PELAJARAN FIQIH KELAS XII MADRASAH ALIYAH BAB IV SEMESTER GENAP "PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM"




BAB IV
PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM

A. Ijtihad dalam hukum Islam
1.             Pengertian Ijtihad
     Ijtiha menurut bahasa berasal dari kata
yang artinya mengerjakan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Para ahli Ushul Figih merumuskan pengertian ijtihad.
Artinya :     Pencurahan segala kemampuan untuk mendapatkan hukum syara' melalui dalil-dalil syara' pula"
      Jadi dengan demikian, ijtihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbath ( mengeluarkan hukum ) dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid.
      Imam Al-Ghazali mendefinisikan ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum syariat.
Berdasarkan definisi di atas, maka ijtihad hanya dibenarkan bagi peristiwa atau hal-hal yang tidak ada dalilnya yang qoth'i, atau tidak ada dalilnya sama sekali.
1. Hukum ijtihad
      Menurut Syeikh Muhammad Khudlari, bahwa hukum ijtihad itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
      a. Wajib ‘Ain, yaitu bagi seseorang yang ditanya tentang sesuatu masalah dan masalah itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sndiri mengalami suatu peristiwa yang ia seniri juga ingin mengetahui hukumnya.
      b.   Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tentang sesuatu dan seseuatu itu tidak hilang sebelum diketahui hukumnya, sedangkan selain dia masih ada mujtahid lain. Apabila seorang mujtahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka kewajiban mujtahid yang lain telah gugur. Namun bila tak seorang pun mujtahid melakukan ijtihadnya, maka dosalah semua mujtahid tersebut.
      c.   Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
3.   Peranan dan kedudukan hasil ijtihad
      a.   Peranan ijtihad
            Ijihad sangat diperlukan dan memiliki peranan yang sangat penting dalam mencari sandaran hukm yang benar, mengingat banyak masalah yang secara jelas belum ditentukan hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Karenanya, Islam memberikan peluang kepada umatnya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan ijtihad. Sebagaimana dianjurkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hasyr ayat 2 yang berbunyi
    
Artinya:             Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, wahai orang-orang yang mempunyai pandangan. ( QS. Al-Hasyr : 2 ).
Hadits Nabi MuhammadSAW :

 Artinya : "Jika seorang hakim menghukum, lalu ia berijtihad kemudian ijtihadnya itu benar, maka is mendapatkan dua pahala, apabila ia menghukum, dan berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka mendapat satu pahala". (HR. Bukhori dan Muslim) .( DEPAG 2002, hal 271-272)
            Dengan demikian, ijtihad merupakan salah satu alat penggali hukum syara’ untuk dapat mengaplikasikan setiap hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut, agar relevan dengan permaslahan hukum yang ada di masyarakat.
      b.   Kedudukan hasil ijtihad
            Hasil ijtihad merupakan pendapat yang bersifat zanni ( dugaan kuat ). Hasil ijtihad itu mempunyai akibat hukum, baik bagi orang yang bertanya maupun bagi mujtahidnya sendiri. Sedangkan bagi kaum muslimin, hasil ijtihad itu tidak mengikat dan tidak mengharuskan orang lain untuk mengikutinya. Bahkan pendapat hasil ijtihad seseorang, tidak menghalangi orang lain untuk berijtihad dan menghasilkan pendapat yang berbeda.
Kecuali seorang gadli atau hakim yang telah memutuskan hukum berdasarkan ijtihadnya sendiri tidak boleh membatalkan keputusan selama keputusan pertama tidak menyalahi nash atau dalil qath'i.
            Sifat dasar ijtihad yang demikian itu, membolehkan seorang mujtahid atau orang lain untuk meninjau ulang atau melakukan ijtihad baru untuk menetapkan hukum baru. ( M. Mahrus As’ad : 2006, hal 46 ).
