BIOGRAFI HADRATUS SYEKH KH. HASYIM AS'ARI RA

CERITA SINGKAT HADRATUS SYEKH KH. HASYIM AS'ARI RA


BAB III

BIOGRAFI K.H HASYIM ASY’ARI

A.    Latar Belakang Keluarga dan Pendidikannya


K.H. Hasyim Asy’ari lahir di Gedang, sebuah desa di utara kota Jombang, pada hari Selasa 24 Dzul Qo’idah 1287. namun lengkapnya Muhammad Hasyim Asy’ari (Hasyim Asy’ari, 1415: 3). Ayahnya adalah Ibn Abdul Wahid Ibn Abdul Hakim yang bergelar Pangeran Bona. Asy’ari sendiri putra dari Ibn Abdul al-Rahman yang bergelar Jaka Tingkir Sultan Hadiwijoyo.

Hasyim Asy’ari adalah salah satu tokoh bapak pendiri republik yang mempunyai andil besar pada perjuangan mewujudkan kemerdekaan Indonesia melawan imperialisme Belanda. Ia termasuk tokoh yang ditakuti oleh Belanda karena kharisma dan pengaruhnya yang sangat besar di kalangan umat Islam di Jawa dan Madura.

Sebelum mengasuh sebuah pesantren, yang kemudian popular dengan Pesantren Tebuireng, ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah al-Mukarromah pada tahun 1308 H dan bermukim di sana beberapa tahun (Solihin Salam, 1985: 19). Ia belajar dari tokoh-tokoh ulama terkenal yang mengajar di Masjid al-Haram Makkah ketika itu. Setelah itu, ia semapat menjadi guru agama di tanah suci dan mengajar santri-santri yang sedang menuntut ilmu di sana, utamanya untuk para santri yang datang dari Asia Tenggara seperti Burma, Siam, Malayasia, Indonesia dan lain-lain.

Hasyim Asy’ari kembali ke tanah air dari tanah suci dan tidak membawa gelar atau titel akademik, tidak pada pembawaan harta dunia yang bertumpuk, namun kembali dnegan membawa ilmu yang bermanfaat untuk diajarkan kepada warga dan anak negerinya, memberi bimbingan dan pendidikan kepada mereka, dan menghidupi mereka dengan roh Islam (Abu Bakar, 1957: 61).

Ia kembali dari Makkah dengan membawa ajaran-ajaran Islam ke tanah airnya, dan setelah sampai, mengembangkan metode pengejaran dan pendidikan. Ia mendirikan pesantren dan madrasah-madrasah, di samping membentuk barisan pemuda untuk belajar dalam rangka pemerataan belajar (Hasyim Asy’ari, 1984: 57). K.H. Hasyim Asy’ari pernah mengatakan bahawa suatu bangsa tidak akan jaya apabila warganya bodoh. Hanya dengan ilmu suatu bangsa menjadi “ (Zamaksyari Dhofir, 1983: 63).

Hasyim Asy’ari kemudian mendirikan pesantren Tebuireng. Pesantren ini berdiri pada tahun 1989 di Desa Cukir, Kecamatan Diwek. Kabupaten Jombang Jawa Timur. Pesantren ini kemudian menjadi sangat terkenal karena metode dan sistem pendidikan agama dikembangkan di sana mampu menghasilkan ulama-ulama besar dan disegani.

Ada banyak tantangan dan gangguan yang dihadapi K.H. Hasyim Asy’ari. Ketika mulai merintis pembangunan pesantren Tebuireng. Tantangan dan gangguan itu tidak hanya datang dari warga di sekitarnya, tetapi juga dari pemerintah Belanda. Bahkan pemerintah Belanda waktu itu pernah mencoba menggunakan kekerasan untuk menghalang-halangi usaha Kiai Hasyim. Belanda pernah mengirim pasukan untuk mengusai pesantren Tebuireng dan menghancurkan serta merusak apa saja yang di dalamnya sehingga kerugian-kerugian material yang diakibatkan bisa menjadi teror yang diperkirakan akan berdampak buruk pada usaha Kiai Hasyim (Dewan Raharjo, 1975: 42). Pasukan yang dikirim pemerintah Belanda waktu itu, berusaha membunuh K.H. Hasyim Asy’ari atau menculiknya. Oleh karena itu terjadilah benturan berdarah antara kekacauan penyerang dan para santri dan guru yang mempertahankan pesantren.

Tantangan dan gangguan trehadap Kiai Hasyim dan pesantren Tebuireng itu dihadapi dengan sabar oleh Kiai Hasyim, sambil sewaktu-waktu ia mengambil keputusan yang sangat tegas untuk memperjuangkan kepentingan pesantren itu.

Selain merintis pembangunan pesantren Tebuireng, K.H. Hasyim Asy’ari juga mengembangkan gerakan sosial keagamaan lain yang tidak kalah pentingnya dnegan keberadaan pesantren yang ia dirikan. Bersama dengan beberapa ulama besar tanah Jawa yang lain seperti K.H. Abdl Wahab dan K.H Bishri Syamsuri, pada tanggal 16 Rajab 1344 H, K.H. Hasyim Asy’ari mendirikan sebuah organisasi keagamaan tradisional yang diberi nama Nahdlatul Ulama (NU), NU merupakan organisasi sosial keagamaan yang mendorong kaum muslimin agar berpegang teguh kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, menjauhi kesetaraan dan bid’ah. Memotivasi jihad fisabilillah demi tegaknya kalimat Allah.

