PELAJARAN FIQIH KELAS XII MADRASAH ALIYAH BAB III SEMESTER GENAP



BAB III
SUMBER HUKUM ISLAM
YANG DIPERSELISIHKAN PARA ULAMA
A.  Istihsan
1.      Pengertian
      Menurut pengertian bahasa, istihsan berarti "menganggap baik". Sedang menurut istilah ahli Ushul yang dimaksud dengan istihsan ialah berpindahnya seorang mujtahid dari hukum yang dikehendaki oleh qiyas jaly (jelas) kepada hukum yang dikehendaki oleh qiyas khafy (samar-samar), atau dari hukum kully (umum) kepada hukum yang bersifat istisna'y (pengecualian), karena ada dalil syara' yang menghendaki perpindahan itu. Dari pengertian di atas jelas bahwa istihsan itu ada dua, yaitu :
      1. Menguatkan qiyas khafy atas qiyas jaly dengan dalil. Misalnya menurut ulama Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur'an berdasarkan istihsan tetapi haram menurut qiyas.
             Qiyas : Wanita yang sedang haid itu diqiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al­-Qur'an, maka orang yang haid juga haram membaca Al-Qur'an.
             Istihsan : Haid berbeda dengan junub, karena haid waktunya lama. Karena itu, wanita yang sedang haid diperbolehkan membaca Al-Qur'an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apa pun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
      2.   Pengecualian sebagian hukum kully dengan dalil. Misalnya jual beli salam (pesanan) boleh berdasarkan istihsan tetapi haram menurut hukum kully. Hukum kully (syara') : melarang jual beli yang barangnya tidak ada pada waktu akad.
          Istihsan : membolehkan jual beli salam karena manusia berhajat kepada akad tersebut dan sudah menjadi kebiasaan mereka.
2.   Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
      Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan :
      a. Jumhur ulama menolak berhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu.
      b. Golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka, berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan qiyas khafy yang dikuatkan terhadap qiyas jaly atau menguatkan satu qiyas terhadap qiyas lain yang bertentangan dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan maslahat untuk mengecualikan sebagian dari hukum kully. Imam Malik dan pengikutnya juga menggunakan istihsan tapi dikalangan mereka populer dengan istilah masholihul mursalah. (Muzilanto : 2008, hal 45 )

