BAB II
LANDASAN
TEORITIK ETIKA BELAJAR MENGAJAR
A. Pengerian Konsep Teori Etika
Teori etika adalah gambaran rasional
mengenai hakekat (Madjid Fakhiry, 1996 : 29), dasar pembaharuan dan keputusan
yang benar, serta prinsip-prinsi yang menentukan klaim bahwa peruatan dan
keputusan tersebut secara moral diperintahkan dan larangan (Salim Bakreisy,
1987 : 9). Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus
terhadap definisi konse-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap
keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan atau keputusan yang baik
dan buruk. Singkatnya, sistem etika harus berkaitan secara memadai dengan
aspek-aspek penelitian moral ini dengan cara bermakna dan koheren (Salim
Bakreisy, 1987 : 9).
Dalam Al-Qur’an yang di dalamnya
terkandung nilai-nilai universal baik
menyangkut masalah kehidupan moral, keagamaan dan sosial muslim, tidak
terdapat teori-teori etika dalam arti yang baku. Al-Qur’an hanya membentuk
keseluruhan ethos Islam. Masjid Fakhiry (1996: 7) mengatakan :
“Bagaimana cara mengeluarkan
ethos ini menjadi sangat penting dalam studi Islam. Ada tiga hal yang
menjadikan arah dimana penelitian ini dapat membuahkan hasil, yang kesemuanya
itu di kembalikan kepada teks Al-Qur’an itu sendiri, tafsir, fiqih, dan Kalam.
Di sisi yang berbeda, para
sufi dan filosof yang sering menggali otoritas Al-Qur’an untuk mendukung
pernyataan teoitis dan etika mereka tidak dapat dikatakan oleh pembangunan
pandangan Islam yang menyeluruh mengenai alam dan manusia (Madjid Fakhry, 1996
: 8). Mereka telah berutang budi kepada kepada pengaruh-pengaruh luar seperrti
India, Yunani, Kristen dan lainnya yang telah membentuk pemikiran mereka. Oleh
karena itu, teori-teori etika mereka ditandai dengan kompleksitas yang tinggi,
yang penyusunannya sebagian berasal dari teori-teori umum yang berakar dalam
Al-Qur’an dan Sunnah (Ahmad Amin, 1975: 63). Teori-teori tersebut mungkin
dibentuk sebagai teori spritual atau teologis yang tergantung kepada
keseleluasaan mereka bertumpuh kepada skriptual kitab suci atau kesepakatan
terhadap teks yang dapat diterima menghadapi nilai atau interpretasi secara
dialektis (Ahmad Tafsir, 1994: 27).
Sedangkann tipologi etika
Islam dalam kaitannya dengan belajar mengajar yang akan dikaji dalam studi ini
harus jelas-jelas menunjukkan perbedaan-perbedaan tersebut. penulis memulai
dari premis bahwa al-Qur’an dan Sunnah membentuk dasar asli spirit etika dalam
belajar mengajar. Bagaimana pendapat kita tentang dasar asli yang masing-masing
pakar pendidikan telah memikirkannya? Dapatkah para sarjana abad ke-20 atau
modernis dalam masalah pendidikan ini menyatakan bahwa pendidikan kita sudah
sempurna? Jawabannya tentu bisa berbeda-beda, tergantung pada pengetahuan dan
asumsi-asumsi masing-masing.
Untuk menjelaskan tema etika
moralitas skriptual, penulis akan mencoba menganalisis konsep-konsep etika dan
kaitannya dengan belajar mengajar yang tercantum dalam sumber pokok pendidikan
Islam, al-Qur’an dan Sunnah. Analisis akan membatasi diri sejauh hmungkin dari
konotasi prima facie terna-terma yang digunakan oleh para pakar pendidikan
Islam.
Tipe-tipe yang muncul dalam
belajar mengajar dibagi ke dalam empat tipe :
a. Pendidikan tentang jiwa
sebagai pengatur memasuki pengkajian tentang etika.
b. Perbedaan pendidikan dan
pengajaran etika.
c. Pendidikan mengembangkan
seluruh aspek kepribadian.
d. Mendidik dalam arti
paedagogis.