Sebagai seorang ulama besar yang berpengetahuan luas dan dalam K.H. Hasyim Asy’ari telah menulis beberapa kitab, baik dalam bidang tasawuf, fiqih, tauhid, etika maupun siyasah (politik). Kitab-kitab yang merupakan hasil karyanya antara lain:

1.      Adab al-Alim wa-Mutta’alim

2.      Ziyadah Ta’liqat

3.      At-Tanbihat al-Wajibat

4.      Ar-Risalah al-Jama’ah

5.      An-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Marsalin

6.      Hasyiyah ‘Ala fath al-Rahman

7.      Ad-Duraru al-Muntasirah fi al-Masay at-Tis’i Asyarah

8.      At-Tibyan fi al-Nahyi’an Moqoti’ati al-Ikhwan

9.      Ar-Risalah at-Tauhidiyah

10.  Al-Qalid fi Bayani ma Yajbu min al-‘Aqaid.



B.     Guru dan Kolega K.H. Hasyim Asy’ari

K.H. Hasyim Asy’ari belajar di tanah suci Makkah al-Mukarramah di bawah asuhan tokoh-tokoh ulama besar tanah Hijaz pada waktu itu, seperti Syeikh Ahmad Amin al-Athar, Sayyid Sultan bin Hasyim, Sayyid Ahmad bin Hassan al-Atthar, Syeikh Sayid Yamany, Sayyid Alawi bin Ahmad as-Saqqaf, Sayyid Abbas Maliky, Sayyid Abdullah az-Zawawy, Syeikh Shaleh Bafadlol, dan Syeikh Sultan Hasyim Dagastani (K.H. Hasyim Asy’ari, 1415: 7).

K.H. Hasyim Asy’ari termasuk orang tekun menghadiri majlis-majlis pengajaran di Mesjid al-Haram Asy-Syarif dan selalu mengikuti pengajian al-Allamah Sayyid Alawi dan Ahmad as-Saqqaf dan Sayyid Husein al-Habsyi al-Mutfi. Ia sering mengunjungi rumah kedua gurunya ini. Sayyid as-Saqqaf terdiri sendiri sangat mengagumi Hasyim Asy’ari karena kecerdasan dan ketekunannya menuntut ilmu (Zamaksyari Dhofier, 1987: 42).

Ketika belajar di Tanah suci itu, K.H. Hasyim Asy’ari emmpunyai banyak kolega atau kawan dekat yang menuntut ilmu di sana. Kolega-kolega K.H. Hasyim Asy’ari antara lain Sayyid Sholeh Syatha, Syeikh Tayyib as-Saasi, Syeikh Bakar Sabbahgh, Sayyid Shaleh bin Alawi bin ‘Aqil, Syeikh Abby Hamid Quds, Syeik Muhammad Nur Fathani, Syeikh Muhammad Sa’id Abdul Khair, Syeikh Abdullah Hamdan, Sayyid ‘Aldrus al-Bar, Sayyid Muhammad Ali al-Maliky dan Sayyid Muhammad Thahir ad-Dahbagh.

Dengan para ulama dan kolega-kolega it, K.H. Hasyim Asy’ari terus berhubungan melalui surat. Ia juga menjalin hubungan dengan beberapa pimpinan dunia Islam saat itu seperti Abdul Aziz Tha’alabi, Sayyid Dliya ad-Dien Syairazi, Amin Syahib Arselani, Amir Muhamamd Abdul Khathabi, Sayyid Alawi bin Thahir al-Hadadd (Mufti kerajaan johar), Muhammad Ali dan Syaukat Ali dari India, Muhammad Ali Jinnah, Muhammad Iqbal, Sayyid Hibas ad-Dien Syahrastani, al-‘Allamah Sayyid Muhammad Aqil (mantan menteri Pendidikan Iraq dan ketua majlis pertimbangan), Syeikh Muhammad Jad al-Maula, Syeikh Muhammad Surur Zan Kaluni, Syeikh Yusuf Dajwi, Sayyid Muhammad Ghanimi Taftazany, Sayyid Ali bin Husein al-Atthar, Syeikh Muhammad Husein Ali Kasyief al-Ghaeti; pejuang besar Syeikh Ahmad Arif az-Zein, dan pemilik serta pendiri majalah “Al-Irfan” dan “Jabal Amin”, Sayyid Abdullah bin Alawi al-Atthar serta Sayyid Muhammad Mudlar (Muhammad Asad Syihab, (1994: 49).

Ketika Amir Karim al-Khatabi melancarkan revolusi kemerdekaan yang dahsyat dan terkenal tahun 1924 melawan Perancis dan Spanyol dan Maghribi dan pasa saat sama Sultan Athrasi di Syiria juga mengobarkan perang melawan Prancis, saat itu K.H. Hasyim Asy’ari juga melakukan peran-peran positif dengan menunjukkan solidaritas kaum Muslimin Indonesia mendukung revolusi Amir Abdul Karim dan Sultan Pasya Athrasy itu. Demontrasi-demonstrasi besar dilaksanakan beberapa kali dan rapat-rapat umum digelar untuk menunjukkan solidaritas kemanusiaan sebagai manifestasi dan dukungan penuh terhadap setiap perlawanan menghadapi kolonialis. K.H. Hasyim Asy’ari berbicara di depan ribuan hadirin dengan kefasihan pidato yang menyentuh perasaan para pendengarnya, dan mendo’akan semoga Allah menolong perjuangan kaum Muslimin.

Komitmen K.H. Hasyim Asy’ari pada dunia pendidikan Islam sangat menonjol. Salah satunya adalah ia membangun perpustakaan pesantren dan perpustakaan pribadi K.H. Hasyim Asy’ari sangat lengkap, karena berisi buku-buku pengetahuan keislaman yang sangat penting dan jarang dijumpai, baik dalam bentuk buku atau kitab cetakan maupun yang berupa naskah-naskah tulisan dengan peninggalan lama, Perpustakaan K.H. Hasyim Asy’ari memuat sejumlah besar kitab-kitab dalam bahasa Arab, Indonesia, Jawa, Malayasia dan beberapa bahasa Asing lainnya. Perpustakaan itu menyaingi perpustakaan lembaga penelitian Islam di Jakarta (Saefudin Zuhri, 1982: 213).