B.      Istishhab
1.   Pengetian
      Yang dimaksud dengan istishab ialah mengambil hukum yang telah ada atau ditetapkan pada masa lalu dan tetap dipakai hingga masa-masa selanjutnya, sebelum ada hukum yang mengubahnya. Misalnya seseorang ragu-ragu, apakah sudah wudhu atau belum? Dalam keadaan seperti ini, ketentuan hukumnya berpegang kepada "belum wudhu", karena hukum yang asal adalah belum wudhu.
2.   Macam-macam Istishhab
      a.   Bara’ah Ashliyah, yaitu bahwa pada asalnya suatu hukum itu dianggap tidak ada sehingga ada dalil yang menyebutkan ketentuannya. Misalnya seorang tidak bisa menuduh sembarangan bersalah pada seseorang sebelum ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan secara meyakinkan bahwa ia bersalah. Karena sebelumnya ia adalah seorang yang bebas.
      b.   Istishhab Ash-Shifah, yaitu menguatkan tetap berlakunya suatu sifat, dimana sifat itu berlaku pada suatu ketentuan hukum sampai sifat itu mengalami perubahan yang konsekwensi logisnya juga akan menyebabkan berubahnya hukum. Misalnya sifat tanggung jawab seseorang untuk membayar hutang nya kepada seseorang, beban kewajiban untuk membayar itu akan tetap ada pada diri orang yang berhutang sampai ia membayar lunas atau dibebaskan oleh orang yang menghutangi.
      c.   Istishhab Al-Hukmi, yaitu menguatkan tetap berlakunya suatu hukum boleh atau larangan. Hukum boleh pada sesuatu perbuatan atau barang harus tetap berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkannya. Sebaliknya hukum haram pada sesuatu perbuatan atau barang harus tetap berlangsung sampai ada dalil yang membolehkannya. Misalnya seorang suami tidak boleh ( haram ) menikahi adik isterinya kecuali isterinya telah dicerai atau meninggal dunia. ( HT. Ridwan : 2007, hal 21-22 )
3.   Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum Islam
      Para ulama berbeda pendapat tentang kehujjahan Istishhab :
a.    Menjadikan istishhab sebagai pegangan dalam menentukan hukum sesuatu peristiwa yang belum ada hukumnya, baik dalam Al-Qur'an, As-Sunnah maupun ijma'. Ulama yang termasuk kelompok ini adalah Syafi'iyah, Hanabillah, Malikiyah, Dhahiriyah, dan sebagian kecil dari ulama Hanafiyah dan ulama Syiah. Dalil yang mereka jadikan alasan, antara lain ialah Firman Allah dalam surat Yunus ayat 36 sebagai berikut :
Artinya : "...sesungguhnya persangkaan itu sedikit pun tidak berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan."
Berdasarkan kepada prinsip di atas, ulama ushul menetapkan kaidah­-kaidah fiqih sebagai berikut :
Artinya :    “Pada dasarnya yang dijadikan dasar adalah sesuatu yanq terjadi sebelumnya. "
Artinya : "Asal hukum sesuatu adalah boleh"
b. Menolak Istishhab sebagai pegangan dalam menetapkan hukum. Ulama golongan kedua ini kebanyakan adalah ulama Hanafiyah. Mereka menyatakan bahwa istishhab dengan pengertian seperti di atas adalah tanpa dasar.
            
C. Mashalihul Mursalah
1.   Pengertiannya
Mashalih bentuk jama’ dari mashlahah, artinya kemaslahatan, kepentingan. Mursalah berarti terlepas. Dengan demikian mashalihul mursalah berarti kemaslahatan yang terlepas. Maksudnya ialah penetapan hukum berdasarkan kepada kemaslahatan, yaitu manfaat bagi manusia atau menolak kemadharatan atas mereka. Al-Khawarizmi menyatakan bahwa mashlahah ialah menjaga tujuan syara' dengan jalan menolak mafsadat (kerusakan) atau madharat dari makhluk.
2.   Kedudukannya sebagai sumber hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan mashalihul mursalah sebagai sumber hukum.
a.     Jumhur ulama menolak nya sebagai sumber hukum dengan alasan :
1). Nash-nash, ijma, dan qiyas yang ada telah disepakati pasti mempertimbangkan kemaslahatan umat, karena itulah syariat yang ada selalu memperhatikan kemaslahatan umat. Tak ada satupun kemaslahatan umat yang tidak diperhatikan oleh syariat melalui petunjuknya.
2). Pembentukan hukum Islam yang semata-mata didasarkan kepada kemaslahatan umat berarti membuka pintu bagi keinginan hawa nafsu.
b. Imam Malik membolehkan berpegang kepada mashalihul mursalah secara mutlak. Sedangkan Imam Syafi'i boleh berpegang kepada mashalihul mursalah apabila sesuai dengan dalil kully atau dalil juz'iy dari syara’. Pendapat kedua ini berdasarkan :
1). Kemaslahatan umat selalu berubah-ubah dan tidak ada habis­-habisnya. Jika pembentukan hukum dibatasi hanya pada maslahat­-maslahat yang ada petunjuknya dari syari' (Allah), tentu banyak kemaslahatan yang tidak ada status hukumnya pada masa dan tempat yang berbeda-beda.
2). Para sahabat dan tabi'in serta para mujtahid banyak menetapkan hukum untuk mewujudkan maslahat yang tidak ada petunjuknya dari syari'. Misalnya membuat penjara, mencetak uang, mengumpulkan dan membukukan ayat-ayat Al-Qur'an dan sebagainya.
3.   Syarat-syarat Berpegang kepada Mashalihul Mursalah
      a. Maslahat itu harus jelas dan pasti, bukan hanya berdasarkan kepada prasangka.
      b. Maslahat itu bersifat umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
      c. Hukum yang ditetapkan berdasarkan maslahat itu tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah ditetapkan dengan Nash atau ijma’.

