan memperbanyak do’a, menurut Usman ‘Asyakin, bila dilaksanakan secara baik, akan menjadi hati semakin tenang. Dikatakan pula bahwa perbuatan itu merupakan sarana untuk menghilangkan apa yang tidak disukai dan mencapi apa yang dikehendaki, (Ahmad Usman al-Syakir, tt: 178).
Bagian lain yang perlu diperhatikan dalam belajar adalah adanya tempat belajar yang memadai. Dalam kaitan ini K.H. Hasyim Asy’ari menghendaki agar pelajar memilih sekolah yang bermutu tinggi. Hal ini dimaksudkan agar lebih lancar mencapai yang diharapkan (Hasyim Asy’ari, 1514: 32-34).
Untuk mendukung mutu pendidikan, tempat belajar seharusnya memenuhi kriteria-kriteria sanitasi lingkungan, terjaga keberdihannya, termasuk ventilasi, bebas dari tulisan yang mengganggu ketentraman belajar dan fikir, serba bebas polusi baik kotoran maupun bunyi-bunyian.
Penerangan tempat belajar juga harus cukup, tidak terlalu terang atau mutu terlalu gelap yang dapat mengganggu proses balajar mengajar. Perlu adanya pengeturan lampu sedemikian rupa, sehingga pelajar dapat belajar cukup dan tahan lama (Abd. Qadir, tt, 145).
Menurut Oemar Hamalik guru yang profesional yang bekerja melaksanakan fungsi dan tujuan sekolah harus memiliki kompetesi-kompetesi yang dituntut agar mampu melakasanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya tanpa mengabaikan kemungkinan adanya perbedaan tuntutan kompetesi profesional yang disebabkan oleh adanya perbedaaan lingkungan sosial culutural dari setiap sekolah atau presantren.
Beberapa kriteria atau indikator guru yang kompeten dan profesional adalah:
1. Guru tersebut mampu mengembangkan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.
2. Guru tersebut mampu melakasanakan peranan-peranannya secara berhasil.
3. Guru tersebut mampu bekerja dalam usaha mencapai tujuan pendidikan (tujuan pembelajaran yang diharapkan).
4. Guru tersebut mampu malaksanakan peranannya dalam proses belajar mengajar.
3. Prinsip-prinsip Balajar
Minat menjadi perhatian khusus K.H Hasyim Asy’ari dalam
prinsip belajar. Menurutnya minat sama dengan niat dan merupakan semua esensi
dari semua aktivitas dalam belajar. Minat merupakan proses instrintik mulai
dari adanya perasaan keinginan, pertimbangan dan kehendak yang memotivasi murid
untuk melakukan aktivitas belajar. Minat merupakan tending of act. Minat
ini bisa disebut dengan istilah ‘Azm, qashad. (Oemar Hamalik, 1991: 43)
Menurut Kurt Singer (1973: 15) minat mempunyai dua arti
yaitu:
1.
Menunjukan tujuan sebenarnya yang mendoronga seseorang
berucap maupun suatu kegiatan.
2.
Gerak hati untuk melakukan sesuatu pada saat seseorang
hendak melakukan suatu kegiatan.
Minat ibadah arus listrik, ia dapat mennggerakan
seseorang untuk mewujudkan apa yang telah diminati baik pendidikan maupun
kegiatan proses belajar yang sedang berlangsung. Minat mempunyai nilai yang
sangat tinggi, bahkan ia sebagai penentu dalam segalaaspek kegiatan. Tidak
berlebihan kalau K.H Hasyim Asy’ari menempatkan minat sebagai pembuatan yang
esensial dalam kegiatan belajar mengejar. (Abdul Qadir, t.t. 94).
Minat sebagai prinsip belajar akan menjadi titik tolak
yang yang dapat sekaligus dapat mengarahkan dan membimbing segala aktivitas
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Di samping itu, dengan minat belajar akan
dapat menentukan pendekatan. Teknik dan strategi mana yang paling tepat untuk
diguakan dalam mencapai proses balajar mengejar. Dengan demikian minat
meruapakan kesiapan mental untuk malakukan aktivitas yang dalam hal ini adalah
belajar. Murid yang minatnya kuat dan ikhlas akan mempunyai semangat dan
berusaha keras menyingkirkan segala macam tantangan dan rintangan serta hal-hal
yang mengganggu dan menempatkan ilmu di atas rintangan dan serta hal-hal yang
mengganggu dan menempatkan di atas segalanya. Dalam konteks ini sangat menarik
pernyataan Az-Zarnuzi yang mengutip kata-kata Ibnu Hasan bahwa “Siapa yang
telah marasakan lezatnya ilmu dan amal akan semakin kecil kecintaannya pada
harta ataupun tahta” (Hasan Asy’ari, 1415: 47).
Ungkapan tersebut menunjukan bahwa seseorang murid yang
minatnya mantap, akan selalu tenang dalam segala macam kegiatan mencari ilmu.