C.    Kondisi Sosial pada Masa K.H. Hasyim Asy’ari

Pada tanggal 8 Maret 1819, Gubernur Jenderal Van der Capllen (Jumhur H. Damasputra, 1974: 45) mengeluarkan surat keputsuan yang isinya memerintahkan untuk diadakan suatu penelitian tentang pendidikan masyarakat Jawa, dengan tujuan meningkatkan kemampuan menulis dan membaca dikalangan mereka. Dari penelitian tersebut diharapkan pelaksanaan Undang-undang dan peraturan pendidikan dapat diperbaiki. Namun pada kenyataannya, di Indonesia terdapat dualisme pendidikan. Di satu sisi ada pendidikan umum yang tidak mengenal agama sedikitpun. Pihak lain ada lembaga pendidikan agama yang di dalamnya tidak diajarkan ilmu pengetahuan umum.

1. Sistem Pesantren sampai Pendidikan Sekolah (Madrasah)

Pada penelitian di atas, semua daerah mendapatkan pertanyaan melalui angket. Hasil penelitian melaporkan adanya beberapa orang justru tulisan yang memberikan pelajaran tentang bahasa dan huruf Arab, Jawa atau Latin. Dilaporkan adanya pendidikan agama Islam dengan memakai bahasa Arab, yang memrupakan lembaga pendidikan paling penting diantara orang-orang Jawa (Karel Steenbrink, 1986: 214-219).

Sebab kemudian, Brugmanas membicarakan penelitian tersebut dan menduga bahwa Gubernur Jenderal Van Capllen hendak melaksanakan satu jenis pendidikan “yang berdasarkan pribumi murni” secara teratur dan disesuaikan dengan masyarakat desa, yang dihubungkan erat pada Pendidikan Islam yang sudah ada sebelumnya (Brughman, 74).

Dengan gaya optimis, Brugmans menghubungkan pendapat tersebut dengan seluruh kebijakan politik pendidikan Belanda. Walaupun terkadang lemah dan sering kali terputus, kebijaksanaan pemerintah Belanda hampir selalu sama yaitu: menghormati unsur pribumi dalam masyarakat dan keengganan menolak budaya asli dalam hubungan dengan kebudayaan asing yang bercorak Barat (M. Arifin, 1981: 118).

Pandangan terhadap sejarah pendidikan ini diilhami oleh sifat kurang senang terhadap politik asosiasi dan oleh sikap positif dipertahankan unsur ketimuran. Pandangan ini memang tidak dapat dipertahankan, utamanya jika membicarakan usaha penggabungan beberapa kali diusulkan agar lembaga pendidikan Islam yang ada dimanfaatkan dengan kebijaksanaan untuk mengembangkan sistem pendidikan umum (M. Arifin, 1981: 118). Namun pada realitas yang ada ketika itu, reorganisasi dan pengembangan sistem pendidikan kolonial selalu memilih jalan lain dari pada menyesuaikan diri dengan pendidikan Islam.

K.H. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh penting yang mempunyai perhatian serius pada persoalan-persoalan pengembangan pendidikan agama dan lembaga pesantren pada zaman Belanda. Dari kalangan pemerintah Hindia Belanda sendiri ada tokoh yang mempunyai kepedulian terhadap pendidikan Eropa, yaitu inspektuf pendidikan pribumi yang pertama, J.A. Van Chijs. Setahun menjabat sebagai inspektur pendidikan, dia sudah menolak menyesuaikan pendidikan Islam yang ada. Ia beralasan “walauoun saya sangat setuju kalau sekolah pribumi diselingi dengan kebiasaan pribumi, namun saya tidak dapat dipakai dalam sekolah pribumi”. (H.A. Mukti Ali, 1987: 53). Yang dimaksud kebiasaan jelek adalah metode membaca teks Arab yang hanya dihafal tanpa pengertian. Demikian pula para sarjana lainnya sependapat bahwa tradisi didaktis pendidikan pribumi begitu jeleknya sehingga kurang dapat dimanfaatkan sebagai titik tolak umum.

Pada saat yang sama, di Minahasa dan Maluku terdapat sejumlah sekolah yang didirikan dan dikelola oleh Zending tetapi mendapat subsidi dari pemerintah sama seperti lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Sekolah ini hampir 100%, merumuskan diri dari pada pendidikan Agama.

Kalau dalam pendidiakn Islam al-Qur’an yang tertulis dalam bahasa dan huruf Arab merupakan buku yang terpenting, maka terjemahan Bybel dalam bahasa Melayu di sekolah-sekolah Zendirng juga merupakan buku terpenting. Akan tetapi bahasa Melayu bagi para murid sekolah Zending ini kurang lebih juga merupakan bahasa Asing. Membaca dan menulis di sini terbatas pada Bybel dan cerita yang terdapat di dalamnya.

Guru-guru setempat yang mendapat pendidikan dari lembaga Zending tersebut pada pendidikan yang bertujuan mendidik dan mempersiapkan pemimpin agama bagi masyarakat setempat. Maka pekerjaan mereka di sekolah-sekolah tersebut seluruhnya berfungsi sebagai pembina dan pelayanan umatnya semata.

2.      Situasi Pendidikan Islam Awal Abad ke-20

Sebelum membahas jauh perkembangan Pendidikan Islam pada abad ke-20 terlebih dahulu akan digambarkan secara singkat situasi pendidikan Islam pada akhir abad 19, meskipun bahan yang tersedia kurang mencukupi dan penelitian yang sistematis dan mencakup seluruh Indonesia tidak tersedia secara lengkap.