Sedangkan dalam bagian lain
ada beberapa persoalan yang mengutamakan pendidikan dalam etika. Di sini saya
tuturkan yang penting, yaitu meluruskan lingkungan fikiran, yang telah
dinyatakan oleh Herbart Spencer akan kepentingannya yang besar untuk
meninggikan akhlak. Menurutnya, sungguh fikiran yang sempit itu sumber beberapa
keburukan, dan akal yang kacau balau tidak dapat membuahkan akhlak yang tinggi.
Kita melihat takutnya beberapa orang disebabkan karena khurafat yang memenuhi
otak manusia, dan banyak suku bangsa yang biadab berkeyakinan bahwa keadilan
itu hanya diwajibkan terhadap orang suku-suku mereka, adapun kepada lainnya
tidak lain ketika kita merampas hak mereka.
B. Etika Belajar dan Mengajar dalam Filsafat Pendidikan Islam
Dapat diketahui bahwa etika itu menyelidiki perbuatan
manusia menetapkan hukum baik dan buruk. Akan tetapi tidak semua perbuatan
manusia itu dapat diberi hukum seperti ini. Mengapa? Karena perbuatan manusia
itu ada yang timbul tidak dengan kehendak, seperti bernafas, detak jantung dan
mmicingkan mata dengan tiba-tiba waktu berpindah dari gelap ke cahaya. Hal ini
bukan pokok persoalan etika, dan dapat kita sebut orang yang baik atau yang
buruk, dan tidak dapat dituntut. Di samping itu, ada perbuatan yang timbul
karena kehendak (Hasan Langgulung, 1987: 261).
Pokok persoalan etika belajar adalah soal komitmen dan
kesanggupan kita mempelajari tugas-tugas yang serupa. Ellis (1965) membuktikan
dengan suatu percobaan; sesudah seorang melath diri menyelesaikan persamaan
linier itu, perbaikan yang semakin meningkat dalam perlakuan inilah yang disebut
belajar untuk belajar (Hasan Langgulung, 1987: 262). Berdasarkan pada faktor di
atas, saya lebh cenderung kepada persoalan term pertama mengenai etika belajar
dalam pendidikan Islam, di mana term ini mengandung arti pada prinsip-prinsip
saya bertujuan untuk trasfer ilmu dengan fungsi-fungsi sebagai berikut :
1.
Menyiapkan genarasi mudah untuk memegang peranan-peranan
tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan di sini berkaitan
dengan kelanjutan hidup (survival) masyarakat sendiri. Menangkap ikan,
bertani, mengatur masyarakat dan lain-lain adalah peranan-peranan yang harus
tetap diajarkan kepada generasi muda, sekalipun tidak berarti harus memakai
alat-alat (tools) yang sama dari generasi ke generasi. Sebab bekalnya
peranan-peranan itu berarti bekal generasi atau peradaban.
2.
Mentransfer ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan
peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
3.
Memudahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memelihara
keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanutan
generasi suatu masyarakat dan peradaban. Dengan kata lain, tanpa nilai-nilai
keutuhan (integrity) (Hasan Langgulung, 1973: 2025).
Sedangkan penggunaan prinsip-prinsip
etika dalam pekerjaan mendidik agar pekerjaan itu lebih efektif, merupakan
teknologi. Dengan kata lain, teknologi pendidikan adalah penggunaan antara lain
prinsip-prinsip psikologi dalam pendidikan. Selain itu, ada juga
prinsip-prinsip dalam bidang lain, seperti dalam bidang sosiologi, bidang
pedagogi dan lain-lain.
Menutut hemat penulis, penggunaan prinsip-prinsip di atas
dalam etika pendidikan Islam tidak berbeda dengan penggunaannya di bidang lain
kehidupan manusia. Warisan kebudayaan Islam penuh dengan bukti-bukti yang
menunjukkan bagaimana ilmu-ilmu Yunani Kuno telah digunakan memperkaya
pengetahuan Islam. Dan apabila kita akan memberikan arti terhadap pendidikan
secara sistematis maka kita jadikan ilmu pengetahuan secara tersusun menurut
skema berikut ini (Imam Barnadib, 1987: 15).
Ilmu
Pengetahuan
Ilmu Murni Ilmu Empiris
Ilmu Pasti Ilmu Pendidikan Islam Ilmu Pendidikan
Ilmu Logika
Ilmu Etika
1.
Al-Qur’an Normatif Deskriptif
2.
Al-Hadits
Dalam hal ini di dalam pembelajaran kita mengenai
beberapa macam faktor pendidikan. Sementara ahli-ahli pendidikan seperti Sutari
Imam Barnadib (1987: 27) membagi faktor-faktor etika pembelajaran tersebut
menjadi lima macam faktor :
1.
