Siswa MA Nurusssyahid Kertajati sedang berpidato Faturrahman kelas X IPS
BAB II
SUMBER HUKUM ISLAM
YANG DISEPAKATI PARA ULAMA
A. Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
Menurut bahasa (etimologi) kata Al-Qur’an
berasal dari kata “qara-yaqrau-qur anan” artinya
bacaan atau yang dibaca. Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Qur’an
adalah Kalmullah sebagai mu’jizat yang diturunkan kepada nabi Muhammad SAW
melalui malaikat Jibril, dengan bahasa Arab, ditulis dimushhaf, disampaikan
secara mutawatir, dibaca bernilai ibadah. Diawali dengan surat Al-Fatihan dan diakhiri dengan surat An-Nas.
2. Pokok-pokok isi Al-Qur’an
Pokok-pokok
isi Al-Qur’an ada lima yaitu :
a.
Tauhid
b.
Ibadah
c.
Janji dan ancaman
d. Jalan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat
e.
Riwayat dan ceritera ( qishah umat terdahulu). ( A.Hanafie : 1981, hal 103 )
3. Dasar Kehujjahan Al-Qur’an dan
Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Sebagimana
kita ketahui Al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan disampaikan kepada umat manusia adalah untuk wajib diamalkan semua
perintah-Nya dan wajib ditinggalkan segala larangan-Nya. Firman) Allah SWT :
Artinya : "Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantan karena
membela orang-orang yang khianat".
(An-Nisa :105).
Artinya : "Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (Al-Maidah: 49).
Al-Qur'an merupakan number hukum utama dalam islam dan menempati kedudukan pertama dari sumber- sumber hukum islam
yang lain, ia merupakan aturan dasar yang paling tinggi. Semua sumber hukum dan ketentuan norma yang ada tidak boleh bertentangan
dengan isi Al-Qur'an.
4. Pedoman AI-Qur'an dalam Menetapkan Hukum.
Pedoman Al-Qur'an dalam menetapkan hukum sesuai
dengan perkembangan dan kemampuan manusia, baik secara fisik maupun rohani.
manusia selalu berawal dari kelemahan dan ketidak mampuan. Untuk itu AlQur'an berpedoman kepada tiga hal, yaitu :
a. Tidak
memberatkan ( ) Firman Allah SWT :
Artinya : "Allah
tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya..."
(Al-Bagarah : 286).
Artinya : "...Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (Al-Bagarah : 185)
Contoh :Azimah (ketentuan-ketentuan umum Allah) misal sholat wajib
dll
b. Meminimalisir beban ( )
Dasar ini merupakan konsekwensi logis dari dasar yang pertama. Dengan dasar ini kita dapati rukhshah (keringanan) dalam beberapa jenis ibadah, seperti Menjama’ dan mengqashar sholat apabila dalam
perjalanan dengan syarat yang telah
ditentukan.
c.
Berangsur-angsur
dalam menetapkan hukum ( )
Al-Qur'an
dalam menetapkan hukum adalah secara bertahap, hal ini bisa kita telusuri dalam hukum haramnya meminum-minuman keras, berjudi serta perbuatan-perbuatan yang mengandung
judi ditetapkan dalam AlQur'an (QS.
Al-Baqarah: 219, QS. An-Nisa’ : 43 dan QS. Al-Maidah : 90). ( HM. Suparta : 2006, hal 59-61).
B. Al- Hadits
1. Pengertian
Al-Hadits
Menurut bahasa (etimologi) Al-Hadits berarti ”yang baru”, ”yang dekat”, atau ”warta” yaitu sesuatu yang dibicarakan.
Sedangkan menurut istilah (terminologi) Al-Hadits adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir
(persetujuan) beliau. (MS. Wwawan : 2008, hal 27).