Data yang peling lengkap barangkali berasal dari C. Snouch Hugranje yang memberi gambaran tentang lembaga Pendidikan Islam di Jawa Barat dan Jawa Tengah (Karel Steenbrink, 1986: 155-205) dan Aceh. Beberapa sumber lain memberikan data yang agak lengkap tentang Minangkabau (Karel Steenbrink, 1986: 153). Disamping itu sebagai tambahan dapat disebutkan beberapa data dari daerah Indonesia lainnya serta beberapa hasil penelitian tentang sistem pendidikan Islam pada abad ke-19 secara keseluruhan. Pada garis-garis semua gambaran tersebut hanya sama, meskipun juga terdapat perbedaan yang bersifat regional dan lokal.

Hampir semua pelopor Barat selalu memberikan laporan pertama kepada pembaca yang belum pernah mengujungi lembaga Pendidikan Islam tersebut, atau mengenalnya lewat tulisan. Pada umumnnya mereka memberikan gambaran dan kesan tentang salah satu lembaga yang agak Barat (Karel Steenbrink, 1986: 153). Hal ini berlaku juga untuk gambaran yang agak lengkap yang diberikan oleh sarjana-sarjana Indonesia sendiri seperti Mohammad Radjab dan Achmad Djadjadiningrat tentang pesantren (Husein Djadjadiningrat, :7-26). Akan tetapi hanya satu dua orang saja yang selain menyajikan data tentang metode pendidikannya, juga memberiakn informasi yang lebih lengkap mengenai isi pendidikan itu sendiri (Snouck Hougranje dan Ahmad Yunus).

Oleh karena bentuk pendidikan pesantren tidak begitu penting bagi inspeksi pendidikan, maka keadaan dan statistik pesantren selalu tidak lengkap dalam laporan pendidikan. Bahkan setelah tahun 1927, bentuk pendidikan semacam ini sama sekali tidak dimasukkan dalam laporan resmi pemerintah kolonial. Namun untuk tujuan tulisan ini, gambaran tentang pesantren yang tidak lengkap dengan segala kekurangannya, sedapat mungkin masih akan dipergunakan. Hal ini disebabkan karena data ini masih memberikan gambaran secara bertolak belakang antara dua jenis pendidikan. Secara khusus uraian ini akan mencoba mengggambarkan sejauh perkembangan pendidikan Islam dalam kaitan dengan sekolah model Barat.

Pada permulaan abad ke-20 terjadi beberapa perubahan dalam Islam di Indondesia yang dalam garis besarnya dapat digambarkan sebagai kebangkitan, pembaharuan, bahkan pencerahan (renaisance). Perubahan ini berbeda sifat dan asalnya serta tidak semua saling berhubungan secara harmonis dan logis. Seperti kehidupan lain pada umumnya dan kadang-kadang dalam pengamatan pertama menurut sistematika umum, perkembangan tersebut tidak begitu logis.

Faktor pendorong penting bagi perubahan di Indonesia untuk permulaan abad ini dapat menjadi 4 fase yaitu:

  1. Sejak tahun 1900 di beberapa tempat muncul keinginan untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah yang dijadikan titik tolak untuk meneliti kebiasaan agama dan kebudayaan yang ada. Tema sentral dari kecenderungan ini adalah menolak taqlid. Dorongan ini terutama datang dari Muhammad Abduh dan murid-muridnya dari Mesir. Unsur ii mendorong umat Islam Indonesia untuk kembali kepada Qur’an dan Sunnah, yang mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama (Muhammad Arsyad Thalib Lubis, 1970). Meskipun sebagian besar umat Islam tetap berpegang teguh pada apa yang dibawa oleh keempat mazdhab, khususnya imam Syafi’i yang banyak berpengaruh di Indonesia, namun pendapat-pendapat yang menolak mazdhab tetap ada saat itu. Perbedaan pengikut mazdhab dan yang menolak taqlid hampir tidak terasa, karena perdebatan antara keduanya hanya pada hal yang kecil-kecil saja. Meskipun sekitar tahun 1910-1930 perbedaan tersebut menjadi semakin tajam. Orang yang menolak taqlid, kebanyakan disebut “kaum muda” sedangkan yang ikut mazdhab (khusus Safi’i) disebut ‘kaum tua”. Dalam beberapa studi kaum muda tersebut reformis atau modernis. Sedangkakn pihak lain disebut dengan kaum arthodok atau konservatif.
  2. Dorongan kedua adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasaan kolonial Belanda. Dalam hal ini walaupun Belanda juga cemas terahdap pan-islamisme, namun mereka yang menentang Belanda hampir tidak mau menerima pan-islamisme (Snouck hurgronje, 1986: 1514-1555). Perlawanan terhadap kolonialisme selalu bersifat nasional. Akan tetapi organisasi yang didirikan atas dasar Islam tidak semuanya berhasil mempertahankan dasar ini. Contoh yang paling menonjol di sini adalah Sarekat Islam. Sesudah Sarekan Islam didirikan pada tahun 1912, beberapa aliran di dalamnya lebih menekankan sifat nasionalis, bahkan juga cenderung untuk membela aliran komunis, sehingga akhirnya dalam aliran ini Islam tidak memainkan peranannya lagi. Memang dorongan nasionalis tidak selalu bersifat agamis seperti reformis, namun untuk perkembangan Islam di Indonesia ia mempunyai arti yang cukup penting.
  3. Dorongan ketiga adalah usaha yang kuat dari orang-orang Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi, baik demi kepentingan mereka sendiri, maupun untuk kepentingan rakyat banyak disamping Sarekat Islam, organisasi Islam yang mempunyai kecenderungan di sektor ini adalah Perserikatan Ulama dan Muhammadiyah.
  4. Dorongan keempat berasal dari perkembangan pendidikan Islam. Karena cukup banyak orang dan organisasi Islam tidak puas dengan metode tradisional dalam memperlajari al-Qur’an dan studi Agama, maka pribadi-pribadi dan organisasi Islam pada permulaan abad ke-29 ini berusaha memperbaiki pendidikan Islam, baik dari segi metode maupun isinya. Mereka juga mengusahakan kemungkinan memberi pendidikan umum untuk orang Islam.