4.   Syarat-syarat mujtahid
      Seseorang diperbolehkan melakukan ijtihad bila syarat-syarat ijtihad dipenuhi. Syarat-syarat tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu :
      a.   Syarat umum
            1). Beriman
            2). Mukallaf
            3). Memahami masalah
      b.   Syarat khusus
            1). Mengetahui ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah yang dianalisis, dalam hal ini ayat-ayat ahkam, termasuk asbabul nuzul, musytarak, dan sebagainya.
            2). Mengetahui sunnah-sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis, mengetahui asbabul wurud, dan dapat mengemukakan hadit-hadits dari berbagai kitab hadits seperti Shahih Bukhori, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud dan lain-lain.
            3). Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup manusia di dunia dan akhirat.
            4). Mengetahui kaidah-kaidah kulliyah, yaitu kaidah-kaidah yang diistinbathkan dari dalil-dalil syara’.
            5). Mengetahui kaidah-kaidah Bahasa Arab, yaitu nahwu, sharaf, balaghah, dan sebagainya.
            6). Mengetahui ilmu ushul fiqih, yang meliputi dalil-dalil syar’I dan cara-cara mengistinbathkan hukum.
            7). Mengetahui ilmu mantiq.
            8). Mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bar’ah ashliyah.
            9). Mengetahui soal-soal ijma’, sehingga hukum yang ditetapkan tidak bertentangan dengan ijma’.
      c.   Syarat pelengkap
            1). Mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’I yang berkaitan dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya.
            2). Mengetahui masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ‘ulama’dan yang akan mereka sepakati.
            3). Mengetahui bahwa hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak. ( HM. Suparta :2006, hal 88-89 ).
5.   Tingkatan-tingkatan mujtahid
      Tingkatan ini sangat bergantung pada kemampuan, minat dan aktivitas yang ada pada mujtahid itu sendiri. Secara umum tingkatan mujtahid ini dapat dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu :
a. Mujtahid Muthlaq atau Mustaqil, yaitu seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan ijtihad secara sempurna dan ia melakukan ijtihad dalam berbagai hukum syara’, dengan tanpa terikat kepada madzhab apa pun. Seperti madzahibul arba’ ( Imam Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Ahmad bin Hambal ).
b. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang memiliki syarat-syarat ijtihad secara sempurna, tetapi dalam melakukan ijtihad dia menggabungkan diri kepada suatu madzhab dengan mengikuti jalan yang ditempuh oleh madzhab itu. Sekalipun demikian, pendapatnya tidak mesti sama dengan pendapat imam madzhab tersebut.
c. Mujtahid Fil Mazhabih, yaitu mujtahid yang dalam melakukan ijtihad ia mengambil metode yang digunakan oleh Imam Mazhab tertetu dan ia juga mengikuti Imam Mazhab dalam masalah furu'. Terhadap masalah­-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh Imam Mazhabnya, terkadang ia melakukan ijtihad sendiri.
d. Mujtahid Murajjih, atau dalam istilah lain orang yang mentarjih, yaitu mujtahid yang dalam menggali dan menetapkan hukum suatu perkara didasarkan kepada hasil tarjih (memilih yang lebih kuat) dari pendapat imam-imam mazhabannya tentunya dengan mengambil dasar hukum yang lebih kuat.
5. Penerapan hasil ijtihad
Pada garis besarnya ayat-ayat Al-Qur'an dapat dibedakan atas Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya hukum yang dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran atau interpretasi. Pada umumnya ayat muhkamat ini bersifat perintah seperti perintah menegakkan sholat, puasa, menunaikan zakat, ibadah haji. Sedangkan Ayat Mutasyabihat adalah ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut walaupun dalam bunyinya sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat-ayat mengenai gejala-gejala alam yang terjadi setiap hari. Dengan ayat-ayat mutasyabihat mengisyaratkan kepada kita bahwa Al-Qur'an mergajarkan kepada manusia mempergunakan akalnya, mengamati dengan benar, harus berpikir dan bertanya secara tuntas tentang segala sesuatu yang diamatinya.
