PANDANGAN KH. HASYIM ASY'ARI TENTANG KONSEP PENDIDIKAN



BAB II
LANDASAN TEORITIK ETIKA BELAJAR MENGAJAR

A.    Pengerian Konsep Teori Etika
Teori etika adalah gambaran rasional mengenai hakekat (Madjid Fakhiry, 1996 : 29), dasar pembaharuan dan keputusan yang benar, serta prinsip-prinsi yang menentukan klaim bahwa peruatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan larangan (Salim Bakreisy, 1987 : 9). Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap definisi konse-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik dan buruk. Singkatnya, sistem etika harus berkaitan secara memadai dengan aspek-aspek penelitian moral ini dengan cara bermakna dan koheren (Salim Bakreisy, 1987 : 9).
Dalam Al-Qur’an yang di dalamnya terkandung nilai-nilai universal baik  menyangkut masalah kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak terdapat teori-teori etika dalam arti yang baku. Al-Qur’an hanya membentuk keseluruhan ethos Islam. Masjid Fakhiry (1996: 7) mengatakan :
“Bagaimana cara mengeluarkan ethos ini menjadi sangat penting dalam studi Islam. Ada tiga hal yang menjadikan arah dimana penelitian ini dapat membuahkan hasil, yang kesemuanya itu di kembalikan kepada teks Al-Qur’an itu sendiri, tafsir, fiqih, dan Kalam.

Di sisi yang berbeda, para sufi dan filosof yang sering menggali otoritas Al-Qur’an untuk mendukung pernyataan teoitis dan etika mereka tidak dapat dikatakan oleh pembangunan pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan manusia (Madjid Fakhry, 1996 : 8). Mereka telah berutang budi kepada kepada pengaruh-pengaruh luar seperrti India, Yunani, Kristen dan lainnya yang telah membentuk pemikiran mereka. Oleh karena itu, teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi, yang penyusunannya sebagian berasal dari teori-teori umum yang berakar dalam Al-Qur’an dan Sunnah (Ahmad Amin, 1975: 63). Teori-teori tersebut mungkin dibentuk sebagai teori spritual atau teologis yang tergantung kepada keseleluasaan mereka bertumpuh kepada skriptual kitab suci atau kesepakatan terhadap teks yang dapat diterima menghadapi nilai atau interpretasi secara dialektis (Ahmad Tafsir, 1994: 27).
Sedangkann tipologi etika Islam dalam kaitannya dengan belajar mengajar yang akan dikaji dalam studi ini harus jelas-jelas menunjukkan perbedaan-perbedaan tersebut. penulis memulai dari premis bahwa al-Qur’an dan Sunnah membentuk dasar asli spirit etika dalam belajar mengajar. Bagaimana pendapat kita tentang dasar asli yang masing-masing pakar pendidikan telah memikirkannya? Dapatkah para sarjana abad ke-20 atau modernis dalam masalah pendidikan ini menyatakan bahwa pendidikan kita sudah sempurna? Jawabannya tentu bisa berbeda-beda, tergantung pada pengetahuan dan asumsi-asumsi masing-masing.
Untuk menjelaskan tema etika moralitas skriptual, penulis akan mencoba menganalisis konsep-konsep etika dan kaitannya dengan belajar mengajar yang tercantum dalam sumber pokok pendidikan Islam, al-Qur’an dan Sunnah. Analisis akan membatasi diri sejauh hmungkin dari konotasi prima facie terna-terma yang digunakan oleh para pakar pendidikan Islam.
Tipe-tipe yang muncul dalam belajar mengajar dibagi ke dalam empat tipe :
a.      Pendidikan tentang jiwa sebagai pengatur memasuki pengkajian tentang etika.
b.      Perbedaan pendidikan dan pengajaran etika.
c.       Pendidikan mengembangkan seluruh aspek kepribadian.
d.     Mendidik dalam arti paedagogis.