Kebanyakan para pembaharu dan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh salah satu dari empat dorongan tersebut. Hampir semua peneliti para pembaharu maupun organisasi pembaharu Islam di Indonesia yang menerima satu dorongan maupun empat dorongan sekaligus. Oleh karena itu, istilah modernis atau konservatif harus diterima dalam arti tertentu saja. Karena ada individu atau organisasi yang termasuk taqlid dalam masalah ibadah (konservatif), tetapi dalam bidang politik sangat revolusioner.

Pada permulaan abad ke-20, garis pemisah yang membedakan antara kelompok Muslim Indonesia kebanyakan ditentukan oleh dorongan pertama, yaitu ide yang berkenaan dengan taqldi. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa kebanyakan menyebut kelompok yang menolak taqlid sebagai reformis dan modernis, dan penganut mazdhab Syafi’i sangat ortodoks dan konservatif. Demikian juga dari sejarah perkembangan pembaharuan pendidikan terlihat bahwa pemisahan ini cukup beralasan. Oleh karena itu paparan berikut ini akan membahas hal itu lebih teliti. Analisis lebih lanjut akan mengikuti kualifikasi yang diberikan oleh H. Aboebakar Atjeh.

Pada permulaan tahun 60-an, Presiden Soekarno menyuruh menterjemahkan buku kesayangan karya L. Stoddard, The New Word of Islam, yang berisi garis-garis besar sejarah lama atau modern dalam Islam, buku ini tidak memberikan uraian yang mendetail tentang sejaran Islam di Indonesia. Oleh karena itu, Presiden Soekarno menugaskan H. Aboebakar Athje, seorang pengarang Muslim kenamaan yang cukup lama menjabat kepala bagian penerangan Departemen Agama, untuk menambah satu bab tentang sejarah modern Islam di Indonesia (Lathrop Stoddard, 1966: 295-323).

Menurut Aboebakar Atjhe, tokoh dan organisasi penting dalam Islam di Indonesia para permulaan abad ke-20 ini terbagi dalam 3 kelompok yaitu, “gerakan salaf” (gerakan dari orang-orang terdahulu yang ingin kembali pada rel ulama salaf). Gerakan kedua adalah gerakan modernis dan akhirnya dia meyebut gerakan Islam yang bersifat politik.

     

3.      Sistem Pendidikan pada Pondok Pesantren

Suatu sistem mekanisme yang terdiri dari bagian-bagian yang satu sama lainnya saling berhubungan (Jumhur H. Damasputra, 1974: 40). Dengan demikian sistem merupakan suatu hal yang sangat penting dalam pencapaian suatu tujuan. Dalam tafsir yang lain, sistem diartikan sebagai kesinambungan antara satu dengan yang lainnya sehingga terbentuk suatu alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Adapun yang dimaksud dengan pesantren adalah lembaga Pendidikan Islam yang pada umumnya menggunakan cara non-klasikal dalam sistem pendidikannya. Hal ini bisa terjadi karena yang diajarkan dalam pesantren adalah kitab-kitab klasik yang ditulis pada abad pertengahan dengan menggunakan Bahasa Arab tanpa harakat atau dikenal dengan Arab gundul. Dalam pengertian umum dunia pesantren, kitab kuning adalah kitab berbahasa Arab yang ditulis tanpa harakat, sehingga untuk bisa membaca dan memahaminya isinya dieprlukan pengetahuan dan kemampuan khusus dalam bahasa Arab.

Dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, pendidikan pesantren berasal dari India (Amir Hamzah Wirjosukarto, 40). Sebelum menjadi pesantren sistem pendidikan yang permanen di pesantren-pesantren Indonesia, sistem tersebut telah dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa. Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam. Istilah pesantren sendiri berasal dari India. Demikian juga istilah pondok, langgar di Jawa, Surau di Minangkabau dan rangkang di Aceh bukanlah merupakan istilah Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.

Persamaan bentuk antara pendidikan Hindu di India dan pesantren di Indonesia dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk menjelaskan asal usul sistem pendidikan pesantren. Soegarda Poerbakawatja misalnya menyebut persamaan itu tradisi Hindu. Selanjutnya dia melihat beberapa unsur yang dapat ditemukan baik dalam pendidikan Hindu maupun pesantren di Indonesia yang tidak dijumpai dalam sistem pendidikan Islam yang asli di Mekkah. Unsur tersebut antara lain seluruh sistem pendidikannya bersifat agama, guru tidak mendapat gaji, penghormatan yang besar terhadap guru dan para murid yang pergi meminta-minta keluar lingkungan pondok (Soeagrda Poerbakawatja, 1970: 18-19). Letak pesantren yang didirikan di luar kota, juga dapat dijadikan alasan untuk membuktikan asal usul pesantren dari Hindu (H. Aboebakar Atjeh, 1957: 43).

Pembahasan secara lebih luas dan mendalam mengenai asal-usul pesantren, pada dasarnya berada di luar batas penulisan skripsi ini karena harus menggunakan bahan dari abad ke-17 atau 16 atau bahkan lebih tua lagi.

Materi pendidikan pesantren seluruhnya dipusatkan pada al-Qur’an dan disebt pengajian al-Qur’an. Pada dasarnya pendidikan ini berupa pelajaran membaca beberapa bagian dari al-Qur’an. Untuk permulaan diajarkan Surat al-Fatihah dan kemudian surat-surat pendek dalam Zuz Ammah (terdiri dari Surat 78 sampai 14) yang dianggap penting untuk melaksanakan ibadah.