Dengan demikian minat yang sangat penting dalam mendasari segala aktivitas
belajar. Belajar dengan minat yang tinggi mempunyai nilai mulia di sisi Allah
yang pada gilirannya nanti akan memberikan keberkahan pada murid itu
sendiri.
4. Cita-cita dalam Belajar
K.H Hasyim Asy’ari berpendapat bahwa cita-cita yang kuat
perlu dimiliki oleh setiap murid. Ia mengatakan: “bercita-citalah yang tinggi
dalam menuntut ilmu”. Sebab tidak akan mampu dengan ilmu yang sedikit
mengahadapi berabagai kemungkinan yang bercorak (Hasyim Asy’ari, 1415: 121) murid
hendaklah memiliki cita-cita, manusia akan terbang, sebagaimana burung terbang
dengan sayapnya. Az-Zarnuzi mengatakan dalam karyanya bahwa pangkal kesuksesan
adalah kesungguhan dan hikmah atau cita-cita kuat (Hasyim Asy’ari, 1415: 48).
Cita-cita merupakan suatu motivasi yang ada dalam diri
manusia yang akan memacunya untuk melakukan sesuatu serta memotivasi untuk
memusatkan perhatian. Cita-cita memungkinkan seseorang untuk dapat mengusai dan
memimpin dirinya sendiri, mengatur kegiatan , memilih cara dan menggunakannya
dalam melaksanakan suatu perbuatan, serta berusaha manghilangkan segala
hambatan.
Ada dua aspek yang menyertai cita-cita yaitu kesungguhan
(al-jidd) dan ketekunan (al-muwazabah). Kedua aspek tersebut
mempunyai kaitan erat. Cita-cita yang kuat mendorong seseorang (murid) dalam
melaksanakan kegiatan belajar. Bila belajar dilaksanakan dengan sunggug-sungguh
dan penuh ketekunan, maka akan semakin menguatkan motivasi. Oleh sebab itu
tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa cita-cita, kemauan dan ketekunan yang
kontinyu merupakan tiga seragkai menuju keberhasilan.
Sebagi contoh, kita pernah mengalami atau menyaksikan
anak balita belajar berjalan berulang kali sampai ia jatuh dalam proses belajar
berjalan itu. Karena kesungguhan yang keras dan terus menerus tanpa kenal lelah
dan sakit serta mendorong oleh semangat yang tinggi, akhirnya balita itu bisa
berjalan bahkan lari. Dengan demikian, kestabilan antara ketiga hal tersebut
perlu dilatih baik-baik dan secara optimal.
a.
Motivasi
Motivasi adalah suatu landasan yang paling meyakinkan
demi keberhasilan suatu proses belajar (Hasyim Asy’ari, 1415: 54). Jika
seseorang murid memiliki rasa ingin belajar, ia akan cepat mengerti dan
mengingat pelajarannya. Belajar akan merupakan suatu sikasaan dan tidak akan
memberikan manfaat jika tidak disertai sifat terbuka dalam membaca dan memahami
bahan-bahan pelajaran.
Ada satu pandangan K.H Hasyim Asy’ari yang menunjukan
bahwa ia juga mempunyai konsep atau pandangan mengenai prinsip belajar. Ia
mengatakan bahwa: “Guru yang berhasil membina kesediaan belajar murid-muridnya
berarti telah melakukan hal yang terpenting yang dapat dilakukan demi
kepentingan belajar murid-muridnya. Sebab motivasi bukanlah sesuatu yang ada
begitu saja, melaikan sesuatu yang dapat dipelajari” (Hasyim Asy’ari, 1415:
55).
Dalam bagian yang lain K.H Hasyim Asy’ari mengatakan:
“Bersemangatlah untuk mendapatkan ilmu, tunjukilah kawan-kawanmu berkreasi dan
mencari faedah, hilang duka cita yang menimpa mereka, ringankanlah rintihan dan
ingatlah pada mereka agar mengambil faedah dari qowaid, ghiroin dan mudzakarah”
(Hasyim Asy’ari, 1415: 56).
Sebelum masuk sekolah, seorang murid juga perlu
mengumpulkan pengalaman-pengalaman itu sangat menetukan bagi proses balajarnya
di kemudian hari. Sebagai salah satu contoh , psikoanalisis menunjukan bahwa
penolakan motivasi seksual dapat mengahambat berpikir dan melakukan penelitian.
Seorang murid tidak diperbolehkan bertanya dan melihat secara bebas dan wajar
akan mengalami kesukaran dalam mengembangkan minat belajarnya. Sikap rasa ingin
tahu yang tak dapat tumbuh itu pasti akan menghambat proses belajar (Muh Abdul
Qadir, t.t 125).