2. Bentuk-bentuk
Al-Hadits
Berdasarkan definisi istilah diatas, maka bentuk hadits dapat
dibedakan menjadi 3 macam yaitu :
a. Qauliyah ( ucapan )
b. Fi’liyah ( perbuatan )
c. Taqririyah ( keputusan/ketetapan )
3. Dasar
Kehujjahan Al-Hadits dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Banyak kita jumpai ayat - ayat Al-Qur'an dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian
bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Qur'an yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah
maupun larangannya. Uraian di bawah
ini merupakan penjelasan secara rinci tentang
dasar kehujjahan hadits sebagai sumber hukum Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik naqli maupun aqli.
a. DaliI
Al-Qur'an
Banyak kita jumpai ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang
disampaikan oleh Rasul kepada umatnya
untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari . Di antara ayat-ayat dimaksud
adalah:
Firman
Allah SWT :
Artinya: Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman
dalam keadaan kamu sekarang
ini, sehingga Dia menyisihkan yang
buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang
dikehendaki-Nya di antara
Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan
bertaqwa, maka bagimu pahala yang
besar. (QS. Ali lmran (3): 179).
Dalam ayat lain Allah SWT
berfirman :
Artinya: Wahai orang-orang yang
beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Bagi siapa yang
kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasulrasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh jauhnya. (QS. Al-Nisa' (4): 136).
Ayat-ayat
diatas Allah menyuru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya
(Muhammad SAW), AlQur'an, dan kitab yang
diturunkan sebelumnya. Kemudian Allah
mengancam orang-orang yang mengingkari dan menentang seruan-Nya.
Di samping
itu, Allah juga memerintahkan kepada kaum muslimin agar menaati dan
melaksanakan segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang
dibawa oleh Rasul-Nya, baik berupa
perintah maupun larangan. Tuntutan
taat dan patuh kepada Rasul-Nya sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada
Allah SWT. Banyak ayat Al-Qur'an yang
berkenaan dengan masalah ini. Firman Allah
SWT:
Artinya:
Katakanlah ! Taatlah kalian
kepada Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling,
maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS. Ali lmran (3): 32).
Dalam firman-Nya yang lain:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman !
Taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, akan kembalilah kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih
baik akibatnya. (QS. AN-Nisa (4):
59).
Kemudian dalam ayat yang lain, Allah juga
berfirman:
Artinya :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS.
AI-Hasyr (59): 7).
Artinya: Dan taatlah kamu kepada
Allah dan kepada Rasul-Nya, dan berhati-hatilah.
(QS. Al-Maidah (5): 92).
Artinya: Katakanlah: Taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya kewajiban Rasul SAW itu adalah
apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk (QS. A1-Nur (24): 54).
Dari ayat- ayat Al-Qur'an di atas tergambar bahwa
setiap ada perintah taat kepada Allah SWT dalam
Al-Qur'an selalu diikuti dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikian pula mengenai peringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan atau disamakan dengan ancaman
karena durhaka kepada Rasul Muhammad SAW.
b. Dalil Al-Hadits
Mari kita pahami Dalam salah satu pesan Rasulullah
SAW berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman
hidup, disamping Al-Qur'an sebagai pedoman utamanya, beliau
bersabda:
Artinya: "Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada
keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya". (HR.
Malik).
Saat
Rasulullah ingin mengutus Mu'adz bin Jabal untuk menjadi penguasa di Negeri Yaman, terlebih dahulu dia
diajak dialog oleh Rasulullah SAW.
Artinya: "(Rasul bertanya),
bagaimana kamu akan menetapkan hukum bila dihadapkan padamu sesuatu yang
memerlukan penetapan hukum? Mu'az
menjawab: saya akan menetapkannya dengan kitab Allah.
Lalu Rasul bertanya; seandainya kamu tidak mendapatkannya
dalam kitab Allah, Mu'az menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Rasul bertanya lagi, seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah dan juga tidak
dalam Sunnah Rasul, Mu'az menjawab:
saya akan berijtihad dengan pendapat saya
sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk belakangan Mu'az seraya mengatakan "segala puji bagi Allah
yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki". (HR. Abu Daud
dan Al-Tirmidzi).
Dalam
hadits lain Rasul bersabda:
Artinya: "Wajib bagi sekalian berpegang teguh
dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa Ar-Rasyidin (khalifah yang
mendapat petunjuk), berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya. (HR. Abu Daud dan Ibun Majah).