Sedangkan dalam bagian lain ada beberapa persoalan yang mengutamakan pendidikan dalam etika. Di sini saya tuturkan yang penting, yaitu meluruskan lingkungan fikiran, yang telah dinyatakan oleh Herbart Spencer akan kepentingannya yang besar untuk meninggikan akhlak. Menurutnya, sungguh fikiran yang sempit itu sumber beberapa keburukan, dan akal yang kacau balau tidak dapat membuahkan akhlak yang tinggi. Kita melihat takutnya beberapa orang disebabkan karena khurafat yang memenuhi otak manusia, dan banyak suku bangsa yang biadab berkeyakinan bahwa keadilan itu hanya diwajibkan terhadap orang suku-suku mereka, adapun kepada lainnya tidak lain ketika kita merampas hak mereka.

B.     Etika Belajar dan Mengajar dalam Filsafat Pendidikan Islam
Dapat diketahui bahwa etika itu menyelidiki perbuatan manusia menetapkan hukum baik dan buruk. Akan tetapi tidak semua perbuatan manusia itu dapat diberi hukum seperti ini. Mengapa? Karena perbuatan manusia itu ada yang timbul tidak dengan kehendak, seperti bernafas, detak jantung dan mmicingkan mata dengan tiba-tiba waktu berpindah dari gelap ke cahaya. Hal ini bukan pokok persoalan etika, dan dapat kita sebut orang yang baik atau yang buruk, dan tidak dapat dituntut. Di samping itu, ada perbuatan yang timbul karena kehendak (Hasan Langgulung, 1987: 261).
Pokok persoalan etika belajar adalah soal komitmen dan kesanggupan kita mempelajari tugas-tugas yang serupa. Ellis (1965) membuktikan dengan suatu percobaan; sesudah seorang melath diri menyelesaikan persamaan linier itu, perbaikan yang semakin meningkat dalam perlakuan inilah yang disebut belajar untuk belajar (Hasan Langgulung, 1987: 262). Berdasarkan pada faktor di atas, saya lebh cenderung kepada persoalan term pertama mengenai etika belajar dalam pendidikan Islam, di mana term ini mengandung arti pada prinsip-prinsip saya bertujuan untuk trasfer ilmu dengan fungsi-fungsi sebagai berikut :
1.   Menyiapkan genarasi mudah untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan di sini berkaitan dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri. Menangkap ikan, bertani, mengatur masyarakat dan lain-lain adalah peranan-peranan yang harus tetap diajarkan kepada generasi muda, sekalipun tidak berarti harus memakai alat-alat (tools) yang sama dari generasi ke generasi. Sebab bekalnya peranan-peranan itu berarti bekal generasi atau peradaban.
2.   Mentransfer ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
3.   Memudahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memelihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanutan generasi suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai keutuhan (integrity) (Hasan Langgulung, 1973: 2025).
Sedangkan penggunaan prinsip-prinsip etika dalam pekerjaan mendidik agar pekerjaan itu lebih efektif, merupakan teknologi. Dengan kata lain, teknologi pendidikan adalah penggunaan antara lain prinsip-prinsip psikologi dalam pendidikan. Selain itu, ada juga prinsip-prinsip dalam bidang lain, seperti dalam bidang sosiologi, bidang pedagogi dan lain-lain.
Menutut hemat penulis, penggunaan prinsip-prinsip di atas dalam etika pendidikan Islam tidak berbeda dengan penggunaannya di bidang lain kehidupan manusia. Warisan kebudayaan Islam penuh dengan bukti-bukti yang menunjukkan bagaimana ilmu-ilmu Yunani Kuno telah digunakan memperkaya pengetahuan Islam. Dan apabila kita akan memberikan arti terhadap pendidikan secara sistematis maka kita jadikan ilmu pengetahuan secara tersusun menurut skema berikut ini (Imam Barnadib, 1987: 15).