Bukan hanya K.H Hasyim Asy’ari menempatkan motivasi
kedalam prinsip belajar. Sebelum itu, Az-Zarnuzi juga mengatakan: “Hendaklah murid
mendorong diri sendiri untuk mencapai keberhasilan belajar dengan cara
memikirkan secara mendalam dan menghayati keutamaan ilmu” (Kurt Singer, 1973:
78).
Motivasi belajar dan motivasi meraih kesuksesan dalam
melakasanakan sesuatu yang timbul dari dalam diri, bahkan disebabkan oleh
paksaan dari luar. Belajar bukanlah tugas-tugas semata, tetapi merupakan
kebutukan yang perlu dipahami. Belajar yang didorong oleh motivasi instrintik
akan lebih berhasil dari pada yang didorong oleh motivasi ekstrintik (Sumadi
Suryabarata, 1987: 74).
Motivasi mempunyai kaitan erat dengan pelaksanaan suatu
pekerjaan atau aktivitas belajar seorang murid akan membuka dirinya dan akan
melakukan pendekatan terhadap dunianya, atau apakah ia akan menutup serta
mengalihkan dirinya, bergantung pada pengalaman-pengelamannya selama tahun
pertama usianya. Kehidupan duniawi menunjukan suatu karakter yang bersifat
mengajak bagi seorang anak. Artinya dunia ini memperlihatkan dirinya dengan
cara yang menarik dan memikat. Pada bulan dan tahun-tahun pertama pun sikap
belajar seorang anak sudah dipengaruhi oleh perasaan-perasaan yang didapatnya
dalam mengumpulkan pengalaman-pengalamannya. Ketika melihat suatu benda si anak
mengaitkan pengalamannya ini dengan perasaan-perasaan tertentu. Jika perasaan-perasaan
ini menyenangkan, si anak akan cenderung untuk terus melakukan
pendekatan-pendekatan terhadap benda-benda tadi. Sebaliknya, jika
pengalaman-pengalaman tadi tidak menyenangkan, maka ia akan berusaha
menghindarinya. Hubungan yang hidup dan aktif dengan duniua lingkungan sejak
masa usia tahun pertama pun penting untuk dimiliki murid. Jika tidak, ia akan
memutuskan hubungannya dengan dunia pendidikan (Kartini Kartono, 1985: 155).
Banyak ahli yang meneliti dalam kaitannya dengan belajar
Ames dan Ames penelitiannya menyimpulkan bahwa prestasi belajar bisa
ditingkatkan denga meningkatnya motivasi. Sementara Insubsong menyimpulkan
bahwa seorang yang bangkit motivasinya dan memperoleh self concept yang positif
akan lebih berusaha untuk mencapai prestasi yanglebih baik. Sedangkan Grattfrid
menyimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara motivasi instrinsik
dengan hasil belajar yaitu rata-rata sekitar antara 23%-44%.
Seorang murid yang mempunyai motifasi tinggi dan memiliki
hasrat belajar yang besar bila dilihat dari keinginan maka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan secara tak henti-henti. Dalam psikologi perkembangan
disebut adanya dua kelompok umur bertanya. Dalam kelompok umur yang pertama,
yang dimulai pada usia pra sekolah si anak menanyakan nama-nama benda. Dengan
menanyakan nama-nama itu ia berusaha menandai benda-benda. Barulah setelah
mengenal nama-nama tersebut, ia dapat merasa memiliki benda-benda dan sekaligus
seorang manusia ia dapat memisahkan dirinya dari benda-benda tadi (Kurt Singer,
1973: 79)
Dalam kelompok umur bertanya yang kedua, dimulai sejak
usia sekolah, yang dipertanyakanbukan lagi nama-nama, melainkan hubungan
dianatar benda-benda tersebut. Dengan tak henti-hentinya mereka mendesak guru
dengan pertanyaan-pertanyaan mengapa, dimana, siapa, kapan. Pertanyaan ini
dibandingkan dengan usaha belajar berjalan. Sebab bertanya adalah bentuk asal
dari mekiran dan karenanya merupakan proses berpikir dan belajar (A. Sumana.
1994: 31).
Sedangkan menurut Mahfidh Shalafudin, motivasi adalah
perhatian yang mengandung unsur-unsur perasaan. Motivasi menentukan suatu sikap
yang menyebabkan murid berbuat aktif dalam suatu belajar. Dengan kata lain,
motivasi dapat menjadi sebab dari suatu kegiatan.
Sedangkan istilah “sikap” atau dalam bahasa isnggrisnya
disebut “attitude” adalah suatu cara berkreasi terhadap suatu rangsangan.
Robert S. Ellis (1979: 288) dalam bukunya Education psykology: A Problema
Approach mengatakan bahwa motivasi adalah faktor perasaan atau emosi dan kedua
faktor reaksi/respon atau kecenderungan untuk bereaksi.
Dalam beberpa hal, motivasi merupakan penentu yang palig
dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi, maka motivasi selalu berhubungan
dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak senang (dislike).