      Demikian juga dalam Al-qur'an dijumpai dalil-dalil yang bersifat Qoth'i dan dzonni. Dalil Qoth’i adalah dalil yang sudah jelas hukumnya dan tidak diperlukan penafsiran. Sedangkan Dalil dzonni adalah belum jelas hukumnya untuk itu dibutuhkan penjelasan dan penafsiran, hal demikian bermuara untuk menggunakan akal untuk memecahkannya dan yang tidak kalah penting munculnya peristiwa baru yang sebelumnya belum pernah terjadi dan membutuhkan status hukum. Misalnya : Bagaimana hukumnya bayi tabung, cangkok mata, cloning manusia, donor Darah dll.
Dasar menggunakan akal untuk menetapkan hukum adalah :
1.   Ketetapan Al-Qur'an mengenai landasan musyawarah dalam menetapkan sesuatu:
Firman Allah SWT :
Artinya : ". ... Sedangkan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka (As-Syura : 38).
2.     Allah memerintahkan dalam Al-Qur'an untuk mengembalikan segala pertentangan dan silang pendapat kepada ulil amri, yaitu orang-orang yang memiliki tingkat pemahaman syari’ah yang tinggi dan menguasai tata cara menetapkan hukum.
3. Adanya ketegasan Nabi kepada para sahabatnya agar berijtihad dan merumuskan ketetapan hukum melalui pemikiran dalam masalah yang tidak terdapat hukumnya dalam Al-Qur'an maupun as-sunnah. Seperti dalam hadits saat terjadi dialog antara nabi dengan Mu'adz bin jabal cukup memperkuat mengenai kedudukan akal itu. ( Muzilanto : 2008, hal 29-30 ).
             Di dalam menerapkan hasil ijtihad ada beberapa macam, yaitu tarjih, talfiq, ittiba’, taqlid, dan fatwa. Masing-masing penerapannya memiliki perbedaan dan persamaan. Para ’ulama’ berbeda pendapat mengenai penerapan beberapa jenis hasil ijtihad tersebut sebagai berikut :
B.   Tarjih dan Talfiq
1.   Tarjih
      a.   Pengertian tarjih
                   Menurut bahasa, tarjih adalah ”melebihi” sesuatu, sedangkan menurut istilah tarjih menguatkan salah satu dalil atas dalil lainnya. Maksudnya memilih dalil yang kuat diantara dalil-dalil yang tampak berlawanan atau tidak sama terhadap satu hukum yang sama. Dalil yang lebih kuat disbut rajih dan dalil yang lemah disebut marjuh.
      Berdasarkan uraian di atas, para ahli Ushul Fiqih memberikan rumusan Tarjih sebagai berikut :
Artinya :     "Tarjih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan terhadap yang lain sehingga dapat diketahui mana yang lebih kuat kemudian diamalkan dan dikesampingkan (ditinggalkan) yang lainnya (yang Iemah)".
Tarjih dibenarkan dalam menetapkan hukum syar'i berdasarkan ijma' sahabat. Misalnya wajib berpuasa bagi orang yang junub sampai shubuh walaupun ada hadits yang menerangkan bahwa orang yang junub sampai shubuh puasanya batal. Kedua hadits itu adalah sebagai berikut :
Artinya :      "Sesungguhnya Nabi SAW pernah dalam keadaan junub pada waktu shubuh" (HR. Bukhori dan Muslim).
Artinya :   "Telah bersabda Rasulullah SAW barang siapa pada waktu subuh dalam keadaan junub, maka tidak sah puasanya". (HR. Ahmad dan lbnu Habban).
Hadits yang pertama diriwayatkan dari isteri-isteri Nabi sedang hadits kedua diriwayatkan dari Abu Hurairah. Hadits pertama Iebih kuat, sehingga ditetapkan sebagai dasar hukum karena diriwayatkan dari istri-istri Nabi yang menyaksikan sendiri apa yang diriwayatkannya itu.
      b.   Dalil-dalil yang ditarjihkan
1) Dalil yang ditarjih itu sama kepastian kekuatannya, seperti : Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, Al-Qur'an dengan Hadits mutawatir, hadits ahad dengan hadits ahad.
2)   Dalil yang berlawanan sama dalam hukumnya, waktunya, tempatnya dan arah yang dimaksudnya.