                                    Ilmu Pengetahuan
  Ilmu Murni                                           Ilmu Empiris
  Ilmu Pasti             Ilmu Pendidikan Islam         Ilmu Pendidikan
  Ilmu Logika
  Ilmu Etika
1.      Al-Qur’an            Normatif        Deskriptif
2.      Al-Hadits

Dalam hal ini di dalam pembelajaran kita mengenai beberapa macam faktor pendidikan. Sementara ahli-ahli pendidikan seperti Sutari Imam Barnadib (1987: 27) membagi faktor-faktor etika pembelajaran tersebut menjadi lima macam faktor :
1.      Faktor Tujuan
2.      Faktor Pendidikan
3.      Faktor Anak Didik
4.      Faktor Alat-alat
5.      Faktor Alam Semesta.
Sementara menurut Ahmad Tafsir (1991: 54) membagi faktor-faktor pendidikan menjadi 4 (empat) macam faktor :
1.      Faktor Tujuan
2.      Faktor Pendidikan
3.      Faktor Anak Didik
4.      Faktor Alat-alat.
Pada pendapat yang terakhir ini tidak menyertakan faktor yang kelima, faktor alam semesta sekitar. Karena faktor alam sekitar digabungkan dengan faktor pendidik. Sebetulnya dua faktor ini mempunyai fungsi yang berbeda meskipun ada kesamaannya. Kesamaan ialah keduanya mempengaruhi perkembangan anak. Perbedaannya, “Faktor Pendidik” memiliki dimensi tanggung jawab dari pendidik itu sendiri. Sedangkan “Faktor Milleu” tidak memiliki tanggung jawab. Baik faktor pendidik ataupun faktro milleu merupakan faktor yang ada dalam pendidikan (belajar mengajar) (Napitupula W.P., 1949: 36).
Faktor pendidik dan faktor milleu bisa menjadi variable yang independen dan sekaligus bisa menjadi variable yang saling mendukung atau terkait. Idealnya jika ada pendidk yang baik dan bertanggung jawab dan didukung oleh milleu yang baik, maka anak didik akan bisa menjadi baik, bisa juga tidak.
Menurut Krikteria lingkungan atau milleu yang mendukung itu antara lain:
1.   Tempat tinggal
2.   Teman bermain, teman sekolah
3.   Buku bacaan, majalan dan lain-lain
4.   Macam-macam kesenian.
K.H Hasyim Asy’ari mempunyai pandangan tersendiri tentang pendidikan yang baik. Dalam kaitan dengan etika belajar dan mengajar, menurut Hasyim Asy’ari, seorang guru bila hendak mengajar dan ketika mengajar berlangsung perlu memperhatikan beberapa etika. Di antara etika yang harus diperhatikan adalam membersihkan diri dari hadats dan kotoran, berpakaian yang rapih dan sopan, usahakan untuk memakai minyak wangi, berniat ibadah ketika hendak mengajarkan ilmu kepada anak didik, sampaikanlah hal-hal yang diajarkan oleh Allah, biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, berilah salam ketika masuk dalam raungan kelas, bila mulai belajar berdo’a untuk para ahli ilmu terdahulu yang telah lama mendahulukan kita, berpenampilan yang kalem dan jauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengaja dalam kondisi lapar, marah, mengantuk dan sebagainya. Pada waktu mengajar hendaknya di tempat  yang strategis, usahakan agar penampialnnya ramah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong. Dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang lebih penting dan relevan dengan profesi dan kemampuan serta pengetahuan yang dimiliki, jangan sekali mengajarkan hal-hal yang syubhat yang membinasakan anak didik, perhatikan kemampuan masing-masing murid dalam mengajar dan usahakan untuk tidak mengajar terlalu lama, menciptakan ketenangan ruang kelas, menasehati dan menegur baik baila terdapat anak didik yang bandel, bersikap terbuka terhadap berbagai persoalan yang ditemukan, berilah kesempatan bagi anak didik datangnya ketinggalan dan ulangilah penjelasan agar tahu apa yang dimaksud. Bila sudah selesai mengajar, berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas (Hasyim Asy’ari, 1415: 71-80).