Tiap-tiap orang mempunyai sikap yang berbeda-beda terhadap suatu perangsang.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang ada pada individi masing-masing.
Misalnya perbedaan dalam bakat, minat, pengalaman, pengetahuan, intensitas
perasaan, dan juga situasi lingkungan. Demikian juga motivasi murid terhadap
suat perangsang yang sama, mungkin juga tidak terlalu sama. Misalnya: pada
suatu saat guru A marah-marah oleh karena kelas yang ribut. Namun pada saat
yang lain, guru tersebut tidak begitu menghiraukan, meskipun kelasnya ribut.
Masalah sekarang adalah bagaimana sikap kita terhadap
beberapa masalah yang ada dalam kehidupan kita. Sebagai dalam kehidupan
manusia, sikap selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Karena itu, peranan
pendidikan dalam membentuk sikap pada anak didik adalah sangat penting.
Adapun faktor-faktor yang sangar mempengeruhi
perkembangan pembentukan sikap anak didik yang perlu diperhatiakn dalam
pemdidikan adalah meliputi: kematangan (maturation), keadaan fisik anak,
pengeruh keluarga, lingkungan sosial, kehidupan sekolah, mass media, kurikulum
dan cara mangajar (Robert S. Elis, 1979: 289).
b.
Umpan Balik dan Keaktifan
Belajar pada dasarnya memerlukan keaktifan dan umpan balik
antara murid dan guru secara seimbang. Sikap dan minat yang diperoleh dari
hasil-hasil belajar itu adalah sama dengan cara yang diperoleh murid-murid
dalam mempelajari keterampilan (skill) ilmu pengetahuan dan kebiasaan-kebiasaan
lainnya. Prinsip-prinsip yang berlaku dalam proses balajar berlaku bagi minat
dan sikap. Akan tetapi faktor-faktor yang menentukan perkembangan keaktifan
bersikaf lebih tidak tampak (Mahfudh Shalahuddin, 1990: 96).
Asal usul keaktifan dipengaruhi oleh beberapa hal berikut:
1)
Fungsi kebutuhan belajar
2)
Keinginan dan cita-cita
3)
Pengaruh kultur
4)
Beberapa kemungkinan minat dan empiris (Mahfudh
Shalahuddin 1990: 96).
Tidak sedikit konsep K.H Hasyim Asy’ari menunjukan bahwa
belajar perlu kearifanb, baik aktif jasamani maupun rohani (akal dan qalb).
Dalam salah satu bagian kitabnya ia mengatakan bahwa mengamalkan ilmu
pengetahuan merupakan umpan balik dari keberhasilan belajar, dan tujuan utama
bagi ilmu pengetahuan. Seorang murid hendaknya terlebih dahulu menanamkan rasa
antusias.
Disamping keaktifan yang telah disampaikan oleh K.H
Hasyim Aey’ari, masih ada bentuk keaktifan lain eperti dikemukakan oleh
al-Zarnuji yaitu keaktifan akali seperti mutharahah, munazarah, musyawarah, dan
ta’amul.
Muthaharah nerupakan keaktifan akali dengan cara melempar
beberapa permasalahan dari inividu kepada individu lainnya untuk dapat
diselesaikan secara musyawarah (Hasyim Asy’ari, 1415: 35), sedang munazarah,
mujadalah, muzakarah (menelaah), dialog (berpikir) semuanya merupakan
konsep dalam keaktifan belajar.
Berpikir refelktif (ta’ammul) banyak bermanfaat
dalam belajar dan perlu dipakai dalam metodologi penelitian. Hal ini
dikarenakan hasil yang diperoleh dari berpikir semacam ini merupakan yang
didalamnya ada unsur deduksi yang diterapkan secara bergantian.
Baggie memandang bahwa belajar reflektif berkembang
melalui aplikasi dalam psikologi medan (cognitiv field psychology) di
mana belajar merupakan usaha untuk mendapatkan pengertian (ilmu pengetahuan)
yang baru atau mengubah yang lama melalui experimen dan penelitian (Morris, L.
Biggie, 1982: 317). Menurut Madama, De meintenon of the Something Several Times
Over (Ernest Dimmet, 1961: 148) (memikirkan suatu mendalam dan barangkali akan
mendatangkan hasil yang memuaskan).
Keaktifan yang diungkapkan K.H Hasyim Asy’ari adalah
keaktifan dalam bentuk menulis, mencatat, menghafal dan berdo’a. Pandangan ini
sesuai dengan para sarjana Barat publish an perish (Lukman Saksono, 1987: 47).
Sarjana Barat banyak tertarik oleh prinsip ini, terbukti dengan banyaknya karya
tulis berupa buku, jurnal, ensiklopedia, majalah dan bentuk lainnya.
c.