Hadits-hadits di atas menunjukkan
bahwa berpegang teguh kepada hadits atau menjadikan hadits sebagai pegangan
dan pedoman hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh
kepada Al-Qur'an.
c. Kesepakatan Ulama (Ijma')
Seluruh Umat Islam telah sepakat
menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Syari'at Islam
yang wajib diikuti dan diamalkan; karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh
Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama seperti penerimaan
mereka terhadap Al-Qur'an, karena keduanya sama-sama dijadikan
sebagai sumber hukum Syariat Islam.
kesepakatan umat Islam dalam
mempercayai, menerima dan mengamalkan semua ketentuan yang terkandung di dalam hadits ternyata sejak
Rasulullah masih hidup hingga sekarang tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka
yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi
bahkan mereka menghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Mari kita
menengok peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan
menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam pada masa sahabat, antara
lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini :
a. Pada saat Abu Bakar Ra. dibaiat menjadi
Khalifah, ia dengan tegas berkata “Saya tidak meninggalkan sedikitpun
sesuatu yang diamalkan / dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi orang bila
meninggalkan perintahnya".
b. Pada saat Khalifah Umar Ibnu Khattab ada di
depan Hajar Aswad is berkata: “Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya sendiri tidak
melihat Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu".
c. Pada suatu saat pernah ditanyakan kepada
Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) masalah ketentuan shalat safar dalam Al-Qur'an. la menjawab:
"Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui
sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana
duduknya Rasulullah SAW, saya makan sebagaimana makannya Rasulullah dan saya
shalat sebagaimana shalatnya Rasul".
d. Diceritakan dari Sa'id bin Musayyab bahwa
Khalifah Usman bin Affan berkata: “Saya duduk sebagaimana mengikuti duduknya Rasulullah SAW, saya juga
makan sebagaimana makannya Rasulullah, dan saya mengerjakan shalat sebagaimana
shalatnya Rasul”.
Sebenarnya Masih banyak lagi
contoh-contoh yang dilakukan oleh para sahabat yang menunjukkan
bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan, niscaya diikuti
oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka. (
Muzilanto : 2008, hal 27 )
d. Sesuai dengan Petunjuk Akal
Muhammad SAW,
sebagai Nabi dan Rasul Allah telah diakui dan dibenarkan oleh seluruh
umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya
sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik isi maupun
formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu
dari Allah. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad
semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga
tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai
ada dalil yang menghapuskannyanya
Dan
apabila kerasulan Muhammad SAW telah
diimani dan dibenarkan,
maka konsekwensi logisnya segala peraturan dan perundang-undangan
serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham
atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup.
Di samping itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai
Rasul Allah mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala
ketentuan yang beliau sampaikan.
Semua umat
Islam telah sepakat dengan bulat bahwa Hadits Rasul adalah sumber
dan dasar hukum Islam setelah Al-Qur'an, dan umat Islam diwajibkan
mengikuti dan mengamalkannya sebagaimana diwajibkan mengikuti dan
mengamalkan Al-Qur'an.
Al-Qur'an dan Hadits
merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak akan mungkin bisa memahami syariat Islam
secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut.
Seorang mujtahid dan seorang ulama' pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan
diri dengan mengambil salah satu dari keduanya.
Berdasarkan uraian di atas bisa diketahui
bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam dan
menduduki urutan kedua setelah Al-Qur'an. Sedangkan bila dilihat dari segi
kehujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanny, kecuali hadits yang
mutawatir.
4. Fungsi
Al-Hadits terhadap Al-Qur’an
Dalam Al-Qur’an masih banyak ayat bersifat umum dan
global yang memerlukan penjelasan. Dan penjelasan itu diberikan oleh Rasulullah
SAW. Yang berupa Al-Hadits. Tanpa penjelasan dari beliau banyak ketentuan
Al-Qur’an yang tidak bisa dilaksanakan. Maka dari itu Al-Hadits memiliki
beberapa fungsi terhadap Al-Qur’an antara lain :
a. Bayanut Tafsir yaitu sebagai penjelas atau merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih global
dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qur’an yang dalam pelaksanaannya belum
ada batasannya. Misal hadits tentang tata cara ibadah sholat, tata cara ibadah
haji dan lain-lain.
b. Bayanut Taqrir yaitu
sebagai penguat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an.