Faktor Tujuan
2.
Faktor Pendidikan
3.
Faktor Anak Didik
4.
Faktor Alat-alat
5.
Faktor Alam Semesta.
Sementara menurut Ahmad Tafsir (1991: 54) membagi
faktor-faktor pendidikan menjadi 4 (empat) macam faktor :
1.
Faktor Tujuan
2.
Faktor Pendidikan
3.
Faktor Anak Didik
4.
Faktor Alat-alat.
Pada pendapat yang terakhir ini tidak menyertakan faktor
yang kelima, faktor alam semesta sekitar. Karena faktor alam sekitar
digabungkan dengan faktor pendidik. Sebetulnya dua faktor ini mempunyai fungsi
yang berbeda meskipun ada kesamaannya. Kesamaan ialah keduanya mempengaruhi
perkembangan anak. Perbedaannya, “Faktor Pendidik” memiliki dimensi tanggung
jawab dari pendidik itu sendiri. Sedangkan “Faktor Milleu” tidak memiliki
tanggung jawab. Baik faktor pendidik ataupun faktro milleu merupakan faktor yang
ada dalam pendidikan (belajar mengajar) (Napitupula W.P., 1949: 36).
Faktor pendidik dan faktor milleu bisa menjadi variable
yang independen dan sekaligus bisa menjadi variable yang saling mendukung atau
terkait. Idealnya jika ada pendidk yang baik dan bertanggung jawab dan didukung
oleh milleu yang baik, maka anak didik akan bisa menjadi baik, bisa juga tidak.
Menurut Krikteria lingkungan atau milleu yang mendukung
itu antara lain:
1.
Tempat tinggal
2.
Teman bermain, teman sekolah
3.
Buku bacaan, majalan dan lain-lain
4.
Macam-macam kesenian.
K.H Hasyim Asy’ari mempunyai pandangan tersendiri tentang
pendidikan yang baik. Dalam kaitan dengan etika belajar dan mengajar, menurut
Hasyim Asy’ari, seorang guru bila hendak mengajar dan ketika mengajar
berlangsung perlu memperhatikan beberapa etika. Di antara etika yang harus
diperhatikan adalam membersihkan diri dari hadats dan kotoran, berpakaian yang
rapih dan sopan, usahakan untuk memakai minyak wangi, berniat ibadah ketika
hendak mengajarkan ilmu kepada anak didik, sampaikanlah hal-hal yang diajarkan
oleh Allah, biasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan, berilah salam
ketika masuk dalam raungan kelas, bila mulai belajar berdo’a untuk para ahli
ilmu terdahulu yang telah lama mendahulukan kita, berpenampilan yang kalem dan
jauhkan diri dari bergurau dan banyak tertawa, jangan sekali-kali mengaja dalam
kondisi lapar, marah, mengantuk dan sebagainya. Pada waktu mengajar hendaknya
di tempat yang strategis, usahakan agar
penampialnnya ramah lembut, jelas, tegas dan lugas serta tidak sombong. Dalam
mengajar hendaknya mendahulukan materi yang lebih penting dan relevan dengan
profesi dan kemampuan serta pengetahuan yang dimiliki, jangan sekali
mengajarkan hal-hal yang syubhat yang membinasakan anak didik, perhatikan
kemampuan masing-masing murid dalam mengajar dan usahakan untuk tidak mengajar
terlalu lama, menciptakan ketenangan ruang kelas, menasehati dan menegur baik
baila terdapat anak didik yang bandel, bersikap terbuka terhadap berbagai
persoalan yang ditemukan, berilah kesempatan bagi anak didik datangnya
ketinggalan dan ulangilah penjelasan agar tahu apa yang dimaksud. Bila sudah
selesai mengajar, berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal
yang belum jelas (Hasyim Asy’ari, 1415: 71-80).
Sedangkan tentang etika guru bersama muridnya, K.H.