Sedangkan tentang etika guru bersama muridnya, K.H. Hasyim Asy’ari menetapkan empat belas jenis etika. Di anatra etika guru bersama muridnya ini adalah berniat mendidik dan menyerbarkan ilmu pengetahuan serta menghidupkan syari’at Islam, menghindarkan ketidakikhlasan dan mengejar keduniaan. Hendaknya selalu introspeksi diri, mempergunakan metode yang mudah difahami oleh murid, membangktkan semangat anak didik dengan jalan meningkatkan motivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu, selalu memperhatikan kemampuan anak didik, tidak terlalu memunculkan salah seorang anak didik dengan menafikan yang lain, mengarahkan minat anak didik, bersikap terbuka dan lapang dada kepada anak didik, membantu memecahkan kesulitan anak didik, bila terdapat anak didik yang berhalangan mengikuti pelajaran, hendaknya mencari tahu penyebabnya kepada teman sekelasnya, tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada anak didik dan bersikap wadhu. (Hasyim Asy’ari, 1415: 80-95).
K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya itu juga merumuskan etika tertentu yang berkaitan dengan kwwajiban anak didik agar bisa belajar dengan baik. Menurutnya, seorang murid yang pada dasarnya adalah pelaku ilmu pengetahuan perlu memperhatikan etika-etika khusus. Di antara etika yang harus diperhatikan anak didik adalah selalu mengusahakan agar memiliki bahan pelajaran yang disampaikan guru, merelakan bila ada kawan meminjam buku pelajaran. Sebaiknya, yang meminjam harus menjaga buku atau alat-alat belajar yang dipinjamnya. Letakkan buku pelajaran pada tempatnya. Anak didik hendaknya selalu memeriksa buku terlebih dahulu bila membeli atau meminjam kalau-kalau ada kekurangan, bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan mengawalinya dengan tulisan basmalah, sedangkan bila yang saling adalah ilmu retorika atau yang semacamnya, maka mualilah dengan pujian shalawat Nabi (Hasyim Asy’ari, 1415: 95-101).
Sedangkan faktor alam atau lingkungan merupakan variable yang penting untuk menunjang keberhasilan belajar anak didik. Di manapun adanya, semua lembaga pendidikan pasti berada dalam suatu lingkungan tertentu. Proses pendidikan atau belajar mengajar pasti berada dalam suatu lingkungan baik sengaja diciptakan maupun terbentuk dengan sendirinya. Tidak ada proses pendidikan yang bekerja di alam kosong, tanpa lingkungan. Baik lingkungan dalam arti sempit, yaitu lingkungan di sekitar tempat berlangsungnya pengajaran, misalnya sekitar sekolah atau pesantren, atau tempat-tempat sekelilingnya, maupun lingkungan dalam arti luas yaitu lingkungan yang meliputi tempat kediaman anak didik atau daerah asalnya, merupakan faktor determinan yang akan mempengaruhi proses dan keberhasilan pendidikan.
Beberapa ahi lingkungan ini dalam berbagai tinjauan. Abdul Aziz Abdul Majid misalnya, memberi pengertian lingkungan atau alam sekitar sebagai semua pengaruh luar yang memberikan bekas kepada ujud yang hidup sejak mulai tumbuhnya yakni saat sempurnanya perbuatan. Menurutnya, benda konkrit seperti hawa, sinar panas, tempat kediaman, pakaian, makanan dan pengaruh yang bersifat abstrak seperti pengaruh radio, bioskop dan ceramah-ceramah yang semuanya berasal dari luar manusia adalah termasuk lingkungan (Muchtar Yahya, 1979: 562).


C.    Hubungan Etika Belajar dengan Metode Pengajaran
Menurut Omar Mohammad al-Taomy al-Syaibani, (1979: 592) hubungan etika dengan ilmu sangat erat. Satu sama lain bersifat saling melengkapi.
Berangkat dari asumsi bahwa hubungan antara etika dan ilmu pengetahuan yang di dalamnya juga termasuk metode pengajaran, maka harus disadari bahwa pelaksanaan pendidikan hendaknya dikaitkan dnegan prinsip-prinsip moralitas, utamanya yang secara langsung menyangkut hubungan antara guru dan murid, baik di sekolah maupun di pesantren. Diintegrasikannya nilai-nilai etika dalam metode mengajar, proses belajar, tempat dan tujuan mengajar akan mempunyai korelasi positif dengan terbangunnya suatu proses belajar yang baik.