2.   Talfiq
      a.   Pengertian talfiq
                  Menurut bahasa talfiq adalah menyambung dua tepi yang bebeda. Seperti mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya. Sedangkan menurut istilah talfiq adalah mengikuti suatu hukum dengan mengambil pendapat dari berbagai madzhab dengan tujuan agar hukum tersebut dapat lebih ringan. Talfiq dalam rumusan ushul fiqih berarti mengambil beberapa hukum sebagai dasar beramal dari berbagai madzhab atau pendapat yang berbeda.
Contoh, seseorang berwudlu dengan tidak menggosok anggota wudlu, menurut Imam Syafi'i wudlunya sah sedangkan menurut Imam Malik tidak sah, kemudian ia menyentuh wanita, menurut Imam Syafi'i wudlunya batal sementara menurut Imam Malik tidak batal. Jika kemudian ia sholat tidak sah. Menurut Imam Syafi'i karena wudlunya batal dengan menyentuh wanita, sedangkan menurut Imam Malik tidak sah karena wudlunya batal dengan tidak menggosok anggota wudlu.
b.   Hukum talfiq
1).    Contoh di atas memberikan gambaran bahwa penggabungan pendapat sebagai dasar beramal mengakibatkan amalannya batal / tidak sah. Maka talfiq tidak dibenarkan dalam ajaran syari'at Islam.
2).   Talfiq dibenarkan sepanjang tidak berakibat batalnya amaliah, demikian pula perpindahan madzhab yang lain dalam masalah yang berbeda tetap dibenarkan, seperti wudlu mengikuti pendapat Imam Syafi'i. Sholatnya mengikuti pendapat Imam Malik sedang ketentuan halal dan haramnya makanan mengikuti pendapat Imam Hambali.
3.   Perbandingan antara tarjih dan talfiq
      Di antara tarjih dan talfiq terdapat persamaan dan perbedaan, yaitu :
  1. Persamaan keduanya adalah masalah yang hukumnya akan ditetapkan mencakup masalah-masalah yang masih dalam lingkup perbedaan pendapat ’ulama’, baik dikarenakan terdapatnya nash lebih dari satu atau perselisihan pendapat ’ulama’. Dan termasuk dalam bagian ijtihad.
  2. Perbedaan keduanya adalah kalau tarjih menetapkan salah satu dalil yang paling kuat dan tidak ada kemungkinan mencari yang lebih ringan dari dalil-dalil yang ada, sedangkan talfiq menggabungkan beberapa pendapat madzhab dan ada kecendrungan mencari yang lebih ringan dari beberapa pendapat madzhab.
C. Ittiba’ dan Taqlid
1.   Pengertian ittiba’ dan taqlid
      a.    Ittiba’
             Menurut bahasa ittiba’ adalah mengikuti atau menurut. Sedangkan menurut istilah ittiba’ adalah mengikuti semua yang diperintahkan atau yang dilarang dan yang dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Salah satu ’ulama’ berpendapat bahwa ittiba’adalah :
Artinya : "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu".
      b.   Taqlid
                       Menurut bahasa taqlid adalah meniru. Sedangkan menurut istilah
             Taqlid adalah :
Artinya : "Menerima atau mengikuti pendapat perbuatan seseorang tanpa mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya itu".
2.   Hukum ittiba’ dan taqlid
Ittiba' dalam agama adalah wajib. Firman Allah SWT :
             Artinya : "Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengampuni dosa-dosamu". (Ali Imran : 31)
Taqlid adalah perbuatan yang tercela dalam agama (Islam) terutama bagi orang yang mempunyai kemampuan beristidlal.
Firman Allah SWT :
Artinya : "Dan apabila telah dikatakan kepada mereka : ikutilah apa yang diturunkan Allah, mereka menjawab : "(tidak) akan tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". (Apakah mereka akan mengikuti juga) walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui sesuatu apapun dan tidak mendapat petunjuk". (Al-Bagarah : 170).