Hasyim Asy’ari menetapkan empat belas jenis etika. Di anatra etika guru bersama
muridnya ini adalah berniat mendidik dan menyerbarkan ilmu pengetahuan serta
menghidupkan syari’at Islam, menghindarkan ketidakikhlasan dan mengejar
keduniaan. Hendaknya selalu introspeksi diri, mempergunakan metode yang mudah
difahami oleh murid, membangktkan semangat anak didik dengan jalan meningkatkan
motivasinya, memberikan latihan-latihan yang bersifat membantu, selalu memperhatikan
kemampuan anak didik, tidak terlalu memunculkan salah seorang anak didik dengan
menafikan yang lain, mengarahkan minat anak didik, bersikap terbuka dan lapang
dada kepada anak didik, membantu memecahkan kesulitan anak didik, bila terdapat
anak didik yang berhalangan mengikuti pelajaran, hendaknya mencari tahu
penyebabnya kepada teman sekelasnya, tunjukkan sikap arif dan penyayang kepada
anak didik dan bersikap wadhu. (Hasyim Asy’ari, 1415: 80-95).
K.H. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya itu juga merumuskan
etika tertentu yang berkaitan dengan kwwajiban anak didik agar bisa belajar
dengan baik. Menurutnya, seorang murid yang pada dasarnya adalah pelaku ilmu
pengetahuan perlu memperhatikan etika-etika khusus. Di antara etika yang harus
diperhatikan anak didik adalah selalu mengusahakan agar memiliki bahan
pelajaran yang disampaikan guru, merelakan bila ada kawan meminjam buku
pelajaran. Sebaiknya, yang meminjam harus menjaga buku atau alat-alat belajar
yang dipinjamnya. Letakkan buku pelajaran pada tempatnya. Anak didik hendaknya
selalu memeriksa buku terlebih dahulu bila membeli atau meminjam kalau-kalau
ada kekurangan, bila menyalin buku syari’ah hendaknya bersuci dahulu dan
mengawalinya dengan tulisan basmalah, sedangkan bila yang saling adalah ilmu retorika
atau yang semacamnya, maka mualilah dengan pujian shalawat Nabi (Hasyim
Asy’ari, 1415: 95-101).
Sedangkan faktor alam atau lingkungan merupakan variable
yang penting untuk menunjang keberhasilan belajar anak didik. Di manapun
adanya, semua lembaga pendidikan pasti berada dalam suatu lingkungan tertentu.
Proses pendidikan atau belajar mengajar pasti berada dalam suatu lingkungan
baik sengaja diciptakan maupun terbentuk dengan sendirinya. Tidak ada proses
pendidikan yang bekerja di alam kosong, tanpa lingkungan. Baik lingkungan dalam
arti sempit, yaitu lingkungan di sekitar tempat berlangsungnya pengajaran,
misalnya sekitar sekolah atau pesantren, atau tempat-tempat sekelilingnya,
maupun lingkungan dalam arti luas yaitu lingkungan yang meliputi tempat kediaman
anak didik atau daerah asalnya, merupakan faktor determinan yang akan
mempengaruhi proses dan keberhasilan pendidikan.
Beberapa ahi lingkungan ini dalam berbagai tinjauan.
Abdul Aziz Abdul Majid misalnya, memberi pengertian lingkungan atau alam sekitar
sebagai semua pengaruh luar yang memberikan bekas kepada ujud yang hidup sejak
mulai tumbuhnya yakni saat sempurnanya perbuatan. Menurutnya, benda konkrit
seperti hawa, sinar panas, tempat kediaman, pakaian, makanan dan pengaruh yang
bersifat abstrak seperti pengaruh radio, bioskop dan ceramah-ceramah yang
semuanya berasal dari luar manusia adalah termasuk lingkungan (Muchtar Yahya,
1979: 562).
C. Hubungan Etika Belajar dengan Metode Pengajaran
Menurut Omar Mohammad al-Taomy al-Syaibani, (1979: 592)
hubungan etika dengan ilmu sangat erat. Satu sama lain bersifat saling
melengkapi.
Berangkat dari asumsi bahwa hubungan antara etika dan
ilmu pengetahuan yang di dalamnya juga termasuk metode pengajaran, maka harus
disadari bahwa pelaksanaan pendidikan hendaknya dikaitkan dnegan
prinsip-prinsip moralitas, utamanya yang secara langsung menyangkut hubungan
antara guru dan murid, baik di sekolah maupun di pesantren. Diintegrasikannya
nilai-nilai etika dalam metode mengajar, proses belajar, tempat dan tujuan
mengajar akan mempunyai korelasi positif dengan terbangunnya suatu proses
belajar yang baik.