Misal hadits tentang rukun Islam dan lain-lain.
c. Bayanut Tasyri’ yaitu menetapkan hukum suatu perkara yang tidak ada ketentuan nashnya
dalam Al-Qur’an. Misal hadits tentang penyembelehan janin dalam perut induknya
sama dengan penyembelehan induknya dan lain-lain. ( HM. Suparta: 2006, hal 67
).
C. Ijma'
1. Pengertian
Ijma'
Ditinjau
dari segi bahasa (etimologi), kata Ijma' merupakan masdar (kata benda verbal) dari kata yang artinya memutuskan dan menyepakati sesuatu. Ia juga bisa berarti
kesepakatan bulat (konsensus). Menurut
Abdul Wahhab Khalaf, secara istilah Ijma' adalah :
Artinya : "Ijma'
adalah kesepakatan (konsensus) seluruh mujtahid pada suatu masa tertentu sesudah wafatnya Rasul atas
hukum syara' untuk satu peristiwa
(kejadian) ".
Dari rumusan di atas dapat diambil
beberapa penjelasan sebagai berikut :
1. Kesepakatan adalah kesamaan pendapat baik
disampaikan secara tegas melalui lisan
maupun tulisan atau dengan beramal sesuai dengan hukum yang disepakati itu. Kesepakatan seperti itu disebut Ijma' yang sebenarnya atau ijma' bayani atau disebut juga Ijma' Qauli. Jika kesepakatan
itu ditunjukkan dengan diam yaitu tidak memberikan tanggapan maka dinamakan ijma' sukuti, karena diam itu tidak memberikan tanggapan dipandang sebagai telah
menyetujui terhadap hukum yang sudah sampai
kepadanya.
2. Seluruh mujtahid berarti masing-masing mujtahid menyatakan kesepakatannya. Jika seorang saja tidak menyetujuinya maka
tidak terjadi ijma'. Demikian pula jika pada suatu masa hanya ada pada seorang
mujtahid saja, maka tidak ada ijma' sebab tidak terjadi kesepakatan.
3. Pada zaman Rasulullah SAW tidak ada ijma' sebab
setiap terjadi ketiadaan hukum, para
sahabat bertanya kepada Rasul, lalu beliau menetapkan hukumnya.
4. Atas
hukum syara' ijma' hanya terjadi bagi masalah yang berhubungan dengan hukum. Syara' dan berdasar kepada hukum
syara' pula ; baik berupa nash yang qoth'i yaitu Al-Qur'an dan hadits mutawatir, sebab ijma' bukanlah dalil syar'i yang berdiri sendiri.
(Muzilanto : 2008, hal 30-31 ).
2. Dasar
Kehujjahan Ijma’ dan Kedudukannya sebagai sumber hukum
Ijma'
sebagai dasar hukum walaupun terjadi perbedaan, namun mayoritas ulama' telah sepakat sebagai sumber
hukum Islam yang ke tiga setelah
Al-Qur'an dan AI-Hadits. Apabila sudah terjadi ijma' maka hukum tersebut menjadi dasar beramal yang tidak boleh
diingkari.
Artinya : "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik, maka baik (pula) di sisi Allah (HR. Ahmad di dalam Kitab
Sunnah-nya)".
Artinya : "Umatku tidak bersepakat atas kesesatan". (H. R. Ibnu Majah
3. Macam
dan Tingkatan Ijma’
a. Ijma' Sharih, (Sharih dari segi bahasa artinya jelas) yaitu Ijma'
yang memaparkan pendapat banyak
Ulama' secara jelas dan terbuka, baik dengan
ucapan maupun perbuatan. Pada
saat semua Ulama' memaparkan pendapatnya, ternyata mereka
menghasilkan pendapat yang sama atas
hukum suatu perkara. ljma' jenis ini kita akui sangat langka karena sangat sulit dicapai darim sekian
banyak Ulama' memberikan sebuah
paparan yang sama. Oleh karena itu, sebagian Ulama' berpendapat bahwa Ijma' semacam ini hanya dapat terlaksana pada zaman sahabat ketika jumlah mujtahid masih
sedikit dan tempat mereka berdekatan.