3.   Perbandingan antara ittiba’ dan taqlid
                        Secara khusus dapat diketahui bahwa ittiba’ dan taqlid memiliki persamaan dan perbedaan sebagai beikut :
      a.   Persamaannya keduanya perbuatan mengikuti.
      b.   Perbedaannya kalau ittiba’ seseorang yang mengikuti itu mengetahui sumber yang dijadikan dasar oleh mujtahid yang diikutinya. Sedangkan kalau taqlid seseorang yang meniru itu tidak mengetahui sumber yang dijadikan daras oleh mujtahid yang ditirunya.
D.  Fatwa
1.   Pengertian fatwa
                        Yang dimaksud dengan fatwa adalah jawaban berdasarkan ijtihad terhadap pertanyaan mengenai hukum suatu peristiwa yang belum jelas hukumnya. Orang yang menyampaikan fatwa disebut mufti dan biasanya merupakan tokoh agama dan ’ulama’.
2.   Syarat-syarat mufti
                        Mufti menjadi panutan masyarakat kaum muslimin, karenanya harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
a. Menguasai hukum dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits
b. Niyatnya semata-mata mencari ridlo Allah SWT.
c. Berakhlak mulia, sabar, mampu menguaisai diri, bijaksana, dan berwibawa
d. Mengetahui ilmu sosial.
3.   Perbandingan hakim dan mufti
            Ada beberapa persamaan dan perbedaan antara hakim dan mufti sebagai berikut :
      a.   Persamaan
            1).  Hakim dan mufti sama-sama mujtahid
            2).  Hakim dan mufti orang yang mengetahui dan memahami masalah yang diselesaikan
            3).  Hakim dan mufti adalah orang yang mengetahui kondisi sosial masyarakat yang dihadapi.
      b.   Perbedaan
            1).  Persoalan yang dihadapi hakim telah dibatasi oleh berbagai ketentuaan yang sudah ditetapkan oleh undang-undang, sedangkan persoalan yang dihadapi mufti bebas
            2).  Keputusan hakim harus dilaksanakan oleh penggugat dan tergugat, sedangkan fatwa mufti boleh dilaksanakan boleh tidak diserahkan kepada orang yang meminta fatwa tersebut
            3).  Keputusan hakim dapat membatalkan fatwa, sedangkan fatwa tidak dapat membatalkan keputusan hakim. ( Wawan Djunaidi, 2008, hal 74-75 ).


UJI KOMPETENSI PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM
JAWABLAH PERTANYAAN-PERTANYAAN DI BAWAH INI DENGAN BENAR!
1. Jelaskan obyek ( masalah ) yang menjadi wilayah pengetrapan ijtihad!
2. Jelaskan hukum ijtihad menurut pandanagan Islam!
3. Sebutkan dan jelaskan tingkatan-tingkatan mujtahid yang saudara ketahui!
4. Jika ada dua dalil yang sama-sama qoth’i secara lahiriyah bertentangan, maka bagaimana cara menetapkan hukumnya? Jelaskan beserta alasan-alasannya!
5. Sebutkan syarat-syarat dalam mentarjih!
6. Jelaskan pengertian talfiq menurut istilah!
7. Buatlah sebuah contoh talfiq yang tidak dibenarkan dalam pandangan syari’at Islam!
8. Lengkapilah kaidah di atas dengan harakat dan terjemahnya!
9. Buatlah sebuah contoh ittiba’ dalam ibadah mahdhah!
10. Bolehkah seseorang bertaqlid dalam hukum syar’i? Jelaskan beserta dalil nashnya!
11. Jelaskan pengertian taqlid menurut istilah!
12. Jelaskan pengertian fatwa menurut istilah!
13. Jelaskan penyebutan nama orang yang melakukan ijtihad dan pemberi fatwa!
14. Jelaskan kedudukan hasil fatwa dalam pengetrapan hukum bagi kaum muslimin!
15. Buatlah sebuah contoh fatwa MUI yang saudara ketahui!

0 Response to "PELAJARAN FIQIH KELAS XII MADRASAH ALIYAH BAB IV SEMESTER GENAP "PELENGKAP SUMBER HUKUM ISLAM""