Dalam korelasi ini, Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani
(1979: 592) menyatakan:
“Karena
hubungan antra proses pengajaran dan proses belajar sangat erat, maka salah
satu kewajiban guru yang paling penting adalah memahami proses belajar dan
metode yang dengannya proses itu berlaku mengikuti berbagai teori yang
menafsirkan berlakunya proses belajar mengajar tersebut”.
Syarat-syarat yang dierlukan untuk mendukung suatu proses
belajar yang baik, menurut K.H. Hasyim Asy’ari, adalah norma-norma dan
prinsip-prinsip umum yang harus selalu dijadikan acuan teori dalam proses
belajar. Prinsip umum itu juga perlu dijaga pada proses pengajaran (Hasyim
Asy’ari, 1415: 26).
Agar seorang guru atau pendidik bisa meguasai
persoalan-persoalan di atas dengan baik dalam rangka mengembangkan sistem
pendidikan nasional ke arah yang lebih modern, maka guru harus dipersiapkan
dengan seksama, baik dari segi kualitas profesional maupun kualitas teknik.
Kualitas guru yang demikian itu hnaya bisa terbentuk jika guru bersangkutan mau
mempelajari psikologi pendidikan dan psikologi proses belajar.
Kalau persoalan yang dihadapi guru sekarang adalah keharusan
untuk menguasai metode dan proses pengajaran seperti di atas, demikian juga
dengan persoalan yang dihadapi guru-guru agama Islam pada masa lampau. Di masa
lampau, persoalan yang dihadapi mengandung dilema-dilema yang cukup rumit.
Kalau guru menerima proses belajar mengajar yang bersifat modern dengan
memasukan berbagai teori modern yang baru dalam sistem pendidikan, maka akan
ada implikasi tertentu yang sangat mengejutkan. Sedangkan kalau sikap apriori
terhadap sistem modern, maka tidak mustahil akan tertinggal. Namun secara
minimal dapat dikatakan bahwa penerimaan proses belajar dalam pengertiannya
yang umum sesuai dengan tuntunan perubahan di tempat pendidik-pendidik Islam
itu hidup merupakan indikasi kuat bahwa para pendidik Islam itu mempunyai cita-cita
ideal dalam menyelenggarakan proses belajar (Hasyim Asy’ari, 1415: 26-35).
Pengertian-pengertian modern tentang metode dan proses
belajar dibatasi salah satu di antara pengertian pokok, sebagai mana di di
ungkapkan oleh Wasty Soemanto (1987: 188) sebagai berikut:
1.
Pandangan yang mengatakan proses belajar adalah proses
hafalan dan ingatan.
2.
Pandangan yang menyatakan proses belajar adalahlatihan
akal atau latihan kecerdasan akal.
3.
Pandangan yang menyatakan bahwa proses metode belajar
adalah perubahan dan pertukaran tingkah laku dan perbaikan dalam perbaikan
pencapaian (performacne).
Semua pengertian yang tercakup di atas dikenal oleh para
pendidik yang aktif pada lembaga pendidikan Islam zaman dahulu.
Menurut pakar psikologi pendidikan dan psikologi proses
belajar, syarat-syarat pokok bagi tercapainya proses belajar yang baik adalah:
a.
Adanya motivasi
pada pelajar.
b.
Adanya keturutsertaan (participation).
c.
Adanya kematangan yang sesuai dengan perkara yang ingin
dipelajari.
Semua syarat-syarat di atas sudah dikenal oleh para pendidik Muslim pada
zaman dahulu (Wasty Soemanto, 1987: 189).
Bimbingan belajar kepada para santri atau siswa
seharusnya dan pada prinsipnya ditujukan agar mereka mempunyai pengertian yang
sempurna tentang pentingnya motivasi, pentingnya keturutsertaan dan pentingnya
kematangan dalam proses belajar.
Sedangkan dari aspek yang lebih operasional, bimbingan
untuk para santri lebih mengarah pada pembinaan daya cipta, daya karsa yang
dijiwai oleh iman, dan taqwa menurut agama. Pada tataran ini menjadi jelas yang
digarap oleh para guru dalam pembelajaran adalah pengembangan nilai-nilai
rohaniah yang mengandung motivasi terhadap siswa (anak didik) agar memperoleh
ilmu yang bermanfaat (Hasan Langgulung, 1995: 30).