Ijma' Sharih ini menempati peringkat Ijma' tertinggi. Hukum yang
ditetapkannya bersifat qat'i, sehingga
umat wajib mengikutinya. Maka seluruh Ulama' sepakat dan menerima untuk menjadikan ijma Sharih ini sebagai dalil yang sah
dan kuat dalam penetapan hukum
syari'at Islam.
b. ljma' sukuti, (Sukuti dari segi bahasa artinya diam) yaitu sebagian mujtahid memaparkan pendapat-pendapatnya secara
terang dan jelas mengenai suatu hukum
suatu peristiwa melalui perkataan atau perbuatan,
sedangkan mujtahid yang lain tidak memberikan komentar apakah ia menerima atau menolak. ljma' sukuti ini
bersifat dzan dan tidak mengikat.
Oleh seabab itu, tidak ada halangan bagi para mujtahid untuk memaparkan pendapat yang berbeda setelah
Ijma' itu diputuskan. Bagi Imam
Syafi'i dan Imam Malik berpendapat bahwa ljma' sukuti ini tidak dapat dijadikan dasar hukum. Namun Imam Abu
Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal
berpendapat lain yaitu menjadikannya sebagai dasar hukum. Mereka yang menerima
ljma' sukuti sebagai hujah sebab menurut kedua Imam tersebut, diamnya
mujtahid sebagai tanda setuju. ( Muzilanto :
2008, hal 32 ).
D. Qiyas
1. Pengertian
Qiyas
Qiyas menurut bahasa berarti menyamakan
atau mengukurkan sesuatu dengan yang
lain. Para ahli Ushul Fiqih merumuskan qiyas dengan:
Artinya : "Menyamakan atau mengukur satu kejadian yang
tidak ada nash tentang hukumnya dengan
kejadian yang ada nash tentang hukumnya di dalam hukum yang disebutkan
di dalam nash karena ada kesamaan antara dua
kejadian itu di dalam ilat hukum tersebut".
2. Rukun Qiyas
Dari
rumusan diatas dapat dijelaskan beberapa rukun qiyas sebagai berikut :
a. Kejadian adalah peristiwa, perbuatan, tindakan yang tidak
ada hukumnya atau belum jelas hukumnya baik di dalam
Al-Qur'an maupun As-Sunnah. Dalam ilmu
Ushul Fiqih hal ini disebut "Far'un"
Suatu peristiwa dapat disebut far'un apabila : adanya kemudian, ada kesamaan illat dengan peristiwa yang akan
disamainya.
b. Kejadian yang telah ada ketentuan hukumnya baik di dalam Al-Qur'an maupun sunnah disebut ashal a atau disebut juga "maqiis'alaih"
yaitu sesuatu yang akan diqiyaskan kepadanya, atau "musyabbah
bih" yaitu
sesuatu yang akan diserupakan dengannya.
Suatu kejadian dapat disebut ashl apabila :
1) Hukumnya
adalah hukum syari'ah amali dan berdasar nash.
2) illat
hukumnya dapat Diketahui secara aqli
3) Hukumnya bukan merupakan cabang (far'un)
dari ashal mansukh
4) Nash
hukum ashal tidak meliputi hukum far'un.
5) Hukum
ashal adalah hukum yang disepakati dan tidak mansukh
6) Hukum
pada ashal tidak mempunyai qiyas rangkap.
c. Illat yaitu suatu sifat yang menjadi dasar hukum pada ashal. Sifat ini pula yang harus ada pada “far'un". Haramnya
minum khamr adalah ashal karena ada nash
yang menyatakan itu, yaitu firman Allah SWT :
(maka jauhilah) karena sifatnya yang memabukkan.
Perasan anggur adalah "far'un" yang tidak
disebutkan hukumnya tetapi sifatnya saja
yaitu memabukkan. Karena sifatnya sama maka rasa anggur dan semua makanan dan minuman yang memiliki sifat memabukkan hukumnya disamakan dengan khamar yaitu
haram.