D. Al-'Urf i
1.   Pengertiannya
     Yang dimaksud dengan Al-'Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling dikenal dan dijalankan oleh suatu masyarakat dan sudah menjadi adat istiadat, baik berupa Qauly (perkataan) maupun Amaly (perbuatan). Menurut ahli syar'i bahwa antara adat-istiadat dengan ‘Urf Amali itu tidak ada bedanya. Contoh ‘Urf Qauly ialah orang telah mengetahui bahwa kata ar-rajul itu untuk laki-laki, bukan untuk perempuan. Contoh 'Urf Amaly ialah jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dan tidak mengucapkan sighat akad jual beli.
2.   Macam-macam AI-'Urf dan Hukumnya
      Secara garis besar, 'urf itu dibagi menjadi dua, yaitu :
      a. 'Urf Shahih, yaitu apa yang telah dikenal orang tersebut tidak bertentangan dengan syari'at, tidak menghalalkan yang haram, dan tidak menggugurkan kewajiban. Misalnya orang telah mengerti bahwa orang yang melamar itu menyerahkan sesuatu kepada perempuan yang dilamar, berupa emas dan pakaian. Urf jenis ini diperbolehkan dan bahwa harus dilestarikan, sebab sesuatu yang baik itu pasti mendatangkan maslahat bagi manusia.
      b. 'Urf Fasid, yaitu apa yang dikenal itu bertentangan dengan syara’. Contoh orang mengetahui bahwa untuk menduduki suatu jabatan itu dengan memberikan uang sogokan (risywah). 'Urf jenis ini hukumnya haram, sebab bertentangan dengan ajaran agama. Dalam suatu kaidah dinyatakan yang artinya : "Tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq".

E.    Syar'u Man Qablana
1.   Pengertiannya
      Yang dimaksud dengan syar'u man qablana ialah syari'at yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kita, yaitu ajaran agama sebelum datangnya agama Islam.
      Pada dasarnya syari'at yang diturunkan untuk dijadikan pedoman hidup manusia, sejak dahulu hingga masa-masa selanjutnya bersumber dari satu yaitu Allah. Namun karena masa turun dan keadaan pemakainya berbeda, maka ketentuan-ketentuan dalam syariat itu juga mengalami penyesuaian. Karenanya, di antara isi syari'at tersebut ada yang berlaku terus untuk umat selanjutnya dan ada yang tidak.
      Dalam surat Al-Maidah ayat 48 Allah berfirman :
           