Untuk mencapai sasaran yang bersifat rohaniah (mental
spritual), diperlukan pendekatan psikologis yang lebih harus dan rumut daripada
sasaran pendidikan atau bimbingan biasa. Iman dan taqwa bisa tumbuh dan
berkembang menjadi kekuatan motivasi, bila mana dapat digerakan melalui
pendekatan dan metode yang sesuai dengan corak dan kecenderungan mental
spritual individu siswa.
Letak atau posisi dan metode sekedar berada dalam perasaan
dan kecerdasan, melainkan berada jauh di dalam inti/dasar kehidupan jiwa yaitu,
inti nurani menusia itu sendiri. Cara pengungkapannya menjadi aktual dan
fungsional, sehingga tidak semudah seperti pengembangan potensi kejiwaan
lainnya, yang dilakukan melalui proses metode pendidikan (Safi’i Ma’arif, tt,
127).
Syarat-syarat pengajara menurut Salim Bahreasy (1987: 60)
meliputi sikap dan tingkah laku sebagai berikut:
- Kesempurnaan
pikiran
- Kesempurnaan
bentuk jasmani
- Jujur
Pada sisi yang lain, etika perkembangan dan metode
pendidikan agama dapat diuraikan berdasarkan tinjauan historis dan empiri. Dalam perspektif ini,
dapat dilihat bahwa perubahan yang berlangsung selama proses belajar mengajar
merupakan suatu proses penyesuaian dari system etika pendidikan kepada metode
pengajaran.
Kebijakan konvergensi yang menjadi dasar dari
proses tersebut nampaknya dimaksudkan sebagai suatu system pesantren dan
sekolah. Namun, masalahnya tidak sederhana. Ada sejumlah pernyataan yang muncul
di sini, misalnya apa yang terjadi dengan masyarakat pendidikan (intelektual)
di sekolah khususnya guru, bagaimana perkembangan system etika pengajaran ini
dapat atau tidak dapat mengubah persepsi siswa dalam sosial?
Dalam hal ini perlu dibahas beberapa peran orang-orang
tua tertentu yang terlibat dalam proses perubahan tersebut. Di samping itu juga
perlu dianalisis apakah fenomena ini mempunyai makna dalam etika pembelajaran
di sekolah dan pesantren (Hidding Godsdients, 45) yang dapat dikaitkan dengan
nilai-nilai edukatif. Sebab, tidak ada pemisahan antara etika pembelajaran dan
metode pembelajaran baik di sekolah maupun di pesantren. Menurut H.R. Gibb (1968:
12).
Meskipun
orang Islam menolak pembatasan etika pendidikan agama Islam dalam arti sempit,
namun menurut hemat penulis, suatu pembatasan dalam arti pendidikan agama akan
memberikan dampak yang positif, asalkan bersangkutan dari suatu anggapan bahwa
unsure pendidikan agama dalam masyarakat sangat berhubungan dnegan analisis
awal tentang Islam modern. Dalam analisis tersebut, Gibb berangkat dari satu
asumsi bahwa pemikiran dan sikap agama merupakan dasar yang menentukan perkembangan
lain dalam dunia modern.
Dari
pendapat Gibb di atas dapat dirumuskan secara sistematik bahwa etika
pembelajaran di madrasah atau pesantren dalam era pembangunan sekarang ini
memiliki peluang lebih baik, lebih-lebih dengan keluarnya Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989. etika pembelajaran di madrasah memiliki
dasar hokum yang sama dengan pendidikan umum (Muhammad Ai, 1982: 65). Persoalan
bagi para pendidik kemudian adalah bagaimana berupaya untuk meningkatkan
kualitas etika dan metode pembelajaran.
Dalam
kaitan dengan persoalan di atas dan dengan keterbatasan sarana dan prasarana
yang ada, ada alasan sasaran yang perlu diupayakan:
1.
Meningkatkan dan memaksimalkan penampilan guru di depan
kelas.
2. Mengoptimalkan potensi
belajar siswa dan keterlibatan dalam proses belajar mengajar.
Dengan dua sasaran tersebut diharapkan ada perbaikan
penyuluhan tentang proses belajar mengajar di madrasah atau pesantren. Sebab,
di satu pihak, ada guru berupaya berenah diri. Di lain pihak, ada murid yang
terus meningkatkan kualitas cara belajarnya.
0 Response to "PANDANGAN KH. HASYIM ASY'ARI TENTANG KONSEP PENDIDIKAN"
Post a Comment