Dalam pengajian, santri mempelajari huruf-huruf Arab dan menghafal teks-teks yang terdapat dalam al-Qur’an. Disamping itu, diajarkan pada peraturan yang dan tata tertib shalat, wudhu dan beberapa do’a, mata pelajaran yang diajarkan semuanya tergantung pada kepandaian guru atau kyai. Kyai juga mengajarkan beberapa unsur ilmu tajwid yang bermanfaat untuk menghafalkan ayat-ayat suci dengan baik dan benar.

Pengajian al-Qur’an diberikan secara individual di rumah guru, langgar atau surau. Namun dalam beberapa kasus, pengajian juga dilaksanakan di dalam rumah orang tua murid, terutama kalau orang tua murid mempunyai kedudukan penting. Pada umumnya seorang anak pada umur 6 sampai 10 belajar beberapa jam pada guru agama setempat. Bagaimana cara metode pengajian tersebut dijalankan, sebagaimana diungkapkan oleh Snouck Hurgronje (1976: 161) berikut menggambarkan dengan jelas:

“Pengajian al-Qur’an diberikan secara individu kepada para murid, biasanya murid berkumpul di salah satu langgar atau di serambi rumah sang guru, mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci dihadapan guru satu persatu di bawah bimbingan selama ¼ atau ½ jam. Ketika salah seorang murid menghadap guru, murid lainya dengan suara keras mengulangi pelajaran kemarin atau lanjutan pelajaran yang diberikan gurunya. Jadi dalam langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang bercampur aduk dengan satu, tetapi karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak tergantung suara murid yang lainnya”.



Dalam pendidikan yang bercorak individual ini sering terjadi perbedaan waktu belajar yang menonjol yang ditempuh oleh para santri. Ada santri yang cepat menguasai pelajaran, tetapi ada juga yang lambat dalam menyelesaikan pendidikannya. (Ahmad Djadjadiningrat, 15-16). Tujuan utama dalam pendidikan dasar ini dianggap sudah tercapai, kalau santri telah menamatkan membaca al-Qur’an secara keseluruhan. Membaca di sini mempunyai pengertian melafalkan, karena dalam fase ini belum diberikan dalam periode ini. Kalau pengajian ini selesai, biasanya diadakna upacara tamatan disebut khataman. Acara ini dilengkapi dengan sunatan untuk laki-laki dan perempuan merupakan inisiatif dalam kehidupan agama Islam. Setelah peristiwa tersebut murid dianggap aktif-baligh (dewasa) dan wajib melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa dan sebagainya.

Walaupun pada umumnya pengajian ini diberkan oleh guru laki-laki, namun ada juga beberapa orang guru wanita yang terutama memberikan pengajian pada garis besar. Kadang-kadang guru wanita tersebut juga memberikan pengajaran kepada anak laki-laki yang mencapai usia dewasa (Pijper, 19-27).

Pada umumnya, pengajian kitab Agama ini berada dengan pengajian al-Qur’an yang telah disebutkan di muka. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari tiga segi yaitu:

  1. Pada murid pengajian kitab ini umumnya masuk asrama dalam lingkungan lembaga pendidikan Agama Islam yang disebut pesantren.
  2. Mata pelajaran yang diberikan menjadi mata pelajaran yang lebih banyak daripada pengajian al-Qur’an. Fase pertama pendidikannya pada umumnya dimulai dengan pendidikan bahasa.
  3. Pendidikan diberikan tidak hanya secara indiidual, tetapi juga secara kelompok (Zamaksari Dhofir, 1985: 28).

Tingkat pertama pada pengajian kitab adalah mempelajari bahasa Arab yang tersusun dalam uraian pendek yang berbentuk saja. Para murid diharuskan membaca dan menghafal teks Arab tersebut tanpa salah, kemudian isinya dijelaskan kata demi kata oleh guru kepada mereka.

Pada pesantren yang lebih besar, pengajaran bahasa ini diberikan juga oleh guru Bantu, yaitu para murid tingkat lanjutan yang mendapat kepercayaan mengajar dari kyai. Untuk pengajaran bahasa ini, metode yang digunakan sama dengan metode pengajaran al-Qur’an yaitu secara individual. Walaupun pengajaran bahasa ini tidak secara langsung menyangkut masalah agama, namun secara umum dalam tradisi pesantren di mana para santri tinggal, seluruh pelajaran yang ada selalu disertai atau diselingi dengan pengajaran bahasa Arab dan al-Qur’an. Pengajaran bahasa Arab tersebut seluruhnya dianggap sebagai pengajaran agama.

Kesulitan dalam mempelajari bahasa Arab ini banyak disebabkan oleh kurangnya sarana pengajaran yang dipergunakan, disiplin yang kurang keras dan adanya kenyataan bahwa sebagian besar para santri baru pertama kali meninggalkan rumah (pisah dengan orang tuanya) mengakibatkan hasilnya tidak begitu memuaskan. Faktor yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kebanyakan para santri tidak mendapatkan pendidikan lebih lanjut setelah pendidikan dasar ini.

Achmad Djadjadiningrat adalah termasuk kelompok kecil sarjana Indonesia yang mengalami kehidupan pribadinya di pesantren dan menggambarkannya secara panjang lebar. Dalam bukunya Herrineringen, dia menyebut bahwa ia mulai pendidikannya di pesantren dengan mempelajari satu buku, di sana ushuluddin dan fiqih diberikan secara sangat ringkas oleh orang lain masih dianggap sebagai pengajiain al-Qur’an. Dalam buku Achmad Djadjadiningrat, (23) tersebut dia menggambarkan hal terseut sebagai berikut:

“Saya sudah maju dengan pelajaran saya, sehingga setelah dua bulan saya sudah dapat buku. Kedua yaitu tasrifan (dasar-dasar bahasa Arab). Buku ini tidak sederhana buku pertama, karena tata bahasa Arab diuraikan dengan cara yang tidak begitu mudah, bahkan lebih sulit lagi, oleh karena itu, orang yang menyatakan bahwa dengan mempelajari nahwu (tata bahasa Arab) orang dapat menjadi gila. Untuk para santri di Jawa, nahwu merupakan penghambat yang paling besar, santri yang telah menguasai nahwu, sudah boleh disebut kyai”.