      Artinya :    Dan Kami telah menurunkan kepadamu kitab Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan menjadi ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu. Karena itu, putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang. ( QS. Al-Maidah : 48 ).
2.   Pembagian dan Hukumnya
      Secara garis besar syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
      a.   Istimror yaitu apa yang disyari'atkan kepada mereka juga disyari’atkan kepada kita ( umat Nabi Muhammad ), baik penetapannya itu melalui perintah melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti gishash.
     b. Jumud yaitu apa yang disyari'atkan kepada mereka tidak disyari'atkan kepada kita ( umat Nabi Muhammad ). Misalnya yang disyari'atkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya sendiri” dan “pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut". Terhadap syari'at jenis kedua ini pada ulama sepakat untuk ditinggalkan, karena syari'at kita telah menghapusnya.
F.      Saddudz Dzari'ah
1.   Pengertiannya
Kata saddu artinya tutup sedangkan kata dzari'ah artinya jalan. Berarti Saddudz dzari'ah adalah menutup jalan. Menurut istilah ulama Ushul Fiqh bahwa yang disebut dengan saddudz dzari'ah ialah :
      Artinya : "Masalah yang lahirnya boleh (mubah) tetapi dapat membuka jalan untuk melakukan perbuatan yang dilarang"
      Dengan demikian, saddudz dzari'ah berarti melarang perkara-perkara yang lahirnya boleh, karena ia membuka jalan dan menjadi pendorong kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama. Seperti melarang permainan judi tanpa uang.
2.   Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
     Para ulama’ berbeda pendapat mengenai kedudukan saddudz dzari'ah sebagai sumber hukum, yaitu :
     a. Diterima. Menurut Imam Malik bahwa saddudz dzari'ah dapat dijadikan sumber hukum, sebab sekalipun mubah akan tetapi dapat mendorong dan membuka perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama.
            Al-Qurtubi, seorang ulama Madzhab Maliki menyatakan; "Sesunggunya apa-apa yang dapat mendorong terjerumus kepada perkara yang dilarang (maksiat) adakalanya secara pasti menjerumuskan dan tidak pasti menjerumuskan. Yang pasti menjerumuskannya bukan termasuk suddudz dzari'ah tetapi harus dijauhi, sebab perbuatan maksiat wajib ditinggalkan. Yang tidak pasti menjerumuskannya termasuk suddudz dzari'ah. Guna menjauhkan diri dari terjerumus kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama, maka kita wajib menjauhkan diri dari perkara-­perkara yang lahirnya mubah, tetapi lambat laun dapat membawa dan mendorong kita kepada perbuatan maksiat.
b.     Ditolak. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i, bahwa saddudz dzari'ah tidak dapat dijadikan sumber hukum, karena sesuatu yang menurut hukum asalnya mubah, tetap diperlakukan sebagai yang mubah. Dalam sebuah hadits Nabi Saw. Dikatakan :


Artinya : "Tinggalkan apa yang meragukan bagimu kepada apa yang tidak meragukan".


Artinya : "Bagi siapa yang berputar-putar di sekitar larangan (Allah) lama kelamaan dia akan melanggar larangan tersebut".




G. Mazhab Shahaby
1.   Pengertiannya
      Yang dimaksud dengan Mazhab Shahaby ialah fatwa-fatwa para sahabat mengenai berbagai masalah yang dinyatakan setelah Rasulullah SAW wafat. fatwa-fatwa para sahabat di atas bisa terjadi pada dua masa yaitu : Pertama, ketika Rasulullah SAW masih hidup dan selanjutnya dijadikan ketetapan ( taqrir ) Rasulullah SAW dengan sebutan Hadits Taqrir. Kedua, setelah Rasulullah SAW wafat berarti berdasarkan ijtihad mereka sendiri, hal ini terbagi menjadi dua, yaitu hasil ijtihad yang mereka sepakati (Ijma’ Sahaby) dan hasil ijtihad yang tidak mereka sepakati.
2.   Kedudukannya sebagai sumber hukum
      Sesuai dengan sifat fatwa sahabat tersebut, maka kedudukan mazhab sahabat ini dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu :
      a.  Mazhab sahabat yang berdasarkan kepada ketetapan Rasulullah SAW wajib ditaati, sebab hakekatnya ia merupakan hadits Rasulullah SAW..
      b.  Mazhab sahabat yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka
sepakati (Ijma’ Sahaby) dapat dijadikan hujah dan wajib ditaati, sebab
mereka di samping dekat dengan rasul, mereka mengetahui rahasia­
rahasia tasyri' dan mengetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa
yang sering terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka sepakati,
antara lain ialah mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu seperenam.
      c.   Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujah dan tidak
wajib diikuti. Abu Hanifah dan Imam Syafi'i menyatakan : “Tidak melihat seorang pun ada yang menjadikan perkataan sahabat untuk dijadikan hujjah”, sebab perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada ra'yu dan di antara sahabat sendiri juga berbeda pendapat, dan mereka tidak luput dari kesalahan. ( Muzilanto : 2008, hal 50-51 ).