Kemampuan (Kapasitas)
Kapasitas atau frekwensi secara bahasa berarti mengulangi
suatu berulang kali (Louis Ma’luf, 1969: 678). Dengan demikian prinsip
kemampuan adalah pengeulangan objek secara berulang laki, baik secara tulisan
ataupun lisan, sehingga objek tersebut dapat benar-benar dikuasai. Secara lugas
K.H Hasyim Asy’ari menyatakan agar pelajar tekun menyimak dan memahami ilmu,
dengan melaporkan hafalan kepada guru.
Karena itu, seharusnya memberikan hal yang seimbang
kepada pelajar antara penugasan (rasitas) dan membaca. Ada penelitian
yang membuktikan bahwa balajar dengan cara penugasan jauh lebih besar frekwensi
retensinya dibandingkan dengan membaca terus menerus. Menurut Syamsu Moppa dkk,
makin besar waktu yang digunakan untuk resitasi, makin tinggi presentagsi yang
dipahami(Hasyim Asy’ari, 1415: 25).
Konsep pemikiran K.H Hasyim Asy’ari mengenai frekwensi
(kemampuan) sangat selaras dengan pemikiran modern, bahkan dalam hal tertentu
lebih maju. Dalam pandangannya, kemampuan hendaknya mejadi hal yang terbiasa
dan melekat pada diri pelajar.
Ada beberapa dimensi standar yang terkandung dalam konsep
kemampuan menurut K.H Hasyim Asy’ari (1415: 25) dimensi-dimensi itu antara
lain:
1)
Sedikit demi sedikit berharap
2)
Sesuai dengan kadar kemampuan
3)
Menjaga kodisi fisik dan mental
4)
Alokasi waktu
Mengenai pengalokasian waktu, K.H Hasyim Asy’ari (1415:
26) mengemukakan:
“Hendaknya ia
mampu membagi-bagi waktu siang dan malamnya dan mempergunakannya dengan
baik-baik sepanjang sisa hidupnya, dipergunakan waktu-waktu sahur menghafal,
waktu pagi untuk membahas pelajaran, waktu tengah hari untuk menulis, waktu
malam hari untuk menelaah dan berdiskusi”
Dari beraneka ragamnya pandangan K.H Hasyim Asy’ari
mengenai pemanfaatan waktu belajar, terlihat ia sangat menganjurkan agar
pelajar mangalokasikan waktu studi secara kaku. Karena yang diperlukan justru
sebaliknya. Pelajar diharapkan terbiasa menggunakan waktu sesuai dengan situasi
dan kondisi masing-masing, sehingga tidak menimbulkan kejenuhan dalam belajar.
d.
Evaluasi Belajar
Untuk aktifitas balajar, evaluasi marupakan komponen yang
tidak dapat dipisahkan, karena evakuasi merupakam kontrol sistem dan korelasi
dan kelemahan belajar pada dua belah pihak antara guru dan murid. Dengan
evaluasi ini diharapkan bisa diketahui sampai seberapa jauh guru dan murid bisa
menyelesaikan target yang direncanakan, baik-baik aspek-aspek yang menunjang
keberhasilan maupun perkembangannya, serta bagaimana metode penyelesaiannya.
Evaluasi juga dapat dipergunakan untuk merancang cara meningkatkan hasil
yangtelah dicapai.
K.H Hasyim Asy’ari (1415: 60) sangat menekankan arti
penting evaluasi dalam proses balajar mengajar. Ia secara tegas menyetakan:
“Adalah sangat
penting untu selalu mendiskusikan hasil
belajar denga orang yang lebih dipercayainya, memperhatikan syiar-syir
Islam dan realisasi Syari’at, memberi kesempatan kepada murid untuk menanyakan
hal-hal yangbelum jelas, periksalah buku-buku murid terlebih dahulu bila hendak
melanjutkan mengajar”.
Pernyataan K.H Hasyim Asy’ari di atas mengarah pada
pentingnya avaluasi terhadap penguasaan dan beban belajar. Murid dituntut untuk
bersikap jujur,objektif dan kontinyu agar diperoleh hasil belajar yang memadai.
Evaluasi dapat dikembangkan lebih jauh, tidak hanya
terbatas pada pengusaan materi, tapi sampai sejauh mana pelajar dapat
mengembangkan daya kreatifitasnya denga mengembangkan nilai-nilai pendidikan
Islam, iman dan ihsan yang layak dan seharunya dilakukan. Berkenaan dengan itu
Haz-Zamuji mempertegas dengan mengatakan sabada Rosulullah SAW:
Artinya:
Barang siapa mengetahui dirinya, ia akan mengetahui akan Tuhanya (H.R Imam
Baihaqi).