Lamanya belajar untuk ilmu nahwu ini bisa berbeda yaitu dari 6 bulan sampai 6 tahun atau lebih, tergantung dari kyai masing-masing dan bakat muridnya. Apabila para santri telah dapat menyelesaikan beberapa cabang tata bahasa Arab tersebut, barulah dia mulai pelajaran agama yang sebenarnya. Yang pertama dan terpenting biasanya fiqih, tauhid atau ushuluddin dan tafsir al-Qur’an. Sesudah menyelesaikan ketiga macam pelajaran pokok tersebut, para santri dapat mengambil mata pelajaran sampingan seperti tasawuf, hadits, hisab atau falaq, yang semuanya tergantung pada keahlian atau perhatian kyai pesantren tersebut.

Selain diberikan secara individuan (sorogan), mata pelajaran juga diberikan secara kelompok dalam satu lingkaran kepada beberapa santri yang disebut sistem halaqah atau bandungan. Dalam sistema ini guru membicarakan teks baris demi baris, menterjemahkan kalau dipandang perlu dan memberikan penjelasan. Dengan cara ini, seorang santri dapat memperbaiki satu karya yang lebih luas selama beberapa tahun, sebelum dapat dimengerti seluruhnya. Pelajaran ini berlangsung sepanjang tahun, dan hanya diselingi libur sekitar bulan ramadhan, selama sebulan atau lebih.

Seorang santri baru tidak terikat dengan tahun ajaran tertentu. Mereka boleh mulai kapan saja sesuai dengan yang dikehendakinya. Pada waktu permulaan, mereka akan ditolong oleh santri lama yang sudah lebih dahulu membaca dan memahami satu kitab selama beberapa bulan hingga mereka dapat berdiri sendiri. Kalau satu kitab tidak begitu besar, santri dapat mengikuti pelajaran beberapa kali, sampai dapat memahami isi kitab.

Sebelum kitab cetakan terbesar luas (sebelum tahun 1900), para santri diahruskan menyalin sendiri teks Arab terseut, tetapi dia selalu memberikan ruangan untuk ditulis terjemahan maupun komentar di pinggir tiap-tiap baris dari isi kitab (Mahmud Yunus, 1989: 35-44).

Seperti telah dibahas terdahulu, santri yang mengikuti pengajian kitab kebanyakan meninggalkan rumah orang tuanya dan menetap pada salah satu pesantren. (Mahmud Yunus, 1989: 50). Pada dasarnya pesantren di pinggir kota atau di desa yang agak jauh dari kota. Ia merupakan satu lingkungan yang khusus dan terpisah dari permukiman lainnya.

Lingkungan pesantren pada umumnya terdiri dari rumah kyai, sebuah tempat peribadatan yang juga berfungsi sebagai tempat pendidikan (disebut masjid kalau digunakan untuk shalat jum’at, kalau tidak disebut langgar atau surau), satu atau lebih rumah pondokan yang dibuat oleh para santri dari bambu atau kayu, sebuah atau lebih ruangan untuk memasak, kolam atau ruangan untuk mandi dan wudhu.

Pada pesantren yang lebih besar yang jumlah santrinya mencapai ratusan atau ribuan, jumlah bangunan dalam lingkungan pesantren juga banyak, sehingga seperti sebuah desa tersendiri. Kebanyakan para santri menetap di pesantren sepanjang hari dan hanya meninggalkannya kalau ada keperluan tertentu seperti berbelanja, mencari nafkah dengan bekerja pada orang kaya yang membutuhkannya, atau karena keperluan lainnya.

Untuk meresapkan jiwa keislaman, pesantren tidak hanya dijadikan sebagai tempat belajar, tetapi juga diletakkan sebagai tempat tinggal yang seluruhnya dipenuhi dan diresapi dengan nilai-nilai agama. Tidak ada tempat lain di mana shalat didirikan dengan taat seperti sana. Pada siang hari, di mana-mana orang mendengar para santri membaca al-Qur’an dengan lagu yang indang, memperbaiki bacaan dengan tajwid yang benar. Pada malam hari juga dapat dijumpai suasana orang membaca al-Qur’an, melagukan kalam Illahi, dan mendirikan shalat di tengah kehengan malam.

Ahmad Djadjadiningrat juga belajar tidak lebih dari mempelajari tata bahasa Arab dan nasibnya lebih baik dari kebanyakan santri. Kurikulum pendidikan pesantren sebenarnya tidak sesuai diterapkan untuk santri biasa yang hanya mempunyai waktu beberapa tahun untuk belajar ngaji, antara umum 12 hingga 15 tahun. Di samping itu, masalah keuangan tidak memadai juga menyebabkan kebanyakan santri hanya mampu tinggal di pesantren sekitar 1-2 tahun. Bagi santri yang mempunyai kecerdasan biasa, waktu tersebut belum cukup untuk mempelajari tata bahasa Arab yang rumit. Karena itu, akibatnya santri hanya bisa menerima sedikit pelajaran dan ketika ia keluar dari pesantren belum mampu berdiri sendiri membaca satu kitab Arab.

Dari perspektif pengembangan intelektual, sistem pendidikan pesantren di atas hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu, serta bersedia mengorbankan waktu yang cukup besar untuk belajar di pesantren. Machmud Yunus, salah seorang kritikus pesantren Indonesia, mungkin sedikit berlebihan dengan menyatakan bahwa sistem halaqah tersebut hanya dapat menghasilkan 1 persen murid yang pandai sedang 99 persen lainnya hanya belajar bagaimana dapat bersama-sama membeli minyak dengan harga yang lebih murah. Menurut guru saya, kata Machmud Yunus, sistem halaqah hanya dapat mengeluarkan alim besar kuran dari 1 orang dalam 100 orang. Yang 99 orang hanya untuk menolong beli minyak (Machmud Yunus, 1989: 56).