H. Dalalatul Igtiran
1.   Pengertiannya
      Yang dimaksud dengan dalalatul iqtiran ialah dalil-dalil yang menunjukkan kesamaan hukum terhadap sesuatu yang disebutkan bersamaan dengan sesuatu yang lain.
2.   Kedudukannya Sebagai Sumber Hukum
      a.   Jumhur ulama berpendapat bahwa dalalatul iqtiran tidak dapat dijadikan hujjah, sebab bersamaan dalam satu susunan tidak mesti bersamaan dalam hukum.
      b.   Abu Yusuf dari golongan Hanafiyah, Ibnu Nashar dari golongan Malikiyah, dan Ibnu Hurairah dari golongan Syafi'iyah menyatakan dapat dijadikan hujjah. Alasan mereka bahwa sesungguhnya athaf itu menghendaki musyarakah.
                       Contoh : firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 196
                       
                       
            Artinya : "Sempurnakanlah haji dan umrah karena Allah".
            Berdasarkan ayat di atas, Imam Syafi'i, menyamakan hukum umrah dengan haji, yaitu fardhu, sebab kedua ibadah ini disebutkan dalam satu ayat.
            Contoh lain : firman Allah dalam surat An-Nahl : 8
                               
       Artinya : "Dan Dia (jadikan) kuda, bighal, dan keledai untuk kamu jadikan kendaraan dan untuk perhiasan".
            Berdasarkan ayat di atas Imam Malik tidak mewajibkan zakat atas kuda, lantaran disebut beriringan dengan harta yang tidak dikenai zakat.

UJI KOMPETENSI HUKUM SYAR’I YANG DIPERSELISIHKAN PARA ULAMA’
JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN DIBAWAH INI DENGAN BENAR!
1. Jelaskan pengertian istihsan menurut istilah!
2. Jelaskan alasan jumhur ulama’ menolak berhujjah dengan istihsan dalam menetapkan hukum!
3. Buatlah sebuah contoh istihsan dari hukum umum kehukum pengecualian!
4. Sebutkan dan jelaskan macam-macam istishhab!
5. Jelaskan alasan jumhur ulama’ berhujjah dengan ishtishhab dalam menetapkan hukum!
6. Jelaskan pengertian mashalihul mursalah menurut istilah!
7. Jelaskan alasan Imam Malik berhujjah dengan mashalihul mursalah dalam menetapkan hokum!
8. Pembuatan KTP, SIM adalah salah satu contoh mashalihul mursalah, mengapa demikian! Jelaskan!
9. Sebutkan macam-macam Al-Urf secara rinci yang saudara ketahui!
10. Buatlah sebuah contoh Al-Urf bentuk fi’li yang diperbolehkan dalam syariat islam!
11. Jelaskan pengertian syar’u manqablana menurut istilah!
12. Sebutkan macam-macam syar’u manqablana!
13. Jelaskan cara penetapan syar’u manqablana yang juga berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW!
14. Hadist Nabi :
Lengkapilah hadist diatas dengan harakat dan terjemahnya serta jelaskan isi kandungannya!
      15. Buatlah sebuah contoh saddudz dzari’ah dalam kehidupan sehari-hari!
      16. Jelaskan pengertian madzhab shahaby menurut istilah!
      17. Sebutkan macam-macam madzhab shahaby yang saudara ketahui!
      18. Jelaskan pendapat saudara tentang madzhab shahaby yang dapat dijadikan sebagai dasar penetapan hukum!
      19. Jelaskan pengertian dalalatul iqtiran menurut istilah!
      20. Buatlah sebuah contoh dalalatul iqtiran dalam syari’at islam!



0 Response to "PELAJARAN FIQIH KELAS XII MADRASAH ALIYAH BAB III SEMESTER GENAP"