Sabda Rosulullah tersebut bisa dimaknai sebagai proses
belajar imani yang berawal dari mengenali diri sendiri baru kemudian berlanjut
dengan yang lainnya. Hal ini dekat sekali dengan teori idealisme di mana
manusia dianggap sebagai subjek kreatif, bergerak untuk mengetahui dirinya agar
mengerti Tuhannya (Muh. Noer Syam, 1986: 284)
Dalam mengetahui diri bukan hanya kebaikan, kelebihan dan
prestasi-prestasi yang baik yangperlu dilihat oleh pelajar, akan tetapi
kelemahan dan kekurangan yang dimiliki sangat perlu diperhatikan. Sebab sengan
mengetahui hal tersebut, akan diusahakan perbaikannya, sehingga terbentuk dalam
diri pelajar (murid) itu suatu pribadi yang anggun, mempesona, mawas diri baik
dihadapan manusia maupun di sisi Allah, serta maju dibudang iman, ilmu dan
amal.
C. Input Pemikiran K.H Hasyim Asy’ari terhadap Dinamika Pendidikan Islam
K.H Hasyim Asy’ari memaparkan bahwa manusia mempunyai
banyak potensi di antaranya adalah potensi jasmani, akal, fitrah, nafsu dan
hati nurani (qalbu). Sementara itu pendangan bahwa manusia menurut Islam
terdiri dari unsur jasmani, akal, qalb, K.H Hasyim Asy’ari lebih luas
menggambarkan bahwa apabila kita menggambarkan tentang jasmani dalam
pendidikan, bukan hanya alat-alatnya, panca indranya dan kelenjar-kelenjarnya,
tetapi juga potensi yang sangat energi yang muncul dari jasmani dan terungkap
melalui perasaan. Potensi ini berisi berbagai macam
dorongan,kecenderungan-kecenderungan dan reflek-reflek yang bersifat fitrah
dalam arti potensi kehidupan inderawi dalam pengertiannya yang lebih luas
(Abdullah Nashih Ulwan, 1983: 150-157)
Tanpa ingin terjun ke dalam polemik dalam ilmu jiwa
eksperimental yang terdapat bahawa jiwa itu adalah totalitas antara rasa, fikir
dan karsanya yang tidak lain adalah pantulan jasmani dengan unsur-unsur kimiawi
dan unsur-unsur listriknya, juga tidak ingin berpolemik dengan teori-teoei
falsafah yang berpendapat bahwa jasmani semata-mata hanyalah tempat hinggapnya
jiwa, para teoritis pendidikan Islam menyatakan bahwa dalam membina tubuh dan
energi potensial itu harus diperhatikan dua hal sekaligus, yaitu memperhatikan
tubuh fisik dan segi psikologisnya (Wasti Soemamnto, 1987: 190).
Theori theistic mental Discipline mengakui adanya fitrah
seperti tersebut diatas. Aliran ini memandang bahwa manusia lahir dalam keadaan
kosong, sehingga hanya lingkungan dan pendidikanlah yang menentukan baik
buruknya individu (Abdul Aziz Ahyadi, 1995: 165).
Pandangan mengenai wacana fitrah di atas merupakan
kontribusi K.H Hasyim Asy’ari terhadap wacana pendidikan Islam dam sekaligus
merupakan bukti bahwa ia sangat intens dalam mesosialisasikan pentingnya etika
belajar-mengajar yang islami. Fitrah merupakan good active, bukan neutral
atau bad active. Neong Muhadjir berpendapat bahwa mengembangkan
fitrah ke dalam teori yang disebut teori fitrah bertujuan untuk mengembangkan
potensi-potensi setiap individu untuk diarahkan pada penanaman, pengembangan
dan pemantapan ke-Islaman ke-Ilmuan dan ke-ikhlasan-an (Neong Muhadjir, 1993:
99).
Sedangkan dalam bidang mental dan spiritual fitrah
manusia sangat dominan dalam usaha rehabilitasi, karena penyimpangan lebih
banyak disebabkan oleh mental. Di antara penyebab gangguan kejiwaan adalah rasa
salah. Anak yang terlanjur nalak akan semakin tenggelam malakukan kesalahan. Di
sini perlu adanya pembinaan jasmani secara fitrah yang sesuai kondisi
kejiwaannya.
Dalam undang-undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 26,
disebutkan :
Pendidikan
Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik menjadi manusia
yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrastis dan
bertanggung jawab (UU RI. No. 20, 2003: 7).
Melihat kenyataan tersebut di atas dapat disimpulkan
bahwa ide yang dituangkan dalam UUSPN itu sangat relevan dengan pemikiran K.H
Hasyim Asy’ari mengenai “belajar seumur hidup dan wajib mengamalkan apa yang
diperoleh selama belajar”. Pengalaman suatu ilmu di samping karena tenggung
jawab kepada masyarakat juga tanggung jawab diri manusia kepada Allah.