Dalam korelasi ini, Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani (1979: 592) menyatakan:
“Karena hubungan antra proses pengajaran dan proses belajar sangat erat, maka salah satu kewajiban guru yang paling penting adalah memahami proses belajar dan metode yang dengannya proses itu berlaku mengikuti berbagai teori yang menafsirkan berlakunya proses belajar mengajar tersebut”.

Syarat-syarat yang dierlukan untuk mendukung suatu proses belajar yang baik, menurut K.H. Hasyim Asy’ari, adalah norma-norma dan prinsip-prinsip umum yang harus selalu dijadikan acuan teori dalam proses belajar. Prinsip umum itu juga perlu dijaga pada proses pengajaran (Hasyim Asy’ari, 1415: 26).
Agar seorang guru atau pendidik bisa meguasai persoalan-persoalan di atas dengan baik dalam rangka mengembangkan sistem pendidikan nasional ke arah yang lebih modern, maka guru harus dipersiapkan dengan seksama, baik dari segi kualitas profesional maupun kualitas teknik. Kualitas guru yang demikian itu hnaya bisa terbentuk jika guru bersangkutan mau mempelajari psikologi pendidikan dan psikologi proses belajar.
Kalau persoalan yang dihadapi guru sekarang adalah keharusan untuk menguasai metode dan proses pengajaran seperti di atas, demikian juga dengan persoalan yang dihadapi guru-guru agama Islam pada masa lampau. Di masa lampau, persoalan yang dihadapi mengandung dilema-dilema yang cukup rumit. Kalau guru menerima proses belajar mengajar yang bersifat modern dengan memasukan berbagai teori modern yang baru dalam sistem pendidikan, maka akan ada implikasi tertentu yang sangat mengejutkan. Sedangkan kalau sikap apriori terhadap sistem modern, maka tidak mustahil akan tertinggal. Namun secara minimal dapat dikatakan bahwa penerimaan proses belajar dalam pengertiannya yang umum sesuai dengan tuntunan perubahan di tempat pendidik-pendidik Islam itu hidup merupakan indikasi kuat bahwa para pendidik Islam itu mempunyai cita-cita ideal dalam menyelenggarakan proses belajar (Hasyim Asy’ari, 1415: 26-35).
Pengertian-pengertian modern tentang metode dan proses belajar dibatasi salah satu di antara pengertian pokok, sebagai mana di di ungkapkan oleh Wasty Soemanto (1987: 188) sebagai berikut:
1.   Pandangan yang mengatakan proses belajar adalah proses hafalan dan ingatan.
2.   Pandangan yang menyatakan proses belajar adalahlatihan akal atau latihan kecerdasan akal.
3.   Pandangan yang menyatakan bahwa proses metode belajar adalah perubahan dan pertukaran tingkah laku dan perbaikan dalam perbaikan pencapaian (performacne).
Semua pengertian yang tercakup di atas dikenal oleh para pendidik yang aktif pada lembaga pendidikan Islam zaman dahulu.
Menurut pakar psikologi pendidikan dan psikologi proses belajar, syarat-syarat pokok bagi tercapainya proses belajar yang baik adalah:
a.   Adanya  motivasi pada pelajar.
b.   Adanya keturutsertaan (participation).
c.    Adanya kematangan yang sesuai dengan perkara yang ingin dipelajari.
Semua syarat-syarat di atas sudah dikenal oleh para pendidik Muslim pada zaman dahulu (Wasty Soemanto, 1987: 189).
Bimbingan belajar kepada para santri atau siswa seharusnya dan pada prinsipnya ditujukan agar mereka mempunyai pengertian yang sempurna tentang pentingnya motivasi, pentingnya keturutsertaan dan pentingnya kematangan dalam proses belajar.
Sedangkan dari aspek yang lebih operasional, bimbingan untuk para santri lebih mengarah pada pembinaan daya cipta, daya karsa yang dijiwai oleh iman, dan taqwa menurut agama. Pada tataran ini menjadi jelas yang digarap oleh para guru dalam pembelajaran adalah pengembangan nilai-nilai rohaniah yang mengandung motivasi terhadap siswa (anak didik) agar memperoleh ilmu yang bermanfaat (Hasan Langgulung, 1995: 30).