Kriyikan ini selalu sepihak, karena hanya melihat dari satu sudut pandang semata. Untuk pengajaran Agama, pesantren memang tidak memberikan hasil yang paling baik melalui pengarajaran formal, namun pengaruh agama yang dihasilkan dari lingkungan yang khas, disiplin akan menegakkan shalat dan pelaksanaan kewajiban Islam lainnya, justru merupakan hal yang lebih penting dari sekedar pengajaran formal.

Harapan para santri dan orang tua pada pesantren juga tidak untuk menjadi ulama semata, tetapi bagaimana menjadi orang Islam yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat. Sedang mereka yang ingin menjadi ulama harus mengikuti sebagian besar kurikulum yang ada dengan disertai niat belajar yang tulus dan sungguh-sungguh.

Seorang santri biasanya sering berpindah-pindah dari pesantren satu ke pesantren yang lain. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh kesenangan bepergian para santri, melainkan juga disebabkan oleh kenyataan bahwa pesantren kecil biasanya hanya memberikan pendidikan pendahuluan, sedangkan pesantren yang lebih besar dan dipimpin oleh seorang kyai yang masyhur memberikan pelajaran yang lebih banyak dan dalam kepada kyai-kyai yang besar itu juga, santri dapat mengikuti bimbingan secara langsung dalam membaca kitab-kitab yang sulit.

Untuk belajar agama yang lebih mendalam selama abad ke-19, kota Mekkah merupakan pusat menuntut ilmu agama yang paling penting. Dalam dasawarsa terakhir abad ke-19 tersebut, kapal uap sudah diopersionalkan, sehingga sejak Mekkah menjadi semakin dekat. Implikasinya, orang bisa lebih mudah pergi ke sana untuk belajar agama Islam di samping ada sekolah yang agak sederhana yang dipimpin oleh ulama Indonesia yang menetap di Mekkah, di kota suci ini orang dapat belajar pada ulama yang bertaraf internasional dalam pengajaran agama (Karel Steenbrink, 1986: 173).

Anak-anak yang pergi ke pesantren untuk pertama kalinya langsung dituntut untuk menetap di luar keluarga dan desanya untuk waktu yang agak lama. Mereka harus mandiri untuk mengatur persediaan dan penggunaan beras, mengharuskan uang sehemat mungkin, berbelanja ke pasar, mencari upah dengan membantu petani di sawah, meminta bantuan pada orang-orang kampung setiap hari kamis, memperbaiki pakain yang rusak atau memasak. Mereka juga harus belajar membuat pondoknya sendiri bersama santri lainnya, memperbaiki dan menambal yang bocor dan tugas-tugas yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Karena menetap di pesantren, di berkenalan dengan anak-anak dari beberapa daerah (karena para santri umumnya senang berpergian (Karel Steenbrink, 1986: 201). Semuanya itu merupakan unsur yang sangat penting dalam pengembangan kepribadian dan kedewasaan para santri, yang oleh beberapa pengamat dinilai positif (Karel Steenbrink, 1986: 357). Sedangkan pengamat lainnya menekankan sikap negatif pada hidup berdiri sendiri dalam usia yang belum dewasa, lingkungan kehidupan yang agak kotor, dan kehidupan yang kurang bersusila (Karel Stennbrink, 1986: 40).

Pada santri yang tidak pernah membayar uang sekolah dan semacamnya untuk pendidikan yang mereka terima, karena ilmu pengetahuan agama tidak boleh diperjualbelikan dengan uang. Begitu pula mereka tidak boleh membayar sewa gedung sederhana yang tersedia di pesantren. Beberapa pesantren mendapat penghasilan tetap dari statusnya sebagai daerah pendidikan (Brumudin, 1986: 11-29) atau wakaf. Pada waktu santri masuk atau keluar pesantren, waktu panen atau akhir puasa, mereka atau orang tua mereka sering memberikan hadiah pada kyai, sedemikian pula zakat sering dibayar pada kyai. Sangat sering dijumpai kyai pesantren yang dibayar kyai. Sangat sering dijumpai kyai pesantren yang sederhana harus mencari nafkahnya dengan bertani atau berdagang. Penghasilan tambahan dan pendidikan sering tidak mencukupi untuk membayar pengelolaan pendidikan yang diasuhnya.

Hubungan antara santri dan kyai pada umumnya merupakan hubungan ketaatan yang tanpa batas, demikian pula kepada para “guru bantu” atau badal. Tetapi hubungan antara santri tidak tergantung dan dibatasi oleh tinggi rendahnya status orang tua santri. Anak Bupati Serang Achmad Djadjadiningrat sangat memuji rasa persamaan dan persaudaraan diantara santri, walaupun kehidupannya sebagai santri bagi dirinya sangat keras dan juga sederhana.


Kehidupan sehari-hari dalam pesantren hampir seluruhnya diatur oleh para santri sendiri. Kyai tidak terlibat langsung dalam kehidupan para santri. Dia mengajar membaca kitab, menjadi imam dan khatib shalat Jum’at menghibur, kalau ada orang sakit yang datang kepadanya sambil mencoba menasehati dan mengobati dengan do’a-do’a, peraturan sehari-hari di pesantren seluruhnya diurus para santri dan keterlibatan kyai sebatas pada pengawasan yang relatif diam. Sedudah mendapat persetujuan dari kyai, para santri memilih seorang lurah pondok yang akan bertanggung jawab pada kehidupan bersama para santri. Bersama kyai, lurah pondok menyusun peraturan untuk persoalan-persoalan praktis yang pelaskanaannya diserahkan para lurah pondok.

0 Response to "BIOGRAFI HADRATUS SYEKH KH. HASYIM AS'ARI RA "