Tujuan belajar menurut K.H Hasyim Asy’ari antara lain
mencakup aspek kemampuan diri secara optimal, mencerdaskan murid, meningkatkan
ketaqwaan dan mendakwakan agamanya. Sebagai suatu proses, sudan kurang tentu
dalam belajar mengajar harus ada yang diproses yaitu masukan atau input. Ia
menjelaskan bahwa dari teori pemrosesan itu akan keluar suatu hasil, yaitu
uotput. Jadi, dalam hal ini kita dapat menganalisis kegiatan belajar itu dengan
pendekatan analisis sistem, sekaligus kita dapat melihat adanya berbagai faktor
yang dapat mempengaruhi belajar secara jasmani dan proses hasil belajar.
Dengan pendekatan sistem dimaksud, input pemikiran K.H
Hasyim Asy’ari dapat digambarkan lewat bagan kegiatan belajar mengajar sebagai
berikut:
Bagan di atas menunjukan bahwa masukan mantal (raw
input) merupakan bahan yang perlu diolah, yaitu diberi pengalaman balajar
terutama dalam proses belajar mengajar (tesching larning proses). Dalam
proses belajar mengajar itu, turut berpengaruh pula sejumlah faktor lingkungan
yang merupakan masukan lingkungan (environmental) dan berfungsi
sejumlah faktor yang sengaja dirancang dan dimanipulasikan (instrumental
input), guna tercapainya keluaran yang dikehendaki (uot put).
Berbagai faktor tersebut berinteraksi satu sama lain dalam menghasilkan
keluaran tertentu.
Dalam proses belajar mengajar yang dimaksud dengan
“masukan mental atau raw input” adalah bagaimana kondisi fisik, panca indera
dan lain sebagainya. Sedangkan yang menyangkut psikologis adalah minat, tingkat
kecerdasan, bakat, motivasi, kemampuan kognitif dan lain sebagainya, kesemuanya
itu dapat mempengeruhi bagaimana proses dan hasil belajar seseorang.
Sehubungan dengan hal diatas, K.H Hasyim Asy’ari
menganjurkan untuk balajar melalui diskusi, berpikir secara mendalam, rajin
menganalisa, menulis dan serta berkarya lainya. Ia mengingatkan pula agar para
peserta didik senantiasa mengimplikasikannya nalai manfaat, nilai etik dan
nilai-nilai ibadah.
Selain itu, nilai-nilai budaya yang luhur secara perlahan
tidak kecil kemungkinannya yang tergeser untuk kemudian digantikan dengan nilai
budaya yang sebenarnya kurang sesuai. Nilai-nilai moral asli banga kita nampak
jelas mulai dikritisi. Sebagai contoh nyata adalah cara berpakaian muda-mudi,
sikap pada kawan, guru dan orang tua. Karena itu, di sini adanya
program-program instrumental input atau faktor-faktor yang disengaja dan
diformulasikan yaitu kurikulum atau pelajaran, guru yang memberikan pengajaran,
sarana dan fasilitas, serta manajemen yang berlaku di seluruh inttusi yang
bersangkutan.
Dalam keseluruhan sistem, instrumen input merupakan
faktor yag sangat penting dan menentukan dalam mencapai hasil (out put)
yang dikehendaki. Sebab, instrumental input inilah yang menentukan bagaimana
proses belajar mengajar itu terjadi dalam diri seseorang.
Di samping itu, masih ada lagi faktor lain yang dapat
mempengaruhi proses dan hasil belajar seseorang. Di sini penulis akan
menganalisis berdasarkan bagan yang menunjukan tentang faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi proses hasil belajar seseorang (murid).
Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
sebagai berikut:
1.
Faktor luar
a.
Lingkungan
-
Alam
-
Sosial
b.
Instrimental
-
Kurukulum
-
Guru/pengajar
-
Sarana dan fasilitas
-
Administrasi
-
Managemen
2.
Faktor dalam
a.
Fisiologi
-
Kondisi fisik
-
Kondisi panca indera
b.
Psikologi
-
Bakat
-
Minat
-
Kecerdasan
-
Motivasi
-
Kemampuan
Disamping pencapaian proses balajar, baik input maupun
output K.H Hasyim Asy’ari secara tegas menjelaskan bahwa ilmu akhlak dan
mengamalkannya dalam kehidupan nyata adalah wajib. Semuanya bisa meninggalkan
rasa syukur dan taqwa kepada Allah SWT dalam arti luas.
Disamping berbicara tentang peluang keberhasilan proses
belajar mengajar dan wajib menuntut ilmu akhlak K.H. Hasyim Asy’ari juga
mengungkapkan hambatan-hambatan dalam proses belajar. Menurutnya, proses
belajar siswa tidak selalu lancar seperti yang diharapkan. Kadang-kadang mereka
mengalami kesulitan dan berbagai hambatan dalam kegiatan belajar.
Hambatan-hambatan belajar itu dapat diklasifikasikan
dalam dua faktor sebagai berikut:
1.
Faktor Endogen, hambatan yang dapt timbul dari diri anak
itu sendiri. Hal ini dapat bersifat:
a. Biologis, yakni hambatan
yang bersifat kejasmanian seperti ksehatan, cacad badan, kurang makan dan lain
sebagainya.
b.