Kata ‘illah :
penggunaannya sering tumpang tindih dengan
sebab dalam hukum wadh'i sebab biasanya berhubungan dengan suatu asalan yang tidak bisa dipahami akal. Jadi, setiap sabab pastilah
'illah, tetapi tidak semua
'illah merupakan sabab.
d. Hukum ashal yaitu hukum suatu kejadian yang sudah
disebutkan dan akan ditetapkan bagi far'un
karena sama sifatnya (illatnya). Suatu sifat
dapat dijadikan sebagai illat, apabila : jelas atau dzonni (dapat dibuktikan), dapat dibatasi secara pasti sama antara ashal dengan far'un serta munasabah yaitu dugaan kuat bahwa sifat
tersebut merupakan alasan hukum pada ashal, sehingga adanya menyebabkan adanya
hukum dan tidak adanya mengakibatkan tidak adanya hukum.
Al-Ashlu
|
Al-Far’u
|
‘Ilah
|
Hukum
|
Khamar
|
Narkoba
|
Memabukkan
|
Haram
|
3. Dasar Kehujjahan Qiyas dan Kedudukannya sebagai Sumber Hukum
Sebagian
Ulama' Sunni berpendapat bahwa qiyas adalah salah satu sumber hukum Islam. Ulama' yang menjadikan qiyas
sebagai sumber hukum atau disebut
(musbitul qiyas) dan mereka mempunyai dasar yang kuat baik dari nas maupun dari akal. Dalam Al-Qur'an terdapat banyak ayat
yang menyuruh manusia menggunakan akalnya semaksimal mungkin.
Tidak kurang dari 50 ayat Al-Qur'an
yang mendorong manusia menggunakan akalnya. Di antaranya dapat dilihat
dalam Surat al-Hasyr ayat 2 berikut
ini :
Artinya: Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan.
Dasar
qiyas sebagai sumber hukum adalah sebuah.hadits dari Ibnu Abbas :
Artinya: Dari
Ibnu Abbas, seorang perempuan dari kabilah Juhainah telah datang kepada
Nabi. la bertanya, "sesungguhnya ibuku telah bernazar akan
pergi haji tapi ia tidak melaksanakannya sampai wafat".
Apakah saya boleh mengerjakan haji untuk ibuku?" Nabi menjawab,
"Ya boleh, kerjakanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmu
kalau ibumu sewaktu wafat meninggalkan utang, bukankah engkau
yang membayarnya? Hendaklah kamu bayar hak Allah sebab hak Allah lebih
utama untuk dipenuhi". (HR. Bukhari).
Dari hadits di atas, dapat dijelaskan bahwa membayar hutang kepada Allah disamakan dengan hutang kepada manusia. Kalau hutang kepada manusia saja wajib dibayar, maka hutang
kepada Allah juga harus dibayar.
4. Macam-macam Qiyas
Qiyas mempunyai tingkatan yang
berbeda-beda. Perbedaan tersebut didasarkan pada tingkat kekuatan hukum karena
adanya `illah yang ada pada asal dan furu',
adapun tingkatan tersebut pada umumnya dibagi menjadi tiga yaitu :
a. Qiyas aula, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum cabang memiliki nilai yang lebih
utama dari pada hukum yang ada pada al-ashal. Misalnya berkata kepada
kedua orang tua dengan mengatakan "ah", "eh", "busyet" atau kata-kata lain yang semakna
dan menyakitkan itu hukumnya haram,
sesuai dengan firman Allah QS. Allsra' (17): 23.
Artinya:
"Maka sekali-kali janganlah kamu
mengatakan kepada keduanya perkataan "ah".
Lalu
diqiyaskan memukul dengan perkataan "ah", "busyet" dan sebagainya hukumnya
Iebih utama. Rasionalnya, berkata "ah" saja dilarang, apalagi memukulnya. Memukul tentu lebih menyakitkan dibanding berkata "ah" bukan?
b. Qiyas musawi, yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum. Hukum yang ada pada ashal dan hukum yang ada pada cabang nilainya sama. Contohnya,
keharaman memakan harta anak yatim
berdasarkan firman Allah Surah an-Nisa' (4): 10.
Artinya: Sebenarnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim,
sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Dari ayat di atas, kita dapat
mengqiyaskan bahwa segala bentuk kerusakan
atau kesalahan pengelolaan atau salah menejemen yang menyebabkan
hilangnya harta tersebut juga dilarang seperti memakan harta anak yatim tersebut.
c. Qiyas adna yaitu qiyas yang apabila 'illahnya mewajibkan adanya hukum.