Untuk mencapai sasaran yang bersifat rohaniah (mental spritual), diperlukan pendekatan psikologis yang lebih harus dan rumut daripada sasaran pendidikan atau bimbingan biasa. Iman dan taqwa bisa tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan motivasi, bila mana dapat digerakan melalui pendekatan dan metode yang sesuai dengan corak dan kecenderungan mental spritual individu siswa.
Letak atau posisi dan metode sekedar berada dalam perasaan dan kecerdasan, melainkan berada jauh di dalam inti/dasar kehidupan jiwa yaitu, inti nurani menusia itu sendiri. Cara pengungkapannya menjadi aktual dan fungsional, sehingga tidak semudah seperti pengembangan potensi kejiwaan lainnya, yang dilakukan melalui proses metode pendidikan (Safi’i Ma’arif, tt, 127).
Syarat-syarat pengajara menurut Salim Bahreasy (1987: 60) meliputi sikap dan tingkah laku sebagai berikut:
-       Kesempurnaan pikiran
-       Kesempurnaan bentuk jasmani
-       Jujur
Pada sisi yang lain, etika perkembangan dan metode pendidikan agama dapat diuraikan berdasarkan tinjauan historis dan empiri. Dalam perspektif ini, dapat dilihat bahwa perubahan yang berlangsung selama proses belajar mengajar merupakan suatu proses penyesuaian dari system etika pendidikan kepada metode pengajaran.
Kebijakan konvergensi yang menjadi dasar dari proses tersebut nampaknya dimaksudkan sebagai suatu system pesantren dan sekolah. Namun, masalahnya tidak sederhana. Ada sejumlah pernyataan yang muncul di sini, misalnya apa yang terjadi dengan masyarakat pendidikan (intelektual) di sekolah khususnya guru, bagaimana perkembangan system etika pengajaran ini dapat atau tidak dapat mengubah persepsi siswa dalam sosial?
Dalam hal ini perlu dibahas beberapa peran orang-orang tua tertentu yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Di samping itu juga perlu dianalisis apakah fenomena ini mempunyai makna dalam etika pembelajaran di sekolah dan pesantren (Hidding Godsdients, 45) yang dapat dikaitkan dengan nilai-nilai edukatif. Sebab, tidak ada pemisahan antara etika pembelajaran dan metode pembelajaran baik di sekolah maupun di pesantren. Menurut H.R. Gibb (1968: 12).
Meskipun orang Islam menolak pembatasan etika pendidikan agama Islam dalam arti sempit, namun menurut hemat penulis, suatu pembatasan dalam arti pendidikan agama akan memberikan dampak yang positif, asalkan bersangkutan dari suatu anggapan bahwa unsure pendidikan agama dalam masyarakat sangat berhubungan dnegan analisis awal tentang Islam modern. Dalam analisis tersebut, Gibb berangkat dari satu asumsi bahwa pemikiran dan sikap agama merupakan dasar yang menentukan perkembangan lain dalam dunia modern.
Dari pendapat Gibb di atas dapat dirumuskan secara sistematik bahwa etika pembelajaran di madrasah atau pesantren dalam era pembangunan sekarang ini memiliki peluang lebih baik, lebih-lebih dengan keluarnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989. etika pembelajaran di madrasah memiliki dasar hokum yang sama dengan pendidikan umum (Muhammad Ai, 1982: 65). Persoalan bagi para pendidik kemudian adalah bagaimana berupaya untuk meningkatkan kualitas etika dan metode pembelajaran.
Dalam kaitan dengan persoalan di atas dan dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada, ada alasan sasaran yang perlu diupayakan:
1.   Meningkatkan dan memaksimalkan penampilan guru di depan kelas.
2.   Mengoptimalkan potensi belajar siswa dan keterlibatan dalam proses belajar mengajar.
Dengan dua sasaran tersebut diharapkan ada perbaikan penyuluhan tentang proses belajar mengajar di madrasah atau pesantren. Sebab, di satu pihak, ada guru berupaya berenah diri. Di lain pihak, ada murid yang terus meningkatkan kualitas cara belajarnya.

0 Response to "PANDANGAN KH. HASYIM ASY'ARI TENTANG KONSEP PENDIDIKAN"