Psikologis, yakni hambatan yang bersifat psikis seperti
emosi dan gangguan psikis.
2.
Faktor Exogen ialah hambatan yang dapat timbul dari luar
diri anak. Faktor ini meliputi:
a.
Faktor lingkungan keluarga
b.
Faktor lingkungan sekolah
c.
Faktor lingkungan masyarakat, (Mahfudin Shgalahuddin,
1990: 58).
Dengan adanya faktor-faktor penghambat di atas, maka
keberhasilan seorang siswa sulit terwujud jika ada usaha keras dari pendidikan
maupun anak didik yang berkewajiban belajar dan sekaligis harapan bangsa.
Mereka perlu secara sadar mengusahakan tercapainya harapan bangasa itu,
menelorkan gagasan baru, berinisiatif, kreatif, inovatif. Sikap-sikap itu harus
diintegrasikan dengan nilai-nilai moral sehingga menjadi sangat penting dan
besar arinya bagi pribadi dan bangsanya. Untuk itu sangat tidak mencukupi kalau
hanya menggantungkan diri pada apa yang diperolehnya dari guru. Murid perlu
berusaha keras dan sunggung-sunggung dengan dibarengi dan tekad bulat dan
dinamis.
Mengenai hal-hal yang diperlulkan dalam belajar, K.H.
Hasyim Asy’ari banyak menjelaskan kesungguhan usaha keras dalam belajar, tekad
yang kuat dan sebagainya. Hal ini dapat dilihat dari bahasan prinsip-prinsip
balajar yang secara berpariasi juga banyak dibahas ini kebanyakan tertuju pada
penguasaan materi dan pengembanganm kemampuan kognitif. Sementara perhatian
K.H. Hasyim Asy’ari lebih tertuju pada kemampuan akal, moral, iman dan lainny.
Hal ini terlijat jelas dengan prinsip niat yang dituangkan dalam
prinsip-prinsip belajar.
Pernyataan niat ke dalam prinsip-prinsip sesuai denga
kajian ahli-ahliu pendidikan modern, bahwa lebih canggih dalam berbagai
kemampuan, sehingga belajar lebih bermakna dan mempunyai nilai tambah. Adapun
nilai yang lebih lainnya yang jarang diperhatikan oleh para ahli pendidikan
adalah etika belajar mengajar, makanan yang bergizi dan mahal, ini berpengaruh
langsung pada kesehatan mental yang dapat menghindarkan gangguan kejiwaan dan
pertentangan bathin atau lainnya yang ditimbulkan oleh sesuatu yang berkenaan
dengan soal pemenuhan ketaatan kepada guru.
Sedangkan pandangan K.H. Hasyim Asy’ari yang sampai
sekarang masih relevan yaitu tentang kemandirian murid. Ia memandang perlunya
murid mampu berusaha, bekerja, dan berdikari agar sanggup menanggung biaya
sendiri dalam belajar dan mengembangkan kemampuan dan tidak tersendat belajar
karena biaya.
Dalam konteks ini, Mahmud Ahmad Assayid menjelaskan
konsep tentang pendidikan Rasulullah SAW, yang sejalan dengan konsepsi
pendidikan modern, yaitu pendidikan yang mengarahkan manusia agar menjadi
pribadi manusia yang utuh dalam segala aspeknya, menjadi manusia terdidik mampu
mengembangkan potensi akal dan hati nuraninya untuk kepentingan masyarakat.
Tidak sebagaimana pandangan yang lain, maka pendidikan Rosulullah ditujukan
untuk kepentingan yang seimbangan antara kepentingan duniawi dengan kebahagiaan
akhirat.
Berangkat dari analisis dasar pemikiran K.H. Hasyim
Asy’ari, maka sudah saatnya bagi pelajar atau murid , terlebih lagi bagi
mahasiswa untuk berani lagi melepaskan diri dari sikap ketergantungan dan menuju
kepada sikap mandiri. Dengan demikian tidak terlena dengan kemajuan zaman,
menjadi pengagum dan penganut setia, tetapi berperan aktif memelihara dan
memakmurkan dunia atas dasar keimanan dan akhlak yang mulia.
Dari kajian di atas dapat
disimpulkan bahwa, pengertian pemikiran etika belajar mengajar dalam pendidikan
menurut K.H. Hasyim Asy’ari sampai kapanpun akan tetap berkembang bahkan dalam
beberapa aspek mempunyai nilai lebih jika dibanding dengan konsep pemikiran
belajar mengajar yang muncul dari pendidikan Barat. Dengan keunggulan semacam
itu, pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari tetap relevan baik untuk sekarang maupun
yang akan datang.
0 Response to "PANDANGAN DAN PEMIKIRAN HADRATUS SYEKH KH. HASYIM ASY'ARI RA TENTANG KONSEP BELAJAR "
Post a Comment