Hukum cabang nilainya lebih lemah dari
pada hukum ashal. Sebagai contoh, mengqiyaskan hukum apel kepada gandum
dalam hal riba fadl (riba yang terjadi karena
adanya kelebihan dalam tukar-menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). Dalam kasus ini, `illah hukumnya
adalah baik apel maupun gandum merupakan jenis makanan, yang bisa dimakan dan ditukar. Namun ada segi yang lain dari 'illah
gandum yang tidak terdapat pada apel, apa itu ? apel tidak makanan pokok. Oleh
karenanya, 'illah yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan dengan illat yang ada pada gandum yang menjadi makanan pokok. ( Muzilanto : 2008, hal 35-36 ).
5. Sebab-sebab dilakukan Qiyas
Diantara
sebab-sebab dilakukan qiyas adalah :
a. Adanya persoalan-persoalan yang harus dicarikan
status hukumnya, sementara di dalam nash Al-Qur’an dan As-Hadits tidak
ditemukan hukumnya dan mujtahid pun belum melakukan ijma’
b. Nash baik yang berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits
telah berakhir dan tidak turun lagi
c. Adanya persamaan illat antara peristiwa yang belum
ada hukumnya dengan peristiwa yang hukumnya telah ditentukan oleh nash. (MS Wawan :
2008, hal 48 ).
UJI KOMPETENSI SUMBER HUKUM ISLAM YANG
DISEPAKATI PARA ULAMA’
JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN DIBAWAH INI
DENGAN BENAR!
1. Jelaskan pengertian Al-Quran menurut istilah!
2. Jelaskan isi pokok kandungan Al-Quran yang
menjadi pedoman hidup bagi umat islam!
3. Al-Quran dalam menetapkan hukum didasarkan pada
beberapa prinsip. Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip tersebut!
4. Buatlah sebuah contoh prinsip qillatuttaklifi ( )
dalam hukum islam!
5. Berdasarkan pengertian istilah hadist dapat
terbagi menjadi beberapa macam. Sebutkan dan jelaskan masing-masing!
6. Sebutkan dan jelaskan fungsi hadist terhadap
Al-Quran sebagai sumber hukum islam!
7. Tuliskan hadist Nabi lengkap dengan harakat dan
terjemahnya yang menjadi dasar kehujjahan hadist sebagai sumber hukum islam!
8. Buatlah sebuah contoh fungsi hadist bayanuttasyri’
( ) dalam hukum islam!
9. Tuliskan
ayat Al-Quran lengkap dengan harakat dan terjemahnya yang menjadi dasar
kehujjahan ijma’ sebagai sumber hukum islam!
10. Bolehkah pendapat shahabat dijadikan sebagai sumber hukum islam pada masa
Rosulullah masih hidup? Jelaskan menurut pendapat saudara!
11. Jelaskan pengertian ijma’ menurut istilah!
12. Buatlah sebuah contoh hasil ijma’ shahabat dalam hukum islam yang saudara
ketahui!
13. Sebutkan dan jelaskan macam-macam ijma’!
14. Jelaskan pengertian qiyas menurut istilah!
15. Salah satu rukun qiyas adalah Al-Far’u ( ) . Jelaskan pengertian istilah
tersebut!
16. Sebutkan dan jelaskan rukun qiyas yang saudara ketahui!
17. Sebutkan dan jelaskan macam-macam qiyas yang saudara ketahui!
18. Tuliskan ayat Al-Quran lengkap dengan harakat dan terjemahnya yang
menjadi dasar kehujjahan qiyas sebagai sumber hukum islam!
19. Buatlah sebuah contoh qiyas adna dalam hukum islam!
20. Minuman towa’ dalam islam dilarang untuk dikonsumsi padahal tidak ada
dasar nash secara qoth’y , mengapa demikian!. Jelaskan pendapat saudara beserta
dasar hukum yang digunakannya!
0 Response to "PELAJARAN FIQIH KELAS XII MADRASAH ALIYAH BAB II SEMESTER GANJIL"
